Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu ngerasain cinta yang udah lama banget ada, tapi nggak pernah berani diungkapin? Rasanya kayak ada sesuatu yang ngganjel di hati, tapi takut buat ngomong. Jadi, kamu cuma simpen aja dalam diri, nunggu waktu yang tepat, atau mungkin takut kalau itu cuma perasaanmu doang. T
api tau nggak sih, kadang kita baru nyadar, kalau udah terlambat, itu cuma bikin nyesel. Cerita ini bakal bikin kamu mikir, apa yang bakal terjadi kalau dulu kita berani ngomong, atau kalau kita ngambil langkah yang beda.
Cinta yang Terpendam
Senja yang Tak Terucap
Langit sore itu tampak sendu, seperti memantulkan perasaan yang aku simpan dalam hati. Aku berjalan perlahan menyusuri jalan setapak di taman kampus, merasakan embusan angin yang membawa aroma basah tanah. Hujan baru saja reda, meninggalkan genangan air kecil yang memantulkan langit kelabu di permukaannya. Taman ini, tempat yang dulunya selalu ramai dengan tawa, kini tampak sepi. Suasana yang sama sepi dengan hatiku.
Di setiap langkahku, bayangan Damar selalu hadir, meski aku berusaha keras untuk tidak memikirkannya. Kami dulu sering berjalan berdua, duduk bersama di bangku yang sama, berbicara tentang segalanya tanpa rasa canggung. Namun, semuanya berubah sejak beberapa waktu lalu, dan aku merasa, seiring berjalannya waktu, aku semakin kehilangan jejaknya.
Dulu, setiap kali Damar menatapku, ada perasaan yang tidak bisa aku jelaskan. Ada hangat yang menenangkan, meski tidak pernah ada kata-kata romantis yang terucap. Aku masih ingat jelas saat pertama kali kami berbicara, bagaimana matanya yang penuh ketenangan itu memandangku, seolah dia bisa melihat jauh lebih dalam dari yang bisa aku ungkapkan. Tapi, aku hanya diam. Aku selalu diam.
Aku sadar, ada sesuatu yang aku pendam jauh di dalam hati. Cinta, ya, itu yang aku rasakan. Namun, cinta itu datang begitu perlahan, tak pernah aku sadari dengan pasti, hingga akhirnya aku tidak tahu kapan perasaan itu benar-benar tumbuh. Ketakutan mulai menggerogoti diriku. Takut kehilangan dia, takut jika perasaanku tidak diterima. Takut jika aku harus menghadapi kenyataan bahwa mungkin, aku hanya akan menjadi teman biasa baginya.
Aku mengangkat wajahku, mencoba mengusir pikiran-pikiran itu. Di kejauhan, aku melihat sebuah bayangan yang begitu familiar. Sosok tinggi itu berdiri di bawah pohon besar, memegang sebuah buku, tampak begitu serius membaca. Damar. Hati aku berdebar cepat, lebih cepat dari yang bisa aku kontrol. Tidak mungkin. Bisa jadi ini hanya kebetulan, aku mencoba meyakinkan diri.
Namun, semakin aku mendekat, semakin jelas juga sosok itu. Aku bisa melihat dengan pasti, senyum tipis di bibirnya, seperti senyum yang selalu ia berikan padaku di masa-masa awal kami bertemu. Ada ketenangan di wajahnya, namun kali ini ada sesuatu yang berbeda. Sepertinya waktu telah mengubah segalanya.
Aku berhenti beberapa langkah sebelum akhirnya sampai di tempatnya. Ingin rasanya aku berlari ke arahnya, menyapanya seperti dulu, namun tubuhku terasa kaku. Seperti ada sesuatu yang menghalangi, seperti ada dinding tak terlihat yang terbentuk antara kami. Tak pernah sekalipun aku berharap bisa melihatnya seperti ini—terlalu jauh dan begitu asing.
Damar mengangkat wajahnya, dan matanya bertemu mataku. Aku merasa terperangkap di dalam tatapannya, namun aku hanya bisa diam. Tak ada yang bisa aku katakan. Aku merasa seperti orang asing yang baru saja bertemu dengannya setelah sekian lama.
“Aku kira itu kamu,” katanya dengan senyum kecil yang tidak berubah, tapi ada kesan yang lebih dingin sekarang, seolah jarak di antara kami semakin melebar.
“Iya… lama ya nggak ketemu.” Suara aku terdengar lebih ringan dari yang aku rasakan, seakan aku berusaha menyembunyikan kegelisahanku.
Dia menutup bukunya dengan gerakan perlahan, lalu berdiri. “Kamu terlihat berbeda. Apa kabar?”
Aku terkesiap sedikit, mendengar pertanyaannya. Tentu saja aku berbeda. Begitu banyak yang sudah berubah dalam hidupku, dalam hidup kami. Namun, aku hanya mengangguk dan mencoba tersenyum. “Baik-baik aja. Kamu sendiri?”
Damar memandangku sebentar, seperti menilai. “Aku juga baik. Sibuk dengan pekerjaan,” jawabnya singkat. Tapi ada nada yang tidak biasa dalam suaranya, seperti dia sedang berusaha menjaga jarak, seperti ada sesuatu yang tak ingin dia ungkapkan.
Kami berdiri diam sejenak, saling bertatapan tanpa kata-kata. Ada keheningan yang terasa begitu berat, mengisi ruang di antara kami. Aku ingin sekali mengungkapkan apa yang ada di dalam hati ini. Aku ingin mengatakan bahwa aku merindukannya, bahwa aku masih menyimpannya di dalam hati, meski sudah begitu lama kami tidak berbicara seperti ini.
Namun, kata-kata itu terbungkam di tenggorokanku. Aku takut. Takut jika semuanya akan hancur jika aku mengatakan apa yang aku rasakan. Takut kalau dia tidak merasakannya, takut kalau dia tidak pernah menganggap aku lebih dari sekadar teman.
Lalu, dia memecah keheningan itu, “Lily, aku nggak bisa lama-lama di sini. Ada hal yang harus aku kerjakan.” Suaranya terdengar sedikit terburu-buru, seperti dia ingin pergi tanpa harus melibatkan diri terlalu jauh.
Aku merasa hatiku tercekat. “Oh, iya… nggak masalah.” Jawaban itu keluar begitu cepat, tanpa aku pikirkan terlebih dahulu. Aku melihat Damar mulai berjalan menjauh, dan aku hanya bisa berdiri di tempat, menatap punggungnya yang semakin menjauh.
Banyak hal yang ingin aku katakan, banyak hal yang aku simpan begitu lama, namun semuanya terasa sia-sia sekarang. Waktu telah mengubah segalanya, dan apa yang dulu terasa begitu dekat kini menjadi sesuatu yang jauh, yang hampir tak bisa dijangkau lagi. Cinta yang aku pendam dalam hati terasa semakin berat, semakin sulit untuk dipertahankan, dan semakin jauh dari kenyataan.
Aku menatap ke bawah, merasakan berat di dadaku. Seiring Damar menghilang dari pandanganku, aku hanya bisa berharap, meski penyesalan menyelimuti hatiku, bahwa suatu saat nanti, aku bisa menemukan kedamaian dalam perasaan ini—meski mungkin itu tak akan pernah terungkap.
Tapi untuk saat ini, yang bisa aku lakukan hanyalah berdiri di sana, memandang langit yang semakin gelap, dengan hati yang penuh dengan cinta yang tak terucapkan.
Menjaga Jarak
Waktu seakan berjalan begitu lambat. Hari demi hari, aku merasakan sesuatu yang semakin jauh, semakin tak bisa dijangkau. Aku mencoba mengalihkan pikiranku dengan berbagai hal—menyibukkan diri dengan pekerjaan kuliah, berkumpul dengan teman-teman, bahkan mengejar hobi yang lama tak kuperhatikan. Namun, perasaan itu tetap ada, tersembunyi di dalam, seperti sebuah bayangan yang selalu mengikuti kemana pun aku pergi.
Damar tidak muncul lagi di kehidupanku, setidaknya secara langsung. Kami masih bertemu di kampus, di kelas, atau di tempat-tempat yang sama, tetapi kami selalu menjaga jarak. Tidak ada lagi senyum atau sapaan akrab yang dulu sering terjadi. Yang ada hanya keheningan yang menggantung di udara, seperti dinding tak terlihat yang memisahkan kami. Aku merasakannya setiap kali mataku bertemu dengannya, dan aku yakin dia merasakannya juga.
Suatu sore, aku duduk sendiri di taman kampus, mengamati daun-daun yang mulai berguguran, menyaksikan matahari terbenam di balik gedung-gedung tinggi. Udara sedikit dingin, tetapi masih cukup nyaman. Entah kenapa, hari itu perasaan kesepian datang begitu mendalam. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan itu. Semua perasaan yang kutahan selama ini terasa menumpuk di dadaku, membuatku hampir sesak.
Ketika aku sedang tenggelam dalam pikiranku, ponselku bergetar. Aku membuka pesan yang baru masuk.
Raka: “Lily, kamu udah lama nggak cerita. Apa kamu masih terjebak dalam pikirannya Damar?”
Aku terdiam. Raka, dengan cara yang paling sederhana, selalu tahu kalau ada yang mengganjal. Aku sudah berusaha menutupi semuanya, berpura-pura baik-baik saja, tapi entah kenapa, dia selalu bisa membaca suasana hatiku. Aku tidak tahu harus menjawab apa. Aku tidak ingin membebani Raka dengan kisah ini lebih jauh, karena dia sudah cukup menjadi pendengar selama ini, dan aku tak ingin dia merasa lelah dengan ceritaku.
Aku akhirnya mengetik balasan singkat, mencoba menutupi apa yang benar-benar terjadi.
Lily: “Aku nggak tahu, Raka. Semua terasa jauh. Aku nggak tahu harus gimana lagi.”
Beberapa menit kemudian, pesan balasan datang.
Raka: “Jangan terus-terusan nahan perasaan, Lil. Aku tahu ini sulit, tapi jangan biarkan dirimu terluka sendirian. Kalau kamu nggak bisa bicara langsung sama Damar, coba mulai dari diri kamu dulu.”
Pesan Raka itu membuatku merenung. Apa yang harus kulakukan? Apakah aku harus menyerah dan menerima kenyataan bahwa perasaan ini tidak akan pernah terbalas? Atau, apakah ada cara untuk membuka kembali pintu yang sudah tertutup rapat itu?
Tapi aku sadar, aku terlalu lama berdiam diri. Mungkin sudah saatnya aku harus membuka hatiku, mengungkapkan apa yang selama ini terpendam, meski itu berarti harus menghadapi kenyataan yang mungkin jauh lebih sulit dari yang kubayangkan.
Tapi aku tidak bisa melupakan Damar begitu saja. Bagaimana mungkin aku bisa melupakan perasaan yang sudah lama tumbuh? Perasaan yang telah mengakar begitu dalam hingga seakan menjadi bagian dari diriku sendiri?
Aku berdiri dan berjalan menuju café di kampus, tempat yang selalu menjadi tempat favorit kami berdua. Tempat di mana dulu kami berbicara tanpa henti, berbagi tawa, dan saling menceritakan mimpi-mimpi yang ingin kami raih. Namun sekarang, tempat itu terasa begitu asing, seakan memanggil kenangan-kenangan yang tak lagi bisa kembali.
Aku masuk ke dalam, dan mataku segera menangkap sosoknya di sudut ruangan. Damar duduk di sana, sendirian, seperti biasa, dengan cangkir kopi di depan wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda pada dirinya, namun aku tidak bisa memastikannya. Seperti ada kedalaman di matanya yang seolah menyimpan banyak cerita.
Aku berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Aku harus menghadapinya. Kali ini, aku tidak akan lari.
Aku berjalan mendekat, dan sesaat sebelum aku sampai, Damar menoleh ke arahku. Mata kami bertemu. Ada ketegangan yang jelas terasa, namun tidak ada yang mengatakan apa pun. Hanya sebuah tatapan yang seolah berbicara lebih dari sekadar kata-kata.
“Ada apa, Lily?” Suaranya terdengar tenang, tetapi ada kelelahan di balik kata-kata itu. Aku tidak tahu apakah itu untuk aku atau dirinya sendiri.
Aku berdiri di depannya, mencoba mengumpulkan kata-kata yang sulit untuk keluar. Aku ingin bicara, tapi kata-kata itu seperti terperangkap di tenggorokanku.
“Aku hanya ingin… berbicara.” Jawabku akhirnya, suara terdengar lebih pelan dari yang kuinginkan. “Tentang kita.”
Dia diam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kataku. Aku bisa melihat keraguan di matanya, seolah dia tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan kata-kata yang baru saja keluar dari mulutku.
“Apa yang ingin kamu bicarakan?” tanyanya, suaranya tetap datar, meskipun ada sedikit ketegangan yang bisa kurasakan di sana.
Aku mengangguk pelan. “Aku tahu semuanya sudah berubah, Damar. Aku tahu kita tidak lagi seperti dulu. Tapi aku tidak bisa terus seperti ini. Aku… aku merasa kehilangan.”
Damar menatapku, dan untuk pertama kalinya, aku bisa melihat ada sedikit kelonggaran di matanya. Namun, dia tetap diam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Aku merasa jantungku berdetak semakin kencang, dan aku tahu ini adalah momen yang menentukan. Momen yang akan mengubah segalanya.
“Apa kamu merasa hal yang sama?” tanyaku pelan, berharap ada jawabannya. Tetapi, sepertinya ada keraguan di sana—di antara kata-kata yang tak terucapkan.
Damar membuka mulut, namun sebelum dia bisa berkata apa-apa, suasana menjadi begitu hening. Seolah ada angin yang berhembus antara kami, membawa jauh semua kata-kata yang tak terucapkan. Aku menunggu, berharap dia akan memberikan jawaban yang bisa menghapus kebimbangan di hatiku.
Namun, dia hanya menunduk, seolah terjebak dalam pikirannya sendiri.
“Aku… aku tidak tahu, Lily,” jawabnya akhirnya, dengan nada yang rendah. “Aku tidak tahu apa yang terjadi antara kita. Semuanya terasa berubah, dan aku tidak tahu harus bagaimana.”
Aku hanya bisa menatapnya, dan dalam diam, kami berdua menyadari bahwa jarak di antara kami semakin lebar, lebih dari yang bisa kami perbaiki.
Akhir yang Tak Terucapkan
Waktu terus berjalan, namun aku merasa seperti terhenti di suatu tempat. Seperti ada bagian dari diriku yang terjebak di antara masa lalu dan kenyataan yang sulit kuhadapi. Aku dan Damar kembali menjalani kehidupan masing-masing, namun kali ini, ada jarak yang lebih lebar dari sebelumnya, tak ada lagi percakapan ringan atau tatapan yang saling berbicara tanpa kata. Semua terasa begitu asing, begitu dingin.
Aku mencoba meyakinkan diri bahwa aku bisa melanjutkan hidup tanpa dia. Aku punya teman-teman, aku punya hobi, aku punya impian. Tapi setiap kali aku berada di tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama, perasaan itu kembali datang, seolah mengingatkanku pada sesuatu yang tidak bisa kuperbaiki lagi.
Hari demi hari, aku belajar untuk menerima kenyataan bahwa cinta yang terpendam ini harus aku simpan selamanya. Entah apakah Damar pernah merasakan hal yang sama atau tidak, aku tidak bisa lagi mempertanyakan itu. Yang jelas, aku tidak bisa terus menunggu sebuah jawaban yang mungkin tak pernah datang.
Suatu hari, aku duduk sendirian di taman kampus, memandangi daun-daun yang berguguran dengan perlahan. Udara musim gugur kali ini terasa lebih sejuk, membawa kesunyian yang hampir bisa didengar. Sesekali, aku melihat sekumpulan mahasiswa berlalu-lalang, mereka tampak ceria, seolah tidak ada yang mengganggu hidup mereka. Aku memandangi mereka dengan sedikit iri, merindukan masa-masa yang lebih sederhana, di mana hidup terasa lebih mudah untuk dijalani.
Tiba-tiba, aku merasakan ada seseorang yang mendekat. Aku menoleh dan melihat Damar berjalan perlahan menuju ke arahku. Dia mengenakan jaket hitam kesukaannya, dan meskipun wajahnya terlihat lebih lelah dari sebelumnya, ada sesuatu yang berbeda pada dirinya kali ini. Sesuatu yang seakan memberi kesan bahwa dia ingin berkata sesuatu.
Aku tidak bisa menebak apa yang ada dalam pikirannya. Aku hanya duduk diam, menunggu langkah-langkahnya yang semakin mendekat. Dan ketika akhirnya dia berhenti di depan aku, ada jeda yang panjang. Kami hanya saling menatap dalam diam, seolah tak tahu apa yang harus dikatakan setelah segala yang terjadi di antara kami.
“Apa kabarmu?” Damar akhirnya membuka mulut, suaranya terdengar lebih lembut dari yang kuingat. Tidak ada lagi ketegangan, tidak ada lagi kekakuan. Hanya ada keheningan yang mengalir di antara kami.
“Aku baik,” jawabku, meskipun aku tahu itu tidak sepenuhnya benar. “Kamu sendiri?”
“Aku… juga baik,” kata Damar, lalu tersenyum tipis. Tapi senyum itu tidak seperti dulu. Senyum yang dulu selalu membuatku merasa tenang, kini terasa lebih jauh. Seolah kami telah kehilangan sesuatu yang penting, dan tidak ada yang bisa mengembalikannya.
Kami terdiam sejenak, saling berusaha memahami perasaan yang tidak bisa diungkapkan. Aku ingin sekali bertanya, ingin sekali mendengar bahwa mungkin ada sedikit harapan, bahwa mungkin cinta yang terpendam ini masih bisa diterima. Tapi entah mengapa, aku tidak bisa. Aku takut. Takut akan jawaban yang tidak aku inginkan. Takut kalau kata-kata yang keluar malah membuat semuanya semakin jauh.
“Kita sudah lama tidak berbicara,” Damar akhirnya melanjutkan, memecah keheningan itu. “Aku… aku nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi di antara kita, Lily. Aku… aku juga bingung.”
Aku menatapnya, merasa ada sesuatu yang lebih berat di balik kata-katanya. Sesuatu yang sudah terlalu lama terpendam, sama seperti perasaanku.
“Sama,” jawabku, suaraku hampir tak terdengar. “Aku juga bingung. Mungkin… kita sudah terlalu jauh, Damar. Mungkin, ini memang sudah saatnya kita berhenti berusaha mencari jawaban.”
Damar terdiam, seolah mencerna kata-kataku. Wajahnya tampak berpikir, dan aku tahu dia juga merasa kehilangan. Tapi ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya sekarang, seolah dia telah menerima kenyataan yang sulit itu.
“Kamu benar,” katanya pelan, mengangguk pelan. “Mungkin kita harus berhenti mencari jawaban yang tidak akan datang.”
Aku hanya bisa tersenyum kecil, meskipun hatiku terasa sesak. Terkadang, tidak semua perasaan bisa terungkap, dan tidak semua cerita bisa berakhir seperti yang kita harapkan. Aku tahu, aku tidak akan bisa memaksa waktu, apalagi memaksa perasaan yang tak bisa kembali.
Damar menghela napas panjang, lalu memandangku sekali lagi. “Lily, aku harap kamu bisa bahagia. Aku juga ingin kita berdua bisa menemukan jalan yang lebih baik.”
Aku mengangguk perlahan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa sedikit lega. Mungkin ini bukan akhir yang sempurna, tapi ini adalah akhir yang harus kami terima. Kami telah mencoba, dan meskipun semuanya terasa tidak sempurna, aku tahu bahwa kami berdua telah belajar banyak dari perjalanan ini.
Damar memberikan senyuman terakhir, dan sebelum aku bisa berkata lebih banyak, dia berbalik dan berjalan menjauh. Aku tetap duduk di sana, menatap langkahnya yang semakin menjauh, hingga akhirnya dia menghilang di balik keramaian kampus.
Aku tahu, mungkin kami akan menjadi dua orang yang asing satu sama lain, namun aku akan selalu menyimpan kenangan itu di dalam hati. Kenangan tentang cinta yang terpendam, tentang perasaan yang tak pernah terungkap, dan tentang semua yang seharusnya bisa menjadi, namun tak pernah sempat untuk menjadi kenyataan.
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, tapi satu hal yang pasti, hidup terus berjalan. Dan aku harus terus melangkah, meskipun tanpa Damar di sampingku.
Kadang, ada hal-hal yang nggak pernah bisa kita ubah, meskipun kita nyesel atau berharap bisa balik ke waktu itu. Mungkin, cinta yang terpendam memang harus tetap di sana, jadi kenangan. Tapi, jangan lupa, hidup terus berjalan. Yang penting, kita nggak nyesel karena nggak pernah coba, kan?