Dari Kota Kecil ke Oxford: Kisah Inspiratif Perjuangan Meraih Mimpi di Luar Negeri

Posted on

Pernah nggak sih ngebayangin bisa kuliah di luar negeri, tapi merasa mustahil karena berbagai keterbatasan? Nah, kisah ini bakal bikin kamu sadar kalau mimpi itu bukan cuma milik mereka yang punya segalanya. Dari kota kecil di Indonesia, seorang gadis bernama Azzura membuktikan bahwa dengan tekad kuat, kerja keras, dan keberanian menghadapi tantangan, tidak ada yang tidak mungkin.

Perjalanan Azzura dari belajar bahasa Inggris otodidak, menghadapi tantangan di Oxford, hingga akhirnya kembali ke tanah air untuk berbagi ilmu, adalah bukti bahwa sukses bukan hanya tentang pergi ke luar negeri, tapi juga tentang bagaimana kita kembali dan memberikan sesuatu yang berarti. Yuk, simak kisah inspiratifnya dan temukan pelajaran berharga buat perjalananmu sendiri!

Dari Kota Kecil ke Oxford

Benih Impian di Kota Kecil

Di sebuah kota kecil di Jawa Tengah, matahari sore mulai condong ke barat, menyinari rumah sederhana berwarna hijau muda di ujung gang. Angin membawa aroma masakan dari warung kecil di depan rumah itu, tempat seorang wanita paruh baya tengah sibuk menyiapkan pesanan pelanggan. Di dalam rumah, seorang gadis duduk bersila di lantai, matanya terpaku pada layar televisi yang sedang menayangkan film berbahasa Inggris.

“Aku yakin dia bilang ‘I will be back,’ bukan ‘I will back’,” gumam Azzura, alisnya berkerut sambil mencatat sesuatu di buku kecilnya.

Ayahnya, Pak Danar, seorang guru bahasa Indonesia di SMA setempat, melirik ke arah anaknya dari balik koran yang sedang dibacanya. “Kamu ini tiap hari nonton film berbahasa Inggris terus, nggak bosan?” tanyanya dengan nada menggoda.

Azzura menoleh dan tersenyum kecil. “Justru ini cara aku belajar, Yah. Lagian, di sekolah nggak banyak diajarin cara ngomong yang bener. Cuma tata bahasa doang.”

Pak Danar tertawa kecil sambil melipat korannya. “Bahasa itu bukan cuma soal teori, tapi juga kebiasaan. Kalau kamu mau lancar, ya harus sering latihan.”

Dari arah dapur, Bu Sari—ibunya—datang sambil membawa sepiring gorengan. “Lha terus, kamu latihan ngomong sama siapa? Sama televisi?” godanya.

Azzura mengangkat bahunya. “Ya… sama cermin juga bisa.”

Ibunya terkekeh. “Jadi tiap malam di kamar ngomong sendiri gitu? Hati-hati, nanti dikira lagi nyiapin mantra.”

“Aku serius, Bu! Aku pengen bisa bahasa Inggris lancar, biar nanti bisa kuliah di luar negeri,” jawab Azzura, kali ini nada suaranya penuh keyakinan.

Pak Danar menatap anaknya dengan ekspresi lebih serius. “Kuliah di luar negeri itu nggak cuma butuh kemampuan bahasa, tapi juga tekad. Kamu siap dengan semua tantangannya?”

Mata Azzura berbinar. “Aku siap, Yah! Aku bakal cari beasiswa. Aku bakal belajar lebih giat.”

Pak Danar tersenyum bangga, meski jauh di lubuk hatinya, ada kekhawatiran. Mereka bukan keluarga kaya. Mimpi Azzura memang besar, tapi jalannya pasti tidak mudah.

Hari-hari berlalu, dan Azzura semakin tekun belajar. Setiap pulang sekolah, ia menghabiskan waktu di perpustakaan kota, mencari buku berbahasa Inggris. Ia bahkan mendaftar di kursus daring gratis, belajar dari video-video di internet, dan menulis jurnal dalam bahasa Inggris setiap hari.

Suatu sore, saat sedang membaca buku di perpustakaan, seorang teman sekolahnya, Luthfi, datang dan duduk di seberangnya.

“Kamu kok rajin banget sih? Tiap sore pasti di sini,” ujar Luthfi sambil membuka bukunya sendiri.

Azzura menutup bukunya sebentar. “Kalau mau kuliah di luar negeri, ya harus usaha.”

Luthfi terkekeh. “Kamu beneran serius sama mimpi itu?”

“Serius banget.”

“Kamu nggak takut?”

Azzura mengangkat wajahnya, menatap Luthfi dengan tatapan penuh keyakinan. “Takut kenapa?”

“Takut gagal.”

Gadis itu tersenyum. “Kalau aku nggak nyoba, ya pasti gagal. Kalau aku nyoba, setidaknya ada kesempatan berhasil.”

Luthfi terdiam, lalu ikut tersenyum kecil. “Ya udah, aku dukung deh. Kalau nanti kamu sukses, jangan lupa sama aku.”

Azzura tertawa. “Nggak bakal.”

Suatu hari, pengumuman tentang kompetisi beasiswa internasional muncul di mading sekolah. Beasiswa itu menawarkan kesempatan kuliah di luar negeri bagi siswa berprestasi yang lolos seleksi. Azzura menatap poster itu dengan penuh harapan.

Malamnya, ia menunjukkan brosur beasiswa itu kepada orang tuanya.

“Aku mau daftar ini, Yah, Bu.”

Pak Danar membaca brosur itu dengan cermat. “Tesnya pasti sulit. Kamu yakin bisa?”

Azzura mengangguk mantap. “Aku bakal coba.”

Bu Sari menghela napas. “Kalau kamu yakin, ya Ibu dukung. Tapi, kamu harus siap dengan semua kemungkinan.”

Azzura tahu maksud ibunya. Mendaftar beasiswa seperti ini tidak menjamin keberhasilan. Tapi ia juga tahu satu hal—jika ia tidak mencoba, ia tidak akan pernah tahu seberapa jauh ia bisa melangkah.

Dan sejak malam itu, ia bersumpah dalam hati, tidak akan berhenti berusaha.

Gerbang Menuju Oxford

Pagi itu, Azzura berdiri di depan cermin dengan kertas catatan di tangannya. Matanya menelusuri setiap baris tulisan dalam bahasa Inggris yang telah ia persiapkan untuk wawancara beasiswa.

“Aku bisa. Aku harus bisa,” gumamnya pelan.

Hari ini adalah hari wawancara daring untuk seleksi beasiswa. Setelah berminggu-minggu mempersiapkan esai, mengisi formulir, dan mengikuti berbagai tes akademik, kini ia harus menghadapi bagian paling menegangkan: berbicara langsung dengan panel juri dalam bahasa Inggris.

Di ruang tamu, laptop sudah menyala. Ayah dan ibunya duduk tak jauh darinya, memberikan dukungan dalam diam. Waktu terasa berjalan lebih lambat. Begitu panggilan video dimulai, jantungnya berdebar.

Seorang pria berkacamata muncul di layar. “Good morning, Azzura. Can you hear me?”

Azzura menelan ludah, lalu mengangguk cepat. “Yes, I can hear you clearly.”

Wawancara pun dimulai. Pertanyaan demi pertanyaan ia jawab dengan sebaik mungkin. Ada saat-saat ia merasa lidahnya kaku, ada juga ketika ia harus mengulang kalimat agar terdengar lebih jelas. Namun, satu hal yang ia pastikan—ia tidak boleh menyerah.

Di akhir wawancara, salah satu pewawancara, seorang wanita berambut pendek, tersenyum padanya. “You have great determination, Azzura. Whatever happens, keep that spirit alive.”

Setelah panggilan berakhir, Azzura menghela napas panjang. Ia tidak tahu apakah jawabannya cukup baik, tapi ia sudah melakukan yang terbaik.

Minggu-minggu berlalu. Setiap hari, Azzura menunggu email dengan perasaan campur aduk. Sampai akhirnya, suatu pagi, ia terbangun karena suara notifikasi dari ponselnya. Tangannya gemetar saat membuka email yang masuk.

“Congratulations! You have been selected as one of the scholarship recipients for Oxford University.”

Azzura menutup mulutnya, tidak percaya dengan apa yang ia baca. “Aku diterima…” bisiknya, lalu berteriak, “AKU DITERIMA!”

Pak Danar dan Bu Sari yang sedang sarapan langsung menoleh. “Serius, Azzura?!”

Azzura mengangguk dengan mata berkaca-kaca. Ia langsung berlari ke arah orang tuanya dan memeluk mereka erat.

Bu Sari menepuk punggung putrinya. “Alhamdulillah, Nak… Ibu bangga sama kamu.”

Pak Danar mengusap kepalanya. “Perjuangan kamu belum selesai. Ini baru permulaan.”

Beberapa bulan kemudian, setelah berbagai persiapan dokumen, visa, dan tiket, hari keberangkatan pun tiba. Bandara terasa begitu ramai, tapi bagi Azzura, ada rasa sepi yang tiba-tiba menyergap.

Di gerbang keberangkatan, ia memeluk ibunya erat. “Aku bakal baik-baik aja, Bu.”

Bu Sari mengangguk, meski matanya berkaca-kaca. “Kamu anak kuat. Jangan lupa jaga diri, ya?”

Pak Danar menepuk pundaknya. “Jangan ragu buat pulang kalau kamu butuh.”

Azzura mengangguk. “Aku pasti pulang, Yah. Tapi nanti, pas aku udah bawa sesuatu yang bisa bikin kalian bangga.”

Ia menghela napas panjang sebelum melangkah menuju imigrasi. Setiap langkah terasa berat, tapi juga penuh harapan.

Di dalam pesawat, ia menatap ke luar jendela. Ini bukan sekadar perjalanan ke negara lain. Ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Oxford, aku datang.

Tantangan dan Tekad

Udara dingin Oxford langsung menyergap tubuh Azzura begitu ia melangkah keluar dari bandara Heathrow. Jaket tebal yang baru ia beli di Indonesia terasa kurang mampu menahan angin yang berembus menusuk. Dengan koper besar di tangan dan tas ransel di punggung, ia menatap sekeliling. Bangunan-bangunan tua bergaya klasik berdiri megah, mobil-mobil melaju dengan kemudi di sisi kanan, dan orang-orang berbicara dengan aksen British yang begitu khas.

“Inilah dunia baruku,” gumamnya pelan.

Setelah menempuh perjalanan panjang dari bandara ke asrama mahasiswa, ia akhirnya tiba di kamar kecilnya. Ruangan itu sederhana—hanya ada tempat tidur, meja belajar, lemari, dan jendela besar yang menghadap ke jalan. Ia menjatuhkan diri di kasur, menghembuskan napas panjang.

Hari pertama di Oxford belum benar-benar dimulai, tapi ia sudah merasakan betapa beratnya perubahan ini.

Minggu pertama perkuliahan berjalan lebih sulit dari yang ia bayangkan.

Di kelas, dosen berbicara cepat dengan aksen British yang kadang sulit ia tangkap. Mahasiswa lain tampak begitu percaya diri berdiskusi, sementara ia merasa lidahnya berat untuk ikut berbicara. Setiap kali ingin mengangkat tangan, ada keraguan dalam dirinya—takut salah, takut dihakimi, takut terdengar aneh.

Di salah satu kelas diskusi, seorang mahasiswa asal Kanada bernama Lucas menatapnya setelah sesi berakhir. “Kamu kelihatan kayak mau ngomong tadi, tapi nggak jadi. Kenapa?”

Azzura sedikit terkejut. “Aku… takut salah ngomong.”

Lucas tertawa kecil. “Yaelah, semua orang juga pasti pernah salah. Dulu, aku juga gitu pas baru pindah ke sini. Tapi kalau kamu diem aja, kapan berkembangnya?”

Azzura terdiam. Kata-kata itu menamparnya.

Malamnya, ia berdiri di depan cermin, mengingat kembali momen-momen di kelas tadi. Ia membuka mulut, mencoba berbicara dalam bahasa Inggris.

“Tomorrow, I will try. No, I must try.”

Keesokan harinya, di kelas yang sama, Azzura mengangkat tangannya untuk pertama kalinya.

Mata dosen dan mahasiswa lain tertuju padanya.

“Yes, Azzura?”

Jantungnya berdebar, tapi ia menelan rasa takutnya. “I think… the argument about linguistic adaptation in multilingual environments is interesting because…”

Kata-katanya mengalir, meski beberapa kali ia harus berpikir keras untuk memilih kosakata yang tepat. Setelah ia selesai, ada jeda beberapa detik sebelum sang dosen tersenyum.

“Good point, Azzura. That’s an interesting perspective.”

Mahasiswa lain mengangguk, dan bahkan Lucas yang duduk di sudut memberi isyarat jempol ke arahnya.

Hari itu, untuk pertama kalinya, ia merasa sedikit lebih percaya diri.

Namun, tantangan tidak berhenti di sana.

Suatu hari, ia mendapat tugas membuat esai akademik sepanjang 3.000 kata. Ia menghabiskan waktu berhari-hari di perpustakaan, membaca referensi dan menyusun argumen. Namun, ketika hasilnya keluar, nilainya jauh di bawah harapannya.

Ia menatap kertas dengan lingkaran merah di beberapa bagian dan komentar dari dosen: Your ideas are strong, but your academic writing needs improvement.

Rasa kecewa menyelimutinya. Ia sudah bekerja keras, tapi hasilnya masih jauh dari sempurna.

Sore itu, ia duduk di taman kampus, menatap dedaunan berguguran. Rasanya ingin menyerah.

Namun, ia teringat perjalanan panjang yang telah ia tempuh. Ia teringat bagaimana dulu ia belajar dari televisi, berbicara sendiri di depan cermin, dan berjuang untuk bisa sampai ke titik ini.

Ia mengepalkan tangan. “Aku nggak boleh kalah.”

Dengan semangat baru, ia menemui dosennya dan meminta saran. Ia mulai membaca lebih banyak jurnal akademik, mengikuti kelas tambahan untuk menulis, dan meminta Lucas membantu mengoreksi tata bahasanya.

Perlahan, ia mulai berkembang.

Saat esai berikutnya dikumpulkan, nilainya naik. Tidak sempurna, tapi lebih baik. Itu cukup sebagai bukti bahwa usahanya membuahkan hasil.

Oxford bukan sekadar tempat belajar, tapi medan tempur bagi tekad dan ketangguhannya.

Bab 4: Pulau Kecil, Mimpi Besar

Tiga tahun berlalu sejak Azzura pertama kali menjejakkan kaki di Oxford.

Kini, ia berdiri di depan cermin, mengenakan toga hitam dengan selempang biru tua. Wajahnya sedikit lebih matang, matanya menyimpan keteguhan yang terbentuk dari perjuangan panjang. Hari ini adalah hari kelulusannya.

Di luar, aula kampus telah dipenuhi mahasiswa dan keluarga mereka. Nama-nama dipanggil satu per satu, dan ketika namanya disebut—Azzura Pradipta—ia melangkah maju dengan kepala tegak.

Dulu, ia hanya seorang gadis dari kota kecil yang bermimpi. Kini, ia berdiri di salah satu universitas terbaik dunia, menerima gelarnya.

Saat prosesi selesai, Lucas datang menghampirinya. “Jadi, apa rencanamu selanjutnya? Tetap di Inggris?”

Azzura tersenyum. “Aku pulang.”

Lucas mengangkat alis. “Pulang? Kamu punya banyak peluang di sini.”

“Aku tahu,” jawabnya. “Tapi, ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar tinggal di luar negeri. Aku harus kembali dan melakukan sesuatu untuk mereka yang punya mimpi seperti aku dulu.”

Lucas menatapnya sejenak, lalu tersenyum. “Aku yakin kamu bakal bikin perubahan besar di sana.”

Beberapa bulan kemudian, Azzura kembali ke tanah air. Rasanya aneh berjalan di gang sempit yang dulu selalu ia lewati, mendengar suara penjual bakso di sore hari, dan mencium aroma tanah setelah hujan di kampungnya.

Tapi ia tahu, di sinilah tempatnya.

Ia tidak ingin hanya kembali dengan gelar. Ia ingin berbagi ilmu dan pengalaman.

Dengan sisa tabungannya, ia mulai membuka kelas bahasa Inggris gratis untuk anak-anak di desanya. Ia menggunakan metode yang dulu ia impikan—belajar lewat percakapan, film, dan praktik langsung, bukan hanya teori dalam buku.

Suatu sore, seorang anak kecil bernama Raka menatapnya penuh harap. “Kak, kalau aku belajar bahasa Inggris, aku bisa sekolah di luar negeri kayak Kak Azzura juga?”

Azzura tersenyum. “Tentu bisa. Asal kamu berani bermimpi dan mau berjuang.”

Raka mengangguk mantap. “Aku pasti bisa!”

Melihat semangat di mata anak-anak itu, Azzura tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat.

Dulu, ia hanya seorang gadis yang belajar bahasa Inggris lewat televisi. Kini, ia adalah seseorang yang menanam mimpi di hati anak-anak lain.

Dan mungkin, suatu hari nanti, akan ada lebih banyak Azzura lain yang berani menembus batas dan mengejar dunia.

(TAMAT)

Kisah Azzura membuktikan bahwa pendidikan bukan sekadar soal gelar atau belajar di luar negeri, tapi juga tentang bagaimana kita bisa menggunakan ilmu untuk memberi dampak bagi orang lain. Dari kota kecil hingga Oxford, dari mimpi hingga kenyataan—semua itu bisa terjadi karena tekad dan kerja keras.

Jadi, kalau kamu punya impian besar, jangan takut untuk memulai! Bahasa Inggris, sekolah di luar negeri, atau bahkan cita-cita lain yang terlihat mustahil sekalipun, semuanya bisa dicapai selama kamu berani berjuang. Siapa tahu, mungkin suatu hari nanti, kamu yang akan menjadi inspirasi bagi orang lain.

Leave a Reply