Daftar Isi
Kalian pernah nggak sih, benci sama seseorang tapi tiba-tiba jadi ngerasa tertarik? Itulah yang dialami Gavian, si badboy, dan Melody, adik kelas yang sering dibully. Di SMA Tunas Harapan, kisah mereka jadi bukti kalau cinta bisa datang dari tempat yang paling nggak terduga.
Dari pertengkaran yang bikin sebel, bullying, sampai momen-momen yang bikin hati meleleh, ikuti perjalanan mereka yang penuh drama dan romansa ini. Siapkan diri untuk merasakan semua emosi bareng Gavian dan Melody!
Dari Badboy ke Kekasih
Badboy dan Pembully
Di SMA Tunas Harapan, Gavian sudah dikenal sebagai sosok yang tak bisa diabaikan. Dengan wajah tampan dan sikap cuek, dia sering kali menjadi pusat perhatian—baik bagi teman-temannya maupun bagi para penggemar wanita. Namun, di balik karismanya yang memukau, Gavian adalah seorang badboy yang sering bikin onar. Dia bukan cuma terkenal karena gaya hidupnya yang nakal, tapi juga karena kebiasaan buruknya yang sering bikin masalah di sekolah.
Setiap pagi, Gavian datang ke sekolah dengan motor mewahnya, memarkirkannya di area parkir yang paling terlihat. Dia sering dikelilingi teman-temannya, ngobrol dengan nada keras, dan kadang-kadang berteriak dari kejauhan. Tidak jarang dia terlibat pertengkaran dengan siswa lain, dan lebih sering lagi, dia bikin repot guru-gurunya dengan ulahnya yang bikin pusing.
Namun, di balik semua perhatian dan statusnya sebagai badboy, ada satu orang yang sangat nggak suka sama dia—Melody. Melody adalah adik kelasnya, dan dia bukan tipe orang yang suka ribut. Dia lebih suka duduk di sudut kelas, fokus belajar, dan menjauh dari segala bentuk keributan. Sayangnya, sikap Gavian yang seenaknya bikin hidup Melody jadi ribet. Selalu ada saja masalah yang dibawa Gavian ke dalam hidupnya, dan itu semua bikin Melody merasa tertekan.
Suatu pagi di kelas, Melody sedang duduk dengan tenang, mencoba menyelesaikan tugasnya. Tiba-tiba, Gavian masuk ke kelas dengan langkah santai, disusul oleh teman-temannya yang tertawa keras. Dia langsung menuju kursinya di barisan depan tanpa peduli dengan suasana kelas yang mulai gaduh.
“Eh, Melody!” teriak Gavian, suaranya penuh nada mengejek. “Mana tugas yang gue suruh lo kerjain kemarin?”
Melody menunduk, wajahnya memerah. “Belum selesai, Gavian.”
“Belum selesai?” Gavian mendekat, sambil melemparkan tatapan menantang. “Lo pikir gue mau nunggu terus? Cepat kerjain, atau gue bakal kasih tau semua orang kalau lo lambat!”
Melody merasa malu dan tertekan. Selama ini, Gavian sudah sering banget memaksanya ngerjain tugas, dan dia selalu merasa terpojok setiap kali harus menghadapi Gavian. “Gue bener-bener lagi sibuk,” jawab Melody dengan suara pelan.
Gavian hanya tersenyum sinis. “Nggak ada yang peduli lo sibuk atau nggak. Lo cuma adik kelas yang harus nurut sama gue.”
Melody merasa air mata mulai menggenang di matanya. Dia berusaha menahan emosinya dan tetap fokus pada tugasnya. Selama ini, dia sudah mencoba mengabaikan ulah Gavian, tapi hari ini dia benar-benar merasa putus asa.
Di luar kelas, Gavian dan teman-temannya terus ngobrol dan tertawa, tanpa memperhatikan bagaimana tindakan mereka mempengaruhi Melody. Mereka tahu Gavian terkenal dengan sikapnya yang menyebalkan, dan meskipun mereka kadang merasa risih, mereka tetap saja ikut dalam kegembiraan Gavian.
Kegiatan di sekolah berlangsung seperti biasa, tetapi bagi Melody, hari itu terasa seperti beban berat. Setiap kali Gavian lewat, dia merasa seperti semua mata tertuju padanya, dan sering kali dia merasa tertekan. Tapi, di balik semua kesulitan ini, ada sesuatu yang Melody tidak sadari—perasaan yang sebenarnya tersembunyi di dalam hati Gavian.
Meskipun Gavian sering menjahili Melody dan memperlakukannya dengan buruk, di lubuk hati yang paling dalam, Gavian sebenarnya punya rasa yang rumit terhadap Melody. Selama ini, dia cuma tahu caranya untuk dekat dengan Melody dengan cara yang salah. Namun, rasa suka yang sebenarnya ada di dalam dirinya nggak pernah dia ungkapkan, dan dia terus mengekspresikannya lewat kebiasaan buruknya.
Hari demi hari berlalu, dan Gavian terus memperlihatkan sikapnya yang sama. Sementara Melody berusaha untuk tetap tenang, dia tak bisa menyingkirkan perasaan tertekan yang sering kali menghantuinya. Tapi, mungkin ada sesuatu yang lebih besar yang akan mengubah segalanya, sesuatu yang mungkin akan mengungkapkan perasaan yang sebenarnya tersembunyi di balik sikap buruk Gavian.
Dengan hujan yang terus turun di luar, dan hari yang semakin mendekati sore, tidak ada yang tahu bahwa suatu kejadian besar akan segera mengubah dinamika antara Gavian dan Melody. Momen yang akan membuka tabir rahasia dan mengubah hubungan mereka untuk selamanya.
Penyiksaan Seorang Adik Kelas
Hari-hari berlalu di SMA Tunas Harapan, dan rutinitas Gavian sebagai badboy yang mengusili Melody tetap berlangsung seperti biasa. Meski dia tidak sekelas dengan Melody, dia selalu punya cara untuk bikin hari Melody lebih buruk dari sebelumnya. Entah itu dengan memaksa Melody mengerjakan tugasnya, atau hanya sekadar mengolok-oloknya di depan teman-teman.
Setiap kali Gavian melihat Melody di sekitar sekolah, dia tidak pernah melewatkan kesempatan untuk bikin hidup Melody lebih ribet. Kadang, dia memanfaatkan teman-temannya untuk ikut serta dalam lelucon jahatnya. Hari itu, Melody sedang duduk di kantin sendirian, menyantap makan siangnya dengan tenang. Tiba-tiba, Gavian muncul bersama teman-temannya, membawa suasana yang biasanya heboh.
“Eh, Melody!” teriak Gavian dari jauh, sambil tertawa dengan nada mengejek. “Lo makan sendirian? Nggak ada teman, kasihan?”
Melody menunduk, mencoba untuk tidak memperhatikan dan terus makan dengan cepat. Namun, Gavian terus mendekat dengan teman-temannya, membuat suasana semakin tidak nyaman. “Mau ikut gabung sama kita nggak? Atau lo cuma mau makan sambil melamun?” tanyanya sambil berusaha melihat isi makanan Melody.
Melody berusaha untuk tenang. “Gue cuma mau makan. Tolong jangan ganggu.”
Gavian menempelkan kakinya ke kursi Melody, membuatnya hampir terjatuh. “Kasihan nggak punya teman. Lo nggak ngerti kalau lo itu harus punya teman yang baik seperti gue daripada duduk sendirian?”
Teman-teman Gavian tertawa melihat kekacauan yang ditimbulkan. Melody merasa sangat tidak nyaman dan malu di hadapan mereka. Dia akhirnya memutuskan untuk pergi dari kantin dan mencari tempat lain yang lebih tenang.
Di luar kantin, Melody berjalan dengan cepat menuju perpustakaan, tempat dia biasanya bisa mendapatkan ketenangan. Namun, Gavian dan teman-temannya terus mengikuti, membuatnya sulit untuk merasa nyaman. Mereka berjalan di belakangnya, terus-menerus menggoda dan membuat komentar yang tidak menyenangkan.
Setibanya di perpustakaan, Melody langsung menuju ke salah satu sudut yang sepi dan mulai membaca buku dengan intens. Namun, dia tidak bisa sepenuhnya fokus karena terus merasa ada yang mengawasinya. Gavian dan teman-temannya tidak masuk ke perpustakaan, tetapi mereka sering lewat di dekat pintu sambil tertawa dan berbisik.
Hari-hari seperti ini sudah menjadi bagian dari rutinitas Melody. Gavian sering mengganggunya di tempat-tempat berbeda, dan dia merasa sudah lelah menghadapi semua perlakuan tersebut. Setiap kali Gavian datang, rasanya seperti dunia menjadi lebih sempit dan tidak nyaman.
Suatu hari, saat hujan deras turun, Melody terpaksa berteduh di sekolah setelah jam pelajaran. Hujan membuat jalanan licin, dan dia tidak bisa pulang ke rumah lebih awal. Dia duduk di bawah atap sekolah, mencoba untuk tetap kering, dan menunggu hujan reda.
Tiba-tiba, Gavian muncul di hadapannya dengan senyum nakal. “Wah, Melody, lo ternyata kejebak hujan juga? Nggak bisa pulang nih, ceritanya?”
Melody berusaha tetap tenang meskipun hatinya berdebar. “Iya, hujannya terlalu deras. Jadi gue harus nunggu sampai reda.”
Gavian berdiri di dekatnya, tampak agak terganggu karena hujan. “Kebetulan banget gue juga terjebak. Mau bareng? Nggak ada gunanya nunggu sendirian.”
Melody merasa sedikit bingung. “Kenapa tiba-tiba lo baik?”
Gavian tersenyum sinis. “Gue emang baik makanya gue nggak mau lo terjebak sendirian.”
Melody menatap Gavian dengan ragu, tetapi dia merasa terpaksa harus menerima tawaran itu karena cuaca yang buruk. Dia mengangguk dan bersama Gavian, mereka menunggu hujan reda.
Saat mereka duduk di bawah atap, Gavian mulai mengajukan beberapa pertanyaan dan memulai percakapan ringan. Melody masih merasa canggung dan bingung dengan sikap Gavian yang tiba-tiba berubah. Sementara itu, Gavian tampak berusaha menunjukkan sisi yang berbeda dari dirinya.
“Gue nggak ngerti kenapa lo harus selalu bikin masalah,” kata Melody pelan. “Padahal, gue cuma mau menjalani hari-hari gue dengan tenang di sekolah ini tanpa di ganggu lo.”
Gavian menghela napas, tampaknya berpikir sejenak sebelum menjawab. “Gue cuma… nggak tahu. Mungkin gue salah tapi mungkin juga enggak. Tapi, itu nggak berarti gue nggak peduli. Lagipula, nggak ada yang bilang hidup ini gampang.”
Dengan hujan yang masih turun dan keduanya duduk dalam keheningan, sesuatu dalam diri Gavian mulai terasa berbeda. Mungkin, ini adalah awal dari perubahan yang akan mempengaruhi hubungan mereka. Gavian mulai menyadari bahwa apa yang selama ini dia lakukan kepada Melody mungkin bukan cara yang benar.
Dengan waktu yang berlalu dan hujan yang perlahan mereda, Gavian dan Melody kembali ke sekolah dengan suasana hati yang sedikit berubah. Meskipun masih banyak yang perlu diselesaikan, hari itu menandai awal dari sesuatu yang baru dalam hubungan mereka.
Pertarungan di Toilet
Hari-hari berlalu, dan meskipun Gavian tampak lebih sering muncul di sekitar Melody, hubungan mereka tetap penuh ketegangan. Kejadian di bawah atap sekolah saat hujan ternyata hanya permulaan dari perubahan yang lebih besar. Meskipun Gavian masih menunjukkan sikap nakalnya, ada sesuatu yang membuatnya merasa tidak nyaman dengan cara dia memperlakukan Melody.
Pada suatu sore, saat hujan deras mulai mengguyur kota, suasana di sekolah mulai sepi. Melody, yang selama ini berusaha menyelesaikan tugas-tugas sekolah, merasa tertekan dan lelah. Dia memutuskan untuk pergi ke toilet sejenak untuk menenangkan diri.
Di dalam toilet, Melody memasuki salah satu bilik, berusaha menghindari gangguan. Namun, tak lama setelah dia memasuki bilik, suara berisik dari geng pembully perempuan yang dikenal sering mencari korban mulai terdengar. Melody menutup telinga, berharap suara itu segera menghilang, tapi sayangnya, mereka masuk kedalam toilet.
Geng pembully itu memasuki toilet dengan langkah berat. Melody, yang sudah merasa ketakutan, mencoba untuk tetap tenang. Namun, satu dari mereka mulai membuka pintu bilik toilet tempat Melody bersembunyi. “Lo pikir lo bisa sembunyi dari kita? Tenang aja kita akan bikin lo nyaman kok!” salah satu dari mereka mengejek dengan nada penuh kebencian.
Melody berusaha menahan air mata. “Tolong, jangan,” isaknya. Namun, geng pembully itu tidak memperdulikannya. Mereka mulai meremehkan Melody, menyingkirkan tasnya, dan menjatuhkan buku-bukunya.
Sementara itu, Gavian sedang berada di sekolah karena menjalani hukuman membersihkan gudang. Saat dia melewati toilet, dia mendengar suara gaduh dan tangisan yang sangat familiar. Dengan rasa ingin tahunya, dia menghampiri toilet dan melihat keributan di dalamnya.
Ketika Gavian membuka pintu toilet, dia terkejut melihat Melody yang sedang tertekan dan geng pembully yang sedang mengusiknya. Melihat hal itu, hati Gavian bergetar. “Apa yang lo lakukan? Berhenti sekarang” teriaknya dengan penuh kemarahan.
Geng pembully yang terkejut segera menoleh ke arah Gavian. Mereka tidak menyangka Gavian akan muncul dan membela Melody. Salah satu anggota gengnya mencoba menanggapi, “Gavian, ini bukan urusan lo. Jadi jangan campur tangan!”
Gavian dengan tegas melangkah maju. “Ini urusan gue! Berhenti sekarang juga kalo nggak mau berurusan sama gue,”
Dengan tatapan tajam dan penuh keberanian, Gavian berusaha mengusir geng pembully. Mereka merasa terintimidasi oleh sikap Gavian yang mengancam dan memutuskan untuk pergi meninggalkan toilet. Dengan cepat, mereka keluar sambil mengumpat dan mengeluh.
Gavian mendekati Melody yang masih terisak. “Lo baik-baik aja?” tanyanya dengan lembut, namun terlihat jelas bahwa dia sangat peduli.
Melody mengangkat wajahnya yang basah oleh air mata. “Gue… gue baik-baik aja. Tapi… terima kasih, Gavian. Gue nggak tahu apa yang akan terjadi kalo nggak ada lo.”
Gavian duduk di samping Melody, menghapus air matanya dengan lembut. “Lo nggak usah berterima kasih.Ini emang tugas gue karena lo berharga buat gue, Melody.”
Melody merasa terharu mendengar kata-kata Gavian. Ada sesuatu dalam tatapan Gavian yang membuatnya merasa aman dan dihargai, sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya dari pria itu. “Gue nggak paham kenapa lo tiba-tiba bisa berubah seperti ini, tapi… terima kasih.”
Gavian merasa canggung, tapi ada perasaan hangat di hatinya. “Gue… sebenarnya udah lama suka sama lo. Tapi, mungkin cara gue salah makanya itu gue sering ngusilin lo.”
Ketika hujan di luar mulai mereda, suasana di dalam toilet menjadi lebih tenang. Gavian dan Melody duduk dalam keheningan yang nyaman, saling berhadapan dengan tatapan yang penuh arti. Suasana ini membuat Gavian merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebencian dan permusuhan.
“Mau gue anter pulang?” tanya Gavian dengan nada lembut, ingin memastikan Melody merasa aman.
Melody tersenyum lembut. “Boleh, kalo lo mau.”
Mereka meninggalkan toilet bersama-sama, dengan Gavian melindungi Melody dari segala ancaman. Di luar, hujan sudah reda, meninggalkan suasana yang lebih cerah. Gavian dan Melody mulai merasakan adanya perubahan dalam hubungan mereka, dengan Gavian merasa lebih dekat dan Melody merasa lebih dihargai.
Cinta yang Tumbuh
Beberapa minggu setelah kejadian di toilet, suasana di SMA Tunas Harapan mulai terasa berbeda. Gavian dan Melody yang dulu terpisah oleh ketegangan dan kebencian kini mulai membangun sesuatu yang baru. Hubungan mereka berkembang dari sekadar pembully dan korban bully kini menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Gavian dan Melody sering terlihat bersama, baik di sekolah maupun di luar sekolah. Mereka saling berbagi cerita, tertawa, dan menikmati kebersamaan mereka. Sering kali, Gavian menunjukkan sisi lembutnya yang jarang terlihat oleh orang lain. Sementara itu, Melody yang awalnya ragu-ragu, mulai membuka hatinya untuk Gavian.
Pada suatu sore yang cerah, Gavian mengajak Melody untuk berjalan-jalan di taman kota setelah jam sekolah. Mereka duduk di bangku taman, dikelilingi oleh warna-warni bunga yang mekar dan sinar matahari yang lembut.
Gavian melihat ke arah Melody, yang duduk bersamanya dengan senyum lembut. “Lo tahu, sejak kejadian di toilet, gue jadi sering mikir tentang kita.”
Melody menoleh dan memandang Gavian dengan tatapan penasaran. “Tentang kita? Emang apa yang lo pikirin?”
Gavian menghela napas, merasa sedikit gugup. “Gue cuma… merasa ada sesuatu yang beda setelah hari itu. Gue yakin lo juga ngerasain, kan?”
Melody tersenyum malu, mengangguk. “Iya, gue merasa begitu juga. Lo udah banyak berubah sejak hari itu. Dan gue senang banget lo ada di sini buat gue.”
Gavian tersenyum lebar, merasa lega. “Gue kan udah bilang gue ini baik. Tapi gue jadi lebih senang karena bisa jadi bagian dari hidup lo. Gue nggak pernah ngerasa sebahagia ini sebelumnya.”
Mereka duduk diam sejenak, menikmati keheningan dan kedekatan mereka. Suasana di sekitar mereka terasa damai, seolah dunia hanya milik mereka berdua.
Kemudian, Gavian mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya. Dia membuka kotak itu dan menunjukkan sebuah gelang sederhana namun elegan. “Ini… buat lo,” katanya sambil memberikannya pada Melody.
Melody terkejut dan menerima gelang itu dengan lembut. “Gavian, ini… indah banget. Kenapa lo ngasih ini buat apa?”
“Gue cuma pengen lo tahu betapa berartinya lo buat gue. Gue tau gue bukan orang yang sempurna, tapi gue ingin lo tahu kalau gue bener-bener peduli sama lo dan bukan sekedar main-main,” jawab Gavian dengan tulus.
Melody, yang terharu, memeluk Gavian dengan lembut. “Terima kasih. Gue nggak pernah ngerasa dicintai seperti ini sebelumnya. Gue juga merasa begitu untuk lo.”
Gavian memeluk Melody kembali, merasakan kehangatan dan kasih sayang yang baru tumbuh di antara mereka. “Gue berjanji akan selalu ada buat lo. Gue akan berusaha jadi yang terbaik buat lo.”
Ketika mereka melepaskan pelukan, Melody tersenyum bahagia. “Gue percaya sama lo. Dan gue nggak sabar untuk melihat ke mana hubungan kita akan berkembang.”
Mereka melanjutkan perbincangan mereka di taman, berbagi rencana untuk masa depan, dan merencanakan aktivitas yang akan mereka lakukan bersama. Malam itu, mereka pulang dengan hati yang penuh cinta dan harapan.
Kehidupan di SMA Tunas Harapan kini terasa lebih cerah bagi Gavian dan Melody. Mereka menghadapi tantangan dan rintangan bersama, saling mendukung dan memahami satu sama lain. Hubungan mereka yang dimulai dengan ketegangan dan konflik kini berkembang menjadi cinta yang dalam dan tulus.
Seiring berjalannya waktu, Gavian dan Melody menemukan diri mereka semakin dekat, dan mereka mulai memahami arti sejati dari cinta dan persahabatan. Mereka membuktikan bahwa terkadang, cinta bisa tumbuh dari tempat yang tak terduga, dan bahwa setiap orang memiliki potensi untuk berubah menjadi lebih baik.
Dan begitulah akhir dari perjalanan Gavian dan Melody. Dari ketegangan dan konflik, mereka akhirnya menemukan sesuatu yang lebih berharga—cinta yang tulus dan penuh arti.
Semoga cerita ini bisa menginspirasi dan menghibur, serta mengingatkan kita bahwa kadang-kadang, cinta bisa tumbuh dari tempat yang paling tak terduga. Terima kasih sudah membaca, dan jangan lupa untuk terus mengikuti kisah-kisah menarik lainnya!