Dari Kapak Tumpul ke Lautan Luas: Perjalanan Elric Mencari Makna

Posted on

Kalau dipikir-pikir, hidup itu nggak jauh beda sama bikin perahu. Awalnya cuma sekadar keinginan, lalu berubah jadi perjalanan panjang penuh keringat, luka, dan pelajaran berharga. Elric juga begitu—dia pikir dia cuma butuh perahu terbaik, tapi ternyata yang dia cari lebih dari sekadar kayu dan layar.

Ini bukan cuma tentang kapak, pohon, atau laut. Ini tentang gimana cara kamu melihat hidup. Penasaran gimana kisah Elric yang berawal dari obsesi sampai akhirnya menemukan makna sesungguhnya? Yuk, baca sampai habis!

Perjalanan Elric Mencari Makna

Jejak Langkah Sang Pewaris

Di sebuah desa kecil yang terhimpit antara perbukitan hijau dan hutan lebat, seorang pemuda berdiri dengan tangan bersedekap di depan sebuah bengkel kayu tua. Namanya Elric, putra seorang saudagar kaya yang terbiasa hidup bergelimang kemewahan. Pakaian yang dikenakannya jauh lebih bersih dan mahal dibandingkan orang-orang desa. Sepatunya masih mengilap, kontras dengan jalan tanah yang berdebu. Matanya menelusuri setiap sudut bengkel sederhana itu dengan ekspresi enggan, seolah tempat itu tidak layak untuknya.

Di dalam bengkel, seorang pria paruh baya dengan tangan kekar dan wajah penuh guratan pengalaman tengah menyusun papan kayu. Ia bekerja dengan tenang, seolah keberadaan pemuda itu tidak penting baginya. Namun, setelah beberapa saat, pria itu menoleh.

“Kau mau apa?” tanyanya tanpa melepaskan pekerjaannya.

Elric menghela napas kecil, seakan tidak terbiasa diperlakukan tanpa basa-basi. “Aku ingin kau buatkan aku perahu terbaik yang pernah kau buat,” katanya dengan nada tegas. “Bukan yang biasa. Aku mau yang paling kokoh, paling cepat, dan paling indah.”

Pria itu, yang bernama Samara, meletakkan alatnya perlahan. Ia menatap Elric sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kau ingin perahu terbaik, ya?”

“Tentu saja,” jawab Elric. “Aku bisa membayarmu berapa pun yang kau minta.”

Samara tertawa kecil. Bukan tawa mengejek, tetapi tawa seseorang yang sudah terlalu sering mendengar kata-kata seperti itu. “Aku tidak butuh uang sebanyak itu,” katanya santai. “Kalau kau benar-benar ingin perahu terbaik, ada satu syarat yang harus kau penuhi.”

Elric menatapnya curiga. “Apa itu?”

“Kau harus menebang sendiri pohon yang akan digunakan untuk perahumu.”

Elric mengerutkan kening. “Cuma itu?”

Samara mengangguk. “Cuma itu.”

Elric mendengus. Ia sudah mengira tukang kayu ini akan memberinya tugas aneh, tapi ini terlalu mudah. “Baiklah,” katanya, “Aku akan menebang pohon itu dan kembali ke sini dalam beberapa hari.”

Samara hanya tersenyum dan kembali bekerja. “Kita lihat saja nanti.”

Keesokan harinya, Elric memasuki hutan dengan kapak baru yang dibelinya dari kota. Langkahnya penuh percaya diri. Ia tak pernah menebang pohon sebelumnya, tetapi menurutnya itu hanyalah perkara tenaga. Jika para pekerja rendahan bisa melakukannya, ia juga pasti bisa.

Namun, setelah satu jam pertama, tangannya mulai terasa pegal. Keringat membasahi dahinya. Pohon yang ia pilih, sebuah pohon besar dengan batang kokoh, bahkan belum menunjukkan tanda-tanda akan tumbang. Ia mengayunkan kapaknya lagi, tetapi setiap tebasan terasa semakin berat.

Siang berganti sore, dan Elric terpaksa berhenti. Napasnya memburu. Ia melihat ke arah batang pohon yang hanya terkelupas sedikit.

“Ini… lebih sulit dari yang kubayangkan,” gumamnya.

Ia tidak menyerah begitu saja. Keesokan harinya, ia kembali dengan semangat baru, tetapi hasilnya tetap sama. Tangannya mulai lecet, ototnya terasa kaku, dan kapaknya mulai kehilangan ketajamannya.

Pada hari ketiga, ia mulai merasa frustrasi.

“Demi apa aku melakukan ini?” gerutunya, membanting kapaknya ke tanah.

Ia bersandar pada pohon yang tak kunjung tumbang itu. Tubuhnya terasa lelah, bukan hanya karena tenaga yang terkuras, tetapi juga karena harga dirinya yang terkoyak. Ia, putra saudagar kaya, seseorang yang terbiasa mendapatkan segala sesuatu dengan mudah, kini kalah oleh sebatang pohon.

Ketika malam tiba, Elric masih terduduk di bawah pohon, matanya menatap langit yang mulai gelap. Ia tidak pernah merasa seputus asa ini sebelumnya.

Saat itulah langkah kaki terdengar mendekat.

“Sudah menyerah?” suara Samara terdengar di antara bayang-bayang pepohonan.

Elric mendongak. Wajahnya tampak letih, tetapi masih ada sisa keangkuhan di sana. “Aku bukan menyerah. Aku hanya… butuh waktu lebih lama.”

Samara duduk di sampingnya. “Kau tahu kenapa kau gagal?”

Elric menggeleng pelan.

“Kau memilih pohon yang salah,” jawab Samara. “Pohon ini terlalu tua dan akarnya terlalu kuat. Bahkan seorang penebang kayu berpengalaman pun akan kesulitan menebangnya.”

Elric terdiam. Ia tidak pernah berpikir tentang itu. Baginya, pohon hanyalah pohon, dan menebangnya hanyalah soal kekuatan.

Samara melanjutkan, “Menebang pohon bukan hanya tentang mengayunkan kapak. Kau harus tahu pohon mana yang paling cocok, kapan waktu yang tepat untuk menebangnya, dan bagaimana caranya agar kayunya tidak pecah saat dipotong.”

Elric menunduk. Ia merasa bodoh. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia menyadari ada hal-hal yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan uang atau tenaga.

Samara bangkit berdiri. “Besok, aku akan mengajarimu bagaimana memilih pohon yang benar. Jika kau masih ingin perahu terbaik, kau harus belajar dari awal.”

Elric memandangnya dengan mata ragu. Ia bisa saja menyerah sekarang dan pulang ke rumahnya yang nyaman. Tetapi, di dalam hatinya, ada sesuatu yang menahannya untuk pergi.

Ia menarik napas dalam dan mengangguk. “Baik… ajari aku.”

Samara tersenyum. “Bagus. Kita mulai dari nol.”

Dan dengan itu, sebuah perjalanan baru dimulai. Sebuah perjalanan yang akan mengubah Elric lebih dari sekadar mendapatkan perahu impiannya.

 

Kapak yang Tumpul

Pagi itu, Elric berdiri di tepi hutan dengan kapak tergantung di tangannya. Otot-otot lengannya masih terasa kaku dari usaha sia-sia menebang pohon sebelumnya, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda—ia tidak lagi hanya mengandalkan tenaga.

Samara berdiri di sampingnya, mengamati pemuda itu dengan tatapan sabar. “Hari ini, kau akan belajar dari awal,” katanya. “Pertama-tama, kita harus memilih pohon yang tepat.”

Elric menghela napas. “Baik. Lalu… pohon seperti apa yang harus kupilih?”

Samara tersenyum kecil lalu menepuk batang pohon di dekatnya. “Tidak terlalu tua, tidak terlalu muda. Tidak terlalu kering, tapi juga tidak terlalu basah. Kau harus mencari pohon yang cukup kuat untuk menjadi perahu, tapi cukup lunak untuk diolah.”

Elric melirik sekeliling, mencoba melihat pohon-pohon dengan sudut pandang berbeda. Awalnya, semua terlihat sama baginya—hanya batang kayu tinggi dengan dedaunan rimbun. Tapi ketika ia mulai memperhatikan dengan lebih teliti, ia melihat variasi dalam bentuk, warna kulit kayu, dan bahkan cara pohon itu berdiri di tanah.

“Aku rasa… pohon ini bisa,” katanya, menunjuk sebuah pohon dengan batang tegak dan kulit kayu yang sedikit mengelupas.

Samara mengangguk. “Bagus. Sekarang coba tebang.”

Elric mengangkat kapaknya, lalu mengayunkannya ke batang pohon. Dentuman kapak bertemu kayu menggema di hutan, tetapi kali ini berbeda. Kayunya lebih lunak, dan setiap pukulan meninggalkan bekas yang lebih dalam. Ia mulai merasakan ritme di setiap ayunan—sebuah pola yang tidak sekadar mengandalkan kekuatan, tetapi juga teknik dan ketepatan.

Namun, setelah beberapa jam, Elric mulai merasa ada yang aneh. Kapaknya tidak lagi seefektif tadi. Ia mengernyit dan mencoba lagi, tetapi mata kapaknya terasa tumpul.

“Elric.” Samara berjalan mendekat. “Kau tahu kenapa kapakmu semakin sulit digunakan?”

Elric memandang kapaknya dengan kesal. “Tentu saja. Karena kapak ini tumpul!”

Samara tertawa kecil. “Tepat. Dan kau tahu apa pelajaran yang bisa kau ambil dari ini?”

Elric menghela napas. “Aku tidak tahu. Apa sekarang aku harus beli kapak baru?”

Samara menggeleng. “Tidak. Kau hanya perlu mengasahnya.”

Ia mengambil batu asahan dari kantongnya dan menyerahkannya pada Elric. “Kapak, seperti manusia, akan kehilangan ketajamannya jika terus digunakan tanpa dirawat. Sama seperti kau—jika kau bekerja tanpa belajar, tanpa beristirahat, tanpa merenungkan kesalahanmu, maka kau juga akan tumpul.”

Elric terdiam. Ia tidak pernah memikirkan hal seperti itu sebelumnya. Ia mengira kerja keras semata cukup untuk menyelesaikan semua masalah, tetapi kenyataannya, ada cara yang lebih cerdas.

Ia mulai mengasah kapaknya seperti yang diajarkan Samara. Setelah beberapa saat, ia mencoba menebang pohon lagi, dan kali ini, setiap pukulan terasa lebih efektif. Pohon itu perlahan mulai menunjukkan tanda-tanda akan tumbang.

Saat matahari hampir tenggelam, pohon itu akhirnya roboh dengan bunyi gemuruh. Elric tertegun menatapnya—ini pertama kalinya ia benar-benar berhasil menebang pohon dengan usahanya sendiri.

Samara menepuk bahunya. “Kau sudah belajar banyak hari ini.”

Elric mengangguk, tetapi dalam hatinya, ia merasa baru saja memulai perjalanan yang jauh lebih panjang dari sekadar mendapatkan perahu terbaik.

 

Lautan yang Tak Terlihat

Pohon itu kini terbaring di tanah, batangnya menjulang seperti tubuh raksasa yang akhirnya tumbang. Elric menatap hasil kerjanya dengan rasa puas yang samar, tetapi ada hal lain yang kini menghantuinya—ia baru saja menyelesaikan satu langkah dari perjalanan panjang yang masih belum ia pahami sepenuhnya.

Samara duduk di atas batang pohon yang baru tumbang itu, menyentuh permukaannya dengan jemarinya yang kasar. “Kerja bagus. Sekarang kita harus membawa kayunya ke bengkel.”

Elric mengerutkan dahi. “Bagaimana caranya? Pohon ini berat.”

Samara tertawa kecil. “Kau pikir menebangnya sudah cukup? Memindahkannya lebih sulit.”

Elric ingin protes, tetapi ia menahan diri. Ia sudah belajar bahwa setiap keluhan tidak akan membawanya ke mana-mana. “Baik. Lalu bagaimana kita membawanya?”

“Kita akan belajar dari para nelayan,” jawab Samara santai.

“Elric mengerutkan kening. “Nelayan?”

Samara berdiri dan memberi isyarat agar pemuda itu mengikutinya.

Di tepi desa, ada sebuah pelabuhan kecil di mana beberapa nelayan sedang bekerja, menyiapkan jaring dan merapikan kapal mereka. Elric tidak pernah memperhatikan mereka sebelumnya. Baginya, nelayan hanyalah orang-orang yang tidak memiliki pilihan lain selain hidup dari laut. Tapi hari ini, ia harus belajar dari mereka.

Samara mendekati seorang lelaki tua dengan kulit terbakar matahari dan rambut yang mulai memutih. “Kami butuh bantuan untuk mengangkut kayu,” katanya.

Orang tua itu, yang dipanggil Pak Girang oleh nelayan lain, menyipitkan mata ke arah Elric. “Ah, bocah kaya yang ingin punya perahu sendiri?”

Elric menahan keinginan untuk membalas dengan sinis. Ia hanya mengangguk.

Pak Girang tertawa. “Baik. Kalau kau ingin belajar, ikut aku.”

Mereka dibawa ke pantai, di mana beberapa batang kayu panjang tersusun rapi di atas pasir. Pak Girang mengambil tali dan mulai mengikat kayu-kayu itu satu per satu.

“Kayu ini tidak dibawa dengan dipanggul,” katanya. “Kami membiarkannya mengapung di air, lalu menariknya dengan perahu kecil.”

Elric tertegun. Ia tidak pernah berpikir bahwa sesuatu yang berat bisa menjadi ringan jika dipindahkan dengan cara yang tepat.

Samara menepuk bahunya. “Orang-orang yang hidup di dekat laut tahu cara melihat sesuatu yang tidak terlihat.”

Elric menoleh. “Apa maksudnya?”

“Laut tidak hanya air. Laut adalah jalan,” jawab Samara. “Orang-orang yang tidak memahami itu hanya melihat lautan sebagai penghalang, tetapi para nelayan melihatnya sebagai jembatan.”

Kata-kata itu membuat Elric termenung. Selama ini, ia selalu melihat kesulitan sebagai sesuatu yang harus dihancurkan dengan kekuatan. Namun, mungkin ada cara lain—cara yang lebih cerdas dan lebih efisien.

Ia membantu mengikat kayu-kayu itu, lalu bersama para nelayan, mereka menariknya ke laut. Ketika kayu mulai mengapung dan bergerak mengikuti arus, Elric menyadari betapa mudahnya pekerjaan ini dibandingkan jika ia mencoba menyeret batang kayu raksasa itu sendirian melalui daratan.

Hari itu, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Elric merasa bahwa ia benar-benar belajar sesuatu yang berharga.

Ketika kayu-kayu itu akhirnya sampai di bengkel, ia menatap batangnya yang basah dengan perasaan berbeda.

“Apa ini cukup?” tanyanya pada Samara.

Samara mengangguk. “Sekarang kita bisa mulai membangun perahumu.”

Elric seharusnya merasa puas. Tapi entah kenapa, ia tahu bahwa yang ia kejar bukan lagi sekadar perahu terbaik—melainkan sesuatu yang lebih besar dari itu.

 

Perjalanan yang Sesungguhnya

Di bengkel kayu yang kini terasa lebih akrab daripada rumahnya sendiri, Elric berdiri di depan tumpukan kayu yang telah kering. Tangannya yang dulu halus kini penuh dengan luka kecil dan bekas kapalan. Ia menatap batang-batang kayu itu dengan rasa bangga—bukan karena mereka akan menjadi perahu terbaik, tetapi karena ia sendiri yang membawa mereka ke titik ini.

Samara berdiri di sampingnya, mengamati pemuda itu dengan sorot mata puas. “Kau sudah siap?”

Elric mengangguk. “Ayo kita mulai.”

Mereka bekerja siang dan malam, memahat, menyusun, dan menyatukan potongan kayu dengan ketelitian luar biasa. Setiap paku yang ditancapkan, setiap bagian yang dipotong, semuanya terasa lebih berarti daripada sekadar pekerjaan membangun perahu.

Di sela-sela itu, Elric mulai memahami sesuatu—membangun perahu bukan hanya tentang kayu dan paku. Ini tentang kesabaran, tentang memahami bahan yang digunakan, tentang mengetahui kapan harus menekan dan kapan harus melepas.

Pada suatu sore, ketika perahu hampir selesai, Elric duduk di bangku panjang di depan bengkel, menatap karyanya.

Samara duduk di sebelahnya. “Kau masih ingat kenapa kau ingin perahu ini?”

Elric terdiam sejenak sebelum menjawab, “Aku ingin perahu terbaik yang pernah dibuat.”

Samara tersenyum tipis. “Dan sekarang?”

Elric menghela napas, menatap tangannya yang penuh luka, lalu menatap perahu di depannya. “Aku ingin perahu yang bisa membawaku ke mana pun aku mau. Aku ingin melihat dunia, seperti para nelayan melihat laut bukan sebagai batas, tetapi sebagai jalan.”

Samara mengangguk pelan. “Itu jawaban yang lebih baik.”

Hari peluncuran tiba. Penduduk desa berkumpul di tepi pantai untuk menyaksikan perahu itu mengapung di atas air. Elric berdiri di tepi pantai, melihat perahu yang ia buat dengan tangannya sendiri.

Saat ia mendorong perahu itu ke laut dan menaikinya untuk pertama kali, ia merasakan sesuatu yang berbeda.

Dulu, ia mengira perahu hanyalah tentang kecepatan dan keindahan. Tapi sekarang, ia menyadari bahwa perahu adalah tentang perjalanan.

Ketika layar perahu menangkap angin, dan ia mulai bergerak menjauh dari pantai, Elric tersenyum. Ia mungkin sudah mendapatkan perahu yang ia inginkan, tetapi perjalanan sesungguhnya baru saja dimulai.

 

Perahu Elric udah berlayar, tapi ceritanya nggak berhenti di situ. Sama kayak hidup, perjalanan nggak pernah benar-benar selesai—selalu ada ombak baru, angin baru, dan arah baru yang mesti ditempuh.

Jadi, kalau lagi ngerasa mentok, inget aja satu hal: mungkin yang kamu butuhin bukan sekadar kapak baru, tapi cara baru buat melihat dunia. Setajam apa pun kapak, kalau kamu nggak ngerti cara menggunakannya, kamu tetap bakal capek sendiri. Selamat berlayar di lautan hidup kamu sendiri!

Leave a Reply