Daftar Isi [hide]
Dari Ragu Jadi Percaya Diri
A Ticket to the Unknown
Langit sore itu berwarna jingga keemasan, menciptakan bayangan panjang di lantai rumah sederhana keluarga Carter. Aurelian duduk di depan meja kayu di kamarnya, surat penerimaan dari University of Edinburgh tergeletak di samping laptopnya. Sudah seminggu sejak pengumuman beasiswa itu tiba, tapi perasaan di dadanya masih campur aduk—antara senang, gugup, dan sedikit takut.
Di luar kamar, aroma teh jahe buatan ibunya menguar ke seluruh rumah. Tak lama kemudian, suara ketukan lembut terdengar di pintu.
“Kamu belum tidur?” suara ibunya terdengar hangat, penuh kelembutan yang selalu berhasil membuatnya merasa tenang.
Aurelian menoleh, tersenyum kecil. “Belum, Bu. Masih kepikiran soal keberangkatan.”
Sang ibu masuk ke dalam, membawa dua cangkir teh dan duduk di samping putranya. “Kamu harusnya senang. Ini impianmu sejak kecil, kan?”
“Iya, sih…” Aurelian menghela napas pelan. “Tapi aku mulai mikir, aku bisa nggak ya bertahan di sana? Aku nggak kenal siapa pun, sistem pendidikannya beda, bahasanya juga… mungkin aku akan kelihatan bodoh di antara mereka.”
Ibunya tersenyum, mengaduk teh dalam cangkirnya sebelum menjawab. “Dulu waktu pertama kali aku jadi guru, aku juga takut. Takut kalau aku nggak cukup pintar, takut kalau aku salah ngajarin murid-muridku. Tapi aku sadar, orang belajar bukan cuma dari buku. Kamu akan belajar dari pengalaman, dari orang-orang di sekitarmu.”
Aurelian terdiam. Kata-kata ibunya menghangatkan hatinya, tapi rasa gelisah masih menyelimuti pikirannya.
“Kalau aku gagal gimana?” tanyanya pelan.
Sang ibu tertawa kecil. “Kalau kamu gagal, kamu belajar. Kalau kamu berhasil, kamu berkembang. Jadi apa yang perlu ditakuti?”
Aurelian menghela napas panjang. Kata-kata itu terdengar sederhana, tapi maknanya begitu dalam.
Dari ruang tamu, suara ayahnya terdengar memanggil. “Aurel, sudah siap koper kamu?”
Aurelian melirik ke sudut kamarnya. Koper besar berwarna hitam itu masih setengah terbuka, pakaian dan buku-buku berserakan di sekitarnya. “Belum, Yah. Masih bingung mau bawa apa aja.”
Ayahnya masuk, menyilangkan tangan sambil menggeleng. “Anak pintar kok masih ragu-ragu begitu. Bawa yang penting-penting aja. Pakaian secukupnya, buku-buku yang kamu butuhkan, dan…” Ayahnya berhenti sejenak, lalu tersenyum penuh arti. “Keberanian.”
Aurelian tertawa kecil. “Keberanian? Kalau bisa dikemas dalam koper, pasti aku udah bawa banyak.”
Sang ayah menepuk bahunya. “Keberanian itu nggak perlu dikemas, Nak. Cukup tanamkan dalam hati.”
Malam itu, setelah koper akhirnya tertutup rapat dan paspor serta tiket penerbangan ke Skotlandia tersimpan aman di tasnya, Aurelian duduk di balkon rumah. Ia menatap langit yang penuh bintang, membayangkan hidup barunya yang akan segera dimulai.
Besok pagi, ia akan meninggalkan rumah ini. Meninggalkan kehangatan keluarganya, jalanan kecil tempat ia biasa bersepeda saat kecil, serta suara-suara akrab yang selalu menemani harinya.
Tapi di ujung jalan ini, ada petualangan baru yang menantinya.
Dan meskipun masih ada rasa takut, ia tahu satu hal—ia akan melangkah maju.
Lost in a New World
Aurelian menghela napas panjang saat melangkah keluar dari Bandara Edinburgh. Udara dingin langsung menyapa kulitnya, menusuk meski ia sudah mengenakan jaket tebal. Ini berbeda jauh dari hangatnya kota kecil tempat ia dibesarkan. Seketika, ia merasa seperti bagian dari dunia yang sama sekali asing.
Ia menarik koper besarnya dan berjalan menuju halte bus, mengikuti petunjuk di email yang dikirim oleh universitas. Semua tulisan dalam bahasa Inggris, tentu saja, tapi membaca dan memahami sesuatu dalam suasana baru seperti ini terasa lebih sulit dari yang ia bayangkan. Orang-orang di sekelilingnya bergerak cepat, sibuk dengan urusan masing-masing. Tak ada yang peduli apakah ia kebingungan atau tidak.
Bus berwarna merah khas Edinburgh datang, dan Aurelian naik dengan sedikit ragu. Setelah meletakkan kopernya, ia duduk di dekat jendela, memperhatikan jalanan berbatu, bangunan tua berarsitektur klasik, serta orang-orang yang lalu lalang dengan mantel tebal dan secangkir kopi di tangan.
“Aku beneran di sini,” gumamnya pelan, masih belum percaya.
Perjalanan menuju asramanya terasa panjang, dan semakin lama, kegugupannya semakin bertambah. Bagaimana kalau ia tidak bisa beradaptasi? Bagaimana kalau teman-temannya sulit diajak berbicara? Bagaimana kalau sistem belajarnya terlalu sulit?
Namun, tak ada waktu untuk berlama-lama dengan pikirannya sendiri. Sesampainya di depan gedung asrama, ia menarik napas dalam dan melangkah masuk.
Kamarnya kecil tapi nyaman, dengan ranjang kayu di sudut, meja belajar, dan rak buku yang masih kosong. Ia baru saja hendak mengatur barang-barangnya ketika pintu tiba-tiba terbuka, dan seorang pemuda tinggi berambut ikal masuk dengan wajah penuh senyum.
“Heeey, you must be my new roommate!” Suaranya terdengar ceria dan penuh semangat.
Aurelian sempat terdiam sebelum akhirnya menjawab, “Uh, yeah… I’m Aurelian.”
“I’m Finn! Nice to meet you, mate,” kata pemuda itu, lalu tanpa ragu menjabat tangan Aurelian dengan erat.
Finn langsung mengeluarkan barang-barangnya tanpa canggung, melemparkan beberapa pakaian ke tempat tidur dan mulai bercerita tentang asalnya. Ia dari Australia, jurusan Filsafat, dan sudah berada di Edinburgh selama seminggu.
“Kamu dari mana?” tanya Finn sambil menata rak bukunya.
“Indonesia,” jawab Aurelian singkat.
Mata Finn berbinar. “Oh, keren! Aku belum pernah ke sana. Cuacanya pasti jauh lebih hangat dari ini, ya?”
Aurelian tertawa kecil. “Jauh banget. Aku masih harus membiasakan diri sama dinginnya di sini.”
Finn tertawa. “Kamu bakal terbiasa. Trust me.”
Percakapan mereka mengalir lebih mudah dari yang Aurelian kira. Setidaknya, ia tidak sendiri. Ada seseorang di asrama ini yang bisa diajak berbicara, meskipun aksen Inggris Finn sedikit sulit dimengerti.
Hari pertama kuliah tiba lebih cepat dari yang Aurelian harapkan. Dengan tas berisi buku catatan dan laptop, ia melangkah ke dalam ruang kelas besar yang dipenuhi mahasiswa dari berbagai negara.
Ia memilih duduk agak di belakang, mengamati sekeliling. Sebagian besar mahasiswa tampak percaya diri, berbicara dengan teman-teman baru mereka tanpa ragu. Sementara itu, ia hanya duduk diam, mendengarkan percakapan tanpa tahu harus bergabung atau tidak.
Tak lama kemudian, seorang profesor tua dengan rambut putih melangkah masuk. Suasana langsung menjadi hening.
“Good morning, class,” katanya dengan suara tegas. “Welcome to Introduction to Philosophy. This course will challenge you, frustrate you, and—hopefully—change the way you think.”
Aurelian meneguk ludah. Kata-kata itu terdengar seperti tantangan.
Setelah beberapa menit kuliah berlangsung, profesor mulai melemparkan pertanyaan ke kelas. Seorang mahasiswa dari Jerman langsung mengangkat tangan dan menjawab dengan lancar. Lalu seorang gadis dari Prancis ikut menambahkan pendapatnya. Diskusi mulai mengalir cepat, dengan banyak mahasiswa lain ikut berdebat dan memberikan argumen mereka.
Aurelian hanya duduk diam.
Otaknya sebenarnya penuh dengan pendapat, tapi mulutnya terasa terkunci. Kata-kata dalam bahasa Inggris yang selama ini ia kuasai di atas kertas tiba-tiba terasa sulit untuk diucapkan. Ia takut salah, takut terdengar aneh, takut dipandang bodoh.
“Anyone else?” tanya profesor, matanya menyapu seluruh kelas.
Jantung Aurelian berdegup kencang. Ia ingin bicara, tapi lidahnya terasa berat. Dan sebelum ia sempat mengumpulkan keberanian, profesor sudah beralih ke topik lain.
Saat kelas berakhir, Aurelian keluar dengan perasaan campur aduk. Ia tahu ia harus berbicara kalau ingin berkembang. Tapi bagaimana caranya mengalahkan rasa takut itu?
Tanpa sadar, langkahnya melambat di depan perpustakaan universitas yang megah. Sebuah tempat yang penuh dengan ilmu, dan mungkin juga, sebuah jawaban bagi ketakutannya.
Ia menarik napas panjang. Jika ia ingin bertahan di dunia ini, ia harus mulai dari suatu tempat. Dan mungkin, tempat itu ada di dalam perpustakaan ini.
Finding His Voice
Aurelian berdiri di depan pintu perpustakaan utama Universitas Edinburgh. Bangunan itu menjulang megah dengan pilar-pilar kokoh dan jendela kaca besar yang memantulkan langit kelabu. Di dalam, ratusan mahasiswa sibuk membaca, mencatat, dan mengetik di laptop mereka. Suasana hening, hanya diisi suara halus lembaran kertas yang dibalik dan bunyi ketikan cepat di keyboard.
Ia melangkah masuk, matanya menyapu rak-rak buku yang berjajar tinggi. Semua ini terasa seperti dunia lain—begitu luas, begitu penuh ilmu, tapi juga begitu asing.
Saat tengah mencari buku di salah satu rak, tiba-tiba ia mendengar suara dari belakang.
“Kamu mahasiswa baru, ya?”
Aurelian menoleh. Seorang gadis berambut merah pendek berdiri di sana, membawa beberapa buku tebal di tangannya. Matanya tajam dan ekspresinya penuh percaya diri.
“Eh… iya,” jawabnya sedikit ragu.
Gadis itu tersenyum tipis. “Aku Elowen. Kamu terlihat… agak tersesat.”
Aurelian terkekeh pelan. “Mungkin sedikit.”
Elowen mengangkat sebelah alisnya. “Biar kutebak. Kamu punya banyak hal di kepala, tapi nggak bisa ngomong di kelas?”
Aurelian terdiam. Bagaimana gadis ini bisa langsung tahu?
Melihat reaksinya, Elowen hanya mengangguk santai. “Aku pernah ada di posisi kamu. Dulu aku juga takut bicara di kelas. Takut dikritik, takut salah, takut terdengar bodoh. Tapi akhirnya aku sadar, nggak ada gunanya takut.”
Aurelian menghela napas. “Mudah buat kamu bilang begitu. Kamu kelihatan percaya diri.”
Elowen tertawa kecil. “Percaya diri itu nggak datang sendiri. Kamu harus melatihnya. Mau coba cara cepat?”
Aurelian mengernyit. “Cara cepat?”
Tanpa menunggu jawaban, Elowen meraih salah satu buku dari tangannya, membukanya, dan menunjuk sebuah kalimat. “Baca ini. Keras-keras.”
Aurelian menatapnya, bingung. “Sekarang?”
“Ya, sekarang.”
Merasa tak punya pilihan, Aurelian berdeham pelan lalu mulai membaca. Awalnya suaranya kecil, nyaris berbisik, tapi Elowen menatapnya tajam.
“Keras. Jangan takut didengar orang.”
Aurelian menelan ludah dan mengulanginya, kali ini lebih lantang. Beberapa orang di sekitar mereka melirik, tapi Elowen tersenyum puas.
“Bagus. Lihat? Dunia nggak runtuh cuma karena kamu bicara.”
Aurelian tertawa kecil, merasa agak bodoh tapi juga sedikit lebih ringan.
“Besok di kelas, angkat tangan,” kata Elowen santai sambil meraih bukunya kembali.
Aurelian memutar bola mata. “Kamu nggak akan berhenti sampai aku melakukannya, kan?”
“Betul sekali.” Elowen tersenyum lebar sebelum berjalan pergi.
Aurelian menghela napas panjang. Ia masih belum yakin bisa melakukannya, tapi mungkin… hanya mungkin, besok akan berbeda.
Keesokan harinya, kelas Filsafat kembali berjalan dengan diskusi yang intens. Aurelian duduk di kursinya, mencoba mendengarkan, tapi pikirannya terus bertarung dengan dirinya sendiri. Haruskah ia mencoba? Bagaimana kalau ia terdengar konyol?
Lalu, Profesor Lennox kembali melemparkan pertanyaan ke kelas. Hening sejenak, sebelum seorang mahasiswa dari Kanada mulai berbicara. Aurelian mendengar argumen itu, dan di dalam kepalanya, ia memiliki sudut pandang yang berbeda.
Jantungnya berdegup kencang. Tangannya sedikit gemetar. Tapi sebelum ia bisa berubah pikiran, tangannya terangkat.
Profesor Lennox menoleh ke arahnya. “Yes, you?”
Seketika, semua mata tertuju padanya.
Aurelian menelan ludah. Lalu, ia berbicara.
Kata-katanya sedikit tersendat di awal, tapi ia terus melanjutkan. Dan semakin lama ia berbicara, semakin lancar ia mengutarakan pikirannya. Ia bahkan bisa melihat Profesor Lennox mengangguk pelan, memperhatikan dengan saksama.
Saat ia selesai, suasana hening beberapa detik sebelum profesor akhirnya berkata, “That… is an interesting perspective. Well argued.”
Aurelian terdiam. Ia melakukannya. Ia benar-benar berbicara di kelas.
Saat keluar dari ruangan, ia merasa lebih ringan. Rasanya seperti melepas beban yang selama ini menghantuinya.
Di luar, Elowen sudah menunggu di lorong dengan tangan bersedekap.
“Akhirnya,” katanya dengan senyum puas. “Lihat? Kamu nggak mati.”
Aurelian terkekeh. “Iya. Rasanya… aneh, tapi juga menyenangkan.”
Elowen menepuk pundaknya. “Nikmati prosesnya. Karena ini baru permulaan.”
Aurelian menatap langit yang kelabu, tapi kali ini ia tak merasa asing. Untuk pertama kalinya sejak tiba di Edinburgh, ia merasa seperti benar-benar ada di sini. Seperti ia adalah bagian dari tempat ini.
Dan mungkin, hanya mungkin, ia akan baik-baik saja.
Beyond the Classroom
Musim semi akhirnya tiba di Edinburgh. Pepohonan yang sebelumnya gundul kini mulai dipenuhi daun hijau segar. Bunga-bunga kecil bermekaran di taman kampus, dan udara dingin mulai menghangat. Di sudut halaman universitas, Aurelian duduk di bangku kayu bersama Finn dan Elowen, menikmati matahari sore yang jarang muncul di kota ini.
“Jadi, kamu akhirnya bisa bicara di kelas tanpa hampir pingsan?” canda Finn sambil menyesap kopinya.
Aurelian terkekeh. “Aku sudah jauh lebih baik, oke? Aku bahkan mulai menikmati diskusinya.”
Elowen mengangguk setuju. “Dia bukan cuma bicara. Minggu lalu, dia berdebat dengan profesor sampai hampir setengah kelas ikut dalam argumennya.”
Finn mengangkat alis, terlihat terkesan. “Wow. Anak baru kita sudah jadi filsuf, nih.”
Aurelian tersenyum. Beberapa bulan lalu, ia bahkan takut mengangkat tangan. Sekarang, ia bisa berpartisipasi tanpa ragu. Semua ini terasa seperti kemenangan kecil, tapi baginya, sangat besar.
Namun, bukan hanya di kelas ia mengalami perubahan.
Suatu malam, Aurelian duduk di meja belajarnya, menatap layar laptop yang menampilkan email dari seorang dosen.
“Aurelian, saya terkesan dengan pemikiranmu dalam diskusi kelas. Jika kamu tertarik, ada kesempatan untuk bergabung dalam proyek penelitian filsafat sosial yang sedang saya kerjakan. Saya yakin kamu bisa memberikan kontribusi yang berarti.”
Aurelian membaca ulang email itu beberapa kali, memastikan bahwa ia tidak salah lihat. Ia? Bergabung dalam proyek penelitian?
Tiba-tiba, pintu kamarnya terbuka. Finn masuk dengan wajah penasaran. “Kenapa ekspresi kamu kayak baru menang lotre?”
Aurelian menunjuk layar laptopnya tanpa berkata-kata. Finn mendekat dan membaca. Setelah beberapa detik, ia menepuk bahu Aurelian dengan keras. “Mate, ini luar biasa! Kamu harus ambil kesempatan ini!”
Aurelian masih merasa sulit percaya. “Tapi… aku cuma mahasiswa tahun pertama.”
Finn tertawa. “Dan? Itu justru lebih keren. Dosen percaya sama kemampuanmu. Kenapa ragu?”
Aurelian menghela napas. Ia masih ingat bagaimana dulu ia merasa kecil di antara mahasiswa lain. Tapi sekarang? Ia mulai menemukan tempatnya.
Ia mengetik balasan email dengan tangan yang sedikit gemetar, lalu menekan “Send.”
Keputusan telah dibuat.
Bulan demi bulan berlalu. Aurelian semakin sibuk dengan kuliah, diskusi, dan penelitian. Ia menghadiri seminar, menulis makalah yang dipuji dosen, dan bahkan mulai mengajar beberapa mahasiswa baru yang kesulitan dengan materi.
Suatu hari, setelah kelas selesai, Profesor Lennox menghampirinya.
“Aurelian,” katanya, “Saya melihat perkembanganmu yang luar biasa sejak awal semester. Saya ingin merekomendasikanmu untuk program pertukaran mahasiswa ke Oxford tahun depan.”
Jantung Aurelian berdegup kencang. Oxford?
“Kenapa saya?” tanyanya, masih tak percaya.
Profesor Lennox tersenyum. “Karena kamu bukan lagi mahasiswa yang hanya duduk diam di kelas. Kamu punya pemikiran yang tajam dan keberanian untuk mengutarakannya. Itu kualitas yang langka.”
Aurelian terdiam sejenak, lalu tersenyum.
Dulu, ia takut bahkan untuk berbicara. Sekarang, ia berdiri di ambang kesempatan yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan.
Saat ia berjalan keluar kelas, langit Edinburgh terlihat lebih cerah dari biasanya.
Perjalanannya belum berakhir—ini baru permulaan.