Cita-Citaku Kelas 4: Impian Unik Alden dan Robot Nasi Gorengnya

Posted on

Eh, pernah nggak sih kamu ngebayangin kalau cita-cita kamu tuh bisa jadi sesuatu yang nggak biasa? Nah, cerita kali ini tentang Alden, bocah kelas 4 yang punya impian unik banget, tapi dia nggak takut buat mulai meski hasilnya masih kocak.

Bayangin aja, cita-citanya nggak cuma jadi ilmuwan, tapi dia malah bikin robot nasi goreng! Keren kan? Yuk, baca cerita seru tentang mimpi, kegagalan, dan keberanian yang bikin kamu mikir, Kok bisa ya?

 

Cita-Citaku Kelas 4

Cita-Cita yang Belum Jelas

Pagi itu, seperti biasa, kelas 4 SD Tunas Harapan dipenuhi oleh suara tawa dan riuh rendah anak-anak yang saling bercakap-cakap. Dari sudut ruang kelas, terdengar derap langkah kecil menuju meja bu Guru Sari, yang sudah siap dengan papan tulis besar di depan kelas. Hari ini, bu Guru Sari tampaknya punya rencana baru yang menarik.

“Ayo, anak-anak!” bu Guru Sari mengangkat tangan, menarik perhatian semua murid. “Hari ini kita akan menulis tentang cita-cita kalian. Apa sih yang kalian inginkan jadi saat besar nanti? Coba tulis di kertas yang sudah aku bagi tadi, ya!”

Anak-anak mulai sibuk meraih pensil dan kertas, wajah mereka tampak serius. Seperti biasa, Raka langsung menulis cepat tanpa berpikir panjang. Ia sudah punya cita-cita yang jelas—menjadi astronot. Cita-cita itu sudah ada sejak ia kecil, dan ia merasa pasti bisa mencapainya.

Rina, yang duduk di sebelah Alden, tampak menulis dengan tekun. Ia ingin menjadi dokter, menyembuhkan orang-orang sakit, karena menurutnya itu adalah pekerjaan yang mulia. Sementara itu, Junaid di belakang Alden memutuskan untuk menjadi pemain sepak bola terkenal. Junaid membayangkan dirinya menjadi seperti pemain sepak bola favoritnya, Lionel Messi, yang bisa membawa kemenangan bagi tim.

Alden? Dia duduk dengan wajah bingung. Kertasnya sudah terbuka, pensilnya sudah siap, tapi pikirannya masih kosong. Cita-cita apa yang bisa ia pilih? Alden menatap kertas putih itu, berpikir keras. Ia tak bisa memilih satu. Mimpi-mimpinya selalu lebih dari satu, lebih aneh, dan lebih seru. Tapi untuk menuliskannya? Mungkin itu akan jadi masalah.

Alden menoleh ke Raka yang sedang menulis dengan cepat. “Kamu udah jadi astronot, ya, Rak?” tanya Alden dengan santai.

Raka menoleh, mata berkilat penuh semangat. “Iya! Aku bakal jelajahi luar angkasa, pergi ke Mars, dan mungkin ketemu alien. Kamu? Udah pilih cita-cita?” jawab Raka, sedikit mengejek.

Alden menggaruk kepalanya, bingung. “Aku… aku nggak tahu, Rak. Mau jadi apa ya?” jawabnya sambil melihat sekeliling kelas. “Banyak banget yang pengen aku jadiin.”

Raka tertawa kecil. “Ya, kamu kan suka banget nonton film superhero. Kamu pengen jadi apa? Superhero yang bisa terbang gitu?” tanya Raka sambil mendelik lucu.

Alden tertawa, tetapi bukan karena dia merasa lucu. “Mungkin… atau… Aku pengen jadi penemu nasi goreng robot. Bayangin aja, robotnya bisa masak nasi goreng otomatis! Nggak usah repot-repot lagi deh, kalau lapar tinggal tekan tombol aja,” katanya dengan serius, seolah itu adalah ide brilian.

Raka membelalakkan mata. “Hah? Nasi goreng robot? Apa itu? Kamu serius?” tanya Raka, mulai tertawa terbahak-bahak.

Alden mengangguk, seolah tidak ada yang lebih penting dari itu. “Iya, serius. Kenapa enggak? Aku nggak mau cuma jadi satu hal. Kalau bisa, semuanya bisa jadi!” jawabnya penuh semangat.

Rina yang mendengar percakapan itu juga ikut menoleh. “Alden, kamu kok cita-citanya aneh banget sih? Tapi… lucu juga ya. Gimana kalau pesawat yang kamu pakai juga robot yang bisa terbang sendiri? Jadi kamu nggak perlu jadi pilot, tinggal naik aja, deh!” ujarnya sambil tertawa.

“Betul! Pesawatnya kecil, kayak mobil mainan, tapi bisa terbang tinggi ke langit!” Alden makin semangat. “Pokoknya, aku nggak mau cuma pilih satu cita-cita, Rina. Aku bisa jadi banyak hal! Siapa tahu besok jadi ilmuwan, terus tiba-tiba jadi penyelam yang menemukan harta karun di laut dalam… atau jadi ahli biologi yang bisa ngobrol sama monyet!”

Seketika, suasana kelas jadi ramai. Teman-teman mulai mendengar percakapan seru Alden dan tertawa kecil. “Bicara sama monyet? Alden, kamu nggak pernah kehabisan ide lucu,” kata Junaid sambil menahan tawa.

Alden hanya tersenyum, tidak merasa malu sedikit pun. “Iya, kenapa enggak? Kalau monyet bisa ngomong, pasti seru banget, kan? Aku tanya, monyetnya suka makan pisang apa nggak,” jawab Alden dengan serius, meskipun suaranya penuh tawa.

Tak lama, bu Guru Sari datang menghampiri meja Alden. Dia menatap tulisan Alden yang penuh dengan ide-ide konyol, tapi dengan senyum hangat di wajahnya. “Alden, kamu sangat kreatif! Tapi coba deh, kamu pikirkan lagi, cita-cita yang mana yang paling kamu inginkan. Nasi goreng robot atau jadi penyelam?” tanyanya lembut.

Alden menatap bu Guru Sari dengan bingung. “Aku nggak bisa pilih, bu. Semua yang aku tulis tuh seru-seru banget. Kenapa aku harus pilih satu?” tanyanya polos.

Bu Guru Sari tersenyum. “Kadang, kita harus memilih supaya bisa lebih fokus, Alden. Tapi nggak apa-apa, cita-citamu bisa berubah kok seiring waktu. Yang penting, kamu punya semangat dan usaha untuk mewujudkannya,” kata bu Guru dengan bijak.

Alden mengangguk pelan. “Tapi kalau aku mau jadi semuanya, gimana?” tanya Alden sambil tersenyum nakal.

Bu Guru Sari tertawa. “Boleh, kok, impianmu banyak. Yang penting, jangan lupa belajar dan berusaha. Siapa tahu, suatu hari nanti kamu bisa jadi penemu nasi goreng robot yang terbang pakai pesawat mainan!” jawab bu Guru Sari sambil tertawa kecil.

Alden merasa sedikit lega. Mungkin cita-citanya memang belum jelas, tapi yang terpenting adalah dia bisa terus bermimpi dan berusaha. Bagaimanapun juga, dunia ini penuh dengan kemungkinan—dan Alden yakin, semua yang ia impikan bisa jadi kenyataan suatu hari nanti.

Sambil melanjutkan menulis di kertasnya, Alden tersenyum. “Aku akan jadi banyak hal,” pikirnya, “Dan mungkin, suatu hari nanti, aku bisa mengobrol dengan monyet.”

Belum ada akhir, karena perjalanan mimpi Alden masih panjang.

 

Nasi Goreng Robot dan Pesawat Mainan

Hari-hari setelah tugas menulis cita-cita itu ternyata tidak semudah yang dibayangkan Alden. Sebelumnya, dia merasa ide-idenya yang aneh dan lucu itu bisa membuatnya terkenal, tapi setelah mendengar jawaban teman-temannya, Alden jadi merasa ragu. Raka ingin jadi astronot, Rina mau jadi dokter, sementara Junaid malah bercita-cita jadi pemain sepak bola terkenal. Mereka semua punya cita-cita yang jelas, sementara Alden, dia malah bingung memilih.

Namun, sebuah kejadian tak terduga membuatnya kembali percaya dengan impian-impian konyolnya.

Suatu siang yang cerah, ketika bel istirahat berbunyi, Alden duduk di bawah pohon besar di halaman sekolah, menghadap lapangan basket. Dia tengah merenung, seolah mencari jawaban. Apa yang sebenarnya ia inginkan? Jadi penemu nasi goreng robot? Atau mungkin pesawat mainan yang bisa terbang sendiri?

Tiba-tiba, Raka datang mendekat dengan wajah serius. “Alden, gue nemu sesuatu yang bisa bantu lo jadi astronot!” katanya sambil menunjukkan sebuah buku bergambar tebal tentang luar angkasa. “Lo harus belajar banyak tentang planet, galaksi, dan bintang. Jangan cuma ngomong doang, lo harus tahu betul!” Raka memberi semangat dengan wajah penuh keyakinan.

Alden cuma mengangguk pelan, lalu memalingkan wajah ke lapangan basket. “Tapi… aku nggak yakin jadi astronot itu buat aku, Rak. Aku tuh lebih suka mikir hal-hal yang aneh aja, kayak robot buat masak nasi goreng,” jawabnya sambil tertawa geli.

“Robot nasi goreng? Itu nggak masuk akal, Alden,” kata Raka sambil duduk di sebelahnya. “Tapi lo tahu nggak, terkadang hal yang kita anggap konyol itu bisa jadi kenyataan, loh. Kayak pesawat terbang pertama kali, dulu orang-orang juga pasti mikir itu gila.”

Alden terdiam, berpikir sejenak. “Hmm… kalau gitu, aku bakal coba deh belajar lebih banyak tentang robot dan pesawat. Siapa tahu ada yang bisa mewujudkan ide-idenya, kan?” jawab Alden penuh semangat.

Pada saat itu, Junaid datang membawa bola basket. “Ayo, Alden! Jangan cuma mikirin robot, mending kita main basket dulu, biar otaknya nggak tambah pusing,” ujarnya dengan gaya santainya.

Alden mengangguk, ikut bermain basket bersama teman-temannya. Meskipun pikirannya masih melayang ke ide nasi goreng robot, setidaknya ia merasa lebih tenang.

Beberapa hari kemudian, pada saat kelas berlangsung, bu Guru Sari kembali mengingatkan seluruh kelas untuk menyelesaikan tugas tentang cita-cita mereka. “Ayo, anak-anak, hari ini kita akan berbagi cita-cita kalian. Siapa yang sudah selesai menulis?”

Satu per satu teman-teman Alden mulai mengangkat tangan dan berbicara dengan semangat. Raka dengan percaya diri menjelaskan tentang cita-citanya menjadi astronot dan penjelajah luar angkasa. Rina ingin jadi dokter hewan, dan Junaid berbicara tentang mimpinya menjadi pemain sepak bola. Semua ide mereka begitu jelas, namun Alden merasa sedikit tertekan.

Ketika tiba gilirannya, Alden berdiri dengan kertas yang sudah dia tulis di tangan. Namun, bukan kata-kata serius atau cita-cita yang terdengar, melainkan ide-ide konyolnya. “Aku ingin jadi penemu nasi goreng robot yang bisa masak sendiri. Jadi, kalau aku lapar, tinggal tekan tombol aja, robotnya langsung siapin nasi goreng enak,” ucapnya dengan suara penuh semangat, meski tahu teman-temannya pasti akan tertawa.

Beberapa anak di kelas menahan tawa. Rina bahkan hampir tersedak saat mendengar ide Alden. “Nasi goreng robot? Aduh, Alden, kamu tuh unik banget sih!” kata Rina, masih tertawa kecil.

Namun, bu Guru Sari hanya tersenyum lebar. “Alden, itu ide yang sangat kreatif! Siapa tahu, kalau kamu terus belajar tentang teknologi, cita-cita kamu bisa jadi kenyataan. Cita-cita itu nggak harus selalu serius, yang penting kamu punya semangat untuk terus mencoba.”

Alden merasa sedikit lega mendengar kata-kata bu Guru Sari. Mungkin, apa yang dianggap aneh oleh teman-temannya bukanlah sesuatu yang harus diubah, tapi malah bisa jadi jalan untuk menemukan sesuatu yang baru.

Sehabis jam pelajaran, bu Guru Sari memberi sebuah buku tentang robot dan teknologi. “Alden, coba baca buku ini. Siapa tahu, ide nasi goreng robotmu bisa berkembang jadi sesuatu yang lebih besar!”

Alden menerima buku itu dengan penuh rasa penasaran. “Terima kasih, bu Guru!” katanya sambil melambaikan tangan.

Saat berjalan pulang dari sekolah, Alden tak berhenti memikirkan kata-kata bu Guru Sari. Cita-citanya yang dianggap aneh oleh teman-temannya mulai terasa lebih mungkin. Dengan semangat yang baru, dia mulai membayangkan dirinya mengembangkan robot-robot canggih yang bisa membantu orang dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin, mulai dari robot yang bisa memasak nasi goreng, lalu berkembang ke hal-hal yang lebih besar, seperti robot pembantu rumah tangga, atau bahkan robot yang bisa terbang!

Sesampainya di rumah, Alden langsung menuju ruang tamu, duduk di depan komputer, dan mulai mencari tahu tentang robot dan teknologi. Dia membuka situs-situs yang membahas berbagai inovasi di dunia robotik. Alden merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan, dan siapa tahu, cita-citanya bisa jadi lebih besar dari yang dia bayangkan.

“Pokoknya, aku nggak mau cuma jadi satu hal,” pikirnya sambil tersenyum lebar. “Aku bakal jadi penemu, ilmuwan, bahkan mungkin astronaut juga. Semua mungkin!”

Malam itu, sambil menulis catatan kecil di buku tentang semua ide-idenya, Alden tahu satu hal: impian itu nggak harus jelas sejak awal, yang penting adalah semangat untuk terus bermimpi dan mencoba. Siapa tahu, salah satu ide konyolnya bisa jadi kenyataan.

Dan cerita Alden belum berakhir, karena di dunia penuh kemungkinan ini, siapa yang tahu apa yang akan dia capai selanjutnya?

 

Robot Nasi Goreng dan Kegembiraan Tak Terduga

Pagi itu, Alden bangun dengan penuh semangat. Langit biru dan matahari yang bersinar terang membuat hari itu terasa sempurna. Setelah beberapa hari mencari informasi tentang teknologi dan robot, Alden merasa seperti seorang ilmuwan muda yang siap menjelajahi dunia pengetahuan. Dia bahkan sudah menyiapkan buku-buku dan berbagai ide tentang robot yang bisa dia buat. Namun, untuk saat ini, fokus utamanya adalah pada robot nasi goreng, proyek kecil yang kini terasa seperti tantangan besar.

Alden melangkah ke dapur, mencari bahan-bahan untuk eksperimen pertamanya. “Oke, bahan-bahan untuk nasi goreng… telur, kecap manis, nasi, bawang putih… Uh, robot!” dia berkata sendiri sambil membuka lemari dapur. “Tunggu deh, gimana caranya robot ini bisa masak kalau nggak ada yang bantuin?”

Sambil menggaruk kepala, Alden menyadari bahwa meskipun dia sudah punya banyak ide, dia tetap butuh bantuan untuk membuat robot itu jadi nyata. Sebelum melanjutkan rencananya, dia teringat akan kata-kata bu Guru Sari yang menyarankan untuk tidak hanya bermimpi, tapi juga berusaha mewujudkannya.

Dengan tekad bulat, Alden berlari ke halaman belakang rumah, tempat dia biasanya menghabiskan waktu bermain dengan alat-alat bekas dan barang-barang yang tidak terpakai. Di sana, dia punya banyak mesin kecil, beberapa motor bekas, dan benda-benda aneh yang bisa dia gunakan untuk eksperimen. Dia merasa seperti penemu yang menemukan dunia baru.

Sementara itu, di sekolah, teman-temannya mulai membicarakan impian mereka. Raka yang baru saja kembali dari kursus astronomi di pusat sains, masih dengan semangat membara, berkata, “Alden, lo tahu nggak? Gue udah mulai latihan di simulator pesawat. Udah nggak sabar banget deh jadi astronaut!”

Alden tersenyum kecil, merasa bangga dengan semangat temannya itu. “Keren banget, Rak! Gue juga lagi ngerjain proyek, nih. Tapi nggak tentang pesawat… lebih ke robot yang bisa masak nasi goreng.”

Raka tertawa. “Robot nasi goreng? Hahaha, lo tuh bener-bener nggak ada matinya deh, Alden.”

“Ya, gimana lagi? Kalau lo bisa jadi astronaut, gue juga bisa jadi penemu robot nasi goreng, kan?” jawab Alden santai, meski dalam hati dia merasa bahwa impian konyolnya itu sebenarnya bisa jadi lebih dari sekadar lelucon.

Beberapa hari kemudian, Alden memutuskan untuk meminta bantuan Junaid dan Rina. Mereka selalu bersama-sama bermain dan berkreasi sejak kecil, jadi mungkin mereka bisa membantu dia untuk menemukan cara membuat robot yang bisa memasak.

“Rin, Jun! Aku butuh bantuan kalian nih!” teriak Alden saat menemukan kedua temannya sedang bermain di taman sekolah. “Aku lagi butuh orang buat ngumpulin bahan-bahan buat proyek robot nasi goreng.”

Rina menatap Alden dengan mata berbinar. “Robot nasi goreng? Wah, seru banget tuh! Aku bisa bantu nyari alat-alatnya,” jawabnya dengan antusias.

Junaid mengangguk setuju. “Tapi… lo beneran mau robot yang bisa masak nasi goreng? Gue sih nggak masalah bantuin, asalkan nanti lo kasih gue satu porsi, ya?” katanya sambil tertawa.

Alden mengacungkan jempol. “Deal! Gue janji, nanti kalau robotnya jadi, kalian bakal dapet nasi goreng enak banget!”

Hari demi hari berlalu, dan proyek Alden pun semakin berkembang. Dia mulai merakit motor, menggunakan kabel-kabel yang dia dapat dari komputer bekas, dan mencoba menyusun komponen-komponen lainnya menjadi bentuk yang lebih rapi. Rina dan Junaid selalu membantunya mencari barang-barang yang dia butuhkan. Kadang-kadang mereka harus ke pasar atau toko elektronik, mencari bahan yang sesuai.

Suatu hari, saat mereka sedang berusaha menyusun bagian-bagian robot, Raka datang ke rumah Alden dengan ekspresi penasaran. “Eh, Alden! Lo beneran bikin robot nasi goreng? Itu bakal jadi kayak gimana?” tanyanya.

Alden tertawa. “Lo jangan terlalu serius deh, Rak. Gue cuma coba-coba, sih. Tapi, kalau berhasil, mungkin kita bisa jual robot ini. Jadi, kalau ada orang malas masak, tinggal pencet tombol, dan nasi gorengnya siap!”

Raka melihat sekeliling ruangan yang penuh dengan potongan-potongan kabel, komponen elektronik, dan lembaran-lembaran kertas yang penuh dengan sketsa. “Wah, lo serius banget ya, Alden. Gue jadi penasaran juga nih! Tapi lo jangan lupa, ya, kita juga punya cita-cita lain. Lo juga harus latihan buat jadi astronaut!”

Alden mengangguk dengan semangat. “Pasti, Rak! Tapi buat sementara ini, gue bakal fokus ke robot nasi goreng dulu. Nanti kalau udah jadi, lo bisa jadi astronaut, dan gue jadi penemu. Dua-duanya keren, kan?”

Raka hanya tersenyum. “Oke deh, lo keren banget, Alden. Gue bakal tunggu nasi goreng robot pertama lo, ya!”

Malam harinya, Alden merasa langkahnya semakin mantap. Dia tahu bahwa cita-cita besar tidak bisa diraih dengan mudah, tapi bukan berarti dia harus berhenti bermimpi. Selama dia terus berusaha dan mencoba hal-hal baru, cita-citanya yang konyol itu bisa menjadi kenyataan.

Ketika robot nasi goreng pertamanya berhasil membuat nasi goreng meski sedikit berantakan, Alden merasa sangat bangga. “Tuh kan! Robot nasi goreng pertama gue!” dia berteriak kegirangan sambil memandang hasil karyanya.

Rina dan Junaid yang ikut membantu, langsung tertawa kegirangan. “Nasi gorengnya enak banget, Alden! Walaupun sedikit banyak, ini sukses!”

Alden hanya tersenyum lebar, merasa puas. “Ini baru permulaan, guys. Kalian tunggu aja nanti kalau robot gue bisa masak lebih banyak makanan. Dunia nggak bakal tahu apa yang bisa datang setelah ini!”

Dan malam itu, dengan semangkuk nasi goreng dari robot pertamanya, Alden merasa bahwa cita-citanya, yang tadinya tampak aneh dan jauh, kini mulai terasa lebih dekat dari yang dia bayangkan.

 

Nasi Goreng dan Cita-cita Tanpa Batas

Hari-hari terus berlalu, dan Alden semakin tenggelam dalam dunia robotnya. Robot nasi goreng pertama sudah berjalan, meski masih sedikit canggung dan berantakan, tetapi itu tidak membuat Alden patah semangat. Malah, itu menjadi titik awal bagi impian-impian lainnya yang mulai bermunculan. Dari nasi goreng, dia mulai merancang robot yang bisa memasak berbagai makanan, dan ide-ide baru muncul setiap kali dia merasa bosan dengan rutinitas sekolah. Sekarang, selain robot nasi goreng, ada robot yang bisa membuat pancake, memasak mie instan, bahkan robot yang bisa mengaduk adonan kue!

Suatu hari, di tengah semangatnya yang terus membara, Alden duduk di taman sekolah bersama Rina dan Junaid, sambil melirik ponselnya yang berdering. Pesan dari ibunya. Alden membuka pesan itu, dan matanya berbinar. “Alden, kita ada undangan ke lomba robotik antar sekolah! Lo ikut nggak?” tulisan di layar ponselnya membuat hatinya berdebar.

“Wow, lomba robotik? Kita ikut, dong!” seru Junaid sambil melompat-lompat kegirangan. “Alden, gue udah yakin banget lo bisa menang, deh!”

Alden hanya tersenyum tipis, meski di dalam hatinya, kegelisahan mulai datang. Lomba robotik? Meskipun dia sudah membuat beberapa robot, dia masih merasa bahwa robot nasi gorengnya masih jauh dari sempurna. Tapi, ide untuk menguji kemampuannya di hadapan orang lain membuatnya berpikir. Mungkin ini saat yang tepat untuk buktikan kalau impian itu bukan hanya soal besar atau kecil, tetapi tentang bagaimana berani mencoba.

Hari lomba pun tiba, dan Alden berdiri di panggung yang penuh dengan anak-anak sekolah lain yang membawa berbagai jenis robot. Dia melihat Raka di antara penonton, tersenyum dan memberi dukungan lewat anggukan. Dengan tangan sedikit gemetar, Alden meletakkan robot nasi gorengnya di atas meja. Rina dan Junaid berdiri di sampingnya, tampak penuh harap. Semua orang di ruangan itu menunggu robot-robot yang bisa melakukan tugas mereka dengan sempurna. Tapi Alden tahu, meskipun robotnya masih jauh dari sempurna, dia tidak bisa hanya duduk diam. Ini adalah kesempatan untuk berbagi impian.

Lomba dimulai, dan giliran Alden tiba. Dengan sedikit canggung, dia menekan tombol pada robot nasi gorengnya. Semua orang menahan napas saat robot itu bergerak, sedikit goyah, lalu mulai memanaskan wajan dan mencampurkan nasi dengan kecap manis. Alden bisa melihat wajah para juri yang sedikit bingung, tapi dia tidak peduli. Robot itu berhasil! Meskipun agak ketinggalan dengan beberapa robot yang lebih canggih, bagi Alden, itu adalah pencapaian luar biasa.

Setelah beberapa menit yang penuh ketegangan, robot itu menyelesaikan tugasnya—menyajikan nasi goreng yang sempurna, meskipun tidak sesempurna yang diinginkan. Semua penonton, termasuk Raka, Rina, dan Junaid, memberikan tepuk tangan meriah. Mereka tahu, walaupun Alden tidak memenangkan lomba itu, dia sudah melakukan sesuatu yang luar biasa. Dia sudah membuktikan bahwa cita-cita besar bisa datang dari mimpi kecil yang tampaknya konyol.

“Lo keren banget, Alden!” kata Raka, yang datang menghampiri setelah lomba selesai. “Robot lo bisa masak nasi goreng! Itu aja udah gila!”

Alden tertawa kecil, merasa lebih lega. “Iya, nih. Masih banyak yang harus diperbaiki, tapi ini langkah pertama. Gue nggak nyangka bisa sejauh ini.”

Rina dan Junaid tersenyum bangga. “Lo udah keren banget, Alden,” kata Rina. “Nasi goreng pertama lo beneran enak! Siapa tahu, nanti robot lo bisa bikin makanan lebih banyak lagi!”

Di malam hari, ketika Alden duduk di teras rumahnya, dia merenung tentang semuanya. Hari itu, dia menyadari satu hal penting: impian itu tidak perlu selalu besar dan sempurna. Impian adalah tentang berani mencoba, berani gagal, dan yang paling penting—berani terus melangkah. Nasi goreng dari robot pertamanya mungkin tidak sempurna, tapi itu adalah bagian dari perjalanan yang tak ternilai. Alden tahu, impian lainnya, seperti menjadi seorang astronaut atau menciptakan robot yang lebih canggih, juga tidak harus menunggu sempurna. Selama dia terus mencoba, selama dia berani untuk terus bermimpi, maka semuanya mungkin terjadi.

“Selamat datang di dunia impian, Alden,” gumamnya sambil tersenyum tipis. “Ini baru permulaan.”

Dengan hati penuh harapan, Alden melangkah ke masa depan, yakin bahwa setiap cita-cita, sekecil apapun, layak untuk diperjuangkan. Dan dia tahu, suatu hari nanti, dia akan menemukan robot yang tidak hanya bisa masak nasi goreng, tetapi juga bisa membantu orang mencapai impian mereka.

Mungkin tidak sekarang, mungkin tidak besok, tapi Alden percaya, jika impian itu cukup besar, segala hal bisa terjadi.

 

Jadi, siapa bilang cita-cita itu harus selalu besar dan sempurna? Alden udah buktin kalau mimpi yang paling keren bisa datang dari hal-hal kecil yang nggak terduga.

Kalau kamu punya impian, nggak perlu takut mulai dari yang sederhana—siapa tahu, robot nasi goreng pertama kamu bisa jadi langkah besar buat masa depan. Jadi, teruslah bermimpi dan berusaha, karena impian itu nggak ada yang nggak mungkin!

Leave a Reply