Daftar Isi
Pernah nggak sih merasa udah punya semuanya, terus tiba-tiba semuanya hilang cuma karena kesalahan kecil yang malah bikin hidupmu berantakan? Cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang seorang perempuan yang dulu cantik banget, sampe semua orang tunduk sama dia.
Tapi, karena sombongnya, dia kena kutukan yang bikin semua berubah drastis. Gimana rasanya jadi terasing, ditinggalin, dan nggak ada yang peduli lagi? Penasaran? Yuk, simak cerita ini!
Dari Cantik ke Buruk Rupa
Tahta Keangkuhan
Lysandra berdiri di depan cermin besar, menatap refleksinya dengan senyum puas. Di baliknya, pesta besar yang diadakan oleh keluarganya terus bergema. Lampu-lampu kristal berkilauan di langit-langit, sementara suara tawa dan percakapan menyatu dalam harmoni. Namun, Lysandra hanya memikirkan dirinya sendiri, tubuhnya yang ramping, kulitnya yang cerah, dan mata yang berkilau seperti bintang.
“Ah, lihatlah diriku,” katanya, seolah berbicara pada bayangannya sendiri. “Tak ada yang bisa menandingi kecantikanku.”
Di balik sikap percaya dirinya, Lysandra menyadari bahwa para tamu memujinya di setiap sudut ruangan. Para pria mencuri pandang, bahkan para wanita yang berdandan lebih cantik dari biasanya pun terlihat canggung saat berbicara dengannya. Semua orang tahu siapa dirinya. Semua orang ingin dekat dengannya. Dan ia tahu itu.
“Kamu benar-benar luar biasa malam ini, Lysandra,” kata Alaric, salah satu teman dekatnya yang tampan, dengan senyum memikat.
“Terima kasih, Alaric,” jawab Lysandra, matanya sedikit melirik ke arah wanita lain yang berdiri di dekat mereka. “Tapi jelas aku jauh lebih menawan dibandingkan mereka, kan?”
Alaric tertawa kecil, tidak begitu yakin bagaimana merespons. “Kamu selalu menjadi pusat perhatian, Lysandra.”
“Dan itu wajar,” balasnya dengan nada sinis, “Karena aku memang yang terbaik di sini. Kalau kamu masih belum sadar, mungkin sudah saatnya aku mengingatkanmu.”
Mereka tertawa, namun Lysandra tidak bisa menahan tatapannya yang tajam pada sekelilingnya. Dia melihat Sela, gadis yang tampaknya baru datang dari desa dan mengenakan gaun tua yang tampak sedikit usang, berdiri di dekat meja makanan. Beberapa orang yang melihatnya hanya mengabaikan keberadaannya.
Lysandra mendekat dengan langkah angkuh. “Apa yang kamu lakukan di sini, Sela? Sudah jelas, tempat ini bukan untuk orang sepertimu.”
Sela menoleh, wajahnya memerah, sedikit takut. “Aku… aku hanya ingin ikut merayakan, Lysandra. Aku tidak tahu ada aturan siapa yang boleh datang…”
“Aturan?” Lysandra tertawa mengejek, “Kamu bahkan tidak tahu bagaimana cara berdandan, Sela. Kamu tahu kan, penampilanmu itu memalukan? Semua orang di sini menertawakanmu. Kenapa sih kamu datang?”
Sela hanya bisa menunduk, wajahnya tertunduk dalam rasa malu yang mendalam. Lysandra merasa puas melihat gadis itu meringkuk di bawah pandangannya. Ia tahu, tak ada seorang pun yang akan membela Sela, karena Lysandra adalah pusat segalanya. Selama ini, begitu adanya.
Namun, semuanya berubah ketika malam semakin larut. Pesta berjalan semakin ramai, suara musik semakin keras, dan tawa yang memenuhi ruangan terasa semakin jauh. Lysandra merasa sedikit bosan dengan semua perhatian yang mengelilinginya. Dia mencari sesuatu yang baru. Sesuatu yang bisa memberi sensasi lebih dari sekadar pujian.
Itulah saat itu. Ketika pintu utama terbuka dengan keras, seorang wanita tua muncul, mengenakan jubah kusam dan rambut berantakan. Hening sejenak menyelimuti ruangan, seperti ada angin yang membawa hawa dingin, meski udara malam begitu hangat.
Wanita itu berjalan perlahan ke tengah ruangan, seolah tak ada yang bisa menghentikannya. Wajahnya keriput, matanya seperti memandang jauh ke dalam jiwa orang-orang di sekitar. Semua mata tertuju padanya, namun tidak ada yang berani menghampiri. Hanya Lysandra yang, dengan sikap angkuhnya, berjalan mendekat.
“Hei, nenek, apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Lysandra dengan suara penuh ejekan. “Kau pikir bisa ikut pesta yang hanya untuk orang-orang berkelas?”
Wanita itu menatap Lysandra dengan mata yang tajam. “Kecantikanmu akan segera berakhir, anak muda,” katanya dengan suara serak. “Kau akan melihat dunia dengan cara yang berbeda, tanpa semua yang membuatmu begitu angkuh.”
Lysandra tertawa. “Jangan bercanda, nenek. Kau pikir aku takut dengan orang sepertimu? Aku adalah yang terindah di sini, dan tak ada yang bisa mengubahnya.”
Namun, wanita itu hanya tersenyum. “Kau akan mengerti nanti. Kecantikanmu akan hilang, dan dunia ini akan menunjukkan siapa dirimu sebenarnya.”
Sebelum Lysandra bisa menjawab, wanita itu melambaikan tangannya, dan tiba-tiba kilatan cahaya menyilaukan menyambar tubuhnya. Lysandra terkejut dan terjatuh ke lantai. Segera, dunia di sekitarnya berputar, dan rasa sakit yang tak terlukiskan menyusup ke seluruh tubuhnya.
Ketika Lysandra akhirnya membuka mata, suasana pesta sudah berubah. Semua orang menjauh darinya. Bahkan Alaric, yang dulu selalu memujinya, terlihat menghindarinya. Ia berlari menuju cermin besar yang ada di salah satu sudut ruangan. Saat melihat bayangannya, jantungnya hampir berhenti.
Wajahnya—wajah yang selama ini ia banggakan—tak lagi terlihat cantik. Kulitnya kusam dan penuh luka, matanya cekung, dan rambutnya rontok. Wajahnya tampak seperti wajah seorang yang sakit parah, penuh dengan tanda-tanda penderitaan yang tidak bisa ia hindari.
Lysandra meraba wajahnya, merasa seolah-olah dunia ini telah mengkhianatinya. “Tidak… ini tidak mungkin,” katanya, suaranya pecah. “Kenapa ini terjadi padaku?”
Tidak ada yang menjawab. Tidak ada yang datang untuk menolongnya.
Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Lysandra merasakan kesepian yang tak tertahankan, kesendirian yang menekan jiwanya. Ia ingin berteriak, ingin memanggil seseorang, namun suaranya hilang ditelan keheningan. Dunia yang dulu memujanya kini memandangnya dengan jijik.
Lysandra berjalan keluar dari ruangan, melewati orang-orang yang menatapnya dengan pandangan penuh kebencian. Ia tak tahu kemana harus pergi. Dunia yang pernah menyenangkannya kini terasa sangat asing dan menakutkan. Dia ingin mengubah segalanya, ingin kembali seperti dulu—cantik, sempurna, dipuja. Tapi dunia sudah berubah.
Hanya ada kesunyian yang mengikuti langkahnya.
Kutukan dari Bayangan
Lysandra berjalan tanpa arah. Langkahnya terdengar berat, seakan setiap jejak yang ia tinggalkan semakin menenggelamkan dirinya dalam rasa sesal yang mencekam. Ia tidak peduli dengan tatapan jijik yang diarahkan kepadanya, meskipun setiap langkah semakin sulit dilalui. Cermin yang dulu menjadi temannya kini menjadi musuh terbesar.
Di luar ruangan, udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya yang kini terasa kasar dan keras. Bukan lagi kulit halus yang dahulu selalu dipuja orang. Ia merasakan udara dingin merayap masuk ke dalam dirinya, mengingatkan bahwa dunia telah berubah. Semua yang dulu ia miliki—kecantikan, perhatian, kesombongan—sekarang terasa seperti kenangan yang jauh, tak lebih dari bayangan yang menghilang begitu saja.
Ia berjalan ke pinggir hutan di belakang rumah besar keluarganya. Langkahnya semakin berat seiring jarak yang semakin jauh dari pesta, semakin jauh dari semua yang mengenalnya dulu. Tak ada lagi yang tersisa selain dirinya yang terasingkan.
“Lysandra…” suara yang terdengar begitu familiar memanggilnya, namun suara itu tak lagi menyentuh hatinya seperti dulu. Ia tahu siapa itu—Alaric, pria yang selalu berada di sisinya, yang dulu tak segan-segan memujinya tanpa henti.
Dengan wajah cemberut, Lysandra menoleh. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Alaric berdiri beberapa langkah di belakangnya, tatapannya tak seperti dulu. Tidak ada lagi kekaguman di sana. Hanya ada jarak, seperti ada dinding tak terlihat antara mereka yang semakin tebal.
“Aku datang untuk memastikan kamu baik-baik saja,” jawab Alaric, namun suaranya datar. Tidak ada kehangatan di sana.
Lysandra tertawa miris. “Baik-baik saja? Setelah apa yang terjadi padaku? Kamu pikir aku akan baik-baik saja setelah semua ini?” Matanya yang kosong menatapnya tajam. “Kamu bahkan menghindar dariku. Kenapa? Aku sudah jelek sekarang?”
Alaric menghela napas. “Lysandra, aku… aku hanya tidak tahu harus bagaimana. Semua orang… mereka takut padamu. Takut pada apa yang terjadi. Dan aku tidak tahu apa yang harus kutunggu dari semua ini.”
Lysandra merasa seperti ditampar. Kata-kata itu menusuk jauh ke dalam hatinya, lebih dalam daripada apa pun yang ia alami sebelumnya. Mereka takut padanya? Semua orang yang dulu ingin dekat dengannya, yang dulu mengaguminya, kini takut padanya hanya karena penampilan yang sudah berubah.
“Takut?” kata Lysandra dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku… aku hanya ingin kembali seperti dulu, Alaric. Aku hanya ingin bisa merasakan apa yang dulu aku rasakan. Kenapa mereka semua meninggalkanku?”
Alaric terdiam. Dia memandangnya, seperti mencoba menilai apakah ada secercah harapan dalam diri Lysandra yang dulu begitu angkuh. Namun yang ia lihat hanyalah kehancuran yang tak bisa diperbaiki.
“Lysandra, kamu… kamu sudah berubah. Tapi bukan hanya penampilanmu. Cara kamu melihat dunia—semuanya—sudah berbeda. Kamu tidak bisa kembali ke masa lalu.”
Patah hati itu terasa sangat nyata, seperti ada sesuatu yang hancur dalam dirinya, yang tak bisa ia bangkitkan lagi. Lysandra menunduk, berusaha menahan air mata yang hampir keluar.
“Aku tidak peduli. Aku hanya ingin kembali menjadi seperti dulu. Aku ingin kembali cantik. Aku ingin kembali dicintai,” bisiknya.
Namun, saat ia menatap wajah Alaric yang mulai menjauh, ia tahu betul bahwa semuanya sudah terlambat. Alaric tidak memandangnya lagi dengan tatapan penuh rasa ingin melindungi. Hanya ada rasa kasihan yang terpancar, dan itu membuatnya merasa semakin terasingkan.
Lysandra kembali berjalan, kali ini lebih cepat, seolah-olah mencoba menghindari kenyataan yang semakin menjeratnya. Langkahnya semakin lemah, dan ia terjatuh di tanah yang keras. Kakinya tersandung akar pohon, dan tubuhnya terbanting ke tanah. Ia merasakan sakit di lututnya, namun rasa sakit itu tak sebanding dengan rasa sakit yang lebih dalam—rasa sakit yang berasal dari dalam hatinya.
Di saat seperti itu, sosok wanita tua yang pernah mengutuknya muncul kembali di hadapannya.
“Lysandra,” wanita itu berkata dengan suara yang dalam, “Kau tahu kenapa ini semua terjadi? Karena kau telah meremehkan dunia ini, meremehkan orang-orang di sekitarmu. Kau menilai mereka hanya dari penampilan dan status. Sekarang, kau akan merasakan betapa sulitnya hidup tanpa hal-hal itu.”
Lysandra ingin berteriak, ingin meminta wanita itu untuk mengakhiri kutukan ini. “Tolong, aku sudah menyesal. Aku tidak ingin seperti ini. Aku hanya ingin kembali.”
Namun, wanita itu menggelengkan kepalanya pelan. “Kau tidak bisa kembali, Lysandra. Semua yang terjadi adalah akibat dari keputusanmu sendiri. Kau telah membuat pilihan. Kini, kau harus membayar harga untuk itu.”
Lysandra mendongak, melihat wanita itu dengan tatapan penuh keputusasaan. “Apa yang harus aku lakukan? Apa yang bisa aku lakukan?”
Wanita itu hanya menatapnya tanpa berkata-kata, sebelum perlahan menghilang ke dalam kegelapan malam. Lysandra terbaring di sana, kesendirian kembali melingkupi dirinya. Semua yang ia miliki telah hilang. Bahkan penyesalan sekalipun terasa begitu sia-sia.
Kini, ia tahu betul—keangkuhan yang dulunya adalah tahta, kini menjadi kutukan yang akan menghantuinya selamanya.
Bayangan yang Menghantui
Hari-hari berlalu dengan lambat. Waktu seperti bergerak mundur, membawa Lysandra ke masa-masa kelam yang tidak pernah ia bayangkan akan datang begitu cepat. Ia sudah terbiasa dengan tatapan jijik yang dilemparkan oleh orang-orang di sekitar rumahnya, namun seiring waktu, tatapan itu semakin tajam, semakin menusuk. Seakan mereka ingin menghapusnya dari keberadaan mereka. Bahkan mereka yang pernah dekat dengannya kini menjauh, menghindari, dan tidak peduli.
Lysandra masih berjalan di jalan yang sepi, melewati taman yang dulunya penuh dengan canda tawa. Di sana, ia sering duduk dengan teman-temannya, tertawa tanpa beban, membicarakan segala hal remeh yang tak penting. Kini, taman itu hanya menyisakan kenangan pahit yang menggerogoti hatinya. Angin sepoi-sepoi berhembus lembut, tapi entah mengapa, kali ini rasanya begitu dingin. Seakan angin itu membawa segala kekecewaan yang pernah ia rasakan, mengingatkan betapa rendah dirinya sekarang.
Di sebuah bangku, seorang pria muda duduk sendirian. Hanya ada dia dan bayangannya yang memanjang di tanah. Matanya tertuju pada Lysandra yang mendekat. Lysandra mengenalnya, meskipun dia tidak mengingatnya dengan baik—dia adalah Dorian, seorang pemuda yang dahulu sering berada di sekitar mereka, seorang teman yang tak terlalu menonjol. Dorian sering kali melihatnya dari kejauhan, tetapi Lysandra selalu mengabaikannya. Kini, di hadapannya, Dorian tampak berbeda, lebih dewasa, lebih serius.
“Aku pernah bilang padamu kan, kalau kehidupan itu bisa berubah dalam sekejap?” Dorian berkata, suaranya tidak keras, namun cukup jelas untuk memecah keheningan.
Lysandra berhenti di depannya, tidak menjawab. Ia hanya memandang Dorian dengan tatapan kosong, seolah segala emosi telah hilang. “Kehidupan memang bisa berubah, tapi aku tidak tahu kalau ini yang akan terjadi. Aku tidak tahu kalau aku akan berakhir seperti ini,” jawabnya dengan suara serak, hampir tak terdengar.
Dorian tersenyum tipis, bukan senyum yang ramah atau penuh empati, tetapi senyum yang mengandung pemahaman yang dalam. “Aku tahu, Lysandra. Dulu, kamu adalah sosok yang paling menonjol. Tidak ada yang bisa mengalahkanmu. Tapi sekarang… kamu hanya bisa menerima kenyataan ini, kan?”
Lysandra menelan ludah. Rasa sakit itu kembali muncul, semakin dalam. “Aku… Aku ingin mengubahnya. Aku ingin menjadi seperti dulu, aku ingin kembali cantik. Aku ingin semua orang melihatku seperti dulu.”
Dorian menggelengkan kepalanya pelan. “Kamu tahu itu tidak mungkin, kan? Tidak ada yang bisa mengubah masa lalu. Semua yang ada sekarang adalah dirimu, dan itu yang harus kamu hadapi. Orang-orang tidak akan pernah melihatmu sama lagi, Lysandra.”
Kalimat itu seperti hantaman keras di dadanya. Lysandra menunduk, seakan mencoba menghindari kenyataan yang terlalu pahit untuk diterima. “Tapi aku… aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tidak punya siapa-siapa lagi. Aku sudah kehilangan semuanya,” katanya, hampir menangis.
Dorian terdiam, memandangnya dengan sorot mata yang penuh pengertian. “Lysandra, kamu masih punya dirimu sendiri. Mungkin itu yang terpenting sekarang.”
Mendengar kata-kata itu, entah mengapa justru membuatnya semakin lemah. Apa gunanya memiliki diri sendiri, jika orang-orang sudah meninggalkannya? Apa artinya menjadi dirinya sendiri, jika tak ada yang peduli dengan siapa dia sekarang?
Hening.
Hanya ada suara angin yang berdesir di antara mereka, suara yang seperti mencemooh, seperti menertawakan kegagalan hidup Lysandra. Tak ada lagi tepukan di pundaknya, tak ada lagi pujian tentang betapa cantiknya dirinya. Yang ada hanya kekosongan yang semakin meluas, memakan semua yang ia kenal.
“Aku tidak ingin sendirian seperti ini,” bisiknya, matanya tertutup, seakan ingin menepis rasa sakit itu, tapi ia tahu itu tidak akan berhasil.
Dorian berdiri perlahan, menatap Lysandra dengan sekali lagi. “Kamu tidak pernah benar-benar sendirian, Lysandra. Itu hanya perasaanmu yang menguasai. Tetapi jika kamu terus seperti ini, jika kamu terus menyalahkan dirimu sendiri, kamu akan terus merasa seperti ini. Aku harap kamu tahu itu.”
Lysandra tidak menjawab. Tidak ada yang perlu dijawab. Semua yang dikatakan Dorian terasa benar, namun itu tidak bisa mengubah kenyataan yang ada. Ia tahu, dan ia sudah lama tahu, bahwa tidak ada yang bisa mengubah dirinya kembali menjadi yang dulu. Bahkan ia sudah berusaha begitu keras untuk menerima semuanya, namun ternyata hatinya masih saja menjerit.
Dorian berjalan menjauh, meninggalkan Lysandra yang berdiri di tempatnya, tertunduk lemas. Angin semakin kencang, membawa debu dan daun-daun yang berguguran. Setiap helainya seakan menyiratkan peringatan, bahwa waktu terus berjalan, dan tak ada yang bisa menghentikannya.
Lysandra menatap bayangannya yang semakin memudar di tanah, melihat sosoknya yang kini tampak begitu asing. Sosok yang dulu begitu indah kini hanya menjadi gambaran samar dari kenangan masa lalu. Ia mengangkat tangannya, meraba wajahnya yang kasar dan penuh noda. Tidak ada yang tersisa dari kecantikan itu. Hanya ada kekosongan yang mencekam.
Setiap malam, ia kembali ke kamarnya yang dulu penuh dengan kemewahan dan hiasan. Kini, kamarnya terasa seperti penjara. Dinding-dindingnya mengingatkannya pada kesendirian yang tak terelakkan. Semua barang yang dulu ia anggap sebagai simbol status, kini hanya tampak sebagai benda-benda mati yang tidak punya makna. Ia duduk di depan cermin, memandang refleksinya dengan penuh kebencian.
“Kenapa aku tidak bisa mengubah ini?” bisiknya. “Kenapa aku tidak bisa kembali?”
Tetapi jawaban itu tak pernah datang. Dan Lysandra tahu, mungkin selamanya ia akan bertanya tanpa pernah mendapatkan jawaban.
Kehilangan yang Abadi
Hari-hari semakin berlalu tanpa ada perubahan yang berarti. Lysandra kini lebih sering menghabiskan waktu di dalam kamar gelap, menatap cermin dengan pandangan kosong. Tidak ada lagi yang bisa dia lakukan, tidak ada lagi yang bisa dia ubah. Dunia yang dulu memuja kecantikannya kini meninggalkan dia dalam keheningan yang dalam.
Beberapa kali, ada orang yang datang, tetapi mereka datang hanya untuk melihat keadaan. Mereka tidak peduli dengan perasaan Lysandra. Mereka hanya penasaran, melihat apakah dia benar-benar terpuruk seburuk yang mereka kira. Mereka tidak melihat manusia di balik kulit, tidak melihat hatinya yang hancur, hanya sekedar kepuasan melihat orang yang dulu mereka anggap angkuh, sekarang jatuh ke dalam jurang kesendirian yang tanpa akhir.
Setiap kali ada seseorang yang datang dan pergi, Lysandra hanya bisa melihat mereka dari balik jendela kamar, tanpa pernah mengucapkan sepatah kata pun. Kakinya terasa begitu berat untuk melangkah keluar. Bahkan udara di luar seakan terasa lebih berat, penuh dengan penghakiman dan cemoohan. Seolah seluruh dunia berusaha mengabaikan keberadaannya.
Di pagi yang kelabu, dengan udara yang tak segar seperti dulu, Lysandra duduk di meja riasnya. Rambutnya yang dulu terawat rapi kini kusut, dan wajahnya yang dahulu dipenuhi kecantikan kini hanya tampak lusuh, penuh dengan tanda-tanda penyesalan yang tak bisa dihapus. Sesekali, ia menyeka air matanya yang jatuh tanpa disadari. Ada perasaan yang membelenggunya, perasaan yang tak bisa ia lepaskan, perasaan kehilangan yang begitu dalam.
Ia mengingat kembali kata-kata Dorian. “Kamu masih punya dirimu sendiri.”
Tapi apa artinya itu? Apa artinya memiliki diri sendiri jika dunia sudah begitu jauh meninggalkanmu? Apa artinya dirimu sendiri jika tak ada yang peduli? Bahkan dirinya sendiri kini merasa terasing dari tubuh yang dahulu ia banggakan. Dirinya tak lagi mengenali siapa dia.
Lysandra berjalan keluar dari kamarnya, langkahnya berat, dan dunia seakan memandangnya dengan jijik. Ia merasakan tatapan itu setiap kali seseorang melintas, tetapi ia tidak peduli lagi. Tidak ada lagi yang bisa melukai dirinya lebih dalam daripada apa yang sudah ia rasakan.
Dia melangkah keluar dari rumah, menuju taman yang dulu penuh tawa dan canda. Taman itu kini tampak sepi. Daun-daun berguguran, menutupi tanah yang basah. Ia duduk di bangku kosong, memandang ke sekelilingnya dengan tatapan hampa. Tidak ada suara burung, tidak ada tawa riang. Hanya ada angin yang berhembus, membawa kesedihan yang terasa begitu nyata.
Lysandra menunduk, menatap tangannya yang kasar. Ada jejak-jejak masa lalu yang tertinggal di sana, jejak-jejak kebanggaan yang kini terasa seperti beban. Segalanya terasa berat. Segalanya terasa kosong. Keindahan yang dulu ia miliki, kini hanya menjadi bayangan yang jauh, tak terjangkau.
“Kenapa aku tidak bisa kembali?” tanyanya pada dirinya sendiri. Tidak ada yang menjawab. Hanya angin yang berbisik lembut di telinganya, seakan memberi peringatan bahwa waktu terus berjalan.
Seiring matahari mulai terbenam, dia merasa tubuhnya begitu lelah, sangat lelah. Bukan hanya fisiknya, tetapi jiwanya. Lysandra merasa seperti ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak akan pernah kembali. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa bahwa dunia benar-benar telah meninggalkannya.
Sore itu, ketika senja mulai menggulirkan bayangan panjang di atas tanah, Lysandra merasakan kelembutan angin yang menyentuh kulitnya. Ia menutup matanya, membiarkan angin itu membelai wajahnya. Mungkin, hanya mungkin, angin itu membawa kedamaian, membawa akhir dari segala penderitaannya.
Dan ketika matahari benar-benar tenggelam, Lysandra tertidur di bangku taman, sendirian. Tidak ada yang datang untuk menolongnya. Tidak ada yang datang untuk menemani. Di dunia yang begitu luas ini, ia akhirnya mengerti bahwa kesendirian bukanlah sekadar ketiadaan orang lain, tetapi juga ketiadaan diri sendiri.
Malam datang begitu hening, dan dunia terus berputar, tanpa peduli apakah ada seseorang yang masih merasakan sakit atau tidak. Lysandra, yang dulu begitu indah, kini hanya menjadi kenangan. Dan seperti bayangan senja yang memudar, ia pun menghilang tanpa ada yang memperhatikannya.
Kehilangan yang abadi.
Jadi, kadang hidup itu emang nggak seindah yang kita kira. Dulu kita bisa sombong, merasa di atas angin, tapi siapa yang tahu kalau suatu hari semua itu bisa hilang begitu saja.
Kadang, saat kita udah di posisi terendah, baru deh sadar kalau semuanya itu nggak ada artinya tanpa orang-orang yang peduli. Tapi sayangnya, kadang penyesalan datang terlambat. Ya, hidup memang nggak selalu adil, kan? Tapi satu hal yang pasti, nggak ada yang bisa memutar waktu.