Daftar Isi
Pernah nggak sih, ngerasa cinta itu nggak cuma sekadar kata-kata manis, tapi juga ada di setiap kenangan yang nggak bisa hilang? Cerita ini mungkin buat kamu yang lagi merasakan apa itu kehilangan, tapi juga buat kamu yang pernah percaya kalau cinta itu bisa bertahan selamanya.
Tapi, ya, kenyataan kadang nggak seindah harapan. Cerita ini tentang seorang yang cinta banget sama orang yang nggak akan pernah bisa kembali. Gimana rasanya? Penasaran? Baca deh.
Cintaku Berakhir di Batu Nisan
Bayi yang Hilang dalam Senja
Senja itu selalu menjadi waktu favoritku, entah kenapa. Mungkin karena di saat itulah semua warna dunia seperti terhenti, membiarkan aku dan Arya hanya saling menatap, berbicara tanpa kata, hanya dengan senyum dan tatapan yang mengerti tanpa perlu diungkapkan. Kami sering menghabiskan waktu di taman kota saat matahari mulai terbenam, duduk di bangku yang selalu sama, berdua, dan menunggu langit berubah menjadi merah, jingga, dan akhirnya biru gelap.
“Arya, kenapa ya, senja selalu membuatku merasa seperti ada yang hilang?” aku mengalihkan pandanganku ke arah langit yang mulai berubah warna, berharap jawaban dari pertanyaanku akan datang seperti angin yang lembut.
Arya tertawa pelan, suara itu terdengar begitu akrab, seperti irama yang selalu membuat jantungku berdebar. “Mungkin karena senja itu seperti hidup, Tara. Semua hal indah pasti ada akhirnya, dan senja mengingatkan kita akan itu. Tapi, jangan khawatir, yang hilang itu pasti akan kembali.”
Aku menoleh, mencoba membaca ekspresi wajahnya, meski dalam senja yang perlahan gelap, aku hanya bisa melihat mata Arya yang bersinar, penuh dengan kehangatan yang sulit dijelaskan. “Kamu selalu tahu apa yang harus aku dengar, ya?” bisikku. Tanpa sadar, aku menempelkan kepalaku di bahunya, merasa aman dalam kehadirannya.
“Ya, karena aku cuma ingin kamu tahu bahwa apapun yang hilang, kita bisa menemukannya lagi. Bahkan kalau itu adalah senja, kita bisa menunggu sampai keesokan harinya,” jawabnya, suaranya tenang namun penuh keyakinan.
Saat itu, tidak ada yang bisa memecah kebahagiaan kami. Semua terasa sempurna. Tidak ada bayangan kesedihan yang mengintai, tidak ada ketakutan tentang apa yang akan datang. Hanya ada kami, duduk di bangku itu, di bawah langit yang mulai gelap, seolah dunia ini milik kami berdua.
Aku tidak tahu pasti kapan itu mulai berubah. Semua terasa begitu cepat. Pagi itu, aku menunggu Arya di taman yang sama, seperti biasa. Kami sudah berencana untuk pergi ke pantai nanti malam, menikmati malam dengan angin laut yang menyejukkan. Tapi, ketika aku menunggu lebih lama dari biasanya, rasa cemas mulai merayap. Aku memeriksa ponselku, dan seketika itu layar ponselku memancarkan sebuah pesan yang tidak pernah ingin aku terima.
Kecelakaan terjadi di jalan Raya Selatan. Seorang pria dalam keadaan kritis, ditemukan tak sadarkan diri.
Aku merasa dunia seperti runtuh seketika. Sebuah gambar kabur terbentuk di pikiranku—sebuah mobil yang melaju kencang, suara benturan keras, dan tubuh yang terjatuh ke tanah. Dan aku hanya bisa berlari, berlari menuju tempat itu, dengan tubuh yang terasa kaku dan tak mampu bergerak.
Aku sampai di rumah sakit, jantungku berdegup kencang. Hanya satu hal yang bisa aku pikirkan: Arya.
Dengan tangan yang gemetar, aku memegang erat tangan dokter yang keluar dari ruang UGD. “Dokter… bagaimana kondisinya? Di mana Arya?” suara ku tercekat, hampir tak keluar.
Dokter itu memandangku dengan ekspresi yang sulit kubaca. “Maaf, Nona. Kami sudah berusaha sebaik mungkin. Namun, kecelakaan yang dialaminya sangat parah. Kami tidak bisa… tidak bisa menyelamatkannya.”
Langit seolah runtuh tepat di atas kepalaku. Semua yang ada di dunia ini terasa menjadi kabut, kabur, dan tak berarti. Aku ingin berteriak, ingin lari, namun tubuhku terasa lemas. Semua yang ada hanyalah kesunyian yang begitu menekan, begitu pekat, hingga aku hampir tak bisa bernapas.
Aku berdiri di depan rumah kami malam itu, menggenggam erat jaket milik Arya yang masih terasa hangat meski udara mulai dingin. Semua orang telah pulang, meninggalkan aku yang masih terdiam, mencoba menerima kenyataan yang tak bisa diterima. Suara angin yang berdesir melalui celah pohon membuat aku teringat akan kata-kata Arya tentang senja, tentang hal-hal yang hilang tapi bisa kembali. Tapi kali ini, aku tahu, yang hilang tidak akan pernah kembali. Cintaku untuknya tidak akan pernah kembali.
Aku menatap batu nisan yang terletak di pemakaman, di tempat yang sekarang menjadi rumah terakhir Arya. Aku duduk di depan makamnya, merasakan setiap detak jantungku yang semakin lambat. “Aku… aku rindu kamu, Arya,” bisikku, suaraku tercekat. “Kenapa kamu harus pergi begitu cepat? Kenapa kamu tinggalkan aku di sini, sendirian?”
Batu nisan itu tetap diam, tidak ada yang bisa menghiburku. Tidak ada yang bisa mengganti tempatnya di hatiku. Aku hanya bisa merasakan rasa kehilangan yang semakin mendalam, yang semakin menusuk, seperti pisau yang perlahan menyayat hati. Bayangan Arya hadir begitu jelas, di setiap sudut rumah kami, di setiap langkahku. Aku merasa seperti berjalan dengan hantu, hidup dalam kenangan yang tak bisa kubawa bersama.
“Kenapa kamu tidak bisa ada di sini, Arya? Kenapa…” aku menggumamkan kata-kata itu, meski aku tahu jawabannya tak akan pernah datang. Tapi aku ingin percaya, aku ingin percaya bahwa entah bagaimana, ia masih ada di sana, di suatu tempat yang jauh.
Dan di situlah aku berada—di antara dunia nyata dan dunia yang penuh kenangan, di antara harapan dan kenyataan yang pahit. Aku melanjutkan hidup, namun hatiku tetap terjebak di masa lalu, dengan cinta yang tak bisa kulepaskan.
Kepergian yang Tak Tersangka
Hari-hari berlalu dengan cara yang sangat berbeda. Aku merasa seperti sedang berjalan dalam mimpi yang tak pernah berakhir—semuanya terasa kabur, tidak nyata, seperti melayang di antara kenyataan dan khayalan. Rasanya, aku tak bisa sepenuhnya merasakan waktu yang berjalan. Setiap detik yang berlalu hanya membuatku merasa semakin jauh dari apa yang dulu ada, semakin jauh dari Arya.
Aku kembali ke tempat-tempat yang dulu kami lewati bersama. Taman yang kami suka, kedai kopi tempat kami berbicara tentang impian-impian masa depan, dan pantai yang selalu menjadi tempat kami menyendiri, jauh dari keramaian. Semua itu kini hanya meninggalkan kekosongan yang lebih dalam dari sebelumnya. Ada bayangan, bayangan Arya yang selalu mengikuti kemanapun aku pergi, namun bayangan itu tak pernah bisa menggantikan dirinya yang nyata.
Tengah malam itu, aku berjalan di sepanjang pantai yang suram. Laut yang biasanya tenang kini bergelora, seperti mencerminkan perasaanku yang tak pernah damai. Aku duduk di tepi pasir, menyandarkan punggungku pada batu besar yang biasa kami jadikan tempat berteduh. Angin yang berhembus membawa kenangan tentang Arya, tentang tawa kami, tentang kata-kata yang pernah ia ucapkan yang kini terasa seperti serpihan-serpihan yang tertinggal begitu saja.
“Arya, kamu dimana?” bisikku pada angin malam, berharap bahwa entah bagaimana, suaranya bisa menjawab. Tapi yang datang hanyalah kesunyian yang mencekam. Aku menatap bintang-bintang yang mulai bermunculan di langit, mencoba mencari sesuatu yang bisa menenangkan hatiku. Namun, tak ada yang bisa menghapus rasa sakit yang terus menggerogoti.
Aku mengeluarkan selembar kertas dari tas kecilku, kertas yang berisi tulisan tangan Arya—tulisan yang dulu selalu menghangatkan hatiku. Kata-katanya tentang masa depan yang kami impikan bersama. Kata-katanya yang kini terasa begitu jauh dan tak terjangkau.
“Di mana semua impian itu, Arya?” aku hampir menangis, mengingat kembali semua hal yang pernah kami percayai akan terjadi. Kami berjanji untuk membangun hidup bersama, menjelajahi dunia, menjalani segala hal yang sebelumnya terasa mustahil. Tapi, semua itu hanya tinggal janji kosong, tergantung di udara yang tak bisa digapai.
Aku menatap laut yang bergelora, dan dalam hatiku, aku merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar kehilangan. Aku merasa seperti sebuah bagian dari diriku yang hilang, seperti ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar rasa rindu. Rasa bersalah.
Aku sering berpikir, jika saja aku bisa melakukan sesuatu untuk mencegahnya, jika saja aku bisa melihat tanda-tanda sebelum semuanya hancur. Namun, kenyataan berkata lain. Tidak ada yang bisa kembali. Kepergiannya adalah kenyataan yang harus aku terima, meskipun itu sangat berat.
Beberapa hari setelah itu, aku kembali ke rumah kami. Rumah yang dulu penuh dengan tawa, kini hanya dipenuhi keheningan yang hampir mematikan. Aku duduk di ruang tamu, memandang kursi kosong di hadapanku, tempat Arya biasa duduk, tertawa, atau bahkan diam saja dengan tatapan penuh pemahaman. Di sana, di kursi itu, aku bisa merasakan kehadirannya, meski ia sudah tiada.
Aku meraih album foto di meja dekat jendela. Foto-foto kami saat berlibur bersama, saat kami merayakan ulang tahun, bahkan foto yang diambil di hari-hari biasa, saat kami hanya duduk berdua, menikmati kehadiran masing-masing. Aku membuka halaman demi halaman, dan setiap gambar itu memanggil kenangan yang datang begitu mendalam. Rasanya, aku ingin berhenti melihatnya, tapi aku juga tak bisa menahan diri. Kenangan-kenangan itu seperti api yang terus membakar, memberi rasa sakit yang tidak bisa disembuhkan.
Tiba-tiba ponselku berdering. Aku melihat nama yang muncul di layar, dan untuk sesaat, hatiku berdegup kencang. Tetapi, begitu aku melihat nama yang tertera, aku sadar bahwa itu bukan suara yang aku ingin dengar. Itu suara dari orang lain—teman-teman kami, keluarga yang mencoba menghibur, menawarkan dukungan, tapi aku hanya bisa merasakan kekosongan dari kata-kata mereka. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan separuh dari dirimu, mereka tidak tahu apa yang aku rasakan.
“Tara, kita harus bisa melanjutkan hidup, kita harus kuat,” suara itu terdengar penuh harapan, tapi aku tidak bisa merasakannya. Aku tidak bisa merasakan apa-apa selain kehilangan.
Aku menjawab dengan suara serak. “Aku tahu, tapi bagaimana caranya? Kalau saja kamu tahu rasanya hidup dengan bayangannya terus mengikutiku, bagaimana setiap tempat yang aku kunjungi hanya mengingatkanku pada dia… Aku tak tahu harus bagaimana.”
“Jangan biarkan kenangan itu menghancurkanmu,” suara itu mencoba menenangkan, namun hanya menambah beban yang terasa berat. “Dia ingin kamu bahagia, Tara. Kamu harus hidup untuk dirimu sendiri.”
Aku mematikan ponsel itu dan melemparkan pandangan ke luar jendela. Malam semakin larut, dan aku tahu bahwa waktu akan terus berjalan. Tapi, hatiku tidak bisa mengikuti langkahnya. Tidak ada yang bisa mengisi tempat Arya yang hilang. Aku berjalan, ya, tapi dengan langkah yang berat, dan setiap langkah yang aku ambil hanya semakin mengingatkan pada apa yang telah hilang.
Aku kembali ke makam Arya beberapa hari kemudian, duduk di sana seperti biasa, dengan angin yang berhembus pelan. Aku tahu, tidak ada yang bisa mengembalikan semuanya, dan tidak ada yang bisa membuatnya kembali. Cintaku, cintaku yang pernah membara, kini terasa mati—terkubur bersama tubuhnya yang tak bisa lagi kugenggam.
“Tapi aku akan selalu mencintaimu, Arya,” bisikku pada angin yang bertiup pelan. “Tidak ada yang bisa mengubah itu. Tidak ada yang bisa membuat aku lupa, meski aku berusaha.”
Dan aku tahu, meskipun dia tak lagi di sini, cintaku untuknya tetap akan hidup, meskipun aku harus menghadapinya sendirian.
Langkah yang Kecil, Namun Berat
Hari-hari terasa lebih panjang. Waktu seolah tak lagi memiliki makna. Pagi hari datang dengan gelap yang mengikutiku, dan malam tiba lebih cepat, membawa kesepian yang semakin menggerogoti. Aku berusaha untuk menjalani hidupku seperti biasa, meskipun rasanya aku kehilangan bagian dari diriku yang tidak bisa aku temukan lagi. Arya tidak ada, dan aku, aku hanya bisa bergerak mengikuti alur yang ditentukan, tanpa tujuan yang jelas.
Aku kembali ke tempat kerjaku, mencoba melanjutkan rutinitas yang dulu terasa biasa, tapi sekarang seolah menjadi sebuah tugas berat yang harus aku hadapi setiap hari. Kantor itu terasa berbeda, kosong. Meja tempat Arya dan aku dulu sering duduk bersama saat kami bekerja di proyek yang sama, kini hanya menjadi ruang yang terlalu sunyi. Aku tahu, aku tidak bisa lagi berbicara dengannya, berbagi tawa dan cerita, bahkan hanya saling melontarkan lelucon konyol. Semua itu telah hilang.
“Tara, kamu oke?” suara Diana, rekan kerjaku, membuyarkan lamunanku. Aku menatapnya dengan mata yang mulai berusaha menahan air mata, tetapi sejenak, aku menguatkan diri.
“Ya, aku baik-baik saja,” jawabku, meskipun aku tahu itu bohong. Aku tahu dia melihat kebingunganku, tapi aku tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dalam diriku. Rasanya terlalu berat untuk diungkapkan.
Diana tidak memaksa lebih lanjut, hanya menatapku dengan perhatian yang dalam, seperti ingin berkata sesuatu, namun memutuskan untuk tidak. Dia pergi begitu saja, meninggalkan aku dengan suara dentingan keyboard yang sepi, menyisakan ruang yang semakin terasa hampa.
Setiap kali aku mencoba untuk fokus pada pekerjaan, pikiranku melayang kembali pada kenangan-kenangan itu. Senyum Arya, matanya yang selalu memancarkan rasa sayang dan perhatian, suaranya yang begitu menenangkan. Semua itu terlalu kuat untuk dipadamkan, dan aku terus terjebak dalam ingatanku sendiri. Bagaimana bisa aku melupakan semuanya? Bagaimana bisa aku hidup tanpa dia?
Hari itu, aku pergi ke tempat yang baru: sebuah kafe kecil di sudut kota. Kafe itu bukan kafe yang biasa kami kunjungi, tetapi aku merasa perlu mencari sesuatu yang baru, mungkin hanya agar sedikit mengalihkan pikiran. Ketika aku duduk di meja yang terletak dekat jendela, aku memandang keluar, dan seketika aku merasakan dia ada di sini.
Aku bisa membayangkan Arya duduk di hadapanku, tersenyum dengan caranya yang khas. Mungkin dia akan membicarakan hal-hal sepele, mungkin tentang hal-hal lucu yang terjadi di tempat kerjanya, atau kami akan mengobrol tentang hal-hal sederhana yang membuat kami tertawa bersama. Tetapi tidak ada dia di sini. Aku hanya bisa melihat kursi kosong di hadapanku.
Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang tak bisa kutahan lagi. “Kenapa kamu pergi, Arya? Kenapa waktu begitu kejam?” bisikku, berharap angin yang berhembus membawa jawabannya, meski aku tahu itu mustahil.
Di luar jendela, dunia terus berjalan, namun aku tetap merasa terjebak di tempat yang sama. Aku ingin melangkah, ingin bergerak maju, tapi setiap kali aku mencoba, bayangan Arya selalu ada di sana, menghalangi setiap langkahku. Rasanya, aku tidak bisa melangkah maju. Tidak bisa.
Dua hari setelah itu, aku memutuskan untuk pergi ke tempat yang pernah kami rencanakan untuk kami kunjungi bersama. Tempat itu, sebuah rumah kecil yang ada di pinggiran kota, yang dulu kami impikan sebagai tempat untuk memulai hidup baru. Tempat yang penuh dengan janji, yang sekarang hanya menyisakan kenangan pahit. Aku berdiri di depan gerbang rumah itu, menatap dengan hati yang teriris.
Di sana, ada papan kayu dengan tulisan “Rumah Kita”. Kata-kata itu dulu terasa begitu nyata, penuh harapan. Namun sekarang, mereka hanya menjadi penghias kesedihan yang semakin dalam. Aku menghela napas, merasakan rasa sakit yang tak kunjung reda. Aku tahu, tidak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Rumah itu, yang kami impikan bersama, kini menjadi simbol dari semua yang hilang.
Aku duduk di depan gerbang itu, menunduk. Tanpa sadar, air mata mulai mengalir, dan aku tidak bisa lagi menahan semuanya. Semua kenangan itu datang begitu cepat, memenuhi pikiranku dengan cara yang menyakitkan. Aku merindukan Arya. Aku merindukan tawa, pelukan, dan kata-kata yang dulu selalu ada di sampingku.
Aku meraba kantong tas, dan menemukan sebuah kunci kecil yang terbuat dari logam. Itu adalah kunci rumah yang dulu kami rencanakan untuk dihuni bersama. Aku menggenggamnya erat, mencoba merasakan seolah dia masih ada di sini, bersama aku. “Aku tidak tahu bagaimana aku bisa terus hidup tanpa kamu, Arya,” aku berbisik, merasa seperti ada sebagian dari diriku yang hilang.
Ketika aku berjalan pergi dari rumah itu, ada perasaan kosong yang semakin membesar di dalam dadaku. Tapi kali ini, aku tidak hanya berlari menghindari rasa sakit. Aku tahu, aku harus belajar untuk menerima, meski itu sangat sulit.
Diana mengirim pesan di ponselku beberapa saat setelah aku kembali ke rumah. “Kamu mau keluar makan malam? Aku tahu tempat baru yang bagus.”
Aku menatap layar ponsel. Aku tahu Diana peduli padaku, tapi hatiku terasa berat untuk menerima kenyamanan apa pun. Aku ingin sendirian. Aku ingin waktu untuk merenung, untuk mencari tahu bagaimana caranya bertahan dalam dunia yang sekarang terasa begitu asing.
Namun, aku tahu ada saatnya aku harus melangkah. Tidak ada yang bisa mengembalikan waktu yang telah hilang. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Yang bisa aku lakukan sekarang adalah terus melangkah, meskipun perlahan, meskipun berat.
Langkah Terakhir yang Tak Bisa Ditarik Kembali
Waktu terus berlalu dengan cara yang tidak pernah aku bayangkan. Aku tak tahu sejak kapan aku mulai merasa sedikit lebih kuat, tapi aku tahu aku tidak lagi bisa terus-terusan terjebak dalam bayangannya. Ada bagian dari diriku yang perlahan belajar untuk menerima kenyataan—bahwa dia tidak akan pernah kembali. Setiap pagi, aku merasa seperti berjuang untuk menjalani hari, tapi malamnya aku merasa sedikit lebih utuh.
Namun, ada kalanya kesendirian datang menghantui. Aku masih mengingat Arya dengan jelas—senyumnya yang selalu membawa ketenangan, caranya menyentuhku dengan lembut seolah memberi kekuatan. Semua itu masih segar dalam ingatanku, seperti lukisan yang tak pernah bisa pudar meskipun waktu terus berjalan. Tapi saat itu, aku menyadari satu hal: aku harus melanjutkan hidup, meskipun tanpa dia.
Aku memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat yang dulu kami kunjungi bersama. Suatu tempat yang dulu terasa begitu hidup, penuh tawa dan obrolan hangat. Aku duduk di meja yang biasa kami duduki, menatap kosong ke luar jendela. Sejenak, semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak kunjung berakhir.
Namun, kali ini, aku tidak menangis. Tidak ada air mata yang mengalir. Ada perasaan tenang yang tidak pernah aku rasakan sebelumnya. Aku tahu, ini adalah akhir dari segala sesuatunya. Arya sudah pergi, dan aku tidak akan pernah bisa kembali ke masa itu. Tapi aku juga tahu, aku harus berjalan, meskipun aku tak tahu kemana.
Tangan kananku tergerak mengambil sebuah buku catatan kecil dari dalam tas. Aku membuka halaman pertama, membaca tulisan yang pernah aku buat—tulisan yang kami buat bersama tentang mimpi-mimpi yang kami impikan. Hal-hal kecil yang dulu tampak begitu berarti. Hal-hal yang dulu membuat kami tersenyum, bersama. Aku menutup buku itu dengan pelan, menyimpannya kembali di tas.
“Selamat tinggal, Arya,” kataku dalam hati. Aku tidak bisa lagi menunggu sesuatu yang tak pernah kembali. Aku tidak bisa hidup dengan bayanganmu terus-menerus menghalangi jalanku. Aku mencintaimu, lebih dari apa pun yang pernah ada di dunia ini. Tapi aku juga tahu, cintaku tak bisa membuatmu kembali. Cintaku tak bisa mengubah kenyataan.
Hari-hari berikutnya terasa sedikit lebih ringan. Aku mulai mengisi hidupku dengan hal-hal baru. Mungkin itu terdengar aneh, tetapi aku tahu aku harus memberi ruang untuk diriku sendiri. Ruang untuk bernafas tanpa terus-menerus menyesali apa yang telah hilang.
Suatu sore, aku berjalan sendirian di taman yang dulu sering kami kunjungi. Udara terasa sejuk, dan angin membawa aroma segar dari dedaunan yang berguguran. Langkah-langkahku terasa lebih pasti, lebih tegas. Aku berhenti di sebuah bangku, menatap matahari yang mulai terbenam di ufuk barat. Rasanya, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku bisa merasakan kedamaian di dalam hatiku.
Di sana, di bawah sinar matahari yang temaram, aku mengingat Arya. Dan kali ini, aku tersenyum. Bukan karena aku bahagia tanpa dia, tetapi karena aku tahu, meski dia sudah pergi, cintaku padanya tetap ada. Cinta itu tidak pernah hilang, tidak pernah pudar. Ia tetap ada, di dalam diriku, di dalam kenangan kita yang tak akan pernah terlupakan.
Aku menghela napas, merasa lebih ringan. “Terima kasih, Arya,” bisikku pada angin yang berhembus. “Terima kasih untuk semuanya.”
Meskipun aku tahu aku tak akan pernah melupakanmu, aku juga tahu kini saatnya untuk melangkah. Perlahan, aku berdiri dan melangkah pergi, tanpa beban yang berat lagi di hati. Aku tahu perjalanan ini masih panjang, dan mungkin aku tidak tahu apa yang akan datang. Tapi aku tahu, aku tidak akan pernah berhenti untuk hidup.
Dan mungkin, suatu saat nanti, aku akan menemukan cinta yang baru. Tapi bukan untuk menggantikanmu. Karena cinta yang pernah ada, yang pernah kita miliki, akan selalu menjadi bagian dari diriku. Selamanya.
Jadi, begitulah hidup. Cinta bisa datang dan pergi, meninggalkan kenangan yang kadang terasa lebih berat dari yang kita bayangkan. Tapi, meskipun seseorang sudah nggak ada lagi di samping kita, cintanya tetap ada, bertahan di dalam hati, jadi bagian dari siapa kita sekarang.
Kadang, kita harus belajar untuk melepaskan, bukan karena kita berhenti mencintai, tapi karena hidup harus terus berjalan. Jangan takut untuk melangkah meski tanpa dia, karena mungkin, di ujung jalan, kamu akan menemukan dirimu sendiri lagi.