Cita-Citaku Menjadi Tentara: Perjuangan dan Ketangguhan Tanpa Batas

Posted on

Jadi, kamu pernah gak sih punya cita-cita yang bener-bener kamu kejar mati-matian? Kayak, kamu tahu banget itu bakal susah banget, tapi kamu tetep jalanin aja, karena itu impian terbesar kamu. Nah, cerpen ini ngomongin tentang perjuangan keras Azman, seorang pemuda yang gak gentar buat jadi tentara.

Bukan cuma soal fisik, tapi juga soal mental dan tekad yang gak pernah pudar. Kamu bakal liat gimana dia bener-bener berjuang dan gak pernah nyerah, walaupun semua orang di sekitarnya meragukan. Yuk, baca dan rasain sendiri gimana perjuangan itu!

 

Cita-Citaku Menjadi Tentara

Langkah Pertama di Jalan Panjang

Pagi itu, seperti pagi-pagi sebelumnya, Azman sudah bangun lebih awal dari kebanyakan orang di desa. Langit masih gelap, hanya sinar rembulan yang menuntun langkahnya. Angin sejuk berhembus pelan, tapi tidak cukup untuk meredakan panas tubuhnya yang sudah terbiasa dengan rutinitas. Ia mengenakan sepatu tua yang sudah mulai mengelupas di bagian sisi dan celana jeans yang sudah terlalu ketat di paha. Namun, itu bukan masalah baginya. Dia tahu, pakaian atau peralatan bukanlah yang terpenting. Yang penting adalah tekad dan usaha.

Azman melangkah cepat, mengelilingi desa kecil yang sebagian besar masih terlelap. Jalannya sudah terbiasa menanjak di antara perbukitan yang sepi. Sesekali ia melihat ke arah rumah-rumah yang gelap, tetapi di dalam dirinya sudah ada keinginan yang lebih besar—lebih besar daripada rasa kantuk, lebih besar daripada keraguan yang kerap datang.

“Satu putaran lagi, dan aku pasti bisa,” gumamnya, mengatur napas yang mulai terengah. Keringat mulai menetes di dahinya. Saat itulah, pikirannya kembali teringat pada kata-kata ibunya.

“Azman, kamu nggak usah bermimpi jadi tentara,” ujar ibunya minggu lalu, dengan nada khawatir saat mereka duduk bersama di ruang tamu. “Kamu lihat kan kondisi kita? Ini bukan dunia untuk orang sepertimu. Cita-cita itu hanya akan bikin kamu kecewa.”

Azman ingat betul bagaimana ibunya menatapnya dengan penuh kekhawatiran, seolah ingin melindunginya dari kenyataan pahit. Tapi dia tidak peduli. Cita-cita itu telah berakar kuat di hatinya sejak kecil, saat ia pertama kali melihat pasukan tentara lewat di jalanan desa, penuh dengan kepercayaan diri dan kebanggaan. Itu adalah gambaran hidup yang ia impikan.

“Jangan khawatir, Bu,” jawabnya saat itu, dengan suara yang lebih yakin dari yang dia rasakan. “Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku harus mencoba. Aku pasti bisa.”

Sejak itu, Azman melangkah lebih pasti. Tiap hari ia berlari lebih jauh, meski tubuhnya kadang meronta karena kelelahan. Mungkin tubuhnya belum sekuat yang dia harapkan, tapi ia tahu, hanya dengan terus berlatihlah ia bisa meningkatkan daya tahan dan kekuatannya.

Hari demi hari berlalu, dan meski desas-desus tentang cita-cita Azman sering terdengar, dia tetap tidak peduli. Sesekali, teman-temannya di warung kopi suka menggodanya.

“Azman, jadi tentara, ya? Kamu yakin bisa?” tanya Dika, teman sekelasnya di SMA yang kini bekerja di bengkel. Dika yang selalu terlihat santai dan tanpa beban sering kali menyindir impian Azman dengan senyum sinis.

Azman hanya tersenyum datar, meski dalam hatinya sedikit terganggu. “Aku yakin, Dika. Lebih baik mencoba dan gagal daripada nggak pernah mencoba sama sekali, kan?” jawabnya dengan tenang, meski di dalam hatinya ada rasa pedih setiap kali mendengar kata-kata meremehkan itu.

Dika hanya menggelengkan kepala, seolah-olah tidak percaya. “Kamu bisa aja, Azman. Tapi jangan harap ada yang gampang di sana. Militer itu nggak main-main.”

Namun, bagi Azman, itu bukan sekadar soal perjuangan fisik. Ini adalah tentang melawan setiap keraguan yang datang dari orang lain, tentang membuktikan pada dirinya sendiri bahwa dia bisa lebih dari sekadar anak desa dengan masa depan yang tampak suram. Tidak ada yang mudah dalam perjalanan ini, tetapi dia tahu itu adalah jalan yang harus ditempuh.

Setelah berhari-hari berlatih dengan beratnya, pagi itu Azman mendapatkan kabar yang mengubah segalanya. Seorang pria mengenakan jas rapi datang ke desa. Pria itu, katanya, adalah perwakilan dari pusat rekrutmen tentara yang sedang mencari calon-calon baru. Semua orang mulai berkumpul di balai desa, penuh dengan pertanyaan dan harapan. Azman tidak bisa menahan diri. Hatinya berdebar kencang.

“Ini dia kesempatan, Azman,” bisiknya pada dirinya sendiri. “Ini waktunya.”

Dengan langkah yang mantap, Azman berjalan menuju tempat pertemuan. Keringat yang mengalir di dahinya tak mampu menghentikan keinginan yang semakin kuat. Setelah mengisi formulir dan menjalani tes fisik, ia harus menghadapi tes wawancara. Azman tahu, ini adalah ujian besar. Semua yang ia lakukan selama ini akan diuji di hadapan orang-orang yang mungkin tidak peduli padanya.

“Jadi, kamu ingin jadi tentara?” tanya perwakilan itu, menatapnya sejenak dengan tatapan penuh penilaian.

“Ya, Pak,” jawab Azman, meski ada keraguan yang menggantung di dadanya. “Saya yakin bisa.”

“Apa yang membuat kamu yakin, Azman?” tanya perwakilan itu lagi, kini sedikit lebih serius. “Lihatlah dirimu. Kamu berasal dari keluarga sederhana. Ini bukan jalan yang mudah.”

Azman menatap pria itu, meneguhkan hati. “Saya tahu itu tidak mudah. Tapi kalau saya nggak berusaha, saya nggak akan pernah tahu apakah saya bisa atau tidak. Saya sudah berlatih keras. Saya siap menjalani apa pun.”

Perwakilan itu mengangguk pelan, seakan mempertimbangkan jawaban Azman. “Baiklah, kita akan lihat nanti.”

Azman tidak tahu apakah jawabannya cukup meyakinkan, tapi ia tahu satu hal: ia sudah memberi yang terbaik dari dirinya. Kini, tinggal menunggu hasilnya. Segalanya terasa seperti pertaruhan besar, tetapi Azman sudah siap dengan semua konsekuensinya. Ini adalah langkah pertama di jalan panjang yang penuh rintangan. Sebuah langkah yang bisa mengubah hidupnya selamanya.

Tapi apakah itu cukup? Hanya waktu yang akan menjawab.

 

Latihan Tak Kenal Lelah

Setelah hari-hari penuh keraguan dan menunggu hasil dari ujian fisik, akhirnya Azman menerima surat yang datang lewat pos. Tanggal yang tertera di amplop itu membuat jantungnya berdegup kencang. Tanpa membuang waktu, ia membuka surat itu dengan tangan yang sedikit gemetar, meski ia sudah berusaha menenangkan diri. Di dalam surat itu tertulis: “Selamat, Anda telah diterima untuk mengikuti pelatihan dasar di Pusat Pelatihan Tentara.”

Senyuman pertama yang tulus tercipta di wajahnya. Hanya satu kata yang bisa ia ucapkan. “Akhirnya…” Ternyata, usaha keras yang ia jalani selama ini tidak sia-sia. Namun, di balik kebahagiaannya, ada rasa ketegangan yang mulai tumbuh. Pelatihan tentara bukanlah hal yang ringan. Ia tahu, itu adalah ujian sejati yang akan mengukur seberapa jauh dia bisa bertahan.

Hari pertama di pusat pelatihan, Azman merasakan atmosfer yang berbeda dari yang ia bayangkan. Di sana, wajah-wajah penuh tekad terlihat di sekitar barak yang dipenuhi oleh seratusan calon prajurit. Mereka semua terlihat bersemangat, tetapi Azman tahu bahwa pelatihan ini akan menjadi pertarungan yang sangat berat. Mereka tidak sedang bermain.

“Dengar baik-baik! Setiap detik di sini akan menguji batas fisik dan mental kalian. Jangan pernah berpikir bahwa kalian bisa keluar dari sini dengan mudah!” teriak pelatih utama, seorang pria berusia sekitar empat puluh tahunan dengan wajah yang keras dan suara yang menggelegar. Semua calon prajurit berdiri tegak mendengar perintahnya. “Siap untuk menderita? Siap untuk bekerja lebih keras dari yang kalian bayangkan?”

Azman mengangguk, mencoba menahan rasa cemas yang mulai merayap di tenggorokannya. Ini baru permulaan, dan ia tahu tantangan yang menanti akan jauh lebih besar. Tanpa basa-basi, pelatihan dimulai dengan serangkaian latihan fisik yang menguras tenaga. Lari keliling lapangan, push-up tanpa henti, dan latihan angkat beban yang terasa seperti membebani tubuhnya dengan batu besar.

Setiap kali ia merasa hampir menyerah, wajah ibunya terlintas di pikirannya. “Kamu nggak usah bermimpi jadi tentara…” Kata-kata itu kembali menghantui, tapi kali ini tidak bisa menghalangi semangatnya. Azman tahu bahwa jika dia berhenti sekarang, dia hanya akan membuktikan bahwa semua orang yang meragukannya benar. Itu bukan sesuatu yang bisa ia biarkan terjadi.

Di tengah kelelahan yang melanda tubuhnya, ada sesosok pria yang menjadi tantangan utama dalam pelatihan ini—Andi. Pria tinggi besar dengan postur tubuh yang sempurna, kelihatan lebih berpengalaman dan lebih kuat daripada sebagian besar peserta lainnya. Andi selalu berada di depan dalam setiap latihan. Dengan wajah yang tidak menunjukkan ekspresi, dia seolah menganggap latihan ini adalah hal yang biasa.

“Ayo, Azman, kamu bisa lebih cepat dari itu!” Andi berteriak dari depan saat Azman sedang berusaha mengangkat beban yang lebih berat dari yang ia kira. Kata-kata itu bukanlah kata-kata penyemangat, melainkan tantangan yang mendorong Azman untuk berusaha lebih keras.

Azman menggigit bibir, berusaha mendorong dirinya lebih keras. Keringat yang mengucur deras, napas yang sesak, namun tekadnya tak tergoyahkan. Dia tahu, kalau dia ingin berhasil, dia harus menunjukkan bahwa dia bisa melawan rasa sakit ini, bahwa dia bisa menjadi lebih kuat dari yang mereka kira.

Hari berganti hari, dan pelatihan semakin intens. Azman merasakan seluruh tubuhnya nyeri setiap kali dia bangun pagi, tetapi dia tidak pernah mundur. Setiap kali pelatih mengirimkan perintah yang lebih sulit, ia hanya fokus pada langkah berikutnya. Tidak ada ruang untuk berpikir bahwa ini tidak bisa dilakukan. Tidak ada pilihan lain kecuali terus berusaha.

Pada suatu malam, ketika barak sudah sepi dan hanya ada suara angin yang bertiup, Azman duduk di atas ranjangnya, menatap langit-langit yang gelap. Pikirannya kembali melayang pada hari pertama ia menerima surat panggilan. Ia masih ingat jelas betapa sulitnya meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia benar-benar bisa melakukan ini. Namun kini, meskipun tubuhnya lelah dan terkadang terasa ingin menyerah, hatinya tahu bahwa dia sudah berada di jalur yang tepat.

“Aku nggak bisa mundur sekarang,” bisiknya pada diri sendiri. “Aku sudah sejauh ini. Aku pasti bisa melanjutkan.”

Di malam itu, dengan segala keraguan yang mungkin masih ada, Azman menemukan satu hal: tidak ada yang bisa mengalahkan tekad seorang pria yang berjuang untuk mimpinya. Bahkan saat terjatuh, ia akan bangkit dan melangkah lagi. Pelatihan ini adalah batu ujian—sebuah perjalanan panjang yang akan mengasahnya menjadi lebih kuat.

Namun, meskipun semakin keras usahanya, di tengah proses ini, Azman masih merasa ada banyak hal yang harus dipelajari. Setiap latihan seolah membuka pintu baru menuju pemahaman tentang siapa dirinya dan apa yang ia inginkan dalam hidup ini. Pelatih terus memberikan tantangan yang lebih berat, dan Azman terus berusaha. Dia tahu, perjalanan ini masih panjang.

Hari berikutnya, saat matahari baru saja terbit, para peserta pelatihan diberi tantangan baru—bukan hanya fisik, tapi juga mental. Mereka diminta untuk mendaki gunung yang terletak beberapa kilometer dari barak, membawa peralatan lengkap. Tugasnya bukan hanya untuk sampai ke puncak, tetapi untuk mencapai puncak dengan waktu tercepat.

“Ini bukan tentang kecepatan,” kata pelatih sambil menatap tajam ke arah mereka. “Ini tentang daya tahan, kemampuan untuk bertahan meskipun kamu ingin menyerah. Di medan perang, kalian nggak akan punya pilihan untuk berhenti.”

Azman menatap gunung yang menjulang tinggi di hadapannya. Terlihat mustahil, tetapi dia tidak mau kalah. Dengan langkah mantap, dia mulai mendaki, meskipun tubuhnya terasa kaku dan lelah. Setiap langkah terasa lebih berat daripada sebelumnya, namun ia terus maju. Setiap keringat yang jatuh ke tanah adalah simbol dari tekadnya untuk tetap bertahan, untuk membuktikan bahwa dia lebih dari sekadar anak desa yang bermimpi.

“Azman, kamu harus lebih cepat!” suara Andi kembali terdengar dari belakang, mengejek. Azman hanya menggigit bibir, berusaha menanggapi ejekan itu dengan tindakan, bukan kata-kata. Semua orang mungkin meragukannya, tapi dia akan membuktikan bahwa mereka salah.

Ketika langkahnya semakin lambat, dan udara semakin tipis di puncak gunung, hanya satu hal yang tetap menguatkan langkahnya—cita-citanya untuk menjadi tentara.

 

Ujian Terberat

Azman sudah berada di puncak latihan, dan hari demi hari rasa lelah semakin membekas di tubuhnya. Namun, setiap kali dia merasa hampir jatuh, satu hal selalu muncul dalam pikirannya: cita-citanya. Menjadi tentara bukan sekadar impian baginya, itu adalah janji yang dia buat untuk dirinya sendiri—untuk orang-orang yang meragukannya, dan untuk ibunya yang selalu memberinya dukungan meskipun dia tahu bahwa dunia ini tidak selalu berpihak pada mereka yang kurang beruntung.

Latihan semakin keras, dan para pelatih tampaknya semakin tidak memberi ampun. Hari itu, mereka diberi tantangan yang lebih berat dari yang pernah Azman bayangkan: latihan survival di hutan. Semua calon tentara dibagi dalam kelompok kecil dan diminta untuk bertahan hidup tanpa bantuan apa pun selama tiga hari. Di hutan lebat yang dipenuhi dengan suara binatang malam dan kondisi alam yang tak kenal ampun, mereka harus bisa mencari makan, air, dan membangun tempat perlindungan.

“Apa kamu yakin bisa bertahan hidup di hutan ini?” tanya Andi, sambil tersenyum sinis. “Kalau kamu lemah, lebih baik mundur sekarang.”

Azman menatapnya dengan tatapan kosong, berusaha tidak peduli dengan kata-kata ejekan itu. Andi memang selalu seperti itu—selalu ingin terlihat lebih hebat, lebih kuat. Namun, Azman tahu ini bukan tentang Andi. Ini adalah tentang dirinya. Tentang membuktikan bahwa dia tidak akan pernah menyerah.

Di hutan itu, semuanya terasa seperti ujian yang tak terelakkan. Dari mencari makanan yang bisa dimakan, hingga menyalakan api dengan kayu kering—semuanya penuh tantangan. Azman, yang sebelumnya hanya tahu hidup dengan kenyamanan rumah, kini harus beradaptasi dengan alam yang keras dan penuh tantangan.

“Azman, kita butuh api, bantu aku cari kayu,” teriak salah satu teman sekelompoknya, Fajar, yang juga terlihat kewalahan. Dengan tangan kotor dan tubuh penuh lumpur, mereka bekerja sama untuk mengumpulkan kayu. Saat mereka akhirnya bisa membuat api kecil, Azman merasa sedikit lega, tetapi rasa takut masih menggelayuti dirinya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

Malam pertama di hutan, mereka tidur dengan gelisah, terjaga setiap saat oleh suara langkah kaki binatang. Namun, meskipun ketakutan melanda, Azman tidak pernah membiarkan dirinya menyerah. Setiap kali perasaan takut datang, dia hanya mengingat satu hal: kalau dia jatuh di sini, dia tidak akan pernah bisa mencapai impiannya.

Esok pagi, ketika mereka melanjutkan perjalanan untuk mencari sumber air, Azman merasakan betapa tubuhnya semakin lemah. Namun, dia tidak bisa berhenti. Meskipun dia merasa seperti ingin pingsan, dia berusaha untuk tetap berjalan, menahan rasa sakit yang menggerogoti tubuhnya. Fajar yang berjalan di sampingnya menatapnya dengan cemas.

“Kamu nggak kelihatan baik-baik saja, Azman. Kita harus berhenti sebentar,” kata Fajar.

Azman hanya menggelengkan kepala. “Nggak bisa, Fajar. Kita harus terus jalan.”

Dia tahu kalau dia berhenti sekarang, maka dia akan kehilangan kesempatan untuk membuktikan bahwa dia kuat. Tidak hanya kepada Andi, tetapi juga kepada dirinya sendiri. Keinginan untuk menjadi tentara—untuk bisa membanggakan orang tuanya—lebih besar daripada rasa lelah yang menguasai tubuhnya.

Namun, ketika mereka tiba di sumber air, Azman hampir terjatuh. Pandangannya kabur, dan tubuhnya terasa berat sekali. Fajar segera memapahnya, dan mereka beristirahat sejenak untuk mengumpulkan tenaga. Tidak ada waktu untuk berhenti lama, karena pelatihan mereka masih jauh dari selesai.

Hari kedua berlalu dengan penuh kesulitan. Makanan semakin menipis, dan perasaan takut semakin menekan. Namun, pada saat-saat seperti itu, Azman mulai merasa bahwa segala sesuatunya mulai sedikit lebih mudah. Dia sudah beradaptasi dengan kondisi ini. Keinginannya untuk bertahan semakin kuat, dan meskipun rasa lelah tak terhindarkan, ia merasa sedikit lebih siap menghadapi segala tantangan.

Pada malam ketiga, saat mereka sudah hampir selesai dengan pelatihan survival, ada satu hal yang lebih berat dari segalanya yang harus dihadapi: rasa kecewa yang datang dari dalam dirinya sendiri. Saat beristirahat di bawah pohon, Azman duduk sendiri, memandangi langit malam yang penuh bintang. Dia merasa sedikit hampa.

“Kenapa aku harus sekeras ini?” bisiknya pelan. “Kenapa aku nggak bisa seperti mereka? Kenapa aku harus merasakan semua ini?”

Namun, saat dia mendongak ke langit, dia teringat pada kata-kata ibunya. Kata-kata yang selalu memberi semangat. “Jika kamu mau sesuatu yang besar, kamu harus berusaha lebih keras daripada orang lain, Azman.”

Itulah yang selalu ibunya katakan setiap kali dia merasa ragu. Dan malam itu, meskipun tubuhnya lelah, meskipun pikirannya dipenuhi dengan keraguan, satu hal yang jelas di dalam hatinya: dia tidak akan menyerah. Jika dia ingin menjadi tentara, dia harus bertahan. Jika dia ingin mewujudkan impiannya, dia harus terus maju.

Hari terakhir tiba, dan saat mereka kembali ke markas, Azman merasa tubuhnya hampir tidak bisa lagi bergerak. Namun, dia merasa bangga. Dengan segala keterbatasan, dengan segala kelelahan, dia berhasil menyelesaikan ujian survival ini. Tidak hanya fisiknya yang diuji, tetapi mental dan hatinya pun diuji dengan sangat berat.

Azman tahu, ini baru awal. Pelatihan masih panjang, tantangan masih banyak. Namun, satu hal yang pasti: dia sudah lebih dekat dengan mimpinya daripada sebelumnya.

Sebelum mereka kembali ke barak, pelatih utama menatap mereka dengan serius. “Kalian semua telah menyelesaikan ujian survival dengan baik, tapi ingat, ini bukan akhir. Setiap ujian berikutnya akan jauh lebih berat. Siap atau tidak, kita tidak akan mundur.”

Azman menatap pelatih itu dengan mata penuh tekad. Kali ini, dia tidak merasa takut lagi. Apa pun yang datang selanjutnya, dia sudah siap.

 

Langkah Terakhir

Azman berdiri tegak di barisan para calon tentara, merasakan getar adrenalin mengalir dalam dirinya. Hari itu adalah hari yang sangat penting. Hari di mana semua pengorbanan, semua rasa lelah, dan setiap tetes keringat yang dia keluarkan dalam latihan bertahun-tahun akhirnya diuji dalam bentuk ujian akhir. Ini adalah titik puncak dari segalanya, di mana dia harus membuktikan bahwa semua yang dia lakukan bukan sekadar untuk mencari pengakuan, tetapi untuk diri sendiri, untuk mimpi yang tak pernah padam.

Pelatih utama berdiri di depan mereka dengan wajah serius, seperti biasa. Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Tidak ada lagi kata-kata ringan atau lelucon yang biasanya mengiringi setiap pertemuan mereka. Hari ini, semuanya terasa lebih nyata.

“Dengar baik-baik, ini adalah ujian terakhir kalian,” kata pelatih dengan suara berat. “Masing-masing dari kalian harus menunjukkan keberanian, ketangguhan, dan tekad yang tidak bisa diragukan lagi. Keputusan kalian akan menentukan apakah kalian pantas menjadi bagian dari kami. Sekarang, kalian akan diuji dengan situasi nyata di medan perang.”

Azman menatap pelatih itu, hatinya berdebar keras. Setiap kata yang diucapkan pelatih itu seakan menggetarkan seluruh tubuhnya. Namun, ada satu hal yang membuatnya yakin: dia tidak akan mundur.

Ujian kali ini bukan hanya soal fisik. Azman tahu itu. Ini adalah tentang mental, tentang bagaimana dia bisa mengendalikan ketakutannya, bagaimana dia bisa tetap fokus di tengah kekacauan dan kesulitan yang tak terbayangkan. Ini adalah ujian sejati—tentang bagaimana dia bisa bertahan di bawah tekanan terbesar yang pernah dia hadapi.

Setelah briefing singkat, mereka diberangkatkan ke medan ujian yang berada di hutan dan lembah terpencil. Dengan hanya bekal seadanya dan perlengkapan perang sederhana, mereka harus menjalani serangkaian skenario yang dirancang untuk menguji kemampuan mereka dalam bertahan hidup, menyelamatkan diri, dan melawan musuh yang tak terlihat.

Azman menggenggam erat senjata di tangannya. Meskipun tubuhnya terasa kelelahan, pikirannya penuh dengan fokus. Setiap langkah yang dia ambil menuju hutan, dia tahu ini adalah ujian terbesar dalam hidupnya. Ini adalah momen yang bisa menentukan apakah cita-citanya untuk menjadi tentara akan terwujud atau hanya menjadi angan-angan belaka.

Skenario pertama dimulai. Para pelatih yang berperan sebagai musuh bersembunyi di sekitar mereka, menguji reaksi para peserta. Azman bergerak hati-hati, menelisik setiap sudut dengan waspada. Ketika suara langkah kaki terdengar mendekat, dia segera bersembunyi di balik sebuah batu besar, mengintip. Dengan napas tertahan, dia menunggu sampai kesempatan itu datang—dan dalam sekejap, dia melesat keluar, menyerang musuh pertama dengan gerakan cepat.

Dia berhasil.

Namun, ujian belum selesai. Skenario berikutnya adalah tentang penyelamatan. Azman harus menyelamatkan rekan-rekannya yang terjebak dalam situasi berbahaya. Dia tahu ini akan menguji seberapa jauh dia bisa bekerja sama dalam tim dan seberapa cepat dia bisa membuat keputusan yang tepat.

Fajar, yang terjebak di bawah reruntuhan, menatap Azman dengan mata penuh harap. “Azman… cepatlah. Aku nggak bisa lama di sini.”

Azman menatapnya sejenak, rasa cemas sempat menghampirinya, tapi dia menekan perasaan itu. Semua pelajaran yang dia terima selama ini mengajarinya untuk berpikir cepat dan bertindak lebih cepat. Tanpa ragu, dia menarik Fajar keluar dari reruntuhan dengan tenaga yang tersisa, meskipun tubuhnya terasa semakin lelah.

“Kamu oke?” tanya Azman sambil memapah Fajar.

Fajar hanya mengangguk, meskipun jelas terlihat kelelahan di wajahnya. “Kamu luar biasa, Azman. Aku nggak nyangka kamu bisa segitu cepatnya.”

“Ini belum selesai, Fajar,” jawab Azman, tersenyum lemah. “Masih ada banyak ujian lagi.”

Hari itu, ujian semakin sengit. Setiap langkah di medan perang menjadi semakin berat, namun Azman tidak berhenti. Dia melawan rasa lelah, rasa takut, dan rasa cemas yang selalu mengintai di setiap langkahnya. Meskipun fisiknya sudah hampir tak sanggup lagi, hatinya tetap teguh.

Akhirnya, setelah berhari-hari berada di medan ujian, saat yang paling dinantikan tiba. Para pelatih berkumpul di hadapan mereka, dan Azman berdiri di barisan paling depan, merasakan denyut jantung yang semakin cepat.

Pelatih utama mengangkat tangannya, memberi isyarat agar mereka diam. “Kalian telah melewati ujian ini dengan sangat baik. Namun, ini bukan hanya soal kemampuan fisik kalian, tetapi tentang ketangguhan mental. Azman, kamu telah menunjukkan keberanian yang luar biasa. Kamu tahu betul apa artinya bertahan, meski berada di titik terendah sekalipun. Kami memutuskan… kamu layak menjadi bagian dari kami.”

Azman menatap pelatih itu, dan mendengar kata-kata itu seakan ada rasa lega yang membuncah di dadanya. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia merasa benar-benar diterima—di dunia yang penuh dengan ujian, rasa ragu, dan kesulitan.

Dia berhasil. Mimpinya menjadi tentara akhirnya terwujud.

Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi rasa takut. Azman tahu bahwa perjuangannya baru dimulai. Tetapi apa pun yang akan datang, dia tidak akan pernah menyerah. Cita-citanya telah menjadi kenyataan, dan dia akan berjuang untuk itu, selamanya.

 

Jadi, gitu deh cerita tentang Azman dan perjuangannya buat meraih cita-citanya jadi tentara. Kadang hidup emang gak mudah, banyak banget tantangan dan keraguan yang datang, tapi kalau kita gak pernah nyerah dan terus berusaha, siapa tahu impian itu bisa jadi kenyataan.

Ingat, gak ada yang gak mungkin kalau kita punya tekad yang kuat! Semoga cerita ini bisa ngasih inspirasi buat kamu semua, buat terus ngejar apa yang kamu impiin, apapun itu!

Leave a Reply