Dari Permusuhan Menuju Cinta: Kisah Romansa Kaya dan Miskin

Posted on

Eh, pernah nggak sih kamu ngerasa benci sama orang yang ternyata bikin hati kamu berdebar-debar? Nah, itu yang terjadi sama Leira dan Kenan. Mereka awalnya musuh bebuyutan di kantor, tapi siapa sangka, semua pertikaian itu malah bikin cinta mereka tumbuh subur!

Dari cemoohan dan adu argumen, sampai akhirnya jadi pasangan yang saling melengkapi—ini adalah cerita tentang cinta yang nggak terduga antara dua dunia yang berbeda: kaya dan miskin. Yuk, ikuti perjalanan konyol dan manis mereka!

 

Kisah Romansa Kaya dan Miskin

Di Balik Cemoohan yang Terselubung

Sore itu, seperti biasa, aku menyusuri jalan menuju toko kecil di ujung blok kota. Aku hanya mampir untuk… ya, mungkin hanya sekadar iseng. Ada hal aneh yang selalu menarikku ke tempat itu. Sebenarnya, tak ada yang terlalu spesial di sana—cuma sebuah toko kelontong yang hampir roboh, dengan cat dinding yang mengelupas, dan tulisan nama toko yang sudah hampir hilang warnanya. Tapi di dalamnya, ada seorang gadis yang selalu tampak sibuk merapikan barang atau mengusir lalat yang tak pernah kapok.

Namanya Leira. Gadis menyebalkan itu selalu saja tampil dengan wajah masam. Wajahnya tertekuk setiap kali aku muncul di depan toko, dan itu semacam hiburan tersendiri buatku. Entah kenapa aku merasa tertarik, atau mungkin terhibur, melihatnya mengeluh karena kehadiranku. Dia sepertinya berpikir aku hanya main-main. Memang, mungkin agak berlebihan kalau setiap kali aku lewat, aku menyempatkan diri untuk berhenti dan mengejek keadaan tokonya yang serba pas-pasan itu. Tapi ya… itu satu-satunya cara untuk bisa lihat reaksinya.

Sore itu, aku masuk ke toko tanpa banyak basa-basi. Leira sudah mengerutkan kening bahkan sebelum aku melangkah masuk.

“Kamu lagi?” ujarnya ketus.

Aku hanya tersenyum. “Kenapa? Gak suka aku ke sini?”

“Bukan cuma gak suka, tapi aku beneran heran kenapa orang kaya sombong kayak kamu bisa tertarik sama tempat kumuh kayak gini.”

Aku menatapnya. Lihatlah betapa cepatnya dia melabeliku ‘sombong’. Aku hanya tertawa kecil sambil merogoh saku, berpura-pura mencari sesuatu. “Siapa bilang aku ke sini karena tertarik sama tempatnya?”

Tatapannya tajam. Dia menyilangkan tangan, menantangku untuk melanjutkan. “Mau ngomong apalagi, Kenan? Bilang aja, aku nggak bisa mengira-ngira.”

Aku menahan tawa dan mengangkat bahu. “Ngira-ngira, ya? Coba aja tebak, kira-kira kenapa aku ke sini.”

Leira menghela napas. “Kamu cuma suka ngelihat aku kesal, itu aja. Dan aku nggak paham apa yang salah sama otak kamu.”

Aku tertawa, mencoba menahan diri untuk nggak menyinggung lebih dalam. “Otakku sehat-sehat aja, Leira. Tapi mungkin kamu lupa kalau sesekali aku juga perlu hiburan.”

Matanya melotot dengan kesal, tapi kali ini ada sedikit tawa yang mengintip di sudut bibirnya. “Kamu tahu nggak, ada hal-hal lebih seru daripada bikin orang kesal?”

“Oh, iya? Seperti apa?”

Dia mendesah dan mulai merapikan beberapa bungkus roti di rak dengan asal-asalan. “Kamu itu aneh. Orang normal nggak bakalan sengaja cari masalah buat nonton orang marah-marah.”

Aku mengedarkan pandangan, melihat sekitar, lalu menjawab tanpa beban, “Mungkin aku cuma suka lihat kamu ngomel-ngomel, Leira. Ada sesuatu di balik raut wajah kesal kamu yang bikin tempat ini… ya, setidaknya nggak terlalu membosankan.”

Dia berhenti sejenak, jelas nggak menyangka jawaban itu, lalu menatapku dengan tatapan heran. “Aku nggak tahu kenapa kamu terus-terusan ke sini, tapi kalau kamu mau cari hiburan, kayaknya toko kecil kumuh ini bukan tempat yang cocok buat orang kayak kamu.”

Aku mendekat, bersandar pada meja kasir yang berderit saat aku menyandarkan tubuh. “Justru karena nggak cocok, aku merasa tertarik. Kamu… ya, kamu beda.”

Dia menatapku dengan sorot mata tak percaya. “Oh, jadi kamu tertarik? Kamu pikir aku bakal percaya gombalan ala kamu?”

Aku tersenyum tipis, memandangnya tanpa melepaskan. “Percaya atau nggak, terserah kamu. Tapi apa salahnya, kan?”

Leira menggeleng pelan, lalu kembali merapikan barang di raknya, mengabaikan kehadiranku. Tapi aku tahu dia nggak benar-benar mengabaikan. Ada jeda di setiap gerakannya, dan sesekali dia melirik ke arahku dengan cepat, seakan takut aku menangkap basah.

Aku menikmati momen itu. Toko yang sepi, suasana sore yang perlahan temaram, dan gadis keras kepala yang selalu menatapku penuh kekesalan. Ada sesuatu yang membuatku terus kembali, meskipun aku juga nggak paham apa tepatnya.

“Hei, Leira,” panggilku sambil memasukkan kedua tangan ke saku, menahan diri untuk nggak melempar komentar iseng lagi. “Seriusan, kenapa kamu nggak coba kerja di tempat lain? Di tempatku, mungkin.”

Dia menoleh dengan tatapan merendahkan. “Serius? Aku disuruh kerja buat orang kaya sombong kayak kamu? Nggak, terima kasih.”

“Aku serius. Gajinya bagus.”

Dia mendengus. “Apa nggak ada orang lain yang bisa kamu tawarin? Kamu kira aku segitu putus asanya, ya, sampai perlu kerja buat kamu?”

Aku tersenyum lagi, mengangkat tangan seolah menyerah. “Nggak ada paksaan, kok. Cuma ngasih pilihan. Siapa tahu kamu bosan di sini.”

Leira kembali berbalik, kali ini lebih tenang, lalu menjawab sambil menatap lurus padaku, “Aku mungkin nggak kaya, Kenan, tapi aku punya harga diri. Aku nggak perlu dikasihani sama orang kaya.”

“Aku nggak ngasihani kamu. Aku cuma… penasaran.”

Dia tertawa kecil, nada sinis tak bisa ia sembunyikan. “Penasaran apanya?”

“Ya, sama kamu. Sama sikap keras kepala kamu.”

Aku bisa lihat kalau dia nggak habis pikir dengan jawaban itu, tapi untuk pertama kalinya, dia terlihat tersenyum, walau setengah mengejek. “Kamu nyaris bisa bikin aku percaya, Kenan.”

Aku angkat bahu, tersenyum santai. “Aku nggak peduli kamu percaya atau nggak, Leira. Tapi kalau kamu butuh tempat kerja yang lebih baik, kamu tahu di mana cari aku.”

Leira terdiam sejenak, menatapku lekat-lekat. “Kenapa kamu selalu bikin segalanya terasa rumit, ya?”

“Karena hidup nggak sesederhana apa yang kamu kira, Leira,” jawabku, menatapnya kembali. “Dan mungkin suatu hari kamu juga bakalan paham itu.”

Aku nggak tahu kenapa, tapi ada sesuatu di balik sikap keras kepala gadis ini yang menarik. Mungkin dia nggak sempurna, dan mungkin toko kecilnya nggak akan pernah bisa disandingkan dengan gedung-gedung megah di tengah kota, tapi Leira punya sesuatu yang nggak dimiliki orang lain.

Dan mungkin, itu sebabnya aku selalu kembali ke sini.

 

Kilau Gemerlap dan Asa yang Terkubur

Aku nggak pernah menyangka kalau Leira beneran bakal datang. Tadi malam, aku hampir lupa soal tawaran kerja yang kubuat hanya untuk iseng, tapi nyatanya sore ini, di bawah gedung kantor yang menjulang tinggi, dia muncul.

Dengan rambut yang diikat rapi dan tas lusuh di bahunya, Leira tampak mencolok di tengah orang-orang yang berpakaian formal. Aku berdiri di dekat pintu kaca, memerhatikannya dari jauh. Dia sibuk menyesuaikan letak tasnya sambil melihat ke sekeliling, ragu-ragu melangkah.

Aku memutuskan untuk mendekatinya, menahan senyum melihat ekspresi bingung di wajahnya. “Leira?”

Dia menoleh, sedikit terkejut, tapi dengan cepat memasang tampang biasa yang seolah-olah dia nggak peduli. “Jadi… ini kantormu?”

Aku mengangguk. “Kenapa? Terlalu mewah buat kamu?”

Dia mendengus, lalu matanya melirik pintu masuk yang dijaga petugas keamanan. “Nggak terlalu. Cuma kelihatan… berlebihan aja buat seseorang yang suka main-main kayak kamu.”

Aku tertawa. “Justru karena itu aku perlu kerja keras. Supaya aku bisa main-main di tempat yang layak, ya kan?”

Dia hanya menggeleng, mungkin sudah muak dengan jawabanku. Lalu, sebelum aku bisa bilang apa-apa lagi, dia langsung melangkah masuk, mendahuluiku. Sifatnya yang ceplas-ceplos dan percaya diri membuatku kagum, sekaligus sedikit khawatir. Aku berjalan di sampingnya, sesekali mengawasinya dengan geli. Aku tahu dia nggak terbiasa dengan tempat seperti ini, tapi caranya menutupi kegugupan sangat menghibur.

Sesampainya di lantai atas, aku mempersilakan dia duduk di ruanganku yang berlapis kaca besar dengan pemandangan kota. Dia kelihatan agak canggung, tetapi tetap mempertahankan ekspresi cuek.

“Jadi, apa yang sebenarnya kamu mau, Kenan?” tanyanya sambil menggeser kertas di mejaku, jelas sekali berusaha mengalihkan rasa gugupnya.

Aku menyandarkan punggung ke kursi, tersenyum santai. “Aku cuma ingin lihat kamu punya kesempatan lebih dari sekadar jaga toko kecil. Siapa tahu di sini, kamu bisa… berkembang.”

“Berkembang?” Leira menatapku, jelas nggak percaya dengan alasanku. “Kamu tahu, dari semua omongan yang keluar dari mulut kamu, ini yang paling susah aku percaya.”

Aku mengangkat alis, terhibur. “Kenapa?”

“Karena kamu kaya raya, Kenan. Dunia kamu dan dunia aku itu beda jauh. Kamu nggak mungkin paham kesulitan yang aku hadapi setiap hari.”

“Kamu nggak percaya kalau orang kaya bisa peduli sama orang lain?” Aku memiringkan kepala, mencoba memahami pikirannya.

Dia terdiam sejenak, memandang keluar jendela yang menghadap ke gedung-gedung tinggi. “Bukan gitu. Aku cuma nggak pernah lihat orang kaya yang beneran peduli tanpa ada niat tertentu. Semua selalu ada harganya, Kenan.”

Aku tersenyum lagi, meskipun kali ini tanpa lelucon. “Kamu ini sulit dibujuk, ya? Aku cuma kasih tawaran, Leira. Kerja di sini, belajar hal baru. Kamu nggak bakal tahu kalau nggak pernah nyoba.”

Dia menghela napas, seakan semua ini menguras tenaganya. “Kamu nggak ngerti, Kenan. Kalau aku kerja di sini, aku bakalan jadi bahan omongan di toko dan di rumah. Mereka pasti bilang aku ngerubah prinsip cuma karena uang.”

Aku bisa lihat kekhawatiran di wajahnya, dan entah kenapa, aku malah ingin meyakinkannya lebih lagi. “Mereka mungkin berpikir kayak gitu di awal, tapi lama-lama, yang bakal dilihat adalah hasilnya. Kamu yang buktiin sendiri, Leira.”

Leira terdiam lagi, lalu tiba-tiba mengangkat dagunya, seolah dapat ide cemerlang. “Baik, kalau begitu aku setuju kerja di sini… kamu nggak bakal ganggu aku lagi?”

Aku terkejut mendengar permintaannya, tapi akhirnya aku mengangguk. “Oke, aku setuju.”

Dia tersenyum kecil, terlihat puas dengan kesepakatan yang baru saja kami buat. Tapi aku bisa melihat, dalam senyum itu ada sedikit keraguan yang nggak bisa dia sembunyikan.

Hari pertama Leira bekerja di kantorku bisa dibilang cukup… menarik. Dia dipekerjakan di bagian arsip, sebuah pekerjaan yang menurutku nggak akan terlalu menyulitkan, tapi tetap menantang untuk pemula. Sejak pagi, aku melihatnya bolak-balik dari ruang arsip ke ruangan staf, dengan kertas-kertas dan map di tangannya. Kadang-kadang dia kelihatan bingung, tapi dia nggak pernah minta bantuan.

Di penghujung hari, aku menemukannya sedang duduk sendirian di kafetaria, menatap kopi yang tinggal separuh. Aku mendekat, mencoba menjaga agar suaraku nggak terdengar terlalu antusias. “Hari pertama gimana?”

Dia menoleh, menatapku datar. “Cukup melelahkan. Aku nggak nyangka kerja kantoran bisa seberat ini.”

Aku duduk di depannya, menahan senyum. “Sesuai ekspektasi?”

Dia menggeleng, lalu tertawa kecil. “Nggak sesuai ekspektasi sama sekali. Aku pikir cuma ngurusin kertas bakal gampang, tapi nyatanya malah bikin aku pusing.”

“Kamu mau nyerah?” tanyaku, menantang.

Matanya menyipit sedikit, seolah-olah aku sudah menghina harga dirinya. “Nyerah? Tentu aja nggak. Aku nggak kayak kamu yang bisa berhenti kapan aja. Aku punya tujuan, Kenan.”

Aku mencoba menahan tawa, tapi senyumku tetap nggak bisa disembunyikan. “Tujuan apa?”

“Untuk nggak berakhir kayak kamu,” jawabnya sambil tersenyum sinis. “Aku nggak mau jadi orang yang nggak punya empati dan cuma peduli sama uang.”

Aku tertegun, tapi bukan karena tersinggung. Justru, aku semakin tertarik dengannya. Dalam dunia di mana semua orang cenderung memuji dan menjilat, dia satu-satunya orang yang berani bicara terus terang di depanku.

“Kalau gitu, buktikan kalau kamu bisa lebih baik,” kataku sambil berdiri. “Jangan cuma bicara. Tunjukin hasilnya.”

Dia menatapku sejenak, lalu mengangguk, kali ini tanpa tersenyum. “Baiklah, kita lihat siapa yang lebih keras kepala.”

Aku meninggalkannya di sana, tapi dalam hati, aku merasa puas. Leira memang keras kepala, dan mungkin itu salah satu alasan kenapa aku nggak pernah bosan mengganggunya.

 

Pertarungan dalam Sepotong Waktu

Minggu-minggu berlalu dengan cepat, dan Leira mulai menyesuaikan diri di kantor. Namun, aku tetap merasa dia masih menyimpan pertentangan dalam dirinya. Setiap kali aku melihatnya, dia seperti berusaha menunjukkan bahwa dia kuat dan mandiri, padahal di balik itu, dia tetap sosok yang rentan dan canggung. Dalam sebulan, kami banyak menghabiskan waktu bersama, berdebat tentang berbagai hal, dan saling mengecoh satu sama lain. Tak bisa dipungkiri, kehadirannya membawaku pada rutinitas yang baru.

Suatu sore, saat jam kantor hampir berakhir, aku melihat Leira sedang mengacak-acak tumpukan kertas di meja kerjanya. Wajahnya terlihat frustrasi, dan aku mendekat dengan langkah pelan. “Hey, ada apa? Kertasnya malah semakin berantakan.”

Dia mendongak, tatapan matanya tajam. “Ini semua harus selesai hari ini, Kenan! Apa kamu mau bantu atau cuma mau mengawasi?”

Aku mengangkat bahu, berusaha tampak santai. “Gimana kalau aku jadi pengawas yang baik dan bilang kamu harus kerja lebih cepat?”

Dia mendengus, “Mau tahu yang aku pikir? Kamu itu cuma enak duduk sambil minum kopi. Enak banget jadi orang kaya yang nggak ada urusannya!”

Aku tersenyum, berusaha menahan tawa. “Kalau mau tahu, kerjaan ini kadang lebih menyebalkan daripada berurusan sama laporan finansial. Yang pasti, kamu bisa lebih baik dari ini.”

Dia menggigit bibir, tampak berjuang untuk tidak tersulut emosi. “Aku nggak butuh nasihat dari orang kaya sepertimu. Ini semua tergantung usaha aku.”

“Kalau begitu, kenapa kamu nggak tunjukkan seberapa kuat usahamu?” tantangku. “Nggak ada yang menghalangi kamu, kan?”

Leira mengerucutkan bibir, jelas sudah terlalu geram. “Kamu itu selalu merasa lebih baik dari orang lain. Kenapa sih kamu nggak bisa sedikit lebih rendah hati?”

“Kalau kamu menganggap aku sombong, itu pilihan kamu. Tapi aku hanya berbicara dengan jujur,” jawabku, sedikit tersinggung. “Aku nggak pernah bilang aku lebih baik, Leira. Justru aku percaya kamu bisa melakukannya.”

Suaraku meninggi, dan kami berdua terdiam sesaat, saling menatap dengan ketegangan yang terasa hampir menyengat. Di antara kami, ada semacam pengakuan tanpa kata-kata. Akhirnya, Leira mengalihkan pandangannya, tampak bingung.

“Bisa jadi kamu benar,” katanya pelan. “Tapi di dalam hatiku, aku cuma merasa berjuang sendirian.”

Aku merasa ada kepedihan dalam suaranya. “Tapi kamu nggak sendirian, Leira. Aku di sini. Kita bisa kerjasama.”

Dia menggeleng, tampak tidak percaya. “Kerjasama? Kamu dan aku? Itu aneh.”

“Kenapa? Kita kan sudah terjebak dalam situasi yang sama,” ujarku, melangkah mendekat. “Kita bisa saling mendukung.”

Dia menatapku sejenak, lalu membuang pandangannya ke luar jendela, seolah mencari sesuatu. “Kamu tahu, Kenan, kadang aku merasa kamu itu kayak gumpalan awan gelap yang datang tiba-tiba. Tidak ada yang salah, tapi menyebalkan.”

Aku tersenyum. “Mungkin itu yang bikin kita menarik satu sama lain. Kita saling mengganggu dan membuat satu sama lain tumbuh.”

Dia menghela napas panjang. “Aku masih benci kamu.”

“Tapi kamu juga butuh aku,” kataku, memelintir kata-kata. “Dan itu yang bikin semuanya lebih menarik.”

Hari-hari kami di kantor semakin diwarnai dengan pertengkaran, lelucon, dan percakapan yang lebih dalam. Leira mulai lebih terbuka dan berani, dan aku berusaha untuk tidak mengganggunya seperti sebelumnya. Namun, satu sore, saat aku sedang bersantai di ruang tunggu, aku mendengar suara jeritan Leira dari ruangan arsip.

Aku bergegas menuju sumber suara, dan menemukan Leira berdiri di depan meja, wajahnya pucat, sementara tumpukan kertas berantakan di lantai. “Kenapa, Leira?” tanyaku, cemas.

“Gak… gak apa-apa,” jawabnya tergagap, berusaha terlihat tenang. “Cuma salah satu klien yang marah. Dia kehilangan dokumen penting.”

Aku menatapnya, bisa merasakan gelombang stres yang membanjiri dirinya. “Kamu harus menghubungi manajer. Jangan berusaha menyelesaikan semuanya sendiri.”

Dia menggeleng, “Nggak! Aku bisa menyelesaikannya! Cuma butuh waktu sedikit lebih banyak.”

“Tapi kamu sudah terlihat stres, Leira. Ini bukan hanya tentang pekerjaanmu. Ada batasan, kan?” Aku mencoba menyalurkan ketenangan, tetapi Leira malah semakin berapi-api.

“Batasan? Kamu terus bicara tentang batasan! Coba kamu lihat ke sekitar! Mereka semua hanya melihatku sebagai pegawai rendahan! Aku harus buktikan bahwa aku bisa!”

“Kalau kamu terus menempatkan dirimu di tepi jurang, itu yang bikin orang lain nggak menghargai kamu!” kataku, tidak ingin membuatnya semakin frustasi. “Biar aku bantu. Ini lebih baik daripada kamu berjuang sendiri.”

Dia terdiam sejenak, mungkin terkejut mendengar suaraku yang terdengar lebih emosional dari biasanya. “Kamu nggak paham apa yang aku hadapi,” jawabnya dengan suara pelan.

“Cobalah lihat dari sudut pandangku. Kita sama-sama ingin menunjukkan apa yang bisa kita lakukan. Kamu itu kuat, Leira, tapi nggak ada salahnya minta bantuan.”

Suaraku merendah, dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat keraguan dalam matanya. “Mungkin kamu benar. Tapi…,” katanya pelan, “apa ini berarti aku harus mengakui bahwa aku tidak bisa melakukan semuanya sendiri?”

“Bukan mengakui kekalahan. Ini justru tentang keberanian untuk terbuka,” jawabku. “Mau coba?”

Dia menatapku, lalu tersenyum sedikit, meskipun itu tampak penuh keraguan. “Baiklah, kita coba.”

Kami berdua berdiri di tengah kekacauan yang tersisa. Mungkin ini langkah pertama untuk saling mendukung, meski tidak mudah. Dalam hati, aku merasa bahwa hubungan kami telah melangkah ke fase baru, di mana saling mempercayai menjadi kunci dari semua ini.

Aku mengulurkan tangan, “Ayo, kita bersihkan bersama. Biar semuanya lebih mudah.”

Leira menatapku sejenak, lalu menggenggam tanganku. “Oke, tapi kamu harus janji untuk tidak mengganggu aku lagi setelah ini.”

“Deal,” kataku dengan senyum, meskipun di dalam hati aku merasa kalau hubungan ini baru saja dimulai.

 

Di Ujung Senja

Hari-hari berlalu, dan kerja sama antara Leira dan aku semakin erat. Setiap kali ada masalah, kami selalu menghadapinya bersama, menciptakan suasana yang lebih ringan di kantor. Keterikatan kami yang awalnya penuh ketegangan mulai berubah menjadi semacam keakraban yang manis. Namun, di balik semua itu, ada satu hal yang menggantung di antara kami—perasaan yang tak terucapkan.

Suatu sore, setelah seharian bekerja keras, kami memutuskan untuk merayakan keberhasilan proyek yang baru saja selesai. Leira tampak bersinar dalam balutan gaun simpel yang menonjolkan kecantikan alaminya. Dia tidak hanya cantik; dia juga terlihat percaya diri, dan itu membuatku terpesona.

“Kamu pantas merayakan ini,” ujarku sambil menatapnya. “Semuanya berhasil berkat usaha keras kamu.”

“Dan kamu juga,” katanya, mengalihkan tatapannya ke arah meja yang dipenuhi sisa-sisa makanan. “Kita berdua berhasil, bukan? Aku masih nggak percaya bisa mengatasi klien itu.”

“Dan kita melakukannya dengan baik,” balasku, menambahkan, “walau harus bertengkar setengah mati.”

Dia tersenyum, lalu mengangkat gelas minumannya. “Untuk kita, yang selalu bertengkar dan berdebat, tapi bisa melewati semua ini!”

“Untuk kita!” jawabku sambil mengangkat gelasku.

Setelah berbincang-bincang ringan dan tawa yang mengalir bebas, aku merasakan suasana yang berbeda. Jarak di antara kami terasa semakin dekat. Leira tiba-tiba menatapku dengan serius, dan aku merasakan ada sesuatu yang ingin dia katakan. “Kenan, aku ingin berterima kasih.”

“Terima kasih untuk apa?” tanyaku, bersiap-siap untuk mendengarkan pernyataan serius.

“Untuk semuanya. Kamu telah membantu aku lebih dari yang aku kira. Sejak bertemu kamu, aku merasa ada yang berubah dalam diriku,” katanya, suaranya pelan, penuh emosi.

“Leira, kamu juga sudah membantu aku. Aku jadi belajar banyak tentang diri sendiri,” jawabku, jujur. “Kamu mengajarkan aku arti perjuangan dan kerja keras.”

Dia terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Tapi ada satu hal yang ingin aku katakan, dan aku harap ini tidak merusak apapun.”

Hatiku berdebar. “Apa itu?”

“Sejak kita mulai bekerja sama, aku merasa ada sesuatu yang lebih antara kita. Mungkin ini terdengar aneh, tapi aku merasa ada ikatan yang lebih dalam,” jelasnya, wajahnya memerah.

Kata-katanya membuat hatiku bergetar. “Aku merasakannya juga, Leira. Setiap hari, aku merasa semakin dekat denganmu. Ini bukan sekadar kemarahan atau pertengkaran lagi.”

“Jadi, kita berdua merasakannya?” tanyanya, matanya berbinar dengan harapan.

“Ya. Mungkin ini yang disebut perasaan cinta yang tumbuh dari permusuhan,” jawabku, berani.

Dia tertawa, tapi ada kepuasan di balik tawa itu. “Bisa dibilang begitu. Aku tidak tahu kapan perasaan ini mulai tumbuh, tapi aku senang kamu juga merasakannya.”

Kami berdua terdiam sejenak, saling menatap, menciptakan momen yang berharga. Lalu, Leira melangkah lebih dekat. “Kenan, apakah kamu bersedia menjalani perjalanan ini bersamaku? Baik di kantor maupun di luar sana?”

“Jadi, kamu ingin kita mencoba hal baru?” tanyaku, berusaha terdengar santai meski hatiku berdetak cepat.

“Ya. Aku ingin kita menjadi lebih dari sekadar rekan kerja,” ujarnya, matanya menantang.

Senyumku melebar. “Kalau begitu, aku tidak akan menolak tawaranmu. Mari kita jalani semua ini bersama.”

Leira mendekat, dan dalam sekejap, kami saling mendekap. Ada kehangatan di antara kami, seolah semua kebencian yang pernah ada sirna. Perasaan ini bukan sekadar cinta; ini adalah saling pengertian dan penerimaan.

Setelah momen berharga itu, kami memutuskan untuk berjalan-jalan di taman dekat kantor. Suasana senja yang indah membuat semuanya terasa lebih romantis. Sambil bergandeng tangan, kami merencanakan masa depan yang mungkin akan kami jalani bersama.

“Jadi, apa rencana kita selanjutnya?” tanyaku dengan nada ceria.

“Aku ingin mengeksplor lebih banyak hal bersamamu,” katanya. “Dan mungkin, mengajakmu ke tempat-tempat yang belum pernah kamu kunjungi.”

“Deal. Tapi hanya jika kamu mau berbagi makanan kesukaanmu,” ujarku, membuatnya tertawa.

Kami tertawa bersama, mengabaikan semua perbedaan yang pernah ada. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang baru, yang lebih indah dari semua pertikaian yang telah dilalui. Di bawah langit yang semakin gelap, aku tahu bahwa kami telah menemukan satu sama lain di antara ketidaksempurnaan ini.

Sebagai dua orang yang pernah saling bertentangan, kami sekarang saling melengkapi. Dan siapa yang tahu, mungkin cinta yang tumbuh dari permusuhan ini bisa menjadi sesuatu yang lebih kuat dari apapun. Kami siap menjalani perjalanan ini bersama, dengan segala suka dan duka yang mungkin akan datang.

 

Jadi, siapa bilang musuh itu nggak bisa jadi kekasih? Leira dan Kenan membuktikannya dengan segala keributan, tawa, dan cinta yang tumbuh di antara mereka. Dari cemoohan hingga kebahagiaan, mereka akhirnya menemukan cara untuk saling melengkapi meski berasal dari dua dunia yang berbeda.

Kadang, cinta datang dari tempat yang paling tidak terduga, dan buat mereka, pertikaian yang menggelikan itu justru jadi jalan menuju kebahagiaan. Siapa tahu, di luar sana, ada lebih banyak kisah cinta yang dimulai dengan pertempuran?

Leave a Reply