Daftar Isi
Pernah nggak sih kamu ngerasa kayak impian kamu tuh terlalu jauh buat dicapai? Coba deh bayangin kalau kamu punya cita-cita yang gede banget, kayak jadi pilot misalnya. Pasti banyak banget yang bilang itu nggak gampang, bahkan hampir nggak mungkin, kan?
Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ngeliat gimana perjuangan seorang cewek yang nggak pernah nyerah meski segala hal ngelawan dia. Siapa sangka, mimpi yang semula keliatan jauh banget, akhirnya bisa diraih juga!
Cita-Citaku Menjadi Pilot
Awal Mimpi di Langit
Pagi itu, udara terasa begitu segar. Matahari belum terlalu tinggi, dan aku masih bisa mendengar suara burung berkicau di pohon dekat rumah. Aku duduk di beranda, menikmati secangkir kopi hitam yang rasanya sedikit terlalu pahit. Namun, aku tak peduli. Rasanya sudah jadi kebiasaan setiap pagi. Hari ini sedikit berbeda, karena aku akan mengunjungi Raya, gadis yang selalu memiliki cara untuk menghidupkan suasana di sekitar rumah kami.
Raya selalu berbeda dari anak-anak sebayanya. Ia tidak seperti mereka yang lebih suka bermain bola atau mengobrol tentang hal-hal remeh. Sejak kecil, ia sudah memiliki minat yang jelas—terbang. Tidak, bukan terbang dengan sepeda atau layang-layang. Ia ingin menjadi pilot. Mimpi yang selalu ia ceritakan, bahkan sejak pertama kali kami mengenalnya, saat ia masih duduk di bangku sekolah dasar.
Aku mengenal Raya sejak kami kecil. Orangtuaku bersahabat dengan orangtuanya, jadi sudah biasa kami bermain bersama. Tapi, ada yang selalu menarik perhatian setiap kali aku melihat Raya. Bukan hanya kecantikan atau keunikan sikapnya, tetapi juga cara ia berbicara tentang mimpi-mimpinya yang besar.
“Suatu hari, aku akan terbang, lho. Lebih tinggi dari pesawat itu,” katanya suatu sore, ketika kami duduk di beranda rumahnya. Ia menunjuk ke langit, melihat pesawat kecil melintas jauh di atas sana. Waktu itu, usianya baru lima tahun.
Aku hanya mengangguk. “Emang bisa?”
“Iya. Aku pasti bisa.” Raya berkata dengan penuh keyakinan, meskipun wajahnya masih dipenuhi ekspresi polos seorang anak kecil. “Aku akan jadi pilot. Terbang di langit luas itu bakal seru banget.”
Aku tertawa kecil. Saat itu, aku tak terlalu mengerti apa yang dimaksudnya. Lagipula, mimpi menjadi pilot terdengar terlalu tinggi untuk anak kecil sepertinya. Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tidak bisa menganggap remeh kalimatnya. Sesuatu yang lebih dari sekedar keyakinan, seakan ia benar-benar merasa bahwa langit adalah tempat yang memang pantas untuknya.
Tahun-tahun berlalu, dan aku mendapati diri terjebak dalam rutinitas yang biasa—kuliah, pekerjaan paruh waktu, dan pulang ke rumah dengan kepala penuh tugas. Sementara Raya, entah bagaimana, selalu menemukan cara untuk menjaga mimpinya tetap hidup. Ia tak pernah ragu untuk berbicara tentang impiannya itu, meski sebagian besar orang menganggapnya hanya angan-angan.
“Lihat, aku sudah punya jadwal kursus, lho,” kata Raya saat kami duduk di kafe kecil setelah sekolah selesai. Waktu itu, ia mengeluarkan selembar brosur dengan foto pesawat di atasnya. “Ini biaya kursus pilot. Aku tahu harganya mahal, tapi aku akan coba.”
Aku melihatnya dengan terkejut. “Kamu serius? Ini bukan hal yang gampang, Raya. Biaya kursusnya tinggi, dan butuh waktu bertahun-tahun.”
Dia tersenyum tipis. “Aku tahu, tapi aku nggak mau nyerah. Kalau kamu serius mengejar sesuatu, pasti ada jalan.”
Aku diam sejenak. Mungkin Raya benar. Selama ini, dia selalu berusaha keras, meski hidupnya jauh dari kata mudah. Orangtuanya bukan orang kaya, dan mereka tinggal di sebuah desa kecil yang jauh dari fasilitas kota besar. Namun, ia tetap memiliki tekad untuk mencapai impiannya—sesuatu yang sulit untuk dipahami orang lain, termasuk aku.
Setiap kali kami berbicara tentang impian Raya, aku selalu merasa sedikit cemas. Mengapa? Karena aku tahu, tidak ada jaminan ia akan berhasil. Semua orang mungkin akan meragukan langkahnya. Namun, lebih dari itu, aku merasa terinspirasi. Raya adalah contoh hidup bahwa mimpi bukanlah sekadar angan-angan. Mimpi adalah sesuatu yang bisa dikejar jika kita berusaha cukup keras.
Tapi, aku juga sadar bahwa tak semua orang berpikir seperti aku atau Raya. Mereka yang tidak tahu apa itu mimpi besar, atau yang lebih memilih aman, akan selalu berkata, “Itu tidak realistis.” Terkadang, bahkan ayahnya, yang selalu jadi penyemangat utama, mengungkapkan keraguan.
“Raya, kamu harus lebih fokus pada pelajaranmu. Pilih jurusan yang lebih mudah. Pilot itu bukan pekerjaan yang cocok untuk orang dari desa seperti kita,” ayahnya berkata suatu kali saat kami sedang makan malam bersama.
Raya hanya diam, menatap piringnya, tapi aku tahu, di dalam hatinya, kata-kata itu tidak akan pernah menghentikan langkahnya. Dia tetap melanjutkan rencananya. Ia mencari pekerjaan paruh waktu di kafe, mengumpulkan uang, dan tanpa lelah belajar fisika serta matematika—dua hal yang krusial bagi seorang calon pilot.
Suatu hari, aku datang ke rumahnya untuk mengantarkan tugas kuliah yang ia pinjam dari aku. Itu adalah saat yang menentukan. Raya duduk di meja belajarnya, dengan selembar buku tebal terbuka di depannya, dan pensil tergeletak di tangan kanannya. Saat aku mendekat, aku bisa melihat matanya yang fokus. Ia tampak begitu serius.
“Apa yang kamu pikirkan, Raya?” tanyaku, membuka percakapan.
Dia menatapku dengan tatapan yang sama sekali berbeda dari sebelumnya. “Aku sedang belajar rumus jarak tempuh pesawat, dan cara mengatur kecepatan supaya pesawat bisa terbang lebih efisien. Semua ini penting.”
Aku mengangguk. “Aku percaya, suatu hari kamu bakal terbang lebih tinggi dari pesawat-pesawat itu.”
Ia tersenyum tipis, seperti selalu. Tapi ada sesuatu di dalam senyum itu—sesuatu yang menunjukkan bahwa ia tidak hanya bercanda. Ia benar-benar ingin mengejar mimpinya. Langit menjadi tujuan, dan aku bisa merasakan semangatnya yang tak pernah padam.
Itu adalah awal dari segalanya—langit yang penuh harapan, yang tak terbatas, yang selalu menanti.
Namun, aku tahu bahwa perjalanan Raya baru saja dimulai. Ke depan, tantangan berat akan menghampiri, tetapi aku yakin, tak ada yang bisa menghentikan tekadnya. Bukan biaya yang tinggi, bukan keraguan orang-orang, dan pasti bukan rasa lelah yang bisa mengalahkan mimpi besar seorang gadis desa yang ingin terbang lebih tinggi dari pesawat-pesawat itu.
Jalan Terjal Menuju Langit
Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya, seolah menyambutku dengan ketenangan yang berbeda. Aku berdiri di luar rumah sambil memandang Raya yang sedang berbicara dengan ayahnya di dalam mobil. Wajahnya terlihat serius, seperti selalu. Kami sudah berteman sejak kecil, tetapi sejak beberapa bulan terakhir, aku merasakan ada sesuatu yang berubah. Raya kini tampak lebih fokus, lebih dewasa. Aku tahu, apa yang akan ia jalani bukanlah jalan yang mudah.
Aku tidak tahu bagaimana rasanya berjuang untuk sesuatu yang besar, yang memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan mungkin seumur hidup. Yang aku tahu, Raya memiliki mimpi yang jauh lebih besar daripada sekedar mendapatkan gelar atau pekerjaan yang biasa. Dia ingin menjadi pilot. Dan untuk itu, dia harus menghadapi kenyataan yang keras—terutama soal biaya. Kursus pilot yang dia impikan bukanlah hal yang bisa didapatkan begitu saja.
Beberapa minggu sebelumnya, saat aku menemui Raya di kafe, dia bercerita bahwa dia telah mulai bekerja paruh waktu di sebuah kafe kecil milik tetangga. Aku tahu, dia bekerja keras untuk mengumpulkan uang demi biaya pelatihan yang sangat mahal. Ayahnya sendiri hampir tidak bisa membantu karena situasi ekonomi mereka yang serba terbatas. Namun, itu tak membuat Raya mundur. Jika ada sesuatu yang bisa membuatnya bertahan, itu adalah keyakinannya pada mimpinya.
“Gimana, kamu merasa capek nggak kerja di kafe?” tanyaku suatu kali saat kami duduk di bangku taman, setelah Raya selesai bekerja.
Dia tersenyum lelah, tapi matanya tetap berbinar. “Tentu capek. Tapi itu bagian dari proses, kan? Kalau aku nggak berusaha, nggak akan ada yang datang menawarkan bantuan. Aku harus buktikan kalau aku serius.”
Aku diam, berpikir tentang betapa besar tekadnya. Dalam usianya yang masih muda, ia sudah tahu betul tentang perjuangan dan pengorbanan. Hal yang jarang dimiliki oleh anak-anak seusianya.
Namun, yang menjadi perhatian bukan hanya soal kerja kerasnya, tetapi juga tentang sikap orang-orang di sekitarnya. Aku tahu orangtuanya ingin mendukung, tapi di balik dukungan itu, ada banyak keraguan. Ayahnya selalu menyarankan Raya untuk berpikir lebih realistis. “Menjadi pilot itu susah. Kamu nggak tahu bagaimana dunia penerbangan bekerja. Banyak orang gagal, Raya.”
“Jadi, kalau aku nggak berusaha, aku pasti gagal?” Raya pernah bertanya dengan nada serius, namun tetap dengan keyakinan yang sama.
Ayahnya hanya menghela napas panjang. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa ini bukan sesuatu yang mudah. Kalau memang ini jalanmu, aku akan mendukung, tapi jangan sampai kamu terluka.”
Namun, meskipun ada keraguan itu, Raya tak pernah membiarkan kata-kata orang meruntuhkan semangatnya. Aku melihatnya bekerja lebih keras dari sebelumnya, meluangkan waktu belajar di malam hari, menonton video pelatihan pilot di internet, dan membaca buku fisika serta matematika yang dibutuhkan untuk ujian.
Saat itu, aku mulai merasa cemas. Keinginanku untuk mendukungnya begitu kuat, tetapi aku juga tahu bahwa jalan Raya tak akan semudah yang ia bayangkan. Bukan hanya soal biaya, tetapi juga soal ketahanan mentalnya. Ia harus menghadapi banyak hal—keraguan orang tua, skeptisisme dari teman-teman, dan kenyataan bahwa impian besar membutuhkan pengorbanan besar pula.
Satu bulan setelahnya, Raya datang ke rumahku. Wajahnya tampak cemas, sedikit lebih lelah dari sebelumnya. Aku tahu sesuatu yang buruk pasti terjadi.
“Gimana, kamu ada kabar dari kursus pilot itu?” tanyaku, membuka percakapan dengan hati-hati.
Dia menghela napas panjang, lalu duduk di kursi dekat meja. “Aku baru mendapat kabar, aku gagal lulus tes penerbangan pertama,” katanya pelan. “Aku nggak lulus ujian teori. Nilai matematikaku nggak cukup.”
Aku terdiam sejenak. Kata-kata itu menyayat hati. Aku tahu betul, seberapa besar arti tes ini baginya. Bukan hanya ujian—itu adalah harapan, usaha keras yang sudah ia lakukan selama ini.
“Raya…” aku mencoba mencari kata-kata yang bisa membuatnya merasa lebih baik, tapi rasanya tidak ada yang cukup untuk menggambarkan betapa aku menghargai usaha dan tekadnya.
“Gak apa-apa,” katanya, tersenyum kecil meski jelas sekali ada kekecewaan di matanya. “Kalau gagal sekarang, berarti aku cuma harus belajar lebih keras lagi. Aku nggak akan berhenti cuma karena ini.”
Aku tertegun mendengarnya. Di saat kebanyakan orang mungkin akan menyerah setelah menghadapi kegagalan pertama, Raya justru memilih untuk bangkit. Dia bahkan terlihat lebih bertekad daripada sebelumnya.
“Jadi, kamu tetap akan coba lagi?” tanyaku, masih mencoba mencerna semuanya.
Dia mengangguk mantap. “Tentu. Gagal itu cuma bagian dari perjalanan. Aku nggak akan mundur. Aku akan belajar lebih banyak, bekerja lebih keras. Suatu hari nanti, aku pasti bisa.”
Aku hanya bisa mengangguk. Mungkin aku tak bisa merasakan seberapa berat langkah yang ia ambil, tetapi aku tahu satu hal: Raya tidak akan menyerah. Apa pun yang terjadi, ia akan terus berjuang.
Hari itu, aku menyadari sesuatu yang lebih penting dari sekadar keberhasilan atau kegagalan—semangat yang tak pernah padam, tekad yang terus membara, adalah hal yang membuat mimpi itu nyata. Dan Raya sudah menunjukkan padaku, bahwa tak ada jalan yang terlalu berat untuk ditempuh jika kita cukup gigih untuk menghadapinya.
Terbang Menuju Harapan
Musim berganti, dan aku melihat perubahan besar dalam diri Raya. Keinginannya untuk menjadi pilot semakin menguat. Meskipun kegagalan sebelumnya sempat membuatnya jatuh hati, dia tidak menyerah. Dia memilih untuk terus melangkah. Semua orang di sekitarnya bisa melihat semangatnya yang membara, bahkan di tengah-tengah tantangan yang terus datang.
Aku tidak bisa mengabaikan bagaimana caranya menghadapi kegagalan. Tidak ada drama berlebihan, tidak ada kemarahan atau perasaan putus asa. Raya hanya tetap diam, berpikir, lalu bangkit lagi, seolah kegagalan itu adalah bagian dari rencana besar yang harus dilalui. Dia meluangkan lebih banyak waktu untuk belajar matematika dan fisika. Bahkan saat aku datang ke rumahnya, dia lebih sering tenggelam dalam buku dan catatan daripada berbicara tentang hal-hal lain.
Hari itu, aku datang dengan secangkir kopi panas untuknya. Dia sedang duduk di meja dengan wajah serius, menatap layar laptop.
“Hei,” aku menyapanya sambil duduk di kursi depan meja. “Udah makan?”
Raya hanya menoleh sekilas, lalu mengangguk. “Iya, tadi sempat makan siang. Aku lagi coba memahami teori pesawat terbang yang sulit banget ini. Tapi ya, aku nggak boleh nyerah. Harus bisa.”
Aku melihat ada titik lelah di matanya. Ini bukan hanya soal fisika dan matematika lagi—ini tentang mempertahankan keyakinannya. Tentang bertahan meskipun dunia terasa penuh dengan rintangan.
“Bukan cuma soal teori, ya? Tapi lebih ke bagaimana kamu bisa terus maju tanpa takut gagal, kan?” tanyaku dengan suara rendah.
Dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan penuh tekad. “Iya. Kadang, aku merasa seperti nggak cukup pintar, tapi aku nggak bisa biarin perasaan itu menang. Aku harus bisa buktikan kalau aku layak. Aku nggak takut gagal, aku takut kalau aku berhenti.”
Aku memandangi Raya. Bukan hanya karena aku tahu bagaimana keras ia berusaha, tapi juga karena cara dia menjalani hari-hari itu dengan begitu banyak keyakinan. Tanpa takut pada kegagalan, tanpa takut akan keraguan yang datang dari orang-orang sekitarnya. Di matanya, aku melihat api yang tidak akan pernah padam, bahkan jika langit tidak selalu cerah.
Waktu berjalan begitu cepat. Raya semakin sering terlihat berlatih, bukan hanya belajar teori, tapi juga melakukan simulasi penerbangan online yang dia ikuti. Aku ikut terlibat, walau cuma menjadi pendengar setia atau teman yang sekadar mendukung saat dia merasa lelah.
Suatu hari, dia datang ke rumahku dengan wajah penuh antusiasme yang tak bisa disembunyikan. “Aku lulus ujian teori!” serunya dengan suara gembira. “Aku berhasil! Aku udah siap untuk ujian penerbangan! Ini gila banget, tapi aku bisa!”
Aku hampir terkejut mendengar kabar itu. Semua usaha kerasnya, setiap malam yang dia habiskan dengan buku dan latihan simulasi, akhirnya membuahkan hasil. Aku bisa melihat betapa berat perjalanan ini baginya, namun Raya berhasil melangkah melewati rintangan yang ada.
“Wah, keren banget! Aku bangga banget sama kamu,” kataku sambil tersenyum, merasakan kebanggaan yang luar biasa. “Jadi, sekarang apa? Kamu bakal langsung ambil pelatihan terbang?”
Raya mengangguk dengan semangat yang tak terbendung. “Iya, aku langsung daftar. Tapi, biayanya masih tinggi banget. Aku tetap perlu kerja lebih keras untuk bisa membayar biaya pelatihan. Tapi aku nggak peduli. Ini kesempatan besar, aku nggak mau sia-siakan.”
Raya tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Tidak mudah untuk mendapatkan lisensi penerbangannya. Bahkan setelah ujian teori, masih banyak rintangan yang harus dia hadapi: ujian penerbangan nyata, kondisi fisik yang harus terjaga, hingga biaya yang harus dia cari. Namun, meskipun tantangan itu datang bertubi-tubi, tidak ada rasa takut yang ia tunjukkan. Semua perasaan yang ada hanyalah tekad untuk terus melangkah.
Pagi itu, aku menemaninya pergi ke tempat pelatihan penerbangan pertama kalinya. Dia mengenakan pakaian yang rapi, dengan raut wajah penuh percaya diri, meskipun sedikit gugup. Aku tahu itu adalah langkah pertama menuju cita-citanya, langkah pertama yang tak bisa dia abaikan.
“Sukses ya,” kataku sambil memberinya semangat.
Raya hanya tersenyum tipis, dan meskipun tidak banyak berkata-kata, aku bisa merasakan bahwa di balik senyumnya itu ada keyakinan yang tak tergoyahkan. “Aku nggak akan berhenti. Mimpi ini sudah terlalu jauh untuk dilewatkan.”
Saat aku melihatnya melangkah masuk ke gedung pelatihan, aku tahu dia sedang memulai perjalanan yang akan mengubah hidupnya selamanya. Bukan hanya karena impian menjadi pilot, tetapi juga karena bagaimana dia memilih untuk terus bertahan, walaupun banyak orang meragukan kemampuannya.
Aku tersenyum sendiri, memandang langkah Raya yang semakin menjauh. Mimpi ini, walau terasa jauh, kini mulai terlihat nyata. Aku hanya bisa berharap, semoga ia terus berusaha, belajar, dan tidak menyerah—karena di dunia ini, tidak ada yang lebih kuat daripada tekad yang tak pernah padam.
Langit yang Tak Terbatas
Setahun berlalu sejak Raya mulai melangkah lebih serius dalam mengejar mimpinya. Aku masih ingat betul betapa gugupnya dia saat pertama kali menginjakkan kaki di gedung pelatihan penerbangan itu. Waktu itu, matanya penuh kecemasan, ragu, seolah langit dan segala impian yang ia bawa begitu jauh dari jangkauannya. Tetapi hari ini, aku melihat sesuatu yang berbeda. Senyum yang lebih lebar, tatapan yang lebih pasti. Semua itu tidak datang begitu saja. Raya telah melalui serangkaian ujian berat, baik fisik maupun mental, yang tak hanya menguji batas kemampuannya, tetapi juga tekad dan semangatnya yang tak pernah padam.
Hari itu, aku berada di kursi belakang, menunggu di luar gedung pelatihan penerbangan. Beberapa bulan terakhir, aku mengikuti setiap langkahnya, dan meskipun aku bukan bagian dari pelatihan langsung, aku merasa sangat terlibat. Ketika dia lulus dari ujian penerbangan praktek dan mendapatkan izin terbangnya, aku merasa seolah-olah aku turut terbang bersama dia. Aku masih ingat bagaimana dia berlari keluar dari gedung itu dengan wajah berseri, melambaikan sertifikat di tangannya.
“Akhirnya!” serunya saat melihatku, suaranya penuh kegembiraan yang murni. “Aku lulus! Aku resmi jadi calon pilot!”
Aku bisa merasakan kepuasan dalam suaranya, bukan hanya karena lulus ujian, tetapi juga karena semua kerja keras dan pengorbanan akhirnya terbayar. Tidak ada yang tahu betapa banyak malam yang dia habiskan untuk belajar, betapa banyak rintangan yang harus dia lewati—dari masalah biaya, tekanan dari keluarganya yang skeptis, hingga rasa lelah yang kadang menyiksa. Tetapi Raya, dengan caranya yang sederhana dan penuh keyakinan, berhasil melewati semuanya.
“Kamu keren banget, Raya,” kataku, bangga melihat betapa jauh dia telah melangkah.
Dia hanya tersenyum, tetapi aku bisa melihat ada kelembutan di matanya, kehangatan yang melimpah, seperti senyuman seorang pemenang yang telah melawan banyak hal untuk mencapai impiannya. “Aku nggak bisa berhasil tanpa bantuan orang-orang yang ada di sekitarku. Kamu juga, kamu selalu ada buat aku.”
Setelah itu, dunia Raya dan aku seperti mulai berputar dengan kecepatan yang lebih tinggi. Dia mendapat kesempatan untuk bekerja sebagai asisten pilot di sebuah maskapai kecil. Meskipun hanya mengawali dengan penerbangan-penerbangan kecil dan jarak dekat, tetapi itu adalah langkah besar. Setiap kali aku menemaninya di bandara, melihatnya mempersiapkan diri untuk terbang, aku bisa merasakan betapa bersemangatnya dia. Tak ada keraguan lagi di wajahnya. Langit tak lagi terlihat jauh.
Waktu itu, kami sedang duduk di kafe kecil di bandara setelah Raya selesai bertugas. Udara malam itu cukup sejuk, dan lampu-lampu bandara menyala terang, memberi kesan kota yang tak pernah tidur. Raya menatapku dengan senyum tipis, seperti seseorang yang baru saja menemukan kepuasan dalam hatinya.
“Dulu aku nggak pernah nyangka bisa sampai sejauh ini,” katanya sambil memutar cangkir kopi. “Aku pikir, mimpi ini akan selalu jadi mimpi yang jauh, dan aku cuma bisa mengimpikan langit tanpa pernah terbang ke sana.”
Aku mengangguk, tidak bisa menahan rasa bangga yang tumbuh dalam diriku. “Tapi lihat, kamu udah terbang sekarang, Raya.”
Dia menatapku sejenak, lalu tertawa pelan. “Aku nggak pernah merasa lebih hidup daripada sekarang. Gak cuma terbang, tapi juga merasa bebas. Dulu, aku merasa terjebak dengan banyak hal. Tapi sekarang, di udara, rasanya seperti aku bisa menggapai segala impian.”
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. Tidak ada kata-kata yang cukup untuk menggambarkan betapa besar perasaan ini. Aku menyadari, bahwa dalam perjalanan hidup, tidak semua orang akan langsung melihat hasil kerja kerasnya. Terkadang, mimpi itu bisa terasa sangat jauh, hampir mustahil untuk dijangkau. Tetapi yang Raya ajarkan padaku adalah bahwa keyakinan dan ketekunan bisa membawa kita ke tempat yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya.
Hari itu, aku kembali pulang dengan perasaan yang lebih ringan. Tidak hanya karena kebanggaan terhadap Raya, tetapi juga karena aku merasa telah belajar banyak dari perjuangannya. Terkadang, aku berpikir, apakah aku sendiri sudah berusaha sekeras Raya? Apakah aku sudah cukup berani mengejar mimpiku? Aku ingin bisa merasa seperti dia—tegas, berani, dan tidak mudah menyerah.
Malam itu, langit cerah tanpa awan. Aku menatap bulan yang bersinar terang, seolah memberi sinyal bahwa semuanya mungkin. Raya sudah membuktikannya. Mimpi yang dulu terasa jauh dan sulit, kini bukan lagi hanya angan-angan. Ia telah menggapainya dengan langkahnya sendiri.
Saat itu aku tahu, bahwa setiap mimpi, sekecil apapun, layak diperjuangkan. Dan jika kita terus berusaha, suatu hari nanti kita akan menemukan sayap kita untuk terbang menuju langit yang tak terbatas.
Jadi, buat kamu yang lagi berjuang ngebuktiin diri, inget satu hal: nggak ada mimpi yang terlalu besar selama kamu nggak pernah berhenti berusaha.
Langit itu nggak jauh, kok, kalau kita tahu caranya terbang. Jadi, terus semangat, terus kejar impianmu, dan jangan pernah takut gagal. Karena siapa tahu, hari ini adalah langkah pertama menuju mimpi yang bakal kamu raih besok.