Daftar Isi
Selami dunia emosional dan penuh makna melalui cerpen memukau berjudul “Daun yang Gugur: Kisah Pilu Remaja dan Warisan Batik”, yang mengangkat kisah Sari, seorang remaja yang berjuang menjaga warisan budaya batik keluarganya di tengah tekanan modernitas. Ditulis dengan narasi mendalam dan penuh perasaan, cerpen ini tidak hanya menghadirkan sentuhan kesedihan, tetapi juga mengajak pembaca untuk menghargai kearifan lokal yang kini terancam punah. Temukan bagaimana perjuangan Sari menggabungkan tradisi dan harapan dalam artikel ini, yang akan membawa Anda pada refleksi mendalam tentang identitas dan kekuatan budaya lokal Indonesia.
Daun yang Gugur
Jejak Warna yang Memudar
Pagi di desa kecil dekat Yogyakarta pada tahun 2024 masih membawa embun yang dingin, menyelimuti rumput-rumput liar di tepi jalan tanah. Langit baru saja membuka kelopaknya, menyisakan semburat merah di ufuk timur. Sari, seorang gadis berusia enam belas tahun, terbangun sebelum ayam-ayam di kandang tetangga berkokok. Matanya yang sayu perlahan menyesuaikan diri dengan cahaya redup yang masuk melalui celah-celah jendela kayu. Ia menggosok wajahnya, mencoba mengusir rasa kantuk yang masih menempel di kelopak matanya. Udara pagi menusuk kulitnya yang terbuka, tapi ia sudah terbiasa dengan kesejukan yang menusuk tulang itu. Bagi Sari, pagi adalah waktu yang sakral, saat ia bisa menyapa dunia sebelum hiruk-pikuk desa mengambil alih.
Ia melangkah keluar dari rumah sederhana yang berdinding anyaman bambu dan beratap genteng tua. Kakinya yang telanjang menyentuh tanah dingin, meninggalkan jejak kecil di permukaan yang masih basah oleh embun. Di halaman belakang, sebuah pohon besar berdiri tegak, menjulang dengan daun-daun hijau tua yang bergoyang perlahan ditiup angin. Pohon itu bukan sembarang pohon. Nenek Siti, neneknya, selalu menyebutnya “Pohon Biru Langit.” Konon, daunnya menghasilkan warna biru yang begitu khas, sebuah rahasia yang membuat batik keluarga mereka berbeda dari yang lain. Sari mendekati pohon itu, menatapnya dengan penuh hormat, seolah pohon itu bisa berbicara dan menceritakan kisah-kisah masa lalu yang hanya ia dengar dari neneknya.
Dengan gerakan hati-hati, Sari memetik beberapa daun dari cabang yang paling rendah. Tangannya yang kecil namun terlatih bergerak lincah, memastikan ia tidak merusak ranting-ranting halus yang menopang daun-daun itu. Ia mengumpulkan daun-daun itu dalam keranjang anyaman yang sudah usang, warisan dari ibunya, Ibu Lina. Bau tanah basah dan aroma khas daun yang segar bercampur di udara, membawa Sari kembali ke kenangan masa kecilnya. Ia ingat betul bagaimana ia sering duduk di bawah pohon itu bersama Nenek Siti, mendengarkan cerita-cerita tentang leluhur mereka yang pertama kali menanam pohon tersebut berabad-abad lalu. Nenek Siti selalu bilang bahwa pohon itu adalah jantung keluarga mereka, sumber kehidupan yang tak hanya memberi naungan, tapi juga warisan yang hidup dalam setiap helai kain batik yang mereka ciptakan.
Sari kembali masuk ke dalam rumah, membawa keranjang itu ke ruang kerja kecil di sudut bangunan. Ruangan itu sederhana, hanya berisi meja kayu tua yang sudah penuh goresan, beberapa kaleng bekas berisi lilin cair, dan tumpukan kain putih yang menunggu untuk disentuh oleh tangannya. Di sudut ruangan, sebuah canting kecil tergeletak di atas tungku sederhana yang terbuat dari tanah liat. Sari menyalakan api kecil di bawah tungku itu, membiarkan lilin di dalamnya meleleh perlahan. Sementara menunggu, ia mulai menumbuk daun-daun dari Pohon Biru Langit menggunakan lesung kayu yang sudah hitam karena usia. Gerakan tangannya ritmis, hampir seperti tarian yang telah ia hafal sejak kecil. Setiap tumbukan melepaskan sari-sari biru dari daun, cairan yang akan menjadi pewarna alami untuk batiknya. Bau daun yang ditumbuk itu memenuhi ruangan, membawa aroma tanah dan hutan yang kini semakin jarang ia temui di sekitar desa.
Saat lilin sudah meleleh sempurna, Sari mengambil canting itu dan mulai bekerja. Ia duduk bersila di atas tikar pandan yang sudah usang, menatap kain putih di depannya dengan konsentrasi penuh. Tangannya bergerak perlahan, membentuk pola-pola rumit yang terinspirasi dari cerita Nenek Siti tentang Putri Kenanga, seorang putri legendaris yang konon pernah melindungi desa mereka dari bencana besar. Garis-garis lilin yang mengalir dari canting membentuk kelopak-kelopak bunga kenanga yang halus, dikelilingi oleh lengkungan-lengkungan yang menyerupai ombak. Setiap goresan adalah doa, setiap pola adalah kenangan. Bagi Sari, membuat batik bukan sekadar pekerjaan; itu adalah cara ia berbicara dengan leluhurnya, cara ia menjaga agar cerita-cerita mereka tetap hidup.
Namun, di tengah ketenangan itu, pikiran Sari mulai berkelana ke hal-hal yang lebih gelap. Keluarganya sedang dalam masalah. Bapak Joko, ayahnya, sudah beberapa bulan kehilangan pekerjaan di pabrik tekstil yang tutup akibat persaingan dengan produk impor. Mas Budi, kakak laki-lakinya yang kini tinggal di Jakarta, hanya sesekali mengirim uang, dan itu pun tak cukup untuk menutupi kebutuhan sehari-hari. Ibu Lina berusaha membantu dengan menjual gorengan di pasar desa, tapi hasilnya hanya cukup untuk membeli beras dan sedikit lauk. Beberapa hari lalu, Bapak Joko mengemukakan ide yang membuat hati Sari terasa seperti ditusuk pisau: menjual tanah tempat Pohon Biru Langit berdiri. Tanah itu adalah warisan keluarga, tapi juga satu-satunya aset berharga yang mereka miliki. Jika dijual, mereka bisa melunasi utang dan mungkin membiayai sekolah Sari lebih layak. Namun, bagi Sari, tanah itu bukan sekadar tanah. Itu adalah akar yang menghubungkannya dengan masa lalu, dengan Nenek Siti, dengan identitasnya.
Sari berhenti sejenak, meletakkan canting di sampingnya. Tangannya gemetar, bukan karena lelah, tapi karena beban pikiran yang kini menekan dadanya. Ia menatap kain yang baru separuh jadi, merasa pola-pola itu seperti mengejeknya. Bagaimana ia bisa melanjutkan tradisi ini jika tanah yang menjadi sumbernya hilang? Bagaimana ia bisa menatap Nenek Siti tanpa rasa malu jika Pohon Biru Langit ditebang demi uang? Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi rasa sesak itu tak kunjung pergi.
Pagi berlalu dengan cepat, dan matahari mulai naik tinggi di langit. Sari mendengar suara langkah pelan mendekati ruang kerja. Ia menoleh dan melihat Nenek Siti masuk, tubuh tuanya yang ringkih ditopang oleh tongkat kayu yang sudah aus. Rambut neneknya yang putih disanggul rapi, dan matanya yang redup masih menyimpan kebijaksanaan yang dalam. Sari tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Nenek Siti duduk di sampingnya, menatap kain yang sedang dikerjakan dengan tatapan penuh makna. Sari tahu neneknya bisa melihat lebih dari sekadar pola; ia bisa melihat jiwa yang tertuang di dalamnya.
Sari melanjutkan pekerjaannya dalam diam, merasakan kehadiran neneknya seperti pelukan yang tak terucap. Namun, pikiran tentang tanah itu terus menggerogoti hatinya. Setelah beberapa saat, ia akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. Ia menceritakan rencana Bapak Joko, suaranya pelan seolah takut kata-kata itu akan menghancurkan sesuatu yang rapuh. Nenek Siti mendengarkan dengan tenang, wajahnya tak menunjukkan kejutan, seolah ia sudah tahu lebih dulu. Ketika Sari selesai, neneknya hanya mengangguk pelan, matanya menatap jauh ke arah pohon yang terlihat dari jendela.
Sari merasa ada beban yang terangkat dari pundaknya, tapi juga ada rasa takut yang baru muncul. Nenek Siti tak memberi solusi, tak memberi harapan kosong. Ia hanya ada di sana, diam, seperti pohon itu sendiri. Sari kembali bekerja, tapi tangannya terasa lebih berat sekarang. Setiap garis lilin yang ia tuang terasa seperti air mata yang tak bisa ia tumpahkan.
Hari itu berlalu dengan cepat. Setelah makan siang sederhana—nasi dengan sambal dan tempe goreng—Sari berangkat ke sekolah. Ia berjalan kaki menyusuri jalan setapak yang dipenuhi ilalang, tas kain usang tergantung di pundaknya. Sekolahnya kecil, hanya terdiri dari beberapa ruang kelas berdinding bata dan beratap seng. Di kelas, ia duduk di bangku belakang, mencoba fokus pada pelajaran matematika yang sedang dijelaskan oleh Pak Guru. Namun, pikirannya terus melayang kembali ke rumah, ke pohon, ke batik yang belum selesai.
Saat istirahat, Sari duduk sendirian di bawah pohon beringin di halaman sekolah. Angin bertiup pelan, membawa aroma bunga kamboja dari kebun kecil di dekatnya. Ia mengeluarkan buku catatan kecil dari tasnya, mulai mencoret-coret pola batik dengan pensil tumpul. Gambar itu tak sempurna, tapi baginya, itu adalah cara untuk tetap terhubung dengan dunianya yang perlahan runtuh. Tiba-tiba, bayangan seseorang jatuh di atas bukunya. Ia mendongak dan melihat Dian, teman sekelasnya yang selalu ceria. Dian duduk di sampingnya, menatap gambar itu dengan rasa ingin tahu.
Sari akhirnya menceritakan masalahnya, meski dengan hati-hati. Ia tak ingin terdengar lemah, tapi kata-kata itu mengalir begitu saja. Dian mendengarkan, tapi tanggapannya membuat hati Sari semakin teriris. Dian berpikir menjual tanah itu adalah langkah terbaik, bahwa Sari bisa pindah ke kota dan mengejar masa depan yang lebih cerah. Bagi Dian, tradisi adalah sesuatu yang bisa ditinggalkan demi kemajuan. Sari tak bisa membantah sepenuhnya, tapi kata-kata itu terasa seperti pengkhianatan. Ia mengangguk sopan, tapi dalam hati, ia merasa semakin sendirian.
Sepulang sekolah, Sari memutuskan untuk mencari jawaban. Ia berjalan ke perpustakaan desa, sebuah bangunan kecil dengan dinding penuh retak dan rak-rak kayu yang dipenuhi buku-buku tua. Di sana, ia bertemu Mbak Rina, seorang peneliti budaya yang sedang mengunjungi desa mereka. Mbak Rina berusia sekitar tiga puluh tahun, dengan rambut pendek dan kacamata tebal yang membuatnya terlihat seperti akademisi sejati. Sari memperkenalkan diri, menceritakan keinginannya untuk belajar lebih banyak tentang batik desanya. Mbak Rina tersenyum ramah, lalu menunjukkan beberapa dokumen tua yang ia temukan di arsip desa.
Dokumen-dokumen itu penuh debu, tulisannya sudah memudar, tapi Sari bisa membaca beberapa bagian dengan bantuan Mbak Rina. Ternyata, Pohon Biru Langit bukan sekadar legenda. Catatan sejarah menyebutkan bahwa pohon itu ditanam oleh seorang pengrajin batik terkenal pada abad ke-18, dan daunnya menjadi kunci warna biru yang tak bisa ditiru oleh desa lain. Sari merasa jantungnya berdegup kencang. Ini adalah bukti bahwa tanah itu bukan sekadar properti; itu adalah bagian dari sejarah, dari kearifan lokal yang sudah bertahan selama berabad-abad.
Malam itu, Sari duduk bersama Nenek Siti di beranda rumah. Angin malam bertiup sepoi-sepoi, membawa aroma daun-daun kering yang gugur. Sari menceritakan temuannya, matanya berbinar penuh harapan. Ia mengusulkan ide untuk menjadikan tanah itu sebagai cagar budaya, sesuatu yang ia pelajari dari Mbak Rina. Nenek Siti mengangguk, tapi wajahnya tetap muram. Ia tahu waktu mereka terbatas, bahwa Bapak Joko sudah mulai bernegosiasi dengan pembeli. Sari merasa semangatnya mulai redup, tapi ia tak ingin menyerah.
Keesokan harinya, ia pergi ke kantor desa untuk bertemu Bapak Warto, kepala desa yang sudah seperti kakek bagi semua warga. Pria tua itu duduk di kursi kayu di balik meja sederhana, mendengarkan permintaan Sari dengan sabar. Ia mengakui nilai tanah itu, tapi juga mengingatkan bahwa kebutuhan hidup sering kali lebih mendesak daripada warisan. Sari pulang dengan perasaan campur aduk, antara harapan dan keputusasaan.
Malam itu, kabar buruk datang. Bapak Joko mengatakan bahwa ada pembeli yang menawarkan harga tinggi, dan keputusan harus segera diambil. Sari duduk di kamarnya, menatap dinding bambu yang sudah mulai rapuh. Air matanya akhirnya jatuh, membasahi tikar tempat ia duduk. Ia merasa seperti sedang kehilangan segalanya—tanah, pohon, batik, dan bagian dari dirinya sendiri.
Namun, di tengah tangisnya, ia mendengar langkah pelan Nenek Siti mendekat. Neneknya duduk di sampingnya, tangan tuanya yang keriput mengusap pundak Sari. Dalam diam, Sari merasa ada kekuatan yang kembali mengalir ke dalam dirinya. Ia tahu perjuangan ini belum selesai. Besok, ia akan bangun dan melanjutkan, apa pun yang terjadi.
Akar yang Tersembunyi
Hari baru dimulai dengan kabut tipis yang menyelimuti desa, menyamarkan rumah-rumah kayu dan sawah-sawah yang terbentang di kejauhan. Sari terbangun dengan mata sembap, sisa tangis malam sebelumnya masih terasa di kelopak matanya. Ia melangkah keluar, menarik napas dalam-dalam untuk menghirup udara pagi yang segar bercampur bau tanah basah. Pohon Biru Langit masih berdiri di sana, diam dan agung, seperti penjaga setia yang tak pernah goyah. Tapi bagi Sari, pohon itu kini terasa seperti sesuatu yang akan segera hilang, seperti bayangan yang perlahan memudar di bawah sinar matahari.
Pagi itu, ia memutuskan untuk tidak langsung bekerja pada batiknya. Pikirannya terlalu kacau, dan tangannya terasa terlalu gemetar untuk memegang canting. Sebagai gantinya, ia duduk di bawah Pohon Biru Langit, menatap daun-daun yang bergoyang pelan di angin. Ia membawa buku catatan kecilnya, mencoba mencari ketenangan dengan menggambar pola-pola baru. Namun, setiap garis yang ia buat terasa hampa, seperti cerminan dari hatinya yang sedang retak. Ia menutup bukunya, lalu bersandar pada batang pohon yang kasar. Kulit pohon itu terasa dingin di punggungnya, dan untuk sesaat, ia membayangkan pohon itu bisa merasakan kesedihannya.
Nenek Siti muncul tak lama kemudian, langkahnya pelan tapi pasti. Ia membawa secangkir teh pahit dalam cangkir seng tua, aroma daun teh kering bercampur dengan bau kayu bakar dari dapur. Neneknya duduk di samping Sari, meletakkan cangkir itu di tanah di antara mereka. Sari mengambil cangkir itu, meminum tehnya perlahan. Rasa pahit itu menyebar di lidahnya, tapi entah mengapa, itu terasa pas dengan suasana hatinya. Mereka duduk dalam diam untuk waktu yang lama, hanya mendengarkan suara angin dan kicau burung pipit yang beterbangan di kejauhan.
Setelah beberapa saat, Nenek Siti mulai berbicara, suaranya pelan tapi penuh bobot. Ia menceritakan kembali kisah-kisah yang pernah ia sampaikan saat Sari masih kecil, tapi kali ini dengan detail yang lebih dalam. Ia bercerita tentang leluhur mereka, seorang pengrajin batik bernama Ki Ageng Wirasaba, yang konon menanam Pohon Biru Langit setelah mendapat petunjuk dalam mimpinya. Pohon itu bukan sekadar sumber pewarna; ia adalah simbol harapan, tanda bahwa desa mereka akan tetap hidup meski zaman terus berubah. Nenek Siti menggambarkan bagaimana Ki Ageng menghabiskan hidupnya untuk menyempurnakan teknik batik dengan daun pohon itu, menciptakan warna biru yang begitu dalam hingga kain-kainnya menjadi legenda di seluruh Yogyakarta.
Sari mendengarkan dengan hati yang terbuka, membayangkan sosok Ki Ageng yang berdiri di tempat yang sama ratusan tahun lalu. Ia membayangkan tangan-tangan tua yang penuh kapalan itu menanam benih pohon, menyiraminya dengan air dari sungai kecil yang kini sudah mengering. Cerita itu membawa kehangatan ke dalam dirinya, tapi juga rasa sakit yang lebih dalam. Jika pohon itu begitu berarti bagi leluhurnya, mengapa keluarganya sekarang harus melepaskannya? Ia menatap Nenek Siti, mencari jawaban di wajah tua yang penuh keriput itu, tapi neneknya hanya tersenyum tipis, seolah memahami pertanyaan yang tak terucap.
Setelah teh habis, Sari memutuskan untuk mencari tahu lebih banyak. Ia kembali ke perpustakaan desa, berjalan menyusuri jalan setapak yang kini mulai ramai oleh anak-anak yang bermain layang-layang. Di perpustakaan, Mbak Rina sudah menunggu dengan tumpukan dokumen yang lebih banyak dari kemarin. Wanita itu tampak antusias, matanya berbinar saat menunjukkan sebuah buku tua yang sampulnya sudah robek. Buku itu berisi catatan-catatan dari masa kolonial, ditulis oleh seorang pedagang Belanda yang pernah mengunjungi desa mereka. Dalam catatan itu, pedagang tersebut menyebutkan kain batik dari desa ini sebagai “permata biru dari Jawa,” sebuah karya seni yang tak tertandingi karena warnanya yang berasal dari pohon ajaib.
Sari membaca setiap kata dengan hati-hati, jarinya mengikuti baris-baris tulisan yang sudah memudar. Ia menemukan peta kasar yang digambar tangan, menunjukkan lokasi pohon itu di tengah tanah keluarganya. Ada juga sketsa kecil pohon itu, dengan daun-daun yang digambar dengan detail menakjubkan. Mbak Rina menjelaskan bahwa pohon itu bukan hanya bagian dari sejarah desa, tapi juga kearifan lokal yang kini hampir punah. Banyak desa lain sudah beralih ke pewarna kimia, meninggalkan cara-cara tradisional yang memakan waktu dan tenaga. Tapi bagi Sari, cara itu adalah jiwanya, cara ia merasa terhubung dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Sore itu, Sari kembali ke rumah dengan membawa beberapa fotokopi dokumen yang diberikan Mbak Rina. Ia duduk di ruang kerja, menatap kain batik yang belum selesai. Ia mengambil canting, mencoba melanjutkan polanya, tapi tangannya terasa kaku. Pikirannya penuh dengan cerita Nenek Siti dan catatan-catatan tua itu. Ia membayangkan Ki Ageng Wirasaba berdiri di sampingnya, menatapnya dengan harapan bahwa ia akan melanjutkan apa yang ia mulai. Tapi bayangan itu cepat memudar, digantikan oleh kenyataan pahit bahwa tanah itu mungkin akan segera hilang.
Malam menjelang, dan Sari mendengar suara Bapak Joko dan Ibu Lina berbicara di ruang tengah. Nada suara mereka tegang, penuh kekhawatiran. Sari mengendap-endap ke pintu, mendengarkan percakapan yang membuat jantungnya berdegup kencang. Bapak Joko mengatakan bahwa pembeli sudah menaikkan tawaran, dan mereka harus memutuskan dalam dua hari. Ibu Lina terdengar ragu, tapi akhirnya setuju bahwa itu mungkin satu-satunya jalan keluar. Sari merasa dunianya berputar. Ia kembali ke kamarnya, duduk di tikar dengan tangan memeluk lutut. Air mata jatuh lagi, tapi kali ini ia tak bisa berhenti.
Di tengah isakannya, ia mendengar suara langkah Nenek Siti lagi. Neneknya masuk, membawa kain batik tua yang sudah usang tapi masih indah. Kain itu penuh dengan pola kenanga dan warna biru yang memudar, karya Nenek Siti dari puluhan tahun lalu. Neneknya meletakkan kain itu di pangkuan Sari, lalu duduk di sampingnya. Sari memegang kain itu, merasakan teksturnya yang kasar namun penuh cerita. Ia tahu neneknya ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata tak diperlukan. Kain itu adalah bukti bahwa warisan mereka pernah hidup, dan sekarang terserah Sari untuk menentukan apakah itu akan mati.
Malam itu, Sari tak bisa tidur. Ia duduk di beranda, menatap Pohon Biru Langit yang diterangi cahaya bulan. Angin malam membawa aroma daun yang gugur, dan untuk pertama kalinya, ia merasa pohon itu seperti sedang berbicara dengannya. Ia tak tahu apa yang harus dilakukan, tapi ia tahu ia tak bisa menyerah. Besok, ia akan mencari cara, apa pun risikonya.
Perjuangan yang Berat
Pagi itu, langit di desa kecil tempat Sari tinggal tampak mendung. Awan-awan kelabu bergumpal di ufuk timur, seolah-olah mencerminkan beban yang kini bertumpu di pundak gadis berusia 19 tahun itu. Sari berdiri di depan cermin kecil yang sudah retak di sudutnya, memandangi wajahnya yang tampak lelah. Matanya yang biasanya berbinar kini redup, dikelilingi lingkaran hitam akibat malam-malam tanpa tidur. Di tangannya, ia memegang sehelai kain batik tua yang penuh motif bunga-bunga kecil—warisan dari neneknya yang kini menjadi satu-satunya harapan keluarganya.
Hari ini, Sari memutuskan untuk pergi ke kantor desa. Ia sudah mempersiapkan diri sejak subuh, mengenakan baju terbaik yang ia miliki: sebuah kebaya sederhana berwarna krem yang sudah sedikit usang di bagian lengan. Ia melangkah keluar rumah, meninggalkan Ibu Lina yang sedang sibuk menanak nasi di dapur kecil mereka. Bau asap kayu bakar menyelinap ke hidungnya, bercampur dengan aroma tanah basah setelah hujan semalam. Di kejauhan, ia mendengar suara ayam berkokok dan derit roda pedati yang membawa hasil panen ke pasar.
Perjalanan menuju kantor desa tidaklah jauh, tapi bagi Sari, setiap langkah terasa berat. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan Pohon Biru Langit—pohon tua yang berdiri tegak di tengah tanah keluarganya, yang kini terancam diambil oleh seorang pengusaha kaya dari kota. Pohon itu bukan sekadar pohon; ia adalah simbol kenangan, tempat ia dan neneknya dulu duduk bersama sambil mengukir motif batik di kain-kain putih. Kini, tanah itu menjadi sengketa, dan keluarga Sari tidak punya cukup uang untuk melawan di pengadilan.
Sesampainya di kantor desa, Sari disambut oleh aroma kopi tubruk yang menguar dari cangkir-cangkir kecil di meja petugas. Kantor itu sederhana, dengan dinding kayu yang sudah mulai lapuk dan beberapa kursi plastik yang berderit saat diduduki. Di sudut ruangan, sebuah radio tua memainkan lagu dangdut pelan-pelan, seolah mencoba mengisi keheningan. Sari mendekati meja Bapak Warto, kepala desa yang dikenal ramah tapi sering kali lamban dalam bertindak.
“Pak Warto, saya Sari, anaknya Bapak Joko,” ucap Sari dengan suara yang sedikit gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Saya mau minta tolong soal tanah keluarga saya.”
Bapak Warto, seorang pria paruh baya dengan kumis tebal dan kacamata yang sedikit miring di hidungnya, mengangguk pelan. Ia menggeser beberapa lembar kertas di mejanya—laporan-laporan desa yang tampaknya sudah lama menumpuk—dan menatap Sari dengan ekspresi serius. “Oh, iya, saya dengar soal itu. Tanah di dekat Pohon Biru Langit, ya? Yang mau diambil Pak Darmo?”
Sari mengangguk cepat. “Iya, Pak. Itu tanah warisan keluarga saya. Kami nggak mau jual, tapi Pak Darmo bilang dia punya surat-surat yang katanya sah. Padahal, kami nggak pernah tandatangan apa-apa.”
Bapak Warto menghela napas panjang. Ia mengambil cangkir kopinya, menyeruput sedikit, lalu meletakkannya kembali dengan gerakan lambat. “Sari, saya ngerti perasaanmu. Tapi ini urusan hukum. Harus ada bukti-bukti yang kuat. Saya bisa bantu lapor ke kecamatan, mungkin ke dinas budaya, karena pohon itu kan memang punya nilai sejarah. Tapi prosesnya lama, Nak. Dan nggak ada jaminan kita menang.”
Kata-kata itu seperti angin dingin yang menusuk dada Sari. Ia ingin menangis, tapi ia menahan diri. Ia tahu Bapak Warto tidak bermaksud mengecilkan harapannya; pria itu hanya jujur. Sari menggenggam kain batik di tangannya lebih erat, seolah mencari kekuatan dari motif-motif yang pernah digoreskan neneknya dengan penuh cinta.
“Terima kasih, Pak,” ucapnya akhirnya, suaranya hampir tenggelam oleh derit kursi saat ia berdiri. “Saya cuma minta Bapak bantu sebisa mungkin. Kami nggak punya apa-apa lagi selain tanah itu.”
Bapak Warto mengangguk lagi, kali ini dengan sedikit senyum. “Saya usahain, Sari. Pulang dulu, ya. Nanti kalau ada kabar, saya kasih tahu.”
Perjalanan pulang terasa lebih panjang dari sebelumnya. Sari berjalan menyusuri pematang sawah, menatap hamparan hijau yang perlahan mulai menguning karena musim kemarau yang datang terlambat. Di rumah, ia mendapati suasana yang semakin tegang. Bapak Joko, ayahnya, duduk di beranda dengan wajah muram. Asap rokok kretek mengepul dari sela-sela jarinya, dan di dekatnya tergeletak beberapa botol minuman keras murahan yang biasanya ia hindari. Ibu Lina, ibunya, berdiri di pintu dengan tangan bersedekap, matanya merah karena menangis.
“Uang buat bayar utang nggak cukup, Lin,” kata Bapak Joko dengan suara parau. “Kalau tanah itu sampai diambil, kita selesai.”
“Jangan bilang gitu, Mas,” balas Ibu Lina, nadanya penuh keputusasaan. “Kita cari jalan lain. Sari kan bilang dia mau ke kantor desa hari ini.”
Sari masuk ke dalam rumah, mencoba tersenyum meski hatinya terasa hancur. “Bapak Warto bilang dia bakal bantu, Bu. Tapi katanya lama.”
Bapak Joko mendengus, lalu membuang puntung rokoknya ke tanah. “Lama? Kita nggak punya waktu lama, Sari. Besok lusa, orang-orang Pak Darmo bisa datang bawa buldoser!”
Perdebatan itu berlangsung hingga malam. Sari duduk di sudut ruangan, mendengarkan ayah dan ibunya saling berteriak, menyalahkan satu sama lain atas masalah yang sebenarnya tidak bisa mereka kendalikan. Ia merasa terjebak, seperti burung dalam sangkar yang pintunya terkunci rapat. Ia ingin membantu, tapi apa yang bisa ia lakukan? Uang yang mereka miliki hanya cukup untuk makan sehari-hari, dan batik-batik tua yang tersisa di lemari adalah harta terakhir yang ia pegang erat.
Beberapa hari berlalu dengan penuh ketegangan. Sari mencoba mencari solusi kecil-kecilan, seperti menjual sayuran dari kebun belakang rumah ke pasar. Tapi hasilnya hanya cukup untuk membeli beras dan sedikit lauk. Suatu sore, saat ia duduk di bawah Pohon Biru Langit dengan kain batik di pangkuannya, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Seorang wanita asing mendekatinya. Wanita itu mengenakan topi lebar dan kacamata hitam, jelas bukan penduduk desa. Ia membawa tas kain besar yang tampak penuh dengan barang-barang. Sari menatapnya dengan rasa ingin tahu bercampur waspada.
“Permen apa ini batik?” tanya wanita itu dalam bahasa Indonesia yang sedikit kaku, menunjuk kain di tangan Sari.
Sari tersenyum kecil. “Iya, Bu. Ini batik tulis, buatan nenek saya.”
Wanita itu melepas kacamatanya, memperlihatkan mata biru yang bersinar antusias. “Cantik sekali! Saya turis dari Belanda. Nama saya Anna. Saya suka batik, tapi yang asli, bukan yang dari mesin. Boleh saya lihat?”
Sari mengangguk, lalu membentangkan kain itu dengan hati-hati. Motif bunga-bunga kecil berpadu dengan garis-garis halus berwarna biru dan cokelat, menciptakan harmoni yang sederhana tapi memukau. Anna tampak terpesona. Ia mengeluarkan ponselnya, mengambil beberapa foto, lalu menatap Sari dengan senyum lebar.
“Berapa harganya?” tanya Anna.
Sari terdiam. Ia tidak pernah berpikir untuk menjual batik itu. Baginya, kain itu adalah kenangan, bukan barang dagangan. Tapi di sisi lain, ia tahu keluarganya sedang dalam kesulitan besar. Pikirannya berputar cepat, menghitung-hitung berapa banyak yang bisa ia dapatkan dan apa yang bisa ia lakukan dengan uang itu.
“Saya… saya nggak tahu, Bu,” jawabnya akhirnya. “Ini warisan keluarga. Nggak pernah dijual sebelumnya.”
Anna mengangguk, seolah memahami. “Saya tahu ini berarti buat kamu. Tapi saya mau bayar mahal. Lima juta rupiah, cukup?”
Sari hampir tersedak mendengar angka itu. Lima juta rupiah! Itu cukup untuk membayar sebagian utang keluarganya, mungkin juga untuk menyewa pengacara yang bisa membantu mereka melawan Pak Darmo. Tapi di saat yang sama, ia merasa ada sesuatu yang mati di dalam dirinya saat membayangkan kain itu pergi dari tangannya.
“Saya pikir dulu, Bu,” ucap Sari pelan. “Boleh saya kasih tahu besok?”
Anna tersenyum lagi. “Tentu. Saya tinggal di penginapan Pak Mulyo sampai lusa. Datang saja kalau kamu mau.”
Malam itu, Sari tidak bisa tidur. Ia duduk di ranjang kecilnya, memandangi kain batik yang terbentang di lantai. Cahaya lampu minyak yang temaram membuat motif-motif itu seolah hidup, berbisik tentang masa lalu yang penuh kehangatan. Tapi di luar kamar, ia mendengar suara ayahnya yang batuk-batuk keras—efek dari rokok dan stres yang tak kunjung reda. Ia tahu keputusan harus diambil, dan itu tidak akan mudah.
Keputusan yang Sulit
Keesokan harinya, Sari bangun dengan hati yang masih berat. Ia memutuskan untuk pergi ke penginapan Pak Mulyo, membawa kain batik itu dalam pelukannya seperti seorang ibu yang menggendong bayinya untuk terakhir kali. Langit cerah pagi itu, tapi bagi Sari, dunia terasa kelabu. Ia melangkah perlahan, melewati sawah-sawah yang mulai mengering dan anak-anak kecil yang berlarian sambil tertawa. Suara mereka terasa jauh, seperti gema dari kehidupan yang ia rindukan—kehidupan yang sederhana dan bebas dari beban.
Penginapan Pak Mulyo adalah sebuah bangunan sederhana dengan atap genteng merah dan teras kecil yang dipenuhi pot tanaman. Anna sudah menunggu di sana, duduk di kursi rotan sambil membaca buku. Saat melihat Sari, ia langsung berdiri dan tersenyum lebar.
“Jadi, kamu mau jual?” tanya Anna tanpa basa-basi.
Sari mengangguk pelan, lalu menyerahkan kain itu dengan tangan gemetar. “Iya, Bu. Lima juta, kan?”
Anna mengeluarkan dompetnya, menghitung lembaran uang seratus ribuan dengan cepat, lalu menyerahkannya kepada Sari. “Ini untukmu. Terima kasih ya, ini batik terindah yang pernah saya lihat.”
Sari menerima uang itu, tapi ia tidak bisa tersenyum. Ia merasa seperti telah menjual sebagian dari jiwanya. Ketika Anna berjalan masuk ke dalam penginapan dengan kain batik di tangannya, Sari hanya berdiri di sana, memandangi tangannya yang kini kosong. Uang di sakunya terasa berat, tapi tidak seberat rasa bersalah yang menyelimuti hatinya.
Sepulang dari penginapan, Sari menyerahkan uang itu kepada ibunya. Ibu Lina menatapnya dengan mata penuh pertanyaan, tapi ia tidak bertanya apa-apa. Ia hanya memeluk Sari erat-erat, dan dalam pelukan itu, Sari menangis. Ia menceritakan tentang batik yang ia jual, tentang Anna, dan tentang perasaannya yang bercampur aduk. Ibu Lina mengelus rambutnya lembut, berbisik, “Kamu anak baik, Sari. Nenekmu pasti ngerti.”
Uang itu digunakan untuk membayar utang-utang kecil keluarga dan menyewa seorang pengacara muda dari kota bernama Mas Andi. Mas Andi adalah pria bertubuh kurus dengan kacamata tebal, tapi ia penuh semangat. Ia menjanjikan untuk memeriksa dokumen-dokumen Pak Darmo dan mencari celah hukum yang bisa menyelamatkan tanah keluarga Sari. Sementara itu, kabar baik datang dari Bapak Warto. Setelah berbulan-bulan menunggu, dinas budaya akhirnya turun tangan. Mereka menyatakan bahwa Pohon Biru Langit dan tanah di sekitarnya adalah cagar budaya yang dilindungi. Pak Darmo tidak bisa lagi mengklaim tanah itu secara sepihak.
Kemenangan itu seharusnya membuat Sari bahagia, tapi ia tidak bisa sepenuhnya merayakannya. Setiap kali ia melihat lemari tua tempat batik-batik neneknya disimpan, ia merasa ada kekosongan yang tidak bisa dijelaskan. Ia telah menyelamatkan tanah keluarganya, tapi ia kehilangan sesuatu yang sama berharganya.
Di hari terakhir cerita ini, Sari duduk di bawah Pohon Biru Langit. Angin sepoi-sepoi menggoyang daun-daun biru yang unik, menciptakan suara gemerisik yang menenangkan. Di tangannya, ia memegang sehelai kain putih polos dan sebatang canting tua yang dulu dipakai neneknya. Ia menatap kain itu lama, lalu mulai menuangkan lilin panas ke permukaannya, menggambar motif bunga-bunga kecil seperti yang pernah ia lihat di batik yang ia jual.
“Maaf, Nek,” bisiknya pada angin. “Aku janji bakal buat lagi. Aku nggak bakal nyerah.”
Sari tersenyum kecil, meski air mata mengalir di pipinya. Ia tahu perjuangan keluarganya belum selesai, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada harapan. Pohon Biru Langit berdiri kokoh di belakangnya, seperti penjaga setia yang menyaksikan setiap langkahnya—dan ia berjanji untuk menjaga warisan itu, apa pun yang terjadi.
Sebagai penutup, cerpen “Daun yang Gugur: Kisah Pilu Remaja dan Warisan Batik” meninggalkan pesan kuat tentang ketahanan jiwa di tengah cobaan dan pentingnya melestarikan warisan budaya seperti batik. Perjalanan Sari mengajarkan kita bahwa meski daun-daun tradisi mungkin gugur, akarnya tetap bisa tumbuh kembali dengan cinta dan usaha. Artikel ini menginspirasi pembaca untuk turut menjaga kekayaan lokal Indonesia, menjadikannya lebih dari sekadar cerita, tetapi juga panggilan untuk bertindak. Terima kasih telah membaca, dan mari kita sambungkan kembali benang-benang warisan budaya kita bersama!


