Daftar Isi
Eh, siap-siap ya! Cerita ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri! Bayangin deh, ada dua sahabat yang udah bareng dari kecil, tapi satu dari mereka tiba-tiba merasa lebih dari sekadar teman.
Dari keceriaan festival hingga hujan yang bikin semua jadi romantis, yuk kita ikuti perjalanan lucu dan manis mereka dalam menemukan cinta! Siapa sangka, cinta itu bisa muncul dari persahabatan yang udah terjalin sekian lama? Ayo, kita mulai!
Cinta yang Tertunda
Di Bawah Pohon Mangga
Di sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan kebun bunga, Kairo menghabiskan sore hari di bawah pohon mangga yang besar. Daunnya yang lebat memberikan naungan sempurna dari teriknya matahari, menciptakan suasana yang nyaman untuk bersantai. Di pangkuannya, sketchbook terbuka lebar, dan di sebelahnya, ada pensil dan kuas yang siap digunakan. Dia menatap ke halaman rumahnya, tempat di mana teman baiknya, Selma, biasanya muncul dengan senyum cerahnya.
Tiba-tiba, Selma muncul dari balik pagar dengan langkah ceria. Rambut panjangnya melambai mengikuti angin, dan pita merah muda yang menghiasi kepalanya tampak mencolok. “Kairo! Kira-kira kamu sudah siap untuk petualangan kita hari ini?” teriaknya dengan semangat yang khas.
Kairo tersenyum, “Petualangan apa lagi yang kamu maksud, Sel? Yang terakhir bikin dinding rumahku berantakan!”
Selma mendekat, duduk di samping Kairo dan melirik gambar-gambar di sketchbook. “Tapi kan itu seru! Kita harus membuat lukisan raksasa di dinding rumah tua itu! Bayangkan, semua orang akan melihatnya!”
“Aku sih lebih suka kalau semua orang tidak tahu bahwa kita yang melakukannya. Dinding itu sudah cukup tua dan tidak layak untuk dipamerkan,” jawab Kairo sambil menggaruk kepala. Dia tahu, ide-ide Selma kadang bisa berakhir di luar batas wajar.
“Tapi Kairo, ini kesempatan kita untuk menunjukkan imajinasi kita! Lagipula, siapa yang bilang dinding tua tidak bisa jadi tempat yang keren?” Selma mendesak, matanya berbinar penuh semangat.
Kairo mendesah, merasakan ketidakberdayaan melawan energi Selma. “Baiklah, baiklah! Tapi kita harus hati-hati. Jangan sampai ada orang dewasa yang melihatnya. Mereka bisa saja melaporkan kita!”
Selma tertawa, suaranya seperti musik di telinga Kairo. “Siapa yang takut? Kita kan punya senjata paling ampuh: seni!” Dia mengambil kuas dan mulai menggambar di udara, seolah-olah sudah mempersiapkan semua rencana dengan sempurna.
“Ya, senjata paling ampuh yang bisa bikin kita masuk penjara,” canda Kairo sambil menggambar di sketchbook. Dia menggambarkan wajah Selma yang ceria dengan ekspresi bersemangat, lengkap dengan latar belakang pohon mangga.
Selma menatap gambar itu dan berdecak kagum. “Kamu benar-benar berbakat, Kairo! Nanti kita bisa pakai gambar ini sebagai inspirasi untuk lukisan di dinding.”
Kairo menyandarkan punggungnya di batang pohon. “Inspirasi, ya? Apa kamu yakin kita tidak akan mendapatkan masalah? Mungkin makhluk halus yang tinggal di sana bakal marah!”
Selma mengguncang-guncangkan tangannya, “Ah, makhluk halus? Kamu ini memang selalu overthinking. Mereka pasti akan menyukai seni kita!”
Dengan itu, Kairo tidak bisa menahan tawanya. “Baiklah, aku akan percaya padamu. Kita bisa jadi tim seniman paling berani di desa ini!” Dia meraih pensil dan mulai menggambar rencana lukisan mereka, imajinasinya mulai meluncur bebas.
Keduanya menghabiskan waktu berjam-jam di bawah pohon mangga, tertawa dan berbagi ide-ide aneh. Setiap kali Selma mengusulkan sesuatu, Kairo berusaha keras untuk membayangkan apa yang bisa terjadi. “Bagaimana kalau kita tambahkan ikan terbang di lukisan? Mereka bisa terbang di atas pegunungan!” Selma mencetuskan ide yang gila.
“Ikan terbang? Sel, itu bukan hanya aneh, tapi juga mustahil! Kita harus fokus pada tema yang lebih realistis,” Kairo membalas dengan serius, meskipun dia juga merasa terhibur dengan imajinasinya yang liar.
“Ayo, kita buat dunia kita sendiri! Siapa yang peduli sama realita?” Selma berargumen dengan keyakinan.
Setelah beberapa saat, mereka akhirnya sepakat untuk melukis dunia fantasi di dinding tua. Kairo merasakan semangat itu mengalir di dalam dirinya. “Baiklah, kita akan melukis dunia yang penuh warna! Tapi ingat, kita harus bersiap-siap untuk menghadapi ‘makhluk halus’!”
Selma menepuk-nepuk bahu Kairo. “Itu semangat! Kita bisa jadi seniman paling berani di dunia!”
Saat matahari mulai terbenam, Kairo melihat Selma dengan rasa syukur. Di balik tawa dan keusilan mereka, ada ikatan yang tak tergantikan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan. Namun, Kairo merasa bingung. Apakah mungkin perasaannya terhadap Selma lebih dari sekadar sahabat? Dia menggelengkan kepala, mencoba untuk mengusir pikiran itu.
“Kita harus mulai besok, ya?” Kairo bertanya, berusaha mengalihkan pikirannya.
Selma mengangguk dengan semangat. “Tentu! Siap-siap saja, dunia kita akan terlihat luar biasa!”
Mereka berpisah untuk pulang, dan Kairo merasa harinya penuh warna. Di balik semua tawa dan rencana yang mereka buat, ada rasa penasaran dan kebingungan yang melanda hatinya. Dia hanya bisa berharap bahwa semua ini akan berakhir dengan cara yang baik. Namun, yang ia tahu pasti adalah, petualangan mereka baru saja dimulai.
Proyek Seni yang Kacau
Keesokan harinya, sinar matahari memancar cerah, menyapa Kairo yang sudah menunggu di depan dinding tua. Dia membawa cat dan kuas dengan perasaan campur aduk. Sejak malam sebelumnya, pikiran tentang perasaannya untuk Selma terus berputar di benaknya. Apakah ini saat yang tepat untuk mengungkapkan perasaannya? Mungkin tidak. Saat itu, fokusnya harus pada lukisan.
“Sel, aku di sini!” teriaknya saat melihat Selma mendekat, membawa tas punggung berisi berbagai warna cat.
Selma melambai-lambaikan tangannya, “Kairo! Siap untuk membuat karya seni yang mengubah dunia?”
“Lebih tepatnya, karya seni yang bisa membuat kita diusir dari desa,” jawab Kairo, menggoda.
“Eh, makhluk halus tidak akan marah, kan?” Selma menjawab sambil tertawa, mengeluarkan cat dan kuas dari tasnya. “Yuk, kita mulai!”
Mereka mulai dengan menggambar sketsa dasar di dinding. Selma yang penuh semangat memimpin, menjelaskan ide-ide anehnya dengan gestur yang berlebihan. “Jadi, di sini kita bisa gambar matahari yang tersenyum, dan di sebelahnya ada awan yang tertawa! Oh, dan jangan lupa tambahkan pelangi!”
Kairo menggelengkan kepala, tersenyum melihat antusiasme sahabatnya. “Pelangi, ya? Baiklah. Tapi aku rasa kita harus tambahkan beberapa elemen yang lebih ‘masuk akal’.”
“Masuk akal? Siapa yang mau masuk akal? Kita di sini untuk bersenang-senang!” Selma menjawab, mulai mengecat matahari dengan warna kuning cerah. Dia tampak begitu serius, meskipun gambarnya sangat lucu dan konyol.
Setelah beberapa jam penuh warna, Kairo mulai merasakan kelelahan. Dia menatap hasil karya mereka, dan rasanya semakin tidak terkendali. “Sel, kita sepertinya sudah mulai membuat kekacauan.”
Selma menghentikan pengecatannya dan melihat hasil kerja mereka. “Kekacauan? Ini masterpiece! Lihat betapa bahagianya semua warna ini! Kita akan menciptakan sejarah!”
Sebelum Kairo bisa berkomentar, terdengar suara tawa dari jauh. Mereka berdua menoleh dan melihat sekelompok anak-anak desa berkumpul, menonton dengan penasaran. Salah satu dari mereka, Rian, berteriak, “Kalian bikin apa, sih? Kok seru banget?”
“Kami membuat lukisan yang akan mengubah dunia!” jawab Selma dengan bangga, seolah-olah itu adalah proyek terbesar dalam hidupnya.
“Kayak pelangi yang kebanyakan makan es krim!” Rian mencemooh, membuat anak-anak lainnya tertawa terbahak-bahak.
“Bukan begitu, Rian! Ini adalah karya seni!” Kairo berusaha membela diri, meski senyum tidak bisa ia tahan.
Selma menyenggol Kairo dengan bahunya. “Biarkan saja mereka. Kita tetap seniman!”
Semakin banyak orang yang berkumpul, dan suasana mulai terasa tidak nyaman. Kairo merasa sedikit cemas. “Sel, mungkin kita harus menyelesaikannya sebelum orang dewasa datang.”
“Ayo, kita buat sedikit lebih banyak kekacauan!” Selma berteriak semangat, seolah-olah tantangan itu justru membuatnya lebih berenergi. Dia mengambil kuas dan mulai mencipratkan cat warna-warni ke dinding dengan gerakan liar.
“Sel, itu berlebihan!” Kairo berusaha menarik tangannya, tetapi Selma malah tertawa dan melompat menjauh. “Aku ingin membuatnya lebih hidup!”
Dalam kekacauan itu, tiba-tiba cat tumpah dan mengenai Kairo. “Wah, jadi kamu juga bisa jadi bagian dari seni!” Selma terbahak, melihat wajah Kairo yang terciprati warna-warni.
Kairo tertegun sejenak sebelum akhirnya ikut tertawa. “Oke, mungkin ini adalah seni yang benar-benar tidak terduga!” Dia mengejar Selma, berusaha membalas dengan mencipratkan cat padanya.
Anak-anak yang menyaksikan pertempuran cat itu bersorak-sorak. “Ayo, Kairo! Ayo, Selma!” Mereka bersorak, ikut serta dalam kegembiraan itu.
Selama beberapa saat, mereka terlibat dalam peperangan cat yang lucu, membuat dinding tua semakin berantakan. Kairo merasakan semangat dan keceriaan mengalir dalam dirinya, seolah semua beban di pikiran hilang. Tawa dan keceriaan Selma membuat hari itu terasa lebih cerah.
Akhirnya, setelah kekacauan itu berakhir, Kairo duduk terengah-engah di tanah, dikelilingi oleh cat yang berserakan. Selma juga tampak kelelahan, duduk di sampingnya dengan senyuman lebar. “Kita berhasil membuat proyek seni yang luar biasa, kan?”
“Jika tujuan kita adalah menciptakan kekacauan total, maka ya, kita berhasil!” Kairo menjawab, masih terbahak. Namun, saat dia melihat ke arah Selma, dia merasakan sesuatu yang lebih dalam. Rasa bahagia itu tidak hanya karena kekacauan, tetapi juga karena kebersamaan mereka.
“Sel, aku senang kita melakukan ini bersama. Kamu bikin hari-hariku lebih hidup,” ucap Kairo dengan tulus, merasakan kehangatan di dadanya.
Selma mendongak, tampak sedikit terkejut, tetapi kemudian dia tersenyum lebar. “Aku juga, Kairo! Kita seharusnya melakukan ini lebih sering!”
Sebelum Kairo sempat menjawab, mereka mendengar suara orang dewasa mendekat. “Kalian berdua! Apa yang kalian lakukan di sini?” suara tegas seorang ibu dari desa memecah suasana.
Kairo dan Selma langsung saling berpandangan. “Oh tidak, kita dalam masalah!” Kairo berbisik, sementara Selma tampak panik namun berusaha untuk tetap tenang.
“Mari kita cepat-cepat pergi sebelum mereka melihat semua ini!” Kairo mengusulkan, dan Selma mengangguk, meraih tangannya.
Mereka berdua melarikan diri, tertawa, meskipun ketegangan menggantung di udara. Petualangan mereka belum selesai, dan Kairo merasa, entah bagaimana, ini baru permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Namun, saat mereka berlari, satu pertanyaan tetap membebani pikirannya—apakah perasaan ini akan mengubah segalanya?
Pesta dan Kacau yang Manis
Hari itu, suasana di desa sangat meriah. Kairo dan Selma baru saja kembali dari pertempuran cat yang mengesankan, dan mereka sudah merencanakan untuk pergi ke festival tahunan desa. Makanan enak, permainan seru, dan—yang paling penting—kesempatan untuk melihat banyak orang berkumpul menjadi magnet bagi mereka.
“Sel, apa kamu yakin kita siap untuk festival ini?” Kairo bertanya, merapikan rambutnya di depan cermin. Dia mengenakan kaos hitam yang sedikit kotor dari cat, tetapi tidak bisa membiarkan penampilannya menghalangi semangatnya.
“Siap atau tidak, kita tetap harus pergi! Ini kesempatan kita untuk bersenang-senang,” jawab Selma, melangkah masuk ke dalam kamarnya dengan gaun merah cerah yang membuatnya terlihat menawan. “Lagipula, kita perlu memperbaiki reputasi seni kita yang hancur!” Dia tertawa, berusaha menahan gelembung kegembiraannya.
Kairo mengangguk, meskipun dia merasa sedikit cemas. Pesta di desa itu bisa sangat kacau, tetapi dia tahu bersenang-senang adalah hal yang perlu dilakukan. “Oke, ayo pergi sebelum kita kehilangan momen.”
Saat mereka tiba di pusat desa, suasana sudah ramai. Lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi pepohonan, dan suara tawa serta musik mengisi udara. Selma menghisap napas dalam-dalam, merasakan semangat festival. “Kairo, lihat! Ada permainan lempar bola! Ayo kita coba!” Dia menunjuk ke arah permainan yang ramai.
“Hmm, mungkin kita bisa mendapatkan hadiah besar!” Kairo menjawab dengan nada menggoda.
Selma berlari ke arah permainan itu dengan penuh semangat, meninggalkan Kairo yang masih berjalan perlahan. Dia tidak bisa menahan senyum melihat bagaimana sahabatnya bisa menjadi begitu ceria dan energik.
Setelah mencoba berbagai permainan, mereka berakhir di stan makanan. Aroma jagung bakar, gula-gula, dan makanan tradisional menguar ke udara, membuat perut Kairo keroncongan. “Sel, aku butuh makanan! Apa kamu lihat di mana stand makanan favoritmu?”
Selma mengerutkan dahi seolah-olah memikirkan sesuatu yang sangat serius. “Hmm… aku ingat, ada si penjual kue di ujung sana! Ayo, kita coba!”
Ketika mereka berlari menuju stan, Selma tidak sengaja tersandung dan hampir jatuh. Namun, Kairo dengan cepat menariknya. “Hati-hati! Jangan sampai jatuh sebelum kita mencoba kue-kue enak itu!” dia tertawa.
“Eh, terima kasih!” Selma menjawab, sedikit malu. Namun, dia cepat-cepat bangkit dan melanjutkan larinya, seolah kejadian itu tidak pernah terjadi.
Ketika mereka sampai di stan kue, Selma langsung mengerumuni berbagai pilihan kue yang menggoda. “Kairo, lihat ini! Ada kue cokelat, kue keju, dan—oh, jangan lupa kue pelangi!” Matanya berbinar.
Kairo tersenyum. “Oke, kita bisa ambil satu dari setiap jenis. Mari kita membuat kombinasi sempurna.”
Selma mengangguk dengan gembira dan mulai mengisi piringnya. Saat mereka sedang memilih kue, seorang gadis kecil dengan rambut keriting muncul dan menarik lengan Selma. “Kak, kak! Boleh minta sedikit kue?” Dia menatap mereka dengan mata besar, membuat hati Selma meleleh.
“Of course! Ini untukmu!” Selma menjawab, memberikan sepotong kue pelangi kepada gadis itu.
Kairo tersenyum melihat betapa murah hatinya Selma. “Sel, kamu akan menjadi bintang di festival ini dengan tindakan manismu!”
“Ah, sudah biasa,” Selma berkata sambil tertawa, tetapi senyumnya menunjukkan betapa dia menyukai perhatian itu.
Setelah mengumpulkan kue-kue yang cukup, mereka berdua menemukan tempat duduk di bawah pohon besar. Makanan itu terlihat sangat menggugah selera. Selma mengambil sepotong kue cokelat, dan Kairo mengikuti.
“Sel, ini enak!” seru Kairo, mengunyah dengan lahap. Namun, saat dia berbicara, sisa-sisa kue cokelat menempel di sudut bibirnya.
Selma menatapnya dengan tawa. “Kairo! Kamu terlihat seperti anak kecil yang baru belajar makan kue!”
Kairo meraba mulutnya dan merasakan kue yang menempel. “Oh tidak! Gimana bisa jadi begini?” Dia tertawa sambil berusaha menghapusnya.
Selma mengambil napkin dan memberikannya kepada Kairo. “Nah, bersihkan dulu. Kamu tidak mau orang lain melihatmu seperti ini!”
Saat mereka tertawa, suasana festival semakin meriah. Kairo merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Momen-momen kecil itu membuat hatinya berdebar-debar, dan dia tidak bisa mengabaikan perasaan itu. “Sel, kita harus mengulang ini setiap tahun!”
Selma mengangguk dengan semangat. “Iya! Kita bisa membuat tradisi baru!”
Mereka berlanjut menikmati festival, bermain berbagai permainan dan mencoba setiap makanan yang ada. Tapi saat malam mulai gelap, dan lampu-lampu berkelap-kelip menghiasi langit malam, Kairo merasakan ketegangan yang berbeda. Saat mereka menari di bawah bintang-bintang, dia merasa saatnya untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.
“Sel,” dia memulai, berusaha menemukan kata-kata yang tepat, “aku… aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting.”
Namun sebelum dia bisa melanjutkan, suara petasan meledak di udara. Selma melompat kaget dan tertawa, “Wow, lihat! Ini luar biasa!”
Kairo terpaksa menahan kata-katanya. Momen itu sepertinya tidak memberi waktu untuk berbicara. Ketika petasan meledak, mereka berdua berteriak dan bertepuk tangan, kehilangan momen yang tepat. Kairo merasa frustrasi sekaligus lucu melihat betapa suasana bisa tiba-tiba mengubah rencananya.
Setelah pertunjukan kembang api selesai, Kairo berusaha sekali lagi. “Selma, tentang yang aku ingin katakan…”
“Tunggu, Kairo! Aku ingin mencoba permainan panah itu!” Selma berkata dengan semangat, menarik tangan Kairo tanpa memberi kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya.
Kairo hanya bisa tersenyum sambil mengikutinya, tetapi di dalam hati, dia merasa bahwa dia harus segera menemukan cara untuk mengungkapkan perasaannya. Momen ini sangat berharga, dan dia tidak ingin melewatkannya lagi.
Dengan semangat yang meluap-luap, mereka melanjutkan petualangan festival, tetapi Kairo tahu bahwa waktu untuk berbicara adalah hal yang harus segera ia lakukan. Meski saat itu tertunda, keyakinannya semakin kuat bahwa perasaannya untuk Selma semakin dalam, dan dia tidak bisa terus menyembunyikannya.
Pengakuan di Tengah Hujan
Festival mulai mereda saat malam semakin larut. Kairo dan Selma meninggalkan area keramaian dengan hati yang penuh dengan tawa dan kenangan indah. Namun, ada satu hal yang masih mengganggu pikiran Kairo—rasa yang semakin mendalam terhadap sahabat kecilnya itu. Dia tahu sudah saatnya untuk mengungkapkan perasaannya.
Saat mereka berjalan kembali, mendung gelap tiba-tiba menggelayuti langit. Selma menatap langit, “Aduh, sepertinya hujan akan turun.” Dia terlihat khawatir, tetapi Kairo hanya tersenyum. “Hujan? Justru ini kesempatan kita untuk menciptakan momen spesial!”
Selma mendengus, “Spesial seperti apa? Kita bisa basah kuyup!”
“Kita bisa berlari di tengah hujan! Ingat, saat kita kecil, kita sering bermain di hujan?” Kairo mencoba membujuknya. “Ayo, Sel! Ini kesempatan kita untuk jadi anak-anak lagi!”
Selma ragu sejenak, tapi senyum Kairo tampaknya memikatnya. “Baiklah, tapi kamu yang pertama! Aku hanya akan mengikuti!”
Mereka berdua mulai berlari, tertawa lepas sambil merasakan air hujan yang menyentuh kulit mereka. Kairo merasakan kebebasan luar biasa. Hujan membuat segalanya terasa lebih hidup. Mereka melompati genangan air, dan setiap langkah membawa mereka lebih dekat ke momen yang ingin Kairo ciptakan.
Kairo tiba-tiba berhenti, menatap Selma yang tertawa di tengah hujan. “Sel!” teriaknya, membuat Selma menghentikan langkah dan menatapnya. “Aku harus bilang sesuatu!”
Hujan semakin deras, tetapi Kairo tidak peduli. Semua kata-kata yang ingin dia ungkapkan mengalir begitu saja. “Selma, aku… aku suka kamu. Maksudku, lebih dari sekadar sahabat. Setiap momen bersamamu, membuatku merasa lebih dari sekadar teman. Aku ingin lebih dari itu!”
Selma tertegun, air hujan mengalir di wajahnya, dan dia tampak kebingungan. Kairo merasa jantungnya berdegup kencang, takut dengan reaksi yang akan datang. “Kairo…,” Selma mulai berbicara, tetapi suaranya tertutup oleh suara petir yang menggelegar.
“Selma, aku tahu ini mungkin datang tiba-tiba, tapi aku tidak bisa lagi menahan perasaan ini. Kamu adalah bagian terpenting dalam hidupku!” Kairo melanjutkan, merasa dorongan untuk memperjuangkan perasaannya.
“Aku…,” Selma mengerutkan dahi, tetapi kemudian sebuah senyum lebar muncul di wajahnya. “Aku sudah menunggu kamu bilang itu, Kairo! Aku juga suka kamu! Sejak kita kecil, aku selalu merasa ada sesuatu yang spesial antara kita.”
Kairo terkejut, matanya melebar. “Serius? Kamu benar-benar merasa begitu?” Dia tidak bisa mempercayainya.
“Iya! Aku suka setiap hal yang kamu lakukan. Bahkan saat kamu membuat kue, walaupun hasilnya seringkali berantakan,” Selma menjawab sambil tertawa, “Dan hujan ini hanya membuat segalanya lebih romantis!”
Senyum Kairo semakin lebar, rasa lega mengalir di dalam hatinya. Dia mendekat dan mengambil tangan Selma. “Kita bisa menjadi lebih dari sekadar sahabat, kan? Aku ingin menjelajahi semua ini bersamamu.”
Selma mengangguk, air mata bahagia mengalir di wajahnya. “Aku juga ingin itu, Kairo. Ayo kita mulai petualangan baru ini bersama!”
Mereka berdiri di tengah hujan, berpelukan dalam kebahagiaan yang tulus. Kairo merasa seolah dunia ini milik mereka berdua. Segala keraguan yang sempat mengganggu perasaannya kini sirna, tergantikan oleh kehangatan dari cinta yang baru saja terungkap.
Saat hujan mulai mereda, mereka tertawa dan melanjutkan perjalanan kembali ke rumah. Setiap langkah mereka rasakan penuh makna, seolah-olah dunia ini kini lebih cerah. Kairo dan Selma tahu bahwa kisah mereka baru saja dimulai. Hujan yang awalnya membuat mereka cemas kini menjadi saksi dari cinta yang terlahir dari persahabatan yang tulus.
“Jadi, kamu siap untuk membuat lebih banyak kenangan bersama?” Kairo bertanya sambil mengacak rambut Selma.
“Siap! Dan kali ini, aku akan berjanji untuk tidak membiarkan cat menghancurkan segalanya lagi!” Selma menjawab dengan semangat, merangkul Kairo dengan erat.
Dan dengan itu, mereka melangkah bersama, siap menghadapi semua petualangan yang menanti, berdua. Cinta dan persahabatan kini mengikat mereka lebih kuat, membuat setiap detik terasa lebih berarti. Hujan mungkin berhenti, tetapi kisah mereka baru saja dimulai.
Jadi, siapa bilang cinta itu harus ribet? Kadang, yang kamu butuhkan hanyalah sahabat yang ngerti kamu dari dulu. Kairo dan Selma sudah membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh dari hal-hal kecil dan momen-momen sederhana.
Dengan tawa dan hujan sebagai saksi, mereka siap menjalani petualangan baru dalam hidup mereka. Dan ingat, siapa tahu, sahabat yang kamu anggap biasa-biasa saja bisa jadi orang spesial di hatimu. Yuk, berani mengungkapkan perasaan, karena cinta kadang datang dari tempat yang paling tidak terduga!