Cinta yang Terpisah oleh Jarak: Bisakah Kau Mendengar Hatiku?

Posted on

Kamu pernah merasakan kerinduan yang menusuk hati? Bayangkan, kamu jatuh cinta dengan seseorang yang jaraknya bikin nyesek, tapi hati ini tetap berdegup kencang.

Di balik setiap pesan dan panggilan video, ada cerita tentang harapan dan kerinduan yang tak pernah padam. Yuk, simak perjalanan cinta Damar dan Marisa yang terpisah oleh jarak, tapi saling mendengar satu sama lain. Let’s go!!

 

Bisakah Kau Mendengar Hatiku?

Pertemuan yang Tak Terduga

Di sudut kedai kopi kecil yang tak jauh dari kampus, aroma kopi yang baru diseduh menguar menyentuh hidung. Suasana di dalamnya tenang, dengan cahaya lembut dari lampu-lampu kuning yang menggantung. Damar duduk di meja pojok, menatap secangkir cappuccino yang sudah dingin. Dengan jari-jarinya yang ragu, ia memainkan sendok, menciptakan bunyi bergetar di dalam cangkir. Hari ini, jantungnya terasa lebih berdebar dari biasanya, dan bukan karena terlalu banyak kafein.

Setiap sore, kedai ini menjadi tempat pelariannya. Damar menemukan ketenangan di sini, jauh dari kesibukan kampus yang penuh dengan tugas dan teman-teman yang selalu berisik. Namun, ada satu alasan utama yang membuatnya selalu kembali: Marisa. Setiap kali gadis itu datang, dunia Damar seolah berputar lebih cepat. Dia masih ingat dengan jelas saat pertama kali mereka bertemu.

Saat itu, Marisa baru saja memasuki kedai. Rambutnya yang panjang dan berwarna chestnut jatuh bebas di bahunya. Senyum lebar menghiasi wajahnya saat dia memesan cappuccino dengan nada ceria. Damar terpesona oleh kecantikannya. Dia adalah pusat perhatian, bahkan di tengah keramaian.

“Cappuccino satu, please!” ucap Marisa, menggerakkan tangannya dengan antusias. Damar bisa melihat bagaimana semua orang memandangnya dengan kagum. Dalam sekejap, dia merasakan sesuatu yang tidak biasa, sebuah ketertarikan yang membuatnya ingin mengenalnya lebih dekat.

Sejak saat itu, Marisa menjadi alasan Damar menantikan sore di kedai kopi. Setiap pertemuan mereka diisi dengan obrolan ringan, tawa, dan kehangatan yang sulit dijelaskan. Namun, ada satu hal yang selalu membuat Damar ragu untuk mengungkapkan perasaannya. Dia takut kehilangan momen indah yang telah mereka miliki jika perasaannya diungkapkan.

Sore itu, setelah menunggu selama setengah jam, Damar mulai merasa cemas. Marisa biasanya datang lebih awal. Dengan nada tak sabar, ia memeriksa ponselnya. Tak ada pesan dari Marisa. Hujan mulai turun, mengguyur kota dengan deras, suara tetesan air memenuhi ruangan, menciptakan irama yang menenangkan, tapi juga menambah kerisauannya.

“Kenapa ya, dia belum datang?” gumam Damar pelan, seolah berusaha meyakinkan dirinya sendiri. Dia memutuskan untuk menunggu sedikit lebih lama, berharap Marisa akan muncul di tengah hujan.

Hujan semakin deras, dan Damar merasa bahwa setiap tetesnya membawa kerinduan yang mendalam. Di luar jendela, orang-orang berlarian mencari tempat berteduh. Damar mengalihkan pandangannya ke dalam kedai, mencoba menikmati momen sambil menunggu.

Tak lama kemudian, pintu kedai terbuka, dan Marisa masuk dengan mantel basah yang melindungi tubuhnya dari hujan. Rambutnya menempel di wajah, tetapi senyum yang selalu membuat Damar berdebar masih terpancar. Dia bergegas menghampiri meja Damar.

“Maaf, aku terlambat!” kata Marisa, menghapus air di wajahnya dengan tangan. “Hujan di luar bikin aku terjebak.”

Damar tersenyum, merasakan hatinya bergetar. “Gak apa-apa. Aku juga baru aja datang. Pikiranku melayang-layang nunggu kamu.”

Marisa duduk di depan Damar, mengeluarkan kertas tisu untuk mengeringkan rambutnya. “Kamu selalu di sini, ya? Kapan pun aku datang, kamu pasti ada.”

“Iya, tempat ini jadi lebih hidup kalau ada kamu,” jawab Damar, merasa warna merah menyembur ke pipinya.

“Mau pesan sesuatu?” tanya Marisa, mengangkat alisnya. “Mungkin aku harus coba sesuatu yang baru?”

“Kalau kamu suka, kita bisa coba mocha. Katanya sih enak,” Damar menyarankan sambil menunjukkan menu.

Marisa mengangguk antusias. “Oke, mocha satu! Aku penasaran.”

Damar menekan tombol untuk memanggil pelayan. Dalam waktu singkat, mereka sudah kembali terlibat dalam obrolan santai, menertawakan hal-hal kecil, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, hingga berlanjut ke topik impian dan cita-cita. Damar mendengarkan dengan seksama setiap kata yang keluar dari mulut Marisa. Dia terpesona oleh cara gadis itu berbicara, seolah semua yang diungkapkan adalah potongan dari kisah yang penuh warna.

Saat mereka berbagi cerita, Damar merasakan ketertarikan yang semakin mendalam. Dalam setiap tawa Marisa, ia menemukan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Namun, di sudut hatinya, keraguan mulai menghampiri. Apakah dia juga merasakan hal yang sama?

“Eh, Damar, kamu udah mikirin masa depan?” tanya Marisa sambil memainkan sendok di cangkirnya. “Kayak mau ngapain setelah lulus?”

Damar tertegun. Pertanyaan itu membuatnya merenung sejenak. “Aku sih pengen kerja di bidang yang aku suka. Mungkin jadi desainer grafis. Bagaimana denganmu?”

Marisa tersenyum lebar. “Aku mau kuliah di luar negeri. Itu impianku sejak lama.”

Kata-kata itu menghantam Damar. Dia akan pergi jauh. Kenyataan itu membuatnya merasakan sakit di dada. “Wow, itu keren banget! Semoga bisa terwujud.”

Marisa mengangguk, tetapi ada keraguan di matanya. “Tapi… kadang aku merasa sedih juga. Aku akan jauh dari rumah, dari teman-teman.”

Damar merasa hatinya melesak. Dia ingin sekali mengatakan betapa dia ingin bersamanya, tetapi lidahnya terasa kelu. “Iya, semua akan berubah. Tapi kita bisa tetap berkomunikasi, kan?” Damar mencoba menghibur, padahal hatinya berontak.

“Ya, tapi… kadang aku berharap ada seseorang yang selalu mendukungku di sampingku,” ucap Marisa, matanya berbinar penuh harapan.

Damar merasakan hatinya bergetar. Dia membutuhkanku. Dalam sekejap, keinginan untuk mengungkapkan perasaannya semakin mendesak. Namun, rasa takut menggerogoti pikirannya. Apa yang harus dia lakukan?

Mereka terus berbincang hingga malam tiba, cahaya lampu mulai meredup, dan suara hujan menambah suasana menjadi semakin intim. Damar merasa waktu berjalan terlalu cepat. Akhirnya, saat yang ditakutkan Damar tiba.

“Damar, aku harus pulang sekarang. Besok pagi aku ada kelas,” ucap Marisa sambil berdiri, mengumpulkan tasnya.

“Gak mau lama-lama lagi? Kita kan baru mulai ngobrol,” Damar berusaha mempertahankan momen itu, namun hatinya semakin bergetar.

“Maaf, aku janji akan kembali secepatnya. Kita harus ngobrol lagi,” Marisa membalas dengan senyum tulus, tetapi Damar merasa ada yang hilang.

Saat mereka melangkah keluar dari kedai, hujan sudah reda, meninggalkan genangan air di trotoar. Damar merasakan seolah-olah ada ruang kosong antara mereka.

“Marisa,” Damar mulai, menelan ludahnya. “Aku—”

“Damar, sebelum aku pergi, ada yang ingin aku bilang,” Marisa memotong, wajahnya serius. “Aku sangat menghargai persahabatan kita. Kamu benar-benar berarti bagi aku.”

Kata-kata itu membuat Damar tertegun. Dia ingin mengatakan lebih dari itu, tetapi rasa takutnya membuatnya terdiam. “Iya, sama. Kamu juga berarti banyak buat aku,” jawabnya, dengan suara serak.

Mereka saling bertukar pandang, dan dalam tatapan itu, Damar merasakan kerinduan yang dalam. Dia tahu ini mungkin saat terakhir mereka bersama dalam waktu dekat. Marisa meraih tangannya, menggenggamnya lembut. “Sampai jumpa, ya. Jangan lupa jaga diri,” ucapnya sebelum melangkah pergi.

Damar berdiri terpaku di tempatnya, melihat sosok Marisa menjauh. Hatinya tertekan, dan suara hujan mulai menggema di telinganya. Dia ingin berteriak, ingin berlari mengejar Marisa dan mengungkapkan semua perasaannya. Namun, semua yang bisa dilakukannya hanyalah menatapnya hingga sosoknya menghilang dari pandangan.

Setelah Marisa pergi, Damar kembali ke dalam kedai, hatinya terasa berat. Suasana yang tadinya hangat kini dingin. Secangkir cappuccino yang dingin menemaninya, tetapi rasanya pahit. Dia merasa hampa, seperti kehilangan sesuatu yang sangat berharga.

Bisakah kau mendengar hatiku? pertanyaan itu berulang di benaknya, menggema di antara kerinduan dan rasa sakit yang menggerogoti jiwanya. Di luar, hujan mulai turun lagi, seolah menari-nari mengikuti irama hatinya yang berduka.

Dalam kesunyian itu, Damar berjanji pada dirinya sendiri. Aku akan menunggu. Akan ada saatnya aku mengungkapkan semuanya. Namun, dia tahu bahwa perjalanan mereka masih panjang, dan saat itu mungkin tidak akan pernah datang.

 

Jarak yang Memisahkan

Minggu-minggu berlalu setelah pertemuan terakhir mereka di kedai kopi. Damar kembali menjalani rutinitas harian di kampus dengan perasaan yang campur aduk. Setiap kali dia melewati kedai kopi, bayangan Marisa selalu menghantui pikirannya. Senyum manisnya, tawa riangnya, bahkan cara dia berbicara tentang cita-citanya—semua itu masih terukir jelas di ingatannya. Namun, setiap ingatan itu juga menyisakan rasa sepi yang semakin mendalam.

Di tengah kesibukan kuliah dan tugas yang menumpuk, Damar berusaha mengalihkan perhatian. Dia mulai meluangkan waktu untuk berolahraga, menulis di blog tentang desain grafis, dan berkumpul dengan teman-temannya. Tapi, seberapapun ia mencoba, ada ruang kosong di dalam hatinya yang tak bisa diisi. Dia merindukan Marisa, merindukan obrolan-obrolan ringan mereka, merindukan semua tawa yang pernah mereka bagi.

Suatu sore, Damar mendapat pesan singkat dari Marisa. “Damar, aku sudah sampai di kota baru! Nanti kita video call ya?” Menerima pesan itu, Damar merasakan perasaan campur aduk. Antusias sekaligus takut. Dia merindukan Marisa, tetapi video call berarti dia harus menghadapi kenyataan bahwa mereka kini terpisah jauh.

Ketika malam tiba, Damar mempersiapkan segalanya. Dia duduk di meja belajarnya, menata laptop dan memastikan koneksi internetnya stabil. Detak jantungnya semakin cepat seiring waktu berlalu. Akhirnya, layar laptopnya menyala, dan wajah Marisa muncul di layar, cerah seperti biasanya.

“Hey! Kamu di mana? Kayaknya suasana di sini lebih cerah dari tempatmu!” Marisa menyapa dengan senyum lebar.

Damar tersenyum balik, meskipun ada rasa sedih di dalam hatinya. “Aku di rumah. Gak ada yang baru, hanya kuliah dan tugas-tugas yang terus menumpuk.”

“Kasihan banget, ya. Kamu harus keluar dan bersenang-senang! Teman-temanmu gimana? Apa mereka merindukan aku?” Marisa berbicara dengan semangat, seolah tak ada yang berubah.

“Iya, mereka kangen. Tapi, sejujurnya, aku yang paling kangen sama kamu,” jawab Damar, berusaha jujur meskipun jantungnya berdebar.

Marisa mengangguk pelan, matanya sedikit melembut. “Aku juga kangen. Di sini banyak hal baru, tapi rasanya gak sama tanpa kamu di sampingku.”

Damar merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu, tetapi juga ketakutan. “Bagaimana kuliah di sana? Mudah-mudahan semua sesuai harapanmu.”

“Banyak tantangan, sih. Tapi aku suka! Lingkungannya seru, teman-temanku juga baik. Cuma, aku belum menemukan kedai kopi yang se-enak yang kita punya,” ucap Marisa sambil tertawa kecil.

“Benar, kedai kita itu istimewa,” Damar menjawab, merindukan semua momen berharga yang mereka habiskan di sana. “Kapan kamu pulang? Aku harap kita bisa bertemu lagi.”

“Hmm, aku gak tahu. Semester ini cukup padat. Tapi, aku janji bakal berusaha pulang secepatnya,” Marisa berkata, dan Damar bisa merasakan ketulusan dalam suaranya.

Malam itu dihabiskan dengan banyak tawa dan cerita. Marisa membagikan pengalamannya, bagaimana dia beradaptasi dengan tempat baru, dan Damar bercerita tentang kehidupan sehari-harinya. Meski mereka terpisah jarak, interaksi itu memberikan sedikit kelegaan bagi Damar.

Setelah hampir satu jam, Marisa tampak lelah. “Aku harus tidur. Besok ada kuliah pagi. Tapi, Damar, ingat ya, meskipun kita terpisah, aku akan selalu di sini, mendukungmu.”

“Dan aku juga. Semoga semua yang kamu impikan tercapai,” Damar menjawab, berusaha menyembunyikan rasa sedih yang menyusup di hatinya.

Setelah panggilan berakhir, Damar merasa campur aduk. Kebahagiaan dan kesedihan bercampur, membuatnya tidak tahu harus merasa bagaimana. Dia merindukan kehadiran Marisa, tapi dia juga bangga melihatnya berjuang untuk impiannya. Namun, ada satu pertanyaan yang terus menghantuinya: Apakah Marisa merindukannya seperti ia merindukannya?

Hari demi hari berlalu, dan Damar berusaha menjalani hidup. Dia mulai terlibat dalam berbagai kegiatan di kampus, mencoba mencari cara untuk mengalihkan pikiran dari kerinduan. Namun, setiap kali dia mendengar lagu-lagu tertentu, atau melewati tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi, perasaan itu kembali muncul. Dia masih menyimpan harapan bahwa suatu saat mereka bisa bertemu dan berbagi momen seperti dulu.

Namun, dengan setiap pesan dan panggilan video yang berkurang frekuensinya, Damar mulai merasakan kecemasan. Suatu sore, saat berada di kedai kopi—tempat yang selalu mengingatkannya pada Marisa—Damar melihat sekelompok teman di meja lain, tertawa dan berbagi cerita. Rasa sepi itu semakin menyakitkan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Pesan dari Marisa: “Damar, aku mau cerita sesuatu.” Jantung Damar berdegup kencang. Dia membalas cepat: “Cerita apa?”

Damar menunggu dengan penuh harap. Setiap detik terasa seperti setahun. Akhirnya, ponselnya berbunyi lagi. “Aku dapat kesempatan untuk ikut program magang di luar negeri. Ini kesempatan besar untuk karirku.”

Damar terkejut, tapi juga merasa bangga. “Wow, itu luar biasa! Kapan kamu berangkat?”

“Besok.”

Satu kata itu membuat dunia Damar terasa runtuh. Besok? Dia akan pergi jauh lagi, dan kali ini bisa jadi lebih lama. “Kamu pasti serius? Kenapa kamu gak bilang sebelumnya?” Damar merasa marah dan kecewa.

“Aku baru tahu. Aku berharap bisa berbagi kabar ini denganmu secara langsung.”

Damar merasa air matanya menggenang. “Aku… aku hanya berharap kamu akan pulang dan kita bisa berbagi cerita lebih dulu.”

“Aku juga berharap bisa melihatmu lagi sebelum pergi. Tapi, ini kesempatan yang tidak bisa aku tolak.”

Damar merasa hatinya hancur. “Baiklah. Aku akan mendukung keputusanmu, tapi aku sangat merindukanmu.”

“Aku akan merindukanmu juga, Damar. Tapi jangan khawatir, kita masih bisa berkomunikasi, kan?”

Mereka berdua tahu, meskipun mereka bisa berkomunikasi, perasaan itu tidak akan sama. Damar merasa seperti sepotong hatinya terlepas saat melihat pesan itu. Dia ingin berteriak, ingin meluapkan semua yang terpendam dalam hatinya, tetapi semua kata itu terjebak di tenggorokannya.

Setelah percakapan itu, Damar duduk sendiri di kedai kopi, memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia ingin menjadi pendukung yang baik untuk Marisa, tetapi di saat yang sama, dia merindukannya dengan sangat.

Dan saat dia melihat ke luar jendela, hujan mulai turun lagi, seolah menari mengikuti ritme hati yang patah. Jarak yang memisahkan mereka semakin terasa, dan Damar merasakan betapa sulitnya untuk melepas sosok yang telah menjadi bagian dari hidupnya.

“Cinta, bisakah kau mendengar hatiku?” Damar bergumam dalam hati, menatap ke langit kelabu di luar, berharap suatu hari nanti, semua ini akan terjawab.

 

Dalam Keheningan

Hari-hari berlalu dengan lambat setelah Marisa berangkat. Damar merasa seperti terjebak dalam rutinitas yang sama, tetapi di dalam hati, ada kekosongan yang terus menganga. Setiap pagi saat dia bangun, harapannya untuk menerima pesan dari Marisa semakin memudar. Meskipun mereka masih berkomunikasi melalui pesan singkat dan panggilan video, rasanya berbeda. Ada jarak yang tidak bisa dijembatani oleh teknologi.

Di kampus, Damar berusaha untuk tetap sibuk. Dia bergabung dalam berbagai kegiatan dan mencoba mendekatkan diri dengan teman-teman, tetapi hatinya selalu merasa berat. Dia sering kali mencuri waktu untuk mengingat Marisa—senyum, tawa, dan cara dia berbicara dengan semangat. Kadang, Damar menemukan dirinya tersenyum saat mengenang momen-momen itu, tetapi lebih sering lagi, dia merasa hampa.

Suatu sore, Damar mengunjungi kedai kopi tempat mereka biasa bertemu. Aroma kopi yang familiar menggoda ingatannya, dan suasana hangat tempat itu seolah mengundangnya untuk merasakan kehadiran Marisa di sampingnya. Damar memesan secangkir kopi hitam, duduk di sudut yang selalu mereka pilih, dan membiarkan pikirannya melayang.

Ketika mengaduk kopi, pandangannya jatuh pada sekelompok mahasiswa yang sedang berbincang. Mereka tertawa dan saling berargumen, suasana ceria itu membuatnya teringat pada saat-saat bahagia yang pernah dia alami bersama Marisa. Rasanya seperti mendengar bisikan hatinya, Mengapa kamu tidak berusaha lebih keras untuk menghubunginya?

Di saat itulah ponselnya bergetar. Sebuah pesan dari Marisa muncul di layar: “Damar! Aku sudah di sini satu bulan. Aku ingin mendengar tentang kehidupanmu!”

Damar merasakan lonjakan energi, hatinya seolah terbakar kembali. Dia segera membalas: “Kamu sudah satu bulan? Gimana pengalaman di sana? Ada cerita seru?”

“Banyak! Tapi aku lebih ingin tahu tentang kamu.”

Setelah beberapa pesan bolak-balik, mereka sepakat untuk video call malam itu. Damar berusaha menyiapkan diri. Dia memilih pakaian yang paling nyaman dan menyikat rambutnya. Semua ini terasa aneh, seolah-olah dia sedang bersiap untuk kencan pertama, bukan sekadar berbicara dengan sahabatnya.

Ketika panggilan dimulai, wajah Marisa muncul di layar dengan senyuman yang familiar. “Hey, Damar! Sepertinya kamu semakin kurus ya?” Dia melanjutkan dengan candaan, dan Damar merasakan kehangatan yang lama hilang.

“Hey! Aku baik-baik saja, mungkin hanya sedikit kurang tidur. Banyak tugas,” Damar menjawab, meskipun ia tahu itu bukan satu-satunya alasan.

Mereka mulai berbicara, berbagi cerita tentang kehidupan masing-masing. Marisa bercerita tentang teman-teman barunya, suasana kota, dan pelajaran yang dia ambil. Damar mendengarkan dengan antusias, tetapi saat-saat tertentu, hatinya mencelos mendengar betapa bahagianya Marisa di tempat barunya. Damar berusaha menyembunyikan perasaannya, tetapi ketika Marisa bercerita tentang pengalaman berharga dan kebahagiaannya, rasa sakit itu kembali muncul.

“Damar, kamu harus datang ke sini! Ini akan menjadi pengalaman yang luar biasa! Kita bisa menjelajahi kota bersama!” seru Marisa.

Damar terdiam. Bayangan untuk pergi ke tempat di mana Marisa berada terasa menggoda, tetapi juga menakutkan. “Aku ingin, Marisa. Tapi semua biaya… dan aku tidak tahu kapan aku bisa berangkat,” jawabnya pelan.

“Jangan khawatir soal biaya. Kita bisa merencanakan semuanya. Aku ingin kamu ada di sini. Kita bisa membuat kenangan baru!” Marisa berkata penuh semangat.

Mendengar itu, Damar merasa seberkas harapan muncul. “Mungkin aku bisa mencari cara. Setidaknya aku bisa merencanakan kunjungan dalam beberapa bulan ke depan.”

“Ya! Itu ide bagus!” Marisa tersenyum, matanya bersinar. “Dan jika kamu datang, kita bisa kembali ke kedai kopi itu dan membuat kenangan baru.”

Damar merasa senyum itu menjalar ke wajahnya. Dalam sekejap, semua kerinduan itu terasa sedikit terobati. Mereka melanjutkan obrolan hingga larut malam, berbagi cerita dan tertawa seolah tidak ada jarak yang memisahkan mereka.

Namun, saat panggilan berakhir, Damar kembali merasa hampa. Senyuman Marisa yang cerah kembali menjadi kenangan, dan saat dia menutup laptop, dia merasakan kesedihan yang tak terhindarkan. Meskipun mereka berbicara dengan penuh semangat, ada rasa pahit yang menyertai—bahwa semua ini hanyalah sementara.

Keesokan harinya, saat Damar berjalan di kampus, dia mencoba untuk tidak memikirkan apa pun. Dia bertemu dengan teman-temannya, tetapi pikirannya selalu kembali kepada Marisa. Di tengah kesibukan kuliah, saat melihat teman-temannya berpasangan, Damar merasa sedikit terasing. Dia ingin berbagi momen-momen itu dengan Marisa, bukan dengan orang lain.

Waktu terus berlalu, dan sebulan kemudian, Damar berusaha mengumpulkan keberanian untuk memberi tahu Marisa tentang perasaannya. Dia sudah cukup lama menyimpan semua ini, dan hatinya semakin berat. Dalam setiap pesan yang mereka tukar, ada dorongan untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.

Suatu malam, setelah berbincang-bincang tentang topik yang lebih ringan, Damar memutuskan untuk mengambil langkah. “Marisa,” katanya, suaranya bergetar sedikit, “ada yang ingin aku katakan.”

Marisa menatapnya dengan serius. “Apa itu? Kamu terdengar serius.”

Damar menarik napas dalam-dalam. “Aku… aku merindukanmu lebih dari yang bisa aku ungkapkan. Kehidupan tanpa kamu terasa hampa. Dan aku tahu ini mungkin sulit, tapi aku merasa ada yang lebih dari sekadar persahabatan antara kita.”

Marisa terdiam sejenak, wajahnya menunjukkan campuran kebingungan dan harapan. “Damar, aku juga merasakan hal yang sama. Tapi kita sedang terpisah. Apakah ini benar-benar waktu yang tepat untuk membahas ini?”

Damar merasakan hatinya berdebar. “Aku tidak tahu. Tapi aku ingin kamu tahu. Aku ingin kita lebih dari sekadar teman.”

Marisa menundukkan kepala, seolah mengumpulkan pikirannya. “Aku juga ingin, Damar. Tapi aku khawatir tentang apa yang akan terjadi setelah ini. Kita terpisah jauh.”

Kata-kata itu seperti belati yang menusuk hati Damar. “Aku tahu, dan itu yang membuat semuanya sulit. Tapi kita tidak bisa terus bersembunyi dari perasaan ini.”

Keheningan menyelimuti mereka. Dalam momen itu, Damar merasakan bahwa semua kerinduan dan harapannya tertegun. Bagaimana mereka bisa melanjutkan jika kenyataan tetap memisahkan mereka?

Akhirnya, Marisa berbicara lagi, suaranya lembut, “Damar, kita harus berjuang untuk ini. Jika kita benar-benar saling mencintai, kita harus siap untuk berjuang, tidak peduli seberapa sulitnya.”

Damar mengangguk, hatinya bergetar. “Aku bersedia berjuang. Apakah kamu bersedia?”

Marisa mengangguk pelan, “Iya. Tapi kita harus sabar. Jarak ini tidak akan mudah, tetapi aku ingin mencobanya.”

Damar merasakan harapan kembali bersemi di dalam dirinya. Mereka mungkin terpisah oleh jarak, tetapi sekarang mereka memiliki tujuan untuk dijalani—sebuah hubungan yang baru, terlepas dari semua ketidakpastian.

Dengan janji itu, Damar merasakan cahaya harapan mulai muncul di tengah kegelapan. Namun, mereka masih harus berhadapan dengan kenyataan pahit dari jarak yang memisahkan, dan Damar tahu bahwa perjalanan mereka baru saja dimulai.

 

Langkah Menuju Harapan

Bulan demi bulan berlalu, dan Damar serta Marisa berusaha untuk menjalani hubungan mereka yang baru. Meskipun mereka terpisah oleh jarak yang jauh, komunikasi yang intens melalui pesan dan panggilan video menjadi jembatan yang menghubungkan hati mereka. Setiap kali Damar melihat wajah Marisa di layar, rasa rindunya seolah terobati, meskipun tidak sepenuhnya.

Mereka menjadwalkan panggilan setiap minggu, berbagi cerita tentang kehidupan sehari-hari, dan berbicara tentang impian masa depan. Damar merasa terinspirasi oleh semangat Marisa, yang tidak hanya menantang dirinya untuk lebih baik, tetapi juga mengingatkannya untuk selalu bermimpi besar.

Suatu malam, saat mereka berbicara tentang rencana perjalanan Damar ke tempat Marisa, dia merasa perlu untuk mengungkapkan perasaannya yang lebih dalam. “Marisa,” ucapnya perlahan, “aku ingin sekali segera bertemu. Ada banyak hal yang ingin aku lakukan bersamamu.”

Marisa tersenyum, “Aku juga merindukanmu, Damar. Kita punya banyak kenangan yang harus dibuat. Apakah kamu sudah memikirkan tanggalnya?”

Damar menarik napas dalam-dalam. “Ya, aku sudah mencari tiket pesawat. Jika semuanya berjalan lancar, aku bisa pergi bulan depan. Aku tidak sabar untuk menghabiskan waktu bersamamu.”

“Serius?” Marisa bersorak gembira. “Itu luar biasa! Kita akan bersenang-senang. Sudah ada banyak tempat yang ingin kutunjukkan padamu!”

“Dan aku ingin mengunjungi tempat yang spesial bagi kita—kedai kopi itu,” tambah Damar, berharap dengan tulus bahwa rindu yang terus menggigit bisa terobati dengan kebersamaan yang nyata.

Mendengar hal itu, Marisa terdiam sejenak. Ekspresinya tampak campur aduk. “Damar, ada yang harus aku katakan,” katanya, suara sedikit bergetar.

“Apakah semuanya baik-baik saja?” tanya Damar, merasakan kekhawatiran mulai menyelimuti hatinya.

“Aku… aku merasa tertekan. Dengan perasaanku, dengan jarak, dan semuanya. Kita harus menghadapi kenyataan ini—apa yang akan terjadi setelah kamu datang ke sini. Kita tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti.”

Damar merasa hatinya berat. “Marisa, aku tahu ini sulit, tapi kita sudah berjuang untuk ini. Kita saling mencintai. Bukankah itu yang terpenting?”

“Benar, tetapi aku khawatir akan harapan yang terlalu tinggi. Jika semuanya tidak berjalan seperti yang kita inginkan, aku tidak ingin kita terluka lebih dalam lagi,” Marisa berkata, matanya tampak berkaca-kaca.

Mendengar nada kesedihan di suaranya, Damar meraih telepon dengan lebih erat. “Apapun yang terjadi, kita harus menghadapi semuanya bersama. Aku bersedia berjuang, tidak peduli seberapa sulitnya.”

Marisa mengangguk, tetapi masih ada keraguan di wajahnya. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku tidak ingin menyakiti perasaanmu. Kita perlu berbicara tentang ini ketika kamu datang.”

“Ya, kita akan membicarakannya,” jawab Damar, meskipun hatinya bergetar dengan ketidakpastian. Mereka melanjutkan percakapan, tetapi Damar merasakan sesuatu yang aneh. Dia tahu mereka harus menghadapi kenyataan, tetapi harapan itu membuatnya tidak bisa menyerah.

Mendekati tanggal keberangkatan, Damar merasakan campuran antisipasi dan kecemasan. Dia mempersiapkan diri untuk perjalanan ini, tidak hanya untuk bertemu Marisa tetapi juga untuk menggali apa arti hubungan ini bagi mereka.

Akhirnya, hari yang ditunggu pun tiba. Saat Damar tiba di bandara, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak sabar untuk melihat Marisa lagi, tetapi ketakutan akan apa yang akan terjadi setelah pertemuan itu terus menghantuinya.

Ketika Damar melangkah keluar dari bandara, dia melihat Marisa menunggu dengan senyum cerah. Dia tidak percaya bahwa mereka akhirnya bertemu. Saat mata mereka bertemu, Damar merasakan aliran energi yang seolah menghubungkan mereka meski dalam jarak yang jauh selama ini.

“Damar!” teriak Marisa, melambaikan tangan. Damar berlari menghampirinya dan memeluknya erat. Sensasi hangat dan nyaman mengalir ke dalam hatinya. “Aku tidak percaya kita akhirnya bertemu!”

“Iya, aku juga tidak percaya,” jawab Damar, melepaskan pelukan dan menatapnya dalam-dalam. “Kamu lebih cantik daripada yang aku ingat.”

Mereka tertawa, tetapi di balik senyuman itu, ada ketegangan yang tidak bisa dihindari. Damar dan Marisa saling bercerita tentang perjalanan mereka, tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi, dan rencana-rencana yang penuh harapan. Namun, di dalam hati Damar, keraguan akan pembicaraan penting yang harus mereka lakukan terus mengganjal.

Hari demi hari berlalu dengan indah, mereka menghabiskan waktu bersama, menjelajahi kota dan mengenang kembali kedai kopi yang menjadi saksi bisu hubungan mereka. Damar merasa hidupnya penuh warna, dan setiap momen bersama Marisa membuatnya semakin yakin akan perasaannya.

Namun, pada suatu malam, saat mereka duduk di tepi pantai dan menikmati suasana malam yang tenang, Damar tahu bahwa inilah saatnya untuk membahas apa yang sudah mereka diskusikan sebelumnya. “Marisa,” katanya, suaranya pelan di tengah deburan ombak. “Kita perlu membicarakan apa yang ada di pikiran kita.”

Marisa menatapnya dengan serius, dan Damar merasakan hatinya berdebar. “Aku tahu ini bukan percakapan yang mudah, tapi kita harus terbuka satu sama lain.”

“Aku tahu,” jawab Marisa, menggigit bibirnya. “Dan aku ingin memulai. Damar, aku sangat menyayangimu, tapi aku juga merasa takut. Kita harus memastikan bahwa hubungan ini bisa bertahan meskipun ada jarak. Kita tidak bisa terus hidup dalam angan-angan.”

Damar mengangguk, merasakan kedalaman perasaannya. “Marisa, kita harus memiliki kepercayaan satu sama lain. Jarak mungkin menyulitkan, tapi jika kita berusaha keras, aku yakin kita bisa melaluinya.”

Marisa menatapnya dengan mata berbinar. “Aku percaya padamu. Kita bisa saling mendukung, kan? Jika suatu saat kita terpisah lagi, kita akan tetap saling terhubung.”

Damar tersenyum, merasakan harapan baru menyala di dalam hatinya. “Iya, kita akan berjuang untuk ini. Kita akan membuat perencanaan. Aku akan mencarikan cara agar kita bisa saling mengunjungi lebih sering.”

Mereka saling berpegangan tangan, dan saat Damar menatap mata Marisa, dia merasakan semua keraguan itu perlahan menghilang. Meskipun ada ketidakpastian di depan, cinta yang mereka miliki memberi mereka kekuatan untuk melanjutkan.

Saat malam berakhir dan bintang-bintang bersinar di langit, Damar dan Marisa tahu bahwa mereka siap untuk menghadapi tantangan bersama. Dalam setiap detak jantung, mereka dapat merasakan harapan baru yang penuh cahaya—cinta yang tidak hanya menghubungkan mereka, tetapi juga mengajarkan mereka arti sejati dari kerinduan dan kepercayaan.

Damar mengangguk penuh tekad, “Bersama, kita bisa melakukannya. Dan jika kita saling mendengar hati kita, aku yakin kita tidak akan tersesat.”

Mereka berdua tersenyum, menguatkan satu sama lain, dan mengisi kekosongan yang tersisa. Dengan harapan baru di depan, mereka melangkah maju, siap untuk menciptakan cerita cinta yang lebih indah, meskipun tantangan dan jarak tetap menghantui perjalanan mereka. Cinta mereka adalah bukti bahwa meski terpisah oleh jarak, hati yang saling mendengar akan selalu menemukan jalan kembali satu sama lain.

 

Dan begitulah, di tengah segala kerinduan dan tantangan yang menghadang, Damar dan Marisa menemukan bahwa cinta sejati bukan hanya soal bertemu, tetapi juga tentang saling mendengar, memahami, dan berjuang bersama.

Saat satu hati bergetar, hati lainnya akan selalu mendengar, meskipun jarak memisahkan. Karena pada akhirnya, cinta yang tulus akan selalu menemukan jalannya, tak peduli seberapa jauh kita terpisah.

Leave a Reply