Daftar Isi
Pernah nggak sih ngebayangin punya musuh bebuyutan di sekolah yang bikin hari-hari jadi penuh drama? Kebayang nggak kalau tiba-tiba harus kejebak berjam-jam di satu ruangan sama dia?
Nah, ini kisah dua orang yang awalnya saling benci setengah mati, tapi gara-gara insiden nggak terduga, semuanya berubah. Siap-siap dibawa ke cerita penuh ketegangan, adu mulut, dan… mungkin sedikit kejutan di ujungnya!
Dari Benci Jadi Teman
Api dan Angin
Di SMA Graventhorne, hanya ada satu aturan tak tertulis yang semua siswa tahu: jangan pernah menempatkan Raven Albrecht dan Zephyr Vanzetti dalam satu ruangan kecuali kau ingin terjadi perang dingin yang membara.
Sejak awal masuk sekolah, keduanya seperti dua kutub yang saling menolak. Tidak ada hari tanpa perdebatan panas, saling menyindir di depan kelas, atau perang dingin di lorong sekolah. Raven, si perfeksionis dengan reputasi tanpa cela, tidak tahan melihat Zephyr yang suka bertindak sesuka hati. Sementara Zephyr, si pembangkang yang selalu menolak tunduk pada aturan, merasa geli setiap kali melihat Raven berusaha mengontrol segalanya.
Konflik mereka mencapai puncaknya ketika pemilihan ketua OSIS diumumkan. Semua orang tahu Raven akan menang. Itu sudah pasti. Tapi yang membuat banyak orang terkejut adalah fakta bahwa wakil ketua OSIS yang terpilih adalah Zephyr.
“Serius, ini pasti kesalahan,” gumam Raven saat hasil pemilihan diumumkan.
Zephyr, yang berdiri di sampingnya, hanya tersenyum santai. “Oh, jangan terlalu kecewa, Albrecht. Aku juga nggak terlalu senang harus kerja sama sama kamu.”
Sejak saat itu, setiap rapat OSIS terasa seperti medan perang. Para anggota lain sudah terbiasa melihat keduanya saling serang dengan argumen yang tajam. Bahkan ada yang mulai bertaruh kapan salah satu dari mereka akan melempar sesuatu ke kepala lawannya.
Hari ini, sama seperti hari-hari sebelumnya, ruang rapat dipenuhi dengan ketegangan saat Raven dan Zephyr kembali terlibat perdebatan sengit.
“Kamu itu nggak bisa kerja tim,” ujar Zephyr, bersandar santai di kursinya. “Selalu merasa paling benar dan semua harus ikut maumu.”
Raven menatapnya tajam. “Beda sama kamu yang nggak pernah serius dalam hal apa pun?”
Zephyr terkekeh. “Aku serius dalam banyak hal, cuma kamu aja yang nggak sadar.”
“Serius bikin orang kesel mungkin?” balas Raven cepat.
Beberapa anggota OSIS saling bertukar pandang, ragu apakah harus menghentikan perdebatan ini atau membiarkannya.
“Udah, kalian bisa nggak berhenti ribut sebentar aja?” kata Elise, sekretaris OSIS, dengan wajah putus asa.
Raven menghela napas panjang, berusaha menahan amarahnya. “Baik. Aku nggak punya waktu buat debat nggak berguna sama kamu.”
Zephyr mengangkat bahu. “Sama. Nggak tertarik juga.”
Meski berkata begitu, dalam hati mereka tahu—ini belum selesai. Ini tidak akan pernah selesai.
Mereka benci satu sama lain, dan tidak ada yang bisa mengubah itu. Atau setidaknya, begitu yang mereka pikirkan.
Terkunci dalam Benci
Hari itu, langit senja sudah mulai meredup ketika Raven Albrecht melangkah masuk ke gudang sekolah dengan ekspresi tak sabar. Tumpukan properti lomba masih berantakan, dan sebagai ketua OSIS, tentu saja dia harus memastikan semuanya tertata dengan rapi sebelum kompetisi dimulai besok.
Masalahnya, dia tidak sendiri.
Di belakangnya, dengan langkah santai dan wajah penuh kebosanan, Zephyr Vanzetti menyusul masuk.
“Aku nggak ngerti kenapa aku harus ikut di sini,” gumam Zephyr, menyandarkan tubuhnya ke rak kayu. “Harusnya ini bisa dikerjakan sama anak logistik.”
Raven meliriknya sekilas. “Karena wakil ketua OSIS juga punya tanggung jawab. Bukan cuma datang rapat dan bikin semua orang kesel.”
Zephyr terkekeh, mengambil bola basket tua dari rak dan melemparnya ke udara sebelum menangkapnya lagi. “Aku nggak keberatan bikin kamu kesel sih.”
Raven mengabaikannya. Dengan cepat, dia mulai menyusun tumpukan kardus ke sisi gudang, merapikan banner yang terlipat sembarangan, dan memastikan tidak ada barang yang tercecer.
Zephyr, tentu saja, hanya berdiri di sana, bermain dengan bola di tangannya tanpa niat membantu sedikit pun.
“Aku nggak butuh penonton,” kata Raven tanpa menoleh.
Zephyr melempar bola ke rak asal-asalan. “Aku di sini buat menemani, bukan kerja rodi.”
Raven menghela napas panjang. “Kalau gitu, pergi aja.”
“Percaya deh, aku juga pengen.”
Tepat saat itu, terdengar suara dari luar.
BRUKK!
Mereka sama-sama menoleh. Pintu gudang tertutup.
Hening sejenak.
Lalu, dengan raut wajah tak percaya, Raven melangkah cepat ke arah pintu dan mencoba mendorongnya. Tidak bergerak.
Zephyr menyusul, mencoba menggoyangkan gagang pintu. “Jangan bilang ini terkunci?”
Raven mengembuskan napas keras, mengontrol emosinya. “Ini pasti ulah anak-anak logistik. Mereka asal nutup pintu tanpa ngecek ada orang di dalam.”
Zephyr menendang pintu sekali, lalu dua kali. Tidak ada hasil.
“Keren,” katanya dengan nada sarkastik. “Jadi kita terjebak di gudang tua ini tanpa makanan, tanpa air, tanpa hiburan, bersama?”
Raven menutup matanya sejenak. Ini mimpi buruk.
Dia merogoh sakunya, mencoba menyalakan ponsel, tetapi layar tetap gelap. Baterai habis.
Zephyr melakukan hal yang sama, lalu tertawa kecil. “Serius? Ponselku juga mati. Ini kayak semesta ngajarin kita buat kerja sama.”
Raven tidak menanggapi. Dia menendang pintu sekali lagi, lebih keras kali ini. Masih tidak ada hasil.
Zephyr melirik sekeliling, mencari sesuatu yang bisa digunakan. “Oke, kita harus pikirkan rencana.”
Raven menyilangkan tangan di dada. “Akhirnya kamu mau serius?”
“Bukan,” Zephyr tersenyum miring. “Aku cuma nggak mau mati kedinginan di tempat ini bersama kamu.”
Raven mendecak, lalu mulai berjalan mengelilingi gudang. Tempat itu lebih besar dari yang terlihat dari luar, dengan rak-rak kayu tinggi yang penuh barang-barang lama. Ada tumpukan kardus di satu sudut, beberapa meja rusak, dan jendela kecil yang terlalu tinggi untuk dijangkau.
“Ada ventilasi?” tanya Zephyr.
Raven menunjuk ke atas. “Ada, tapi ukurannya terlalu kecil.”
Zephyr menatapnya. “Kamu bisa masuk kalau diet dua tahun.”
Raven berbalik dan menatapnya tajam. “Kalau kamu nggak mau bantu, diam aja.”
Zephyr tertawa kecil. “Santai, Albrecht. Aku cuma bercanda.”
Mereka kembali hening. Waktu berlalu, tetapi tidak ada tanda-tanda seseorang akan datang mencari mereka.
Akhirnya, Zephyr duduk di lantai, bersandar ke tumpukan kardus. “Kayaknya kita nggak bakal keluar dalam waktu dekat.”
Raven meliriknya, lalu melihat jam di dinding gudang. Sudah hampir pukul delapan malam.
“Kita harus bikin suara biar ada yang dengar,” kata Raven. Dia mengambil batang besi kecil dari lantai dan mulai mengetuk pintu dengan irama keras.
Zephyr menghela napas. “Kamu pikir sekolah ini Hogwarts? Sekarang udah malam, nggak ada siapa-siapa.”
Raven tidak menyerah. Dia terus mengetuk, tapi tetap tidak ada jawaban.
Zephyr akhirnya berdiri dan menatapnya. “Dengar, kayaknya kita nggak punya pilihan selain tunggu sampai besok pagi.”
Raven tidak suka ide itu, tetapi dia tahu Zephyr mungkin benar.
Dia akhirnya bersandar ke dinding, merasakan lelah merayap di tubuhnya. Gudang itu cukup dingin, dan hawa malam mulai meresap ke dalam.
Zephyr duduk di seberang Raven, bersedekap. “Lucu, ya.”
Raven mengangkat alis. “Apa yang lucu?”
Zephyr tersenyum kecil. “Dari semua orang di sekolah ini, kenapa aku harus terjebak sama kamu?”
Raven menatapnya sejenak, lalu mendengus. “Percaya deh, aku juga mikir hal yang sama.”
Mereka kembali diam.
Untuk pertama kalinya, tidak ada perdebatan, tidak ada sindiran.
Hanya mereka berdua, terkunci dalam ruang sempit yang dingin, bertanya-tanya kapan mimpi buruk ini akan berakhir.
Celah di Dinding Pertahanan
Dingin mulai menusuk. Gudang itu memang tertutup, tapi udara malam yang merembes masuk melalui celah-celah kecil membuat suasana semakin tidak nyaman. Raven menggosok kedua lengannya, berusaha menghangatkan diri. Sementara itu, Zephyr masih bersandar santai di tumpukan kardus seakan situasi ini bukan masalah besar baginya.
Mereka sudah duduk dalam diam cukup lama. Tidak ada yang berbicara, tidak ada yang mencoba mengetuk pintu lagi. Hanya suara napas dan deru angin dari luar yang terdengar.
Hingga akhirnya, Zephyr membuka mulutnya.
“Kamu kedinginan?”
Raven meliriknya sekilas. “Aku baik-baik saja.”
Zephyr mengangkat alis. “Nggak kelihatan kayak gitu.”
“Aku nggak butuh perhatian kamu.”
Zephyr terkekeh kecil. “Santai, Albrecht. Aku nggak khawatir kok. Cuma nanya.”
Raven menghela napas panjang. Dia benar-benar tidak punya energi untuk berdebat lagi. “Aku bisa tahan.”
Zephyr menatapnya beberapa detik, lalu melepas jaket yang dia kenakan dan melemparkannya ke Raven.
Raven menatap jaket itu di pangkuannya dengan ekspresi bingung. “Apa ini?”
“Jaket, obviously.”
“Aku nggak butuh.”
“Ya udah,” Zephyr mengangkat bahu, “Tapi kalau nanti kamu beku di sini, aku nggak bakal repot-repot nolongin.”
Raven diam sejenak sebelum akhirnya menyerah dan mengenakan jaket itu. Mau bagaimana lagi? Udara benar-benar dingin dan dia tidak mau mati membeku hanya karena ego.
Keheningan kembali menyelimuti mereka.
Beberapa menit berlalu sebelum Zephyr tiba-tiba bersuara lagi.
“Kamu beneran benci aku?”
Pertanyaan itu membuat Raven menoleh. “Apa?”
“Kamu beneran benci aku?” ulang Zephyr, masih dengan nada santai, tapi matanya menatap Raven lebih serius dari biasanya.
Raven berpikir sejenak sebelum menjawab. “Aku nggak suka cara kamu bekerja. Kamu nggak disiplin, nggak peduli sama aturan, dan selalu seenaknya sendiri.”
Zephyr tersenyum miring. “Jadi, bukan aku yang kamu benci. Cuma caraku?”
Raven mendecak. “Itu hal yang sama.”
“Nggak juga.”
Raven tidak tahu harus menjawab apa. Sebelumnya, dia pikir kebenciannya terhadap Zephyr adalah sesuatu yang mutlak—tidak bisa diganggu gugat. Tapi sekarang, terjebak dalam gudang bersamanya, tanpa ada orang lain untuk mengalihkan perhatian, dia mulai menyadari sesuatu.
Zephyr memang menyebalkan. Tapi dia juga… tidak sepenuhnya buruk.
“Kenapa kamu selalu bertindak seakan nggak peduli?” tanya Raven tiba-tiba.
Zephyr mengangkat bahu. “Mungkin karena aku emang nggak peduli?”
Raven menatapnya tajam. “Aku nggak percaya itu.”
Zephyr terdiam. Tatapannya sedikit berubah, seperti ada sesuatu yang dipertimbangkannya. Lalu, tanpa peringatan, dia tertawa kecil.
“Aku pernah mencoba,” katanya pelan. “Dulu, aku selalu berusaha jadi anak yang baik. Mengikuti aturan, melakukan yang terbaik dalam semua hal. Tapi tahu apa yang terjadi?”
Raven tidak menjawab, tapi dia tetap mendengarkan.
“Aku tetap nggak cukup baik.” Zephyr menendang kerikil kecil di lantai dengan ujung sepatunya. “Orang-orang tetap menuntut lebih. Apa pun yang aku lakukan, mereka selalu bilang, ‘Kamu bisa lebih dari ini’. Jadi aku berhenti peduli.”
Raven tidak menyangka akan mendengar hal seperti itu dari Zephyr. Dia pikir Zephyr hanyalah tipe orang yang memang tidak peduli sejak lahir. Tapi ternyata, ada alasan di balik semua itu.
“Kamu tahu rasanya?” tanya Zephyr, menatap Raven dengan sorot mata yang sulit ditebak.
Raven terdiam sejenak sebelum menjawab, “Nggak.”
Zephyr tertawa kecil. “Ya, tentu saja. Kamu selalu sempurna.”
“Tidak ada yang sempurna,” balas Raven cepat.
Zephyr mengangkat alis. “Buat banyak orang, kamu hampir sempurna.”
Raven tidak tahu bagaimana harus merespons itu.
Dia ingin membantah. Ingin mengatakan bahwa menjadi Raven Albrecht tidaklah semudah yang terlihat. Bahwa dia juga memiliki tekanan, tuntutan, dan ekspektasi yang kadang sulit dipenuhi. Tapi dia tidak mengatakan apa pun.
Untuk pertama kalinya, mereka tidak bertengkar. Tidak berdebat.
Hanya berbicara.
Dan entah bagaimana, itu terasa lebih melelahkan daripada semua perdebatan mereka selama ini.
Malam semakin larut, dan tanpa sadar, ada sesuatu yang berubah di antara mereka. Dinding kebencian yang mereka bangun selama ini mulai retak. Tidak hancur sepenuhnya, tapi ada celah kecil yang mulai terbentuk.
Celah yang mungkin, hanya mungkin, akan semakin melebar seiring waktu.
Tidak Lagi Sama
Suasana di dalam gudang terasa berbeda dari beberapa jam lalu. Bukan hanya karena udara yang semakin dingin atau karena mereka sudah kehabisan topik untuk dibicarakan, tetapi karena ada sesuatu yang berubah.
Mereka tidak tahu harus menyebutnya apa.
Yang jelas, kebencian yang selama ini terasa begitu mutlak perlahan-lahan mulai terasa… tidak sekuat sebelumnya.
Zephyr, yang awalnya masih mencoba bersikap santai, kini duduk dengan tangan bersilang di dada, menatap langit-langit. Sementara itu, Raven yang semula duduk tegap kini sudah sedikit bersandar ke dinding, matanya terpejam, tapi jelas dia tidak benar-benar tidur.
Hening.
Lalu, tiba-tiba ada suara dari luar.
Ceklek.
Pintu gudang terbuka perlahan, dan sosok Elise muncul di ambang pintu dengan wajah penuh rasa bersalah.
“Oh, astaga! Kalian masih di sini?”
Raven dan Zephyr langsung berdiri bersamaan.
“Elise?” Raven mengerutkan kening. “Kamu yang ngunci kita di sini?”
Elise mengangkat tangan tanda menyerah. “Bukan! Itu bukan salahku! Anak-anak logistik nutup pintunya karena mereka kira nggak ada siapa-siapa di dalam.”
Zephyr mendengus. “Luar biasa. Udah jam berapa ini?”
Elise mengintip jam tangannya. “Uh… hampir jam dua pagi?”
Raven dan Zephyr saling pandang. Mereka tidak sadar sudah selama itu terjebak bersama.
“Aku nyari kalian sejak tadi,” lanjut Elise. “Baru kepikiran kalau kalian mungkin ada di sini. Maaf banget, ya!”
Raven menghela napas dan melangkah keluar lebih dulu. Rasanya aneh bisa menghirup udara luar lagi setelah berjam-jam terkurung di dalam.
Zephyr menyusulnya, meregangkan tubuhnya yang pegal. “Ayo pulang. Aku nggak mau mati di sekolah karena kelaparan.”
Elise tersenyum lemah. “Uh… jangan marah, ya?”
Raven hanya mengangguk. Zephyr memberi Elise anggukan kecil sebelum berjalan menuju gerbang sekolah.
Mereka keluar dari gudang sebagai orang yang berbeda dari saat mereka masuk.
Di hari-hari berikutnya, sesuatu terasa aneh.
Mereka kembali ke rutinitas seperti biasa—rapat OSIS, laporan kegiatan, tugas-tugas sekolah. Tapi ada yang berubah.
Tidak ada lagi perdebatan kecil setiap lima menit. Tidak ada sindiran pedas setiap kali mereka bertatap muka.
Mereka tetap tidak bisa dibilang ‘teman’, tapi ada sesuatu yang tidak bisa dijelaskan.
Saat Zephyr terlambat datang ke rapat, Raven tidak lagi melontarkan komentar tajam seperti biasanya.
Saat Raven terlihat terlalu serius dengan pekerjaannya, Zephyr tetap iseng mengganggunya, tapi kali ini lebih santai, lebih ringan—seolah dia hanya bercanda, bukan benar-benar ingin membuat Raven kesal.
Hingga akhirnya, pada suatu siang setelah rapat OSIS, saat semua anggota mulai membubarkan diri, hanya mereka berdua yang tersisa di ruangan.
Zephyr duduk di kursi, memainkan pulpen di tangannya. Raven masih sibuk merapikan berkas.
Saat dia hendak keluar, Zephyr tiba-tiba berkata, “Hey, Raven.”
Raven berhenti dan menoleh. “Apa?”
Zephyr menatapnya sebentar sebelum tersenyum kecil. “Ternyata kamu nggak seburuk yang aku kira.”
Raven terdiam. Dia tidak tahu harus merespons seperti apa.
Tapi akhirnya, untuk pertama kalinya, dia tersenyum kecil—walaupun hanya sepersekian detik sebelum dia kembali memasang ekspresi datarnya.
“Kamu juga nggak seburuk itu.”
Zephyr terkekeh. “Jadi, kita sekarang apa? Teman?”
Raven mengangkat bahu, tidak langsung menjawab. Tapi ada sesuatu dalam caranya menatap Zephyr yang memberi jawaban tersirat.
Zephyr tersenyum lebih lebar.
Mereka keluar dari ruangan bersama.
Dulu, mereka adalah dua orang yang saling benci.
Kini, mereka bukan lagi musuh.
Mungkin belum sepenuhnya menjadi teman.
Tapi setidaknya, mereka tidak lagi berjalan sendirian.
Siapa sangka dua orang yang dulunya nggak bisa lihat satu sama lain tanpa ribut, sekarang malah bisa jalan bareng tanpa saling bunuh?
Hidup emang lucu—kadang kita ketemu orang yang awalnya kayak musuh seumur hidup, tapi tanpa sadar, mereka jadi seseorang yang ternyata… nggak seburuk yang kita kira. Mungkin benci dan suka emang cuma beda tipis, ya?


