Dari Orang Bodoh Jadi Sultan: Kisah Kocak Tapi Inspiratif Si Pengusaha Lele

Posted on

Siapa bilang sukses itu cuma buat orang pintar? Kadang, keberuntungan, keisengan, dan sedikit ketololan justru bisa bikin seseorang jadi kaya raya! Ini dia kisah nyata—eh, maksudnya cerpen inspiratif—tentang Jumadi,

seorang pria yang awalnya gak punya apa-apa, sering gagal bisnis, dan lebih suka tidur di bawah pohon, tapi akhirnya sukses jadi pengusaha lele terbesar di desanya. Gimana caranya? Apakah cuma hoki atau ada trik khusus? Yuk, simak kisahnya yang seru, kocak, tapi penuh pelajaran berharga!

Dari Orang Bodoh Jadi Sultan

Si Bodoh dari Sumberjati

Di sebuah desa kecil bernama Sumberjati, hiduplah seorang pemuda bernama Jumadi. Sejak kecil, dia dikenal sebagai orang paling bodoh di desanya. Bukan hanya karena dia tidak pernah sekolah dengan serius, tapi juga karena dia sering melakukan hal-hal yang tidak masuk akal.

Ketika anak-anak lain sibuk belajar atau membantu orang tua mereka, Jumadi lebih memilih tidur di bawah pohon mangga belakang rumahnya. Jika ditanya mengapa dia tidak bekerja atau mencari uang, jawabannya selalu sama, “Ngapain repot-repot? Rezeki kan udah ada yang ngatur!”

Semua orang di desa sudah pasrah dengan kelakuan Jumadi. Bahkan, guru SD-nya dulu pernah berkata, “Kalau anak-anak lain itu seperti padi yang makin berisi makin merunduk, Jumadi ini seperti ilalang—tinggi tapi isinya kosong!”

Namun, meskipun terkenal bodoh, Jumadi bukan tipe orang yang suka ambil pusing. Dia menjalani hidup dengan santai, seolah tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Suatu hari, di warung kopi milik Pak Salim, beberapa warga sedang duduk sambil membahas pekerjaan mereka. Ada yang bercerita soal panen yang gagal, ada yang mengeluh tentang harga pupuk yang makin mahal, dan ada juga yang sibuk membahas investasi kecil-kecilan.

Di tengah perbincangan serius itu, tiba-tiba terdengar suara langkah santai dari luar. Semua kepala langsung menoleh ke arah pintu, dan benar saja, Jumadi masuk dengan ekspresi polos seperti biasa.

“Eh, kamu gak kerja, Jum?” tanya Rudi, pemuda yang sehari-hari bekerja di kebun milik pamannya.

Jumadi nyengir lebar. “Ngapain kerja? Panas!”

Semua orang di warung itu tertawa kecil, tapi bukan karena lucu—lebih karena pasrah.

“Kamu tuh udah umur segini, masih aja males!” kata Wati, penjual gorengan di warung itu.

“Ya terus kenapa? Aku mah santai aja, Wati. Lagian hidup gak usah dibikin susah,” balas Jumadi sambil mengambil gorengan dari meja tanpa izin.

Pak Salim, pemilik warung, menggeleng-geleng. “Hidup mah harus ada usaha, Jum. Lihat orang-orang ini, kerja keras semua. Kamu itu tiap hari keluyuran aja.”

Jumadi hanya cengengesan sambil mengunyah gorengan. “Udah dibilang, Pak, rezeki udah ada yang ngatur. Aku ini lagi nunggu takdir bagus datang!”

Rudi mendengus. “Takdir mah gak bakal datang kalau kamu cuma rebahan!”

Namun, meskipun semua orang menganggap Jumadi sebagai pemuda bodoh yang tidak punya masa depan, ada satu hal yang tidak mereka sadari—keberuntungan seakan selalu berpihak padanya.

Salah satu contoh paling aneh terjadi seminggu yang lalu. Saat itu, ada lomba memancing di desa. Hadiahnya lumayan besar, dan banyak warga yang ikut serta, termasuk Rudi dan beberapa pemuda lainnya. Mereka sudah menyiapkan umpan terbaik dan memilih tempat yang strategis di sungai.

Sementara itu, Jumadi yang kebetulan lewat malah iseng melempar tali tambang tua ke sungai. Bukan pancing, bukan jaring, hanya tali yang dia temukan di kebun.

“Apa-apaan kamu, Jum? Itu bukan alat pancing!” seru Rudi.

Jumadi hanya tertawa. “Siapa tahu ada ikan yang iseng nyangkut!”

Orang-orang hanya menertawakan aksinya. Tapi lima belas menit kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Saat dia menarik talinya, seekor ikan lele raksasa tersangkut di ujungnya!

Semua orang langsung melongo. Itu adalah ikan terbesar yang pernah mereka lihat! Bahkan, Rudi yang memakai alat pancing terbaik pun tidak mendapatkan ikan sebesar itu.

Jumadi malah garuk-garuk kepala. “Eh, kok beneran dapet?”

Tak butuh waktu lama, panitia lomba langsung mengumumkan bahwa Jumadi adalah pemenangnya. Dia pulang membawa uang hadiah dan sekantong beras, sementara peserta lain hanya bisa mengelus dada.

Dan ini bukan pertama kalinya dia mendapat keberuntungan seperti itu.

Beberapa bulan sebelumnya, dia iseng membeli satu tiket undian dari sebuah acara di kota. Hadiahnya adalah sepeda motor baru. Orang-orang lain membeli puluhan tiket demi meningkatkan peluang menang, sedangkan Jumadi hanya membeli satu karena kebetulan dia punya uang sisa jajan.

Dan siapa yang menang? Tentu saja Jumadi.

“INI GAK MASUK AKAL!” teriak salah satu warga yang ikut undian itu.

Tapi bagi Jumadi, semua itu adalah bukti kalau hidup memang tidak perlu repot.

“Lihat kan? Aku gak usah pusing-pusing kerja, tetap dapet motor,” katanya sambil menepuk jok motor barunya.

Namun, meskipun keberuntungan terus mengikutinya, orang-orang tetap menganggapnya bodoh.

“Lucky idiot,” kata Rudi suatu hari.

Jumadi hanya tertawa. “Apa sih itu?”

“Tolol yang beruntung,” jawab Wati sambil tertawa juga.

Tapi apakah keberuntungan Jumadi akan bertahan selamanya? Ataukah takdir punya rencana lain untuknya?

Keberuntungan di Balik Kebodohan

Suatu pagi, Jumadi duduk di bawah pohon jambu belakang rumahnya. Seperti biasa, dia tidak melakukan apa-apa. Hanya mengunyah pisang goreng yang dia ambil dari dapur ibunya tanpa izin.

Saat itu, Rudi datang dengan wajah kesal. Dia baru saja pulang dari sawah setelah bekerja seharian.

“Jum! Kamu gak bosan hidup begini-begini aja?” tanya Rudi sambil duduk di sebelahnya.

Jumadi mengangkat bahu. “Ngapain bosan? Aku gak capek, gak pusing, santai-santai aja.”

Rudi mendengus. “Coba kamu bayangin, kalau besok-besok kamu gak seberuntung sekarang, gimana?”

Jumadi malah terkekeh. “Aku ini lahir buat beruntung, Rud! Percaya deh!”

Dan benar saja, seakan alam semesta mendukung kata-katanya, keberuntungan Jumadi kembali menunjukkan keajaibannya.

Hari itu, di desa Sumberjati sedang ada acara pasar malam. Warga desa ramai berdatangan untuk menikmati hiburan dan belanja barang-barang murah. Ada wahana komidi putar, pedagang kaki lima, dan permainan berhadiah.

Salah satu permainan yang paling menarik perhatian adalah lempar gelang ke botol. Jika berhasil memasukkan gelang ke dalam botol yang tepat, pemain bisa mendapatkan hadiah besar, termasuk sepeda, kipas angin, dan bahkan uang tunai.

Rudi dan beberapa pemuda lainnya mencoba peruntungannya. Tapi permainan itu lebih sulit dari yang terlihat. Setiap gelang yang dilempar pasti meleset atau jatuh ke botol yang hadiahnya cuma permen atau minuman soda.

Sementara itu, Jumadi hanya berdiri menonton sambil menikmati jagung bakar.

“Kamu gak mau coba, Jum?” tanya Wati, yang sedang menjual es teh di dekat permainan itu.

Jumadi menggeleng. “Males. Aku gak suka mikir buat menang.”

Namun, beberapa menit kemudian, sesuatu terjadi. Saat Jumadi sedang menggoyang-goyangkan jagung bakarnya dengan santai, tanpa sengaja dia menyenggol tumpukan gelang yang ada di meja permainan.

Gelang-gelang itu terjatuh ke arah botol-botol di bawahnya. Semua orang yang melihat kejadian itu langsung menahan napas.

Dan entah bagaimana, lima gelang mendarat sempurna di botol-botol dengan hadiah utama!

“Hah?! Gimana bisa?!” seru pemilik permainan itu dengan mata melotot.

Orang-orang di sekitar langsung heboh.

“Jumadi dapet hadiah utama semua!” teriak salah satu warga.

Pemilik permainan tidak bisa mengelak. Mau tidak mau, dia harus memberikan hadiah yang seharusnya sangat sulit didapatkan. Jumadi pun pulang membawa satu sepeda, satu kipas angin, satu blender, dan dua amplop uang tunai.

Namun, alih-alih merasa bersyukur atau kaget, Jumadi hanya menguap. “Aku udah bilang, aku ini memang beruntung.”

Beberapa hari setelah kejadian di pasar malam, Rudi kembali menemui Jumadi. Kali ini dia datang dengan rencana baru.

“Dengar ya, Jum. Kamu ini gak pernah kerja, tapi selalu dapet uang. Gimana kalau kita manfaatkan keberuntungan kamu buat bisnis?” kata Rudi dengan semangat.

Jumadi menaikkan alis. “Bisnis apaan?”

“Kita beli tanah di pinggir desa. Harganya murah. Siapa tahu nanti tanahnya jadi mahal dan bisa kita jual lagi!” jelas Rudi.

Jumadi menggaruk kepala. “Tapi aku gak ngerti bisnis tanah.”

“Kamu gak perlu ngerti! Yang penting, kamu beli aja! Kamu kan selalu beruntung!”

Akhirnya, dengan sedikit bujukan, Jumadi setuju untuk membeli sebidang tanah kosong di pinggir desa. Uangnya berasal dari hasil keberuntungan di pasar malam kemarin. Tanah itu tidak ada yang mau membelinya karena dianggap gersang dan tidak berguna.

“Yaudah, aku beli aja. Siapa tahu besok ada keajaiban,” kata Jumadi santai.

Dan entah kenapa, keajaiban itu memang terjadi.

Beberapa minggu setelah membeli tanah itu, seorang pengusaha datang ke desa. Dia ingin membangun pabrik kecil di daerah tersebut dan membutuhkan lahan yang luas.

Setelah berkeliling, dia menemukan bahwa tanah milik Jumadi adalah lokasi yang paling strategis untuk pabriknya.

“Siapa pemilik tanah ini?” tanya pengusaha itu kepada kepala desa.

“Siapa lagi kalau bukan Jumadi,” jawab kepala desa sambil tertawa kecil.

Pengusaha itu langsung menemui Jumadi dan menawarkan harga yang jauh lebih tinggi dari harga belinya. Tanpa berpikir panjang, Jumadi setuju.

Esoknya, dia sudah jadi jutawan dadakan.

“WATI! RUDI! Aku kaya!!” teriaknya sambil berlari keliling desa.

Orang-orang hanya bisa menggeleng tak percaya.

Rudi, yang awalnya ingin memanfaatkan keberuntungan Jumadi untuk bisnis, malah tertawa sambil memukul dahinya sendiri. “Kamu ini gak masuk akal, Jum!”

Jumadi hanya nyengir lebar. “Aku kan udah bilang, rezeki itu urusan Tuhan!”

Tapi, apakah keberuntungannya akan terus bertahan?

Dari Gagal ke Ajaib

Setelah sukses menjual tanahnya dengan harga tinggi, Jumadi tiba-tiba menjadi orang paling kaya di desa Sumberjati. Dia tidak lagi tidur di bawah pohon jambu atau keluyuran tanpa tujuan. Sekarang, dia punya banyak uang—dan seperti yang bisa ditebak, dia tidak tahu bagaimana cara mengelolanya.

“Jum, kamu harus pakai uang ini buat usaha,” kata Rudi suatu hari.

Jumadi mengerutkan dahi. “Usaha apaan?”

“Buka toko kelontong, kek. Atau warung makan. Pokoknya sesuatu yang bisa kasih kamu pemasukan terus,” jelas Rudi dengan sabar.

Jumadi berpikir sebentar, lalu mengangguk. “Iya juga ya. Aku mau buka warung makan aja! Soalnya aku suka makan!”

Rudi menghela napas. Dia tidak yakin apakah alasan itu masuk akal, tapi setidaknya Jumadi mau mencoba sesuatu.

Beberapa minggu kemudian, warung makan “Warung Sultan Jumadi” resmi dibuka di dekat rumahnya. Spanduk besar dengan fotonya yang sedang tersenyum lebar dipasang di depan warung.

Namun, masalah langsung muncul sejak hari pertama.

Pertama, menu di warungnya benar-benar kacau. Jumadi tidak tahu bagaimana cara mengatur menu yang menarik, jadi dia hanya menjual makanan yang dia suka. Hasilnya, pelanggan datang dan bingung.

“Mau pesan apa, Pak?” tanya seorang pegawai warungnya.

“Ada menu apa aja?”

Pegawai itu membaca menu dengan ragu. “Umm… nasi goreng manis, mie rebus pakai kecap, dan ayam goreng saus coklat…”

Pelanggan itu melotot. “Ayam goreng saus coklat?! Apa-apaan ini?!”

Yang kedua, Jumadi mempekerjakan teman-temannya, yang sayangnya sama santainya dengan dia. Tidak ada yang benar-benar peduli dengan warung itu. Kadang warung buka, kadang tutup, tergantung mood.

Yang ketiga, harga makanannya tidak masuk akal. Karena Jumadi tidak bisa menghitung modal dan keuntungan dengan baik, dia menetapkan harga seenaknya. Ada pelanggan yang memesan seporsi nasi goreng dan cuma diminta bayar Rp5.000, tapi ada juga yang harus bayar Rp50.000 untuk sepiring mie rebus karena Jumadi sedang butuh uang jajan.

Tidak butuh waktu lama, warung itu bangkrut total.

“Kok bisa bangkrut ya?” tanya Jumadi dengan ekspresi bingung saat melihat warungnya yang sudah sepi.

Rudi menepuk dahinya. “Ya bisa lah! Warung makan gak bisa jalan kalau sistemnya asal-asalan, Jum!”

Jumadi menggaruk kepala. “Jadi aku harus gimana?”

Wati, yang sejak tadi ikut mendengarkan, menyahut, “Ya mulai dari awal lagi! Tapi kali ini, kamu harus serius!”

Jumadi berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Atau… aku coba bisnis lain aja?”

Beberapa hari kemudian, tanpa banyak pertimbangan, Jumadi memutuskan untuk berjualan burung.

Kenapa burung? Karena dia pernah melihat orang kaya di kota memelihara burung mahal dan berpikir ini adalah cara cepat untuk dapat uang.

Tanpa riset, tanpa tanya-tanya, dia langsung membeli puluhan burung dari pasar hewan dan membangun kandang besar di halaman rumahnya.

Masalahnya, dia tidak tahu cara merawat burung.

Dalam seminggu, separuh burungnya kabur, dan separuh lagi mati karena salah makan.

“Kok bisa gini, sih?!” keluhnya.

“Kamu ngasih makan burungnya apa, Jum?” tanya Wati penasaran.

“Ya nasi sama ikan asin, kan aku juga makan itu,” jawab Jumadi polos.

Wati dan Rudi langsung menepuk wajah mereka bersamaan.

Akhirnya, bisnis burung pun gagal total. Uang modal habis, dan kandang burung yang dibangun dengan susah payah akhirnya berubah jadi tempat nongkrong ayam tetangga.

Tapi keberuntungan Jumadi belum habis.

Suatu malam, ketika dia sedang duduk di warung kopi sambil mengeluh soal kegagalannya, seorang pria tua berbaju lusuh datang dan duduk di sebelahnya.

“Kamu kenapa murung, anak muda?” tanya pria itu.

“Aku gagal usaha dua kali, Pak,” kata Jumadi sambil mengaduk kopi dengan lesu.

Pria itu tertawa kecil. “Mungkin kamu hanya belum menemukan jalan yang benar.”

Jumadi mengerutkan dahi. “Maksudnya?”

Pria itu tersenyum. “Kadang, rezeki datang dari arah yang tidak kita duga. Jangan terlalu sibuk mengejar yang sulit, tapi perhatikan yang sudah ada di depan mata.”

Setelah mengucapkan kalimat misterius itu, pria itu pergi begitu saja.

Jumadi termenung. “Apa maksudnya ya?”

Keesokan harinya, jawabannya datang dengan cara yang sama sekali tidak terduga.

Si Bodoh yang Jadi Sultan

Keesokan paginya, Jumadi bangun dengan kepala masih penuh pertanyaan. Kata-kata pria tua di warung kopi terus terngiang-ngiang di pikirannya.

“Rezeki datang dari arah yang tidak kita duga… Perhatikan yang sudah ada di depan mata…”

Jumadi melirik ke sekeliling rumahnya. Yang dia lihat hanya kebun kosong, kandang burung yang sudah ditinggalkan, dan ayam tetangga yang mondar-mandir seolah mengejeknya.

“Apa maksudnya ‘yang sudah ada di depan mata’?” gumamnya sambil menggaruk kepala.

Saat itulah dia melihat sesuatu yang selama ini dia abaikan—tanah di belakang rumahnya yang luas dan tidak terurus.

Tanpa berpikir panjang, Jumadi langsung pergi ke warung Wati untuk mencari ide.

“Wati! Kamu kan pinter! Kalau punya tanah kosong, bagusnya buat apa?” tanyanya tiba-tiba.

Wati, yang sedang menggoreng pisang, menatapnya bingung. “Ya bisa macam-macam, Jum. Bisa ditanami sayur, bisa buat ternak…”

Jumadi langsung berseru, “Ternak! Itu dia!”

“Ternak apa?”

Jumadi diam sebentar. “Aku gak tau…”

Rudi yang baru datang tertawa. “Yaelah, Jum! Ternak itu butuh ilmu. Kamu jangan asal kayak bisnis burung kemarin!”

Jumadi mengangguk cepat. “Iya, iya! Kali ini aku bakal serius!”

Setelah bertanya ke beberapa orang di desa, Jumadi akhirnya memutuskan untuk beternak lele. Alasannya?

“Sebab lele itu kuat. Kayak aku!” katanya dengan percaya diri.

Meskipun banyak yang meragukannya, Jumadi kali ini benar-benar belajar. Dia bertanya ke peternak lele berpengalaman, membaca buku (walaupun hanya sedikit), dan bahkan ikut membantu orang lain sebelum benar-benar memulai sendiri.

Dalam beberapa bulan, kolam lele pertama Jumadi akhirnya siap. Dengan modal sisa dari kegagalan sebelumnya, dia membeli benih lele dan mulai beternak.

Awalnya, semua berjalan lancar. Lele-lelenya tumbuh sehat, dan dia mulai menjualnya ke pasar. Uangnya memang belum banyak, tapi jauh lebih stabil dibandingkan usaha-usaha bodohnya dulu.

Tapi keberuntungan Jumadi tidak hanya berhenti di situ.

Suatu hari, desa Sumberjati kedatangan seorang pengusaha dari kota yang sedang mencari pemasok lele dalam jumlah besar. Ternyata, permintaan pasar sedang tinggi, dan mereka butuh peternak yang bisa menyediakan suplai secara rutin.

Tanpa sengaja, pengusaha itu mendengar tentang kolam lele milik Jumadi dari kepala desa.

“Siapa peternak lele yang paling menjanjikan di sini?” tanya pengusaha itu.

Kepala desa hanya bisa tertawa. “Yang paling menjanjikan sih belum ada. Tapi yang paling beruntung? Coba temui Jumadi.”

Beberapa hari kemudian, pengusaha itu datang ke rumah Jumadi.

“Kamu yang punya peternakan lele?” tanyanya.

Jumadi, yang saat itu sedang memberi makan lele, mengangguk santai. “Iya, Pak. Kenapa?”

“Saya butuh pasokan lele dalam jumlah besar setiap bulan. Kamu sanggup?”

Jumadi mengerjap. “Banyak itu berapa?”

“Minimal lima ton per bulan.”

Jumadi hampir jatuh ke kolam. “LIMA TON?!”

Pengusaha itu tertawa. “Kalau kamu bisa, aku bakal bayar lebih mahal dari harga pasar.”

Jumadi langsung berpikir keras. Kolamnya sekarang belum cukup besar, tapi kalau dia bisa memperluasnya…

Tanpa ragu, dia menyetujui tawaran itu. “Pak, saya gak ngerti bisnis, tapi saya ngerti satu hal—kalau saya udah bilang iya, saya bakal cari cara buat berhasil!”

Dengan uang muka dari pengusaha itu, Jumadi langsung memperluas peternakannya. Dia menyewa pekerja, menambah kolam, dan memperbaiki sistem pemeliharaan lele. Dalam waktu beberapa bulan, bisnisnya berkembang pesat.

Sekarang, orang-orang yang dulu menertawakan kebodohannya justru kagum.

“Jum, kamu kok bisa sukses begini?” tanya Rudi suatu hari.

Jumadi nyengir. “Aku gak tau! Aku cuma ngikutin alur, Rud!”

“Tapi kali ini kamu gak cuma beruntung, kamu juga usaha,” kata Wati sambil tersenyum.

Jumadi terdiam sebentar, lalu tertawa. “Iya juga ya. Mungkin aku ini dulu bodoh, tapi sekarang aku bodoh yang sukses!”

Dalam beberapa tahun, bisnis lele Jumadi menjadi yang terbesar di daerahnya. Dari seseorang yang dulu hanya mengandalkan keberuntungan, kini dia benar-benar memahami cara menjalankan usaha.

Namun, satu hal tidak pernah berubah—dia tetap santai.

Saat pengusaha lain pusing dengan angka dan strategi, Jumadi masih suka tidur di bawah pohon mangga belakang rumahnya.

Tapi sekarang, dia tidur bukan karena malas.

Melainkan karena dia tahu, dia sudah berhasil.

TAMAT.

Nah, dari kisah Jumadi, kita bisa belajar kalau sukses itu bukan cuma soal kepintaran, tapi juga soal keberanian buat mencoba, nggak gampang nyerah, dan tentu aja… sedikit keberuntungan!

Kadang, jalan menuju sukses itu nggak lurus dan mulus—bisa jadi lewat serangkaian kegagalan konyol dulu sebelum akhirnya menemukan jalan yang benar. Jadi, kalau kamu pernah merasa “bodoh” atau sering gagal, jangan berkecil hati! Siapa tahu, kamu cuma satu langkah lagi dari jadi “sultan” seperti Jumadi.

Leave a Reply