Dari Perjodohan Menuju Cinta Abadi: Kisah Romansa yang Menggetarkan Hati

Posted on

Jelajahi kisah cinta mendalam dalam cerpen Dari Perjodohan Menuju Cinta Abadi, sebuah narasi emosional tentang perjalanan Tarini Wulanarti yang terjebak dalam perjodohan namun menemukan cinta sejati dengan Bayu Wirahadi. Dengan latar budaya desa Indonesia yang kaya, cerita ini penuh dengan konflik batin, harapan, dan intrik yang menarik, menawarkan pengalaman membaca yang mengharukan bagi pecinta romansa dan drama emosional.

Dari Perjodohan Menuju Cinta Abadi

Langkah di Bawah Tekanan Tradisi

Pagi di Desa Suryadarma diselimuti oleh kabut tipis yang menyelimuti hamparan sawah hijau yang luas, sebuah desa kecil di pedalaman Jawa Tengah yang masih memeluk erat tradisi leluhur. Di sebuah rumah kayu dengan dinding anyaman bambu dan atap genteng tua, seorang gadis bernama Tarini Wulanarti duduk di ambang jendela, memandangi langit yang perlahan terang benderang. Rambutnya yang panjang dan hitam legam tergerai liar, ditiup angin sepoi-sepoi yang membawa aroma tanah basah. Matanya, cokelat tua dengan kilau sedih, terpaku pada burung-burung kecil yang beterbangan di kejauhan, seolah mencari kebebasan yang ia inginkan.

Tarini berusia sembilan belas tahun, seorang gadis dengan wajah lembut yang sering menyembunyikan pergolakan batinnya. Ia adalah anak bungsu dari pasangan Darmo Santoso dan Kencana Sari, sebuah keluarga petani yang dikenal karena kebaikan hati dan kesederhanaan mereka. Di balik senyum tipisnya, Tarini menyimpan hasrat untuk menjadi penari tradisional, menari dengan anggun di panggung besar sambil mengenakan kostum yang penuh warna. Ia sering berlatih di tepi sungai saat senja, gerakannya penuh makna, hanya disaksikan oleh bayang-bayang pohon dan aliran air yang tenang.

Namun, pagi ini membawa beban baru. Ayah dan ibunya telah memutuskan untuk menjodohkannya dengan seorang pemuda bernama Bayu Wirahadi, seorang lelaki dari keluarga kaya di desa tetangga yang memiliki ladang tebu yang luas. Tarini tidak pernah bertemu dengannya, dan hanya mendengar cerita dari ibunya tentang betapa gagah dan bertanggung jawabnya pemuda itu. Tapi bagi Tarini, perjodohan itu terasa seperti belenggu yang perlahan mengikat mimpinya, menariknya kembali ke realitas yang ia benci.

“Tarini, masuklah! Nanti kau kedinginan!” panggil Kencana Sari dari dalam rumah, suaranya lembut namun penuh otoritas. Tarini menghela napas panjang, menggenggam erat ujung kain batik yang melilit pinggangnya, dan melangkah masuk. Di dalam, aroma kopi hitam dan pisang goreng menguar dari tungku kayu yang menyala, menciptakan kehangatan yang kontras dengan dinginnya pagi. Darmo Santoso duduk di kursi rotan tua, merokok cerutu sederhana, sementara Kencana sibuk menyiapkan sarapan dengan tangan yang lincah.

“Ibu, Ayah, aku tidak mau dijodohkan,” kata Tarini tiba-tiba, suaranya bergetar namun tegas. Ia berdiri di dekat meja kayu yang penuh goresan, tangannya meremas kain hingga jari-jarinya memutih. “Aku ingin menari, aku ingin ke kota, bukan terkurung dengan seseorang yang tidak kukenal.”

Darmo menoleh, wajahnya yang keras karena terpapar matahari bertahun-tahun menunjukkan ekspresi campur aduk antara kelembutan dan keputusasaan. “Tarini, ini demi kebaikanmu. Keluarga Bayu punya kekayaan dan nama baik. Mereka bisa menjamin hidupmu. Kau tahu kita tidak mampu mendukung mimpimu yang jauh itu.”

Kencana mendekat, mengusap pipi putrinya dengan tangan kasar yang penuh kasih sayang. “Dulu, Ibu juga dijodohkan dengan Ayahmu. Awalnya sulit, tapi cinta tumbuh seiring waktu. Bayu adalah pemuda baik, katanya. Kau akan belajar mencintainya.”

Tarini menarik napas dalam, matanya berkaca-kaca. Ia ingin menangis, ingin berlari ke sungai dan menari hingga lelah, tapi ia tahu itu tidak akan mengubah keputusan orang tuanya. Di desa ini, tradisi adalah hukum yang tak tertulis. Menolak perjodohan berarti menolak kehormatan keluarga, dan keluarga Tarini, meski sederhana, memiliki martabat yang harus dijaga.

Malam itu, Tarini tidak bisa tidur. Ia duduk di sudut kamarnya, sebuah ruangan kecil dengan lantai tanah yang ditutupi tikar pandan, memandangi buku catatan tempat ia mencatat gerakan tari dan puisi pendek. Di halaman terakhir, ia menulis: Aku ingin menari di angin, tapi kaki ini dirantai. Kata-kata itu terasa seperti jeritan batin yang tak bisa ia keluarkan. Ia membayangkan wajah Bayu Wirahadi, pria yang katanya akan menjadi suaminya. Apakah ia akan memahami mimpinya? Apakah ia akan membiarkannya menari, atau akan seperti kebanyakan pria desa yang menganggap perempuan hanya untuk mengurus rumah tangga?

Keesokan harinya, sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah atap, membangunkan Tarini dari tidur yang gelisah. Hari ini adalah hari pertemuan pertamanya dengan Bayu. Ibu dan ayahnya memintanya untuk berdandan, mengenakan kebaya sutra warisan neneknya yang berwarna kuning keemasan dengan sulaman bunga teratai. Rambutnya ditata rapi dengan tusuk konde sederhana, dan wajahnya yang pucat diberi sedikit bedak oleh Kencana. Di cermin yang retak, Tarini melihat dirinya—cantik, tapi matanya penuh ketidakpastian.

Pertemuan itu diadakan di balai desa, sebuah bangunan terbuka dengan pilar kayu jati yang kokoh, dikelilingi oleh pohon-pohon jati yang menjulang. Keluarga Bayu tiba dengan kereta kuda yang dihias bunga kamboja, membawa seserahan berupa beras, kain batik, dan perhiasan emas yang disusun rapi dalam nampan kayu berukir. Tarini berdiri di samping ibunya, tangannya dingin dan jantungnya berdegup kencang. Ia mencuri pandang ke arah Bayu, yang berdiri di sisi ayahnya, dikelilingi keluarganya yang tampak bangga.

Bayu Wirahadi tidak seperti yang Tarini bayangkan. Ia tinggi, dengan postur tegap dan bahu yang lebar. Rambutnya hitam pendek, disisir rapi ke belakang, dan wajahnya memiliki garis-garis halus yang memberi kesan dewasa namun lembut. Matanya cokelat tua, penuh kedalaman, dan ada senyum tipis di bibirnya yang menunjukkan kerendahan hati. Ia mengenakan kemeja batik cokelat tua dengan lengan digulung, memberikan kesan sederhana namun anggun. Untuk sesaat, Tarini bertanya-tanya apakah pria ini benar-benar seburuk yang ia khawatirkan.

Acara berlangsung formal. Kedua keluarga saling bertukar ucapan selamat dan membahas silsilah serta tradisi. Tarini dan Bayu hanya saling melirik, tidak diberi kesempatan untuk berbicara langsung. Namun, ada satu momen yang membuat hati Tarini bergetar. Ketika acara hampir selesai, Bayu berjalan mendekatinya, membungkuk sopan, dan berkata dengan suara rendah yang hanya bisa didengar Tarini, “Aku tahu ini sulit untukmu. Aku juga tidak siap. Tapi… boleh aku mengenalmu lebih dalam?”

Kata-kata itu sederhana, namun ada kejujuran di dalamnya yang membuat Tarini terdiam. Ia hanya mengangguk kecil, tidak yakin apa yang harus ia rasakan. Apakah ini awal dari sesuatu yang baru, atau hanya janji kosong yang akan memudar? Saat rombongan keluarga Bayu pergi, Tarini kembali ke ambang jendela rumahnya, menatap sawah yang kini disinari matahari sore. Hatinya masih penuh keraguan, tetapi ada setitik rasa ingin tahu yang mulai tumbuh—tentang Bayu, tentang apa yang mungkin terjadi jika ia membuka hati.

Di dalam buku catatannya malam itu, ia menulis: Langkah di bawah tekanan tradisi membawaku ke bayang yang asing, tapi ada suara kecil yang mulai bernyanyi dalam diriku. Kata-kata itu terasa seperti harapan kecil di tengah badai yang belum usai.

Pertemuan di Tepi Sungai Senja

Pagi di Desa Suryadarma terasa lebih hangat pada hari Selasa, 01 Juli 2025, pukul 09:16 WIB, dengan sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah daun pisang di halaman rumah Tarini Wulanarti. Kabut pagi telah lenyap, digantikan oleh udara segar yang membawa aroma bunga kamboja dari pohon di samping rumah. Tarini duduk di ambang jendela, memegang buku catatan tempat ia menulis kalimat terakhir semalam—ada suara kecil yang mulai bernyanyi dalam diriku—dan memandangi angklung kecil yang ia temukan di sudut kamar, peninggalan ayahnya yang sudah lama tak disentuh. Kata-kata Bayu Wirahadi dari pertemuan kemarin—“Boleh aku mengenalmu lebih dalam?”—terngiang di kepalanya, menciptakan perpaduan antara rasa ingin tahu dan ketakutan yang membuncah.

Tarini mengenakan blus katun sederhana berwarna hijau muda dan kain batik peninggalan neneknya yang sedikit memudar, pakaian yang memberinya kenyamanan di tengah kekacauan batinnya. Hari ini, Kencana Sari, ibunya, mengatur agar Tarini bertemu lagi dengan Bayu, kali ini di tepi Sungai Serayu yang mengalir di perbatasan desa. “Ini kesempatan bagus untuk kalian bicara,” kata Kencana sambil menyisir rambut Tarini dengan jari-jari yang kasar namun penuh kasih. “Bayu tampak tulus, Tarini. Kasihan dia juga, dijodohkan seperti kau.”

Tarini mengangguk tanpa antusiasme, hatinya berat. Sungai Serayu adalah tempat favoritnya, di mana ia sering berlatih tari sambil menikmati suara air yang mengalir di antara bebatuan. Tapi hari ini, tempat itu terasa seperti arena yang dipaksakan, tempat ia harus menghadapi realitas yang ia hindari. Ia berjalan perlahan menuju sungai, membawa tikar pandan kecil untuk duduk, sementara angin sepoi-sepoi membawa suara gemericik air dan kicau burung camar.

Bayu sudah menunggu di tepi sungai, duduk di atas batu datar dengan tangannya memegang sebatang bambu kecil yang ia ukir dengan pisau lipat. Ia mengenakan kemeja batik cokelat tua dengan lengan digulung hingga siku dan celana kain sederhana, terlihat santai namun tetap rapi. Ketika ia melihat Tarini mendekat, ia berdiri dan tersenyum kecil, senyum yang lembut namun sedikit gugup. “Selamat siang,” sapanya, suaranya hangat dengan nada hormat. “Terima kasih sudah mau datang.”

Tarini mengangguk, meletakkan tikar di tanah dan duduk dengan jarak yang cukup jauh darinya. Untuk beberapa saat, mereka hanya diam, mendengarkan suara sungai dan angin yang berbisik di antara pepohonan. Tarini mencuri pandang ke arah Bayu, memperhatikan caranya duduk—tegak namun santai—dan tangannya yang kasar, tanda ia terbiasa bekerja di ladang atau mengurus ternak. Ada sesuatu tentangnya yang membuat Tarini merasa sedikit lebih tenang, tapi ia tetap menjaga jarak emosional.

“Aku dengar kau suka menari,” kata Bayu tiba-tiba, memecah keheningan. Matanya menatap Tarini dengan minat tulus, bukan sekadar basa-basi. “Apa tarian yang kau pelajari?”

Tarini terkejut. Bagaimana ia tahu? Mungkin ibunya yang bercerita. Ia merasa sedikit tersinggung, tapi juga tersanjung karena Bayu tampak ingin mengenalnya. “Tarian… tradisional, seperti Serimpi dan Golek,” jawabnya pelan, memilih kata-kata dengan hati-hati. “Aku latihan sendiri di sungai, tapi belum pernah tampil.”

Bayu mengangguk, seolah memahami. “Aku suka menonton tarian, tapi aku tidak pandai gerakan itu. Aku lebih suka membuat sesuatu dengan tangan, seperti ukiran.” Ia menunjukkan bambu kecil di tangannya, yang telah diukir menjadi bentuk sederhana burung merak. “Ini untukmu, kalau kau suka.”

Tarini mengambil bambu itu, jari-jarinya menyentuh ukiran yang halus. Ada kehangatan dalam gestur itu, dan ia mulai merasa ada sisi lain dari Bayu yang mungkin ia bisa terima. Mereka mulai berbincang, awalnya ragu-ragu, tapi perlahan mengalir. Bayu bercerita tentang masa kecilnya di ladang tebu, tentang bagaimana ia sering tersesat mencari madu liar, dan bagaimana ia merasa tertekan oleh ekspektasi keluarganya untuk menjadi “pemimpin” keluarga. Tarini, meski awalnya enggan, membuka diri. Ia bercerita tentang mimpinya menari di kota, tentang gerakan tari yang ia ciptakan di malam hari, dan tentang ketakutannya bahwa pernikahan ini akan mengubur semua itu.

Namun, kehangatan itu terganggu ketika sebuah suara memanggil dari kejauhan. “Bayu!” Seorang gadis muda berjalan mendekat, mengenakan kain batik mewah berwarna ungu dengan anting perak yang berkilau. Wajahnya cantik, dengan senyum yang manis namun penuh arti. Tarini mengenalinya sebagai Dewi Prameswari, adik tiri Bayu yang konon sangat dekat dengannya sejak kecil.

“Dewi, apa kabar?” kata Bayu, tersenyum kaku. “Ini Tarini. Tarini, ini Dewi, adik tiriku.”

Dewi tersenyum, tapi matanya menatap Tarini dengan nada yang sulit diartikan. “Oh, jadi ini Tarini yang dijodohkan denganmu,” katanya, suaranya manis namun penuh sindiran. “Aku dengar kau suka menari. Semoga gerakanmu cukup anggun untuk Bayu, ya.” Ia tertawa kecil, tapi Tarini merasa seperti disengat.

Percakapan mereka terhenti, dan Dewi akhirnya pergi setelah beberapa menit, meninggalkan suasana canggung. Bayu mencoba menghibur, “Jangan pikirkan Dewi. Dia suka bercanda, tapi kadang kelewatan.” Namun, Tarini tidak sepenuhnya yakin. Ada sesuatu di tatapan Dewi yang membuatnya merasa seperti orang asing, seperti ada rahasia yang disembunyikan.

Saat mereka berpisah di tepi sungai, Bayu memberikan bambu ukiran itu kepada Tarini. “Simpan ini,” katanya. “Agar kau selalu ingat mimpimu.” Tarini menerimanya dengan tangan gemetar, merasa ada kebaikan di hati Bayu, tapi bayang-bayang Dewi terus mengintai di pikirannya.

Malam itu, Tarini duduk di kamarnya, memandangi bambu ukiran itu di bawah cahaya lampu minyak. Ia menulis di buku catatannya: Pertemuan di tepi sungai membawa harapan, tapi ketakutan masih mengikuti seperti bayang di senja. Ia bertanya-tanya apakah Bayu benar-benar bisa menjadi bagian dari mimpinya, atau apakah Dewi akan menjadi rintangan yang tak terduga dalam perjalanan cintanya.

Bayang Rahasia di Balik Senyum

Pagi di Desa Suryadarma terasa sejuk pada hari Rabu, 02 Juli 2025, pukul 09:18 WIB, dengan kabut tipis yang masih menyelimuti sawah-sawah hijau di sekitar rumah Tarini Wulanarti. Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun jati di halaman, menciptakan pola cahaya lembut di lantai bambu. Tarini duduk di ambang jendela, memegang bambu ukiran burung merak yang Bayu berikan kemarin, jari-jarinya menyentuh setiap lekuk ukiran dengan penuh perhatian. Pikirannya dipenuhi oleh pertemuan di tepi Sungai Serayu, kehangatan percakapan mereka, dan bayang-bayang Dewi Prameswari yang terus mengganggu ketenangannya.

Tarini mengenakan blus katun biru muda yang sedikit longgar dan kain batik penuh motif bunga yang memberinya rasa nyaman. Hari ini, Kencana Sari, ibunya, mengumumkan bahwa keluarga Bayu Wirahadi mengundang mereka untuk menghadiri acara panen di ladang tebu milik keluarga Bayu di desa tetangga. “Ini kesempatan baik, Tarini,” kata Kencana sambil menyiapkan sepiring singkong rebus untuk sarapan. “Kau bisa melihat bagaimana kehidupan keluarga Bayu. Mereka orang baik, dan kau harus mulai membiasakan diri.”

Tarini mengangguk pelan, tapi hatinya bergetar. Ia ingin percaya pada kebaikan Bayu, pada tulusnya pemberian bambu ukiran itu, tapi kehadiran Dewi membuatnya ragu. Apakah ada sesuatu yang disembunyikan di balik senyum adik tirinya itu? Ia mengambil napas dalam, mencoba menenangkan diri, dan membantu ibunya menyiapkan seserahan sederhana: sekeranjang pisang dan kue apem yang harum baunya.

Perjalanan ke ladang tebu keluarga Bayu memakan waktu sekitar satu jam dengan gerobak kuda yang disewa dari tetangga. Sepanjang jalan, Tarini menatap keluar, melihat petani yang sibuk memanen padi dan anak-anak yang bermain di tepi jalan berdebu. Pikirannya melayang ke mimpinya—menari di panggung besar, jauh dari tradisi yang kini mengikatnya. Namun, setiap kali ia membayangkan masa depan bersama Bayu, wajah Dewi muncul, membawa rasa tidak nyaman yang sulit diabaikan.

Ladang tebu keluarga Bayu tampak luas dan subur, dengan deretan tanaman tinggi yang bergoyang diterpa angin. Rumah utama mereka berdiri megah di tengah pekarangan yang dihias pohon kelapa dan bunga sedap malam. Bangunan itu terbuat dari kayu jati dengan atap genteng merah yang mengkilap, dikelilingi pagar bambu yang rapi. Di halaman depan, meja panjang sudah disiapkan dengan taplak kain bermotif bunga dan hidangan yang menggoda: nasi liwet, ayam bakar, sayur bayam, dan berbagai kue tradisional seperti getuk dan cenil. Aroma masakan bercampur dengan wangi bunga sedap malam, menciptakan suasana yang hangat namun penuh tekanan bagi Tarini.

Bayu menyambut mereka di pintu masuk, mengenakan kemeja batik cokelat tua yang sama seperti kemarin, tapi kali ini dengan lengan digulung hingga siku, menunjukkan tangan yang kasar namun terawat. “Selamat datang, Ibu Kencana, Tarini,” katanya, suaranya hangat dengan sedikit nada gugup. Ia membungkuk sopan kepada ibunya Tarini, lalu melirik Tarini dengan senyum kecil yang membuat jantung gadis itu berdegup lebih kencang. “Senang kalian bisa datang.”

Acara panen berlangsung meriah dengan tarian tradisional yang dipentaskan oleh anak-anak desa dan nyanyian rakyat yang menggema di udara terbuka. Tarini duduk di samping ibunya, mencoba tersenyum saat Nyai Lestari, ibu Bayu, menawarkan makanan dengan ramah. Namun, matanya terus mencari Dewi, dan ia menemukannya di sudut ladang, mengenakan kebaya ungu tua yang elegan dengan sanggul kecil yang dihiasi bunga melati. Dewi tersenyum manis, membantu mengatur hidangan, tapi setiap kali matanya bertemu dengan Tarini, ada kilatan yang terasa seperti cemburu.

Saat acara berlangsung, Dewi mendekati meja tempat Tarini duduk. “Tarini, kau kelihatan cantik hari ini,” katanya, suaranya lembut namun penuh makna. “Bayu pasti senang punya calon istri sepertimu. Tapi, aku harap kau tahu, dia sangat dekat denganku sejak kecil. Jangan sampai kau mengambil tempatku.” Ia tersenyum, tapi Tarini merasa seperti ada duri tersembunyi di balik kata-kata itu.

Malam itu, setelah acara selesai, Bayu mengajak Tarini berjalan di kebun belakang ladang tebu. Langit dipenuhi bintang, dan angin malam membawa aroma tanah yang masih basah. Kebun itu luas, dengan pohon-pohon tebu tinggi dan semak bunga liar yang harum. Di sudut kebun, ada sebuah bangku kayu sederhana yang tampak dibuat dengan tangan. “Aku yang membuat ini,” kata Bayu, suaranya pelan. “Tempatku berpikir ketika aku bingung.”

Tarini duduk di bangku itu, merasakan kayu yang sedikit kasar di bawahnya. “Bayu, aku harus jujur,” katanya, matanya menatap tanah. “Aku takut. Takut kehilangan mimpiku, takut tidak cocok denganmu. Dan… aku tidak yakin tentang Dewi.”

Bayu menghela napas, duduk di sampingnya dengan jarak yang sopan. “Aku mengerti. Aku juga takut, Tarini. Aku takut tidak bisa menjadi suami yang kau inginkan. Tapi tentang Dewi… dia adik tiriku, dan kami memang dekat. Tapi aku tidak pernah melihatnya lebih dari itu. Aku ingin kau percaya padaku.” Ia menatap Tarini, matanya penuh kejujuran. “Aku janji akan mendukung mimpimu menari, kalau kau memberiku kesempatan.”

Kata-kata itu menyentuh hati Tarini, dan untuk pertama kalinya, ia merasa ada harapan. Tapi saat mereka berjalan kembali ke rumah, ia melihat Dewi berdiri di beranda, memandang mereka dengan ekspresi yang penuh rahasia. Tarini merasa ada sesuatu yang belum terucap, dan itu membuatnya gelisah.

Malam itu, di kamarnya, Tarini menulis di buku catatannya: Bayang rahasia di balik senyum membawa ketidakpastian, tapi ada tangan yang menawarkan cahaya. Ia memandangi bambu ukiran itu, mencoba menemukan ketenangan, tapi pikirannya terus kembali pada Dewi dan janji Bayu. Apakah ia cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang?

Cinta yang Tumbuh di Tengah Badai

Pagi di Desa Suryadarma terasa istimewa pada hari Selasa, 01 Juli 2025, pukul 09:16 WIB. Sinar matahari pagi menyelinap melalui celah-celah daun jati di halaman rumah Tarini Wulanarti, menciptakan pola cahaya lembut di lantai bambu yang licin. Udara segar membawa aroma tanah basah setelah hujan ringan semalam, dan suara burung berkicau bercampur dengan derit gerobak kuda yang melintas di kejauhan. Tarini duduk di ambang jendela, memegang bambu ukiran burung merak yang Bayu Wirahadi berikan, jari-jarinya menyentuh setiap lekuk ukiran dengan penuh perhatian. Pikirannya dipenuhi oleh janji Bayu di kebun belakang ladang tebu dan bayang-bayang Dewi Prameswari yang terus mengganggu ketenangannya.

Hari ini adalah hari penentuan. Keluarga Bayu akan datang ke rumah Tarini untuk meminta restu secara resmi, langkah terakhir sebelum pernikahan diumumkan kepada seluruh desa. Kencana Sari, ibunya, sibuk di dapur sejak subuh, memasak nasi uduk dengan santan kental, ayam goreng bumbu kuning, dan kue onde-onde yang harum baunya. Darmo Santoso, ayahnya, membersihkan pendopo kecil di halaman depan, menyapu daun kering dan menyusun kursi rotan untuk tamu. Tarini membantu dengan hati-hati, mengenakan kebaya sutra kuning keemasan warisan neneknya, rambutnya ditata rapi dengan tusuk konde perak yang sederhana.

“Tarini, tersenyumlah hari ini,” kata Kencana sambil mengaduk santan di wajan besar. “Ini hari besar untuk keluarga kita. Bayu dan keluarganya orang baik, dan kau akan bahagia bersamanya.” Tarini mengangguk, tapi matanya masih penuh keraguan. Ia ingin percaya pada kata-kata ibunya, pada kebaikan Bayu yang ia rasakan di kebun belakang, tapi bisikan Dewi—“Jangan sampai kau mengambil tempatku”—terngiang di benaknya seperti bayang gelap.

Saat jam menunjukkan pukul 10:00 WIB, keluarga Bayu tiba dengan kereta kuda yang dihias janur kuning. Nyai Lestari, ibu Bayu, membawa seserahan berupa kain batik tulis, perhiasan emas, dan keranjang buah tropis yang disusun rapi. Paman Bayu, seorang pria berbadan tambun dengan tawa menggelegar, membawa semangat yang menular, sementara Dewi hadir di sisi Nyai Lestari, mengenakan kebaya ungu tua yang elegan dengan anting emas berkilau. Matanya menatap Tarini dengan ekspresi yang penuh rahasia, seolah menantangnya untuk maju.

Acara dimulai dengan doa yang dipimpin oleh tetua desa, seorang lelaki tua dengan suara serak namun penuh wibawa. Setelah itu, perwakilan keluarga Bayu menyampaikan maksud kedatangan mereka, meminta restu untuk menjadikan Tarini sebagai bagian dari keluarga mereka. Sorak kecil dari tetangga yang hadir menggema, tapi Tarini merasa seperti dunia berputar di sekitarnya. Ia berdiri di samping ibunya, tangannya dingin, dan jantungnya berdegup kencang. Bayu duduk di sisi ayahnya, tampak tegang namun berusaha tersenyum setiap kali melirik Tarini.

Tiba-tiba, Bayu berdiri dan meminta izin berbicara. “Terima kasih kepada keluarga Tarini yang telah menerima kami,” katanya, suaranya tegas namun penuh perasaan. “Tapi aku ingin bicara dari hati. Tarini, aku tahu perjodohan ini bukan pilihanku atau milikmu. Aku tahu kau punya mimpi menari, dan aku tidak ingin menjadi penghalang. Aku berjanji, jika kau bersedia, aku akan mendukungmu, bahkan jika itu berarti kau menari di panggung besar. Aku ingin kita membangun cinta, bukan hanya ikatan tradisi.”

Ruangan menjadi sunyi. Nyai Lestari tersenyum bangga, sementara Kencana menutup mulutnya dengan tangan, terharu. Tapi Dewi, yang berdiri di sudut, mengepalkan tangannya, wajahnya memucat. Tarini menatap Bayu, terkejut oleh keberanian dan kejujurannya. Untuk pertama kalinya, ia merasa ada cahaya di ujung ketidakpastian itu.

Setelah acara, Bayu mengajak Tarini ke tepi Sungai Serayu di belakang rumah, tempat mereka pertama kali berbicara. Langit sore dipenuhi warna jingga, dan angin membawa aroma bunga teratai liar. Bayu mengeluarkan sebuah kotak kayu kecil dari sakunya, membukanya untuk memperlihatkan sebuah gelang sederhana dengan liontin berbentuk bunga teratai, terbuat dari perak tua. “Ini untukmu,” katanya. “Agar mimpimu selalu bersamamu.”

Tarini mengambil gelang itu, jari-jarinya menyentuh permukaan yang dingin namun hangat oleh maknanya. “Bayu, aku… aku mulai percaya padamu,” katanya pelan, matanya berkaca-kaca. “Tapi aku takut. Bagaimana dengan Dewi? Aku merasa ada sesuatu yang disembunyikannya.”

Bayu menghela napas berat. “Dewi… dia mencintaiku sejak kecil, tapi aku tidak pernah membalasnya. Aku pikir dia akan menerima perjodohan ini, tapi sepertinya dia kesal. Aku akan bicara dengannya, Tarini. Aku ingin kau merasa aman.”

Malam itu, saat Tarini kembali ke kamarnya, ia menemukan sebuah surat kecil terselip di bawah pintu. Tulisan tangan Dewi yang rapi namun tegang berbunyi: Bayu bukan milikmu. Aku akan membuktikan itu. Hatinya bergetar, tapi ia memandang gelang di tangannya, merasa ada kekuatan baru. Ia menulis di buku catatannya: Di tengah badai, cinta mulai tumbuh. Tapi bayang-bayang masih menanti, dan aku akan menghadapinya.

Lestari tidak tidur malam itu. Ia memandangi gelang itu, memutuskan untuk mencari kebenaran. Besok, ia akan berbicara dengan Dewi, bukan untuk bertarung, tetapi untuk memahami. Di luar, angin malam bertiup pelan, membawa janji akan hari baru yang penuh harapan dan cinta yang perlahan tumbuh di tengah badai.

Dari Perjodohan Menuju Cinta Abadi menghadirkan perjalanan cinta yang memukau, mengubah perjodohan menjadi ikatan hati yang tulus di tengah tantangan dan rahasia. Kisah Tarini dan Bayu akan menginspirasi Anda untuk percaya pada kekuatan cinta sejati, dengan akhir yang penuh harapan dan kejutan yang tak terlupakan. Jangan lewatkan setiap momen yang membangkitkan emosi hingga selesai.

Terima kasih telah menyelami keindahan kisah Dari Perjodohan Menuju Cinta Abadi bersama kami. Tetap temani kami dalam petualangan emosional lainnya, dan sampai jumpa di cerita-cerita menarik berikutnya!

Leave a Reply