Cinta yang Terlarang: Cerpen Romantis Penuh Patah Hati dan Perjuangan

Posted on

Kadang, cinta itu datang di waktu yang salah, atau malah dalam bentuk yang paling terlarang. Kamu tahu, kayak punya perasaan sama seseorang yang semua orang nggak setuju untuk kamu pilih. Tentu aja, rasanya sakit banget, terutama kalau itu berarti berhadapan sama orang-orang yang kamu sayang.

Tapi… siapa yang bisa berhenti jatuh cinta, kan? Kalau kamu lagi butuh cerita tentang cinta yang berjuang meskipun dihimpit rintangan dan hati yang patah, mungkin cerpen ini bisa jadi temen kamu buat ngerasain apa itu harapan, meski kadang kita harus menerima kenyataan yang pahit. Let’s dive in!

 

Cinta yang Terlarang

Pertemuan di Antara Buku

Aku ingat betul, bagaimana semuanya bermula—di tengah riuhnya pesta buku yang dipenuhi dengan tumpukan novel tebal dan aroma kertas yang segar. Aku hampir lupa bagaimana perasaan pertama kali aku berjalan melewati lorong-lorong buku yang seakan menggoda, memanggilku untuk mencari tempat di antara mereka. Dan di sanalah dia, berdiri di depan rak buku yang penuh dengan koleksi lama.

Awalnya, aku tidak sadar. Aku hanya menyusuri deretan buku yang aku inginkan, sampai tiba-tiba, sebuah tangan menyentuh buku yang sama. Sebuah sentuhan singkat, hampir tak terasa, tapi cukup untuk membuat aku terdiam. Aku menoleh dengan cepat, dan di sana dia berdiri. Arion.

Dia hanya tersenyum kecil, senyuman yang anehnya bisa menenangkan, seperti ada cerita yang belum terungkap di baliknya. Ada sesuatu tentang cara dia menatap buku itu—mungkin sama seperti aku, dia juga mencari sesuatu yang lebih dari sekedar cerita di dalamnya.

“Apa kamu juga penggemar buku-buku lama?” tanyanya pelan, suaranya begitu lembut, hampir seperti bisikan. Aku bisa merasakan ada rasa ingin tahu yang dalam dari nada suaranya, namun dia tetap tenang.

Aku hanya tersenyum ragu, mencoba menghindari tatapan matanya. “Iya, aku suka buku yang punya cerita lama. Kadang, cerita-cerita itu lebih bermakna daripada yang baru.” Aku menggaruk tengkukku, merasa sedikit canggung. Ini pertama kalinya aku berbicara dengan orang asing seperti ini. Dan yang lebih aneh, aku merasa nyaman.

Arion menatapku sejenak, seperti sedang menganalisis. Lalu, dia mengangguk. “Aku juga. Kadang, cerita yang lebih tua terasa lebih nyata, lebih… hidup.”

Aku mengangguk setuju. “Benar. Mereka seolah punya cara untuk membuat kita merasa seperti bagian dari cerita itu.”

Ada keheningan singkat, dan untuk beberapa detik, kami berdua hanya berdiri di sana, tenggelam dalam dunia kami masing-masing. Namun, aku tidak bisa menahan rasa ingin tahuku tentang dia. Seseorang yang begitu tenang, namun terlihat begitu berbeda dari orang-orang yang biasanya aku kenal.

“Tapi, aku rasa aku belum pernah melihat kamu sebelumnya,” aku akhirnya bertanya, merasa sedikit tidak sopan, tapi rasa penasaran itu terlalu kuat.

Arion tersenyum, tidak ada kebingungannya. “Aku baru pindah ke sini. Beberapa hari yang lalu.” Dia sedikit mengangkat bahu, seolah tidak ada yang istimewa dari itu.

Aku mengerutkan kening. “Pindah? Berarti kamu tinggal di sini sekarang?”

“Iya, sementara. Ada banyak hal yang harus aku tangani.” Dia tidak menjelaskan lebih lanjut, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang lebih dari sekedar ‘banyak hal’. Sesuatu yang tak ingin dia ungkapkan.

“Kalau begitu, kamu akan sering datang ke sini?” tanyaku, tidak bisa menahan rasa ingin tahu.

Mata Arion berbinar sedikit, sebuah tatapan yang mungkin hanya aku yang bisa menangkapnya. “Aku rasa, aku akan sering ke sini. Sepertinya banyak hal yang bisa ditemukan di tempat seperti ini.”

Aku tersenyum. “Mungkin kita akan sering bertemu di sini, kalau begitu.”

Dan sejak saat itu, kami mulai bertemu lebih sering. Tanpa sengaja, tanpa rencana, hanya berawal dari pertemuan kecil itu. Setiap kali aku datang ke toko buku, Arion akan selalu ada, di rak yang sama, mencari buku yang sama. Kami mulai berbicara lebih banyak, berbagi cerita tentang dunia fiksi yang kami cintai.

Namun, semakin lama aku mengenalnya, semakin aku menyadari ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Aku mulai merasa ada yang berbeda dengan hubungan ini—sesuatu yang tidak bisa dibiarkan berkembang begitu saja. Entah kenapa, aku merasa Arion bukan untukku. Ada sebuah garis yang tak terlihat, tapi terasa sangat nyata—garis yang membatasi dunia kami.

Namun, setiap kali aku melihatnya, senyumannya yang sederhana seakan membuat aku melupakan segala keraguan itu. Aku tahu, aku mulai jatuh cinta padanya. Namun, di sisi lain, aku juga tahu bahwa dunia kami sangat berbeda. Dan seiring berjalannya waktu, semakin kuat perasaan itu tumbuh, semakin jelas bahwa jalan kami tidak akan mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan, dan aku tahu aku tak bisa mengabaikan kenyataan itu.

Tapi, saat itu, aku hanya ingin menikmati saat-saat kecil bersama Arion—momen-momen yang tampaknya sederhana, tapi sebenarnya mengandung banyak makna yang tak bisa aku ungkapkan. Dan di setiap detik itu, aku tahu aku tak bisa lagi menutup mata dari perasaan yang tumbuh di dalam hatiku.

Hujan mulai turun pada suatu sore, dan kami berdua berteduh di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan. Udara yang dingin terasa begitu kontras dengan kehangatan dari cangkir kopi yang kami pegang. Kami duduk berseberangan, berbicara tentang buku dan cerita lama, tetapi aku bisa merasakan ada yang berbeda. Sesuatu yang tak terucapkan, namun terasa begitu jelas di antara kami.

“Kamu tahu, aku kadang berpikir, jika kita tidak terlalu sibuk dengan dunia kita masing-masing, mungkin kita bisa lebih sering seperti ini,” kata Arion sambil menatap cangkir kopi di tangannya.

Aku mengangkat pandangan, menatapnya. “Mungkin, ya. Tapi aku rasa dunia kita punya batasan masing-masing, Arion. Kadang, hal-hal yang kita inginkan tidak bisa selalu jadi kenyataan.”

Dia menatapku dengan tatapan yang sulit untuk diartikan. “Aku tahu. Tapi aku ingin kita tetap bertemu, tetap ada, meski dunia kita berbeda.”

Aku menunduk, menghisap napas dalam-dalam. Tidak ada yang perlu dikatakan lagi. Kami tahu, ada banyak hal yang menghalangi jalan kami, namun saat itu, sepertinya aku hanya ingin tetap berada di sini, di kedai kopi ini, bersama Arion.

Dan aku tahu, perasaan ini—perasaan yang semakin kuat dan semakin sulit untuk dibendung—akan menjadi kenangan yang tak bisa aku lupakan.

 

Cinta yang Tak Terucap

Malam itu, langit gelap pekat, hanya diterangi oleh cahaya lampu jalan yang berpendar di atas jalan basah. Hujan telah berhenti, meninggalkan kota dengan keheningan yang tak biasa. Aku dan Arion berjalan berdampingan di trotoar yang sepi, langkah kami terdengar jelas di antara suara angin yang berdesir. Kami tidak banyak bicara malam itu, hanya langkah kaki kami yang saling mengikuti, tanpa kata. Aku tahu, ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, tapi aku memilih untuk tidak mengungkapkan itu.

“Dahlia,” Arion akhirnya memecah keheningan, suaranya terdengar sedikit ragu, namun pasti.

Aku menoleh padanya, sedikit terkejut. “Hmm?”

“Kenapa kamu… selalu terlihat ragu saat berbicara tentang kita?” Arion bertanya dengan tatapan yang tajam, seakan bisa membaca setiap perasaan yang tersembunyi di dalam diriku.

Aku terdiam sejenak. Itu pertanyaan yang sulit untuk dijawab. Aku ingin mengatakan bahwa aku takut—takut akan kenyataan yang akan datang, takut bahwa perasaan ini akan membawaku ke arah yang salah. Tapi aku tidak bisa mengatakan itu. Tidak sekarang.

“Aku…” aku mencari kata-kata yang tepat, tapi semuanya terasa berat di lidah. “Aku hanya merasa… mungkin kita tidak ditakdirkan untuk saling memiliki, Arion.”

Dia berhenti sejenak, menatapku dalam-dalam. Seperti ada ribuan hal yang ingin dia katakan, namun dia menahannya. “Kamu takut kita tidak bisa bersatu, kan? Dunia kita berbeda, Dahlia. Aku tahu itu. Tapi kamu juga tahu, bahwa perasaan ini bukan sekadar angin lalu.”

Aku menarik napas panjang, mencoba mengontrol perasaan yang tiba-tiba mengguncang dada. “Aku tahu. Tapi aku juga tahu, dunia kita terlalu berbeda. Kamu punya hidupmu, aku punya hidupku, dan…” Aku tak bisa melanjutkan kalimat itu. Kata-kata itu terlalu menyakitkan untuk diucapkan.

Arion mendekat, jarak kami semakin dekat. Dia mengulurkan tangannya, menyentuh lembut pipiku, membuat aku terdiam dalam kebisuan. “Aku tahu, Dahlia. Aku tahu semua yang kamu pikirkan. Tapi aku tak bisa membiarkan ini pergi begitu saja.”

Aku menunduk, tidak bisa menatap matanya. Ada keraguan yang membelenggu hatiku, namun di sisi lain, aku tahu, aku mulai mencintainya lebih dalam dari yang aku kira. Namun kenyataan tetaplah kenyataan. Orang tuaku, keluarga kami—semuanya tidak akan pernah merestui hubungan ini.

“Arion…” Aku berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Kamu tahu kan, orang tuaku… mereka tidak akan pernah setuju dengan kita. Mereka punya harapan yang berbeda untukku, mereka ingin aku menikah dengan seseorang yang lebih… sesuai dengan status dan keluargaku. Mereka tidak akan pernah menerima kamu.”

Dia menunduk, menarik napas dalam-dalam. Aku bisa merasakan ada rasa sakit di balik ekspresinya yang tenang. “Aku tahu itu, Dahlia. Tapi cinta tidak mengenal status atau latar belakang. Apa kita akan membiarkan semuanya berhenti hanya karena itu? Apakah kamu akan berhenti mencintaiku karena apa yang orang lain pikirkan?”

Pertanyaan itu seperti pisau yang menembus hatiku. Aku tahu dia benar. Tapi bagaimana bisa aku mengabaikan kenyataan yang begitu kuat? Orang tuaku, teman-teman, dunia sekitar—semua akan menentang kami. Aku takut, aku benar-benar takut untuk mengecewakan mereka, mengecewakan diriku sendiri.

“Aku tidak tahu, Arion. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa bersama dengan semua ini,” jawabku pelan, suara ku hampir hilang tertelan angin.

Dia menghela napas, melepaskan tangannya dari pipiku dan melangkah mundur sedikit, seolah memberi ruang bagi kami berdua untuk bernapas. “Aku tidak akan memaksakan kamu, Dahlia. Aku hanya ingin kamu tahu, bahwa aku mencintaimu. Dan jika suatu saat nanti, kamu siap untuk memperjuangkan kita, aku akan selalu ada.”

Aku menatapnya, hati ini terhimpit. Ada janji di dalam kata-kata itu, sebuah janji yang indah, namun juga penuh dengan rasa takut dan kebingungan. Aku ingin mengatakan sesuatu—untuk meyakinkan dia bahwa aku juga merasakan hal yang sama, bahwa aku juga ingin memperjuangkan ini, tapi aku tidak bisa. Kata-kata itu seperti terkunci rapat di dalam dadaku.

Kami berjalan bersama tanpa banyak bicara, hanya langkah kaki yang mengiringi perjalanan malam itu. Di tengah keheningan yang menyelimuti kami, aku merasa dunia kami semakin jauh, semakin terpisah oleh hal-hal yang tak bisa kami ubah. Kami tak bisa melawan takdir, atau bisa jadi, kami takut untuk melawan.

Ketika akhirnya kami sampai di depan apartemennya, Arion berhenti sejenak dan menatapku. Ada kepedihan di matanya, namun ada juga sesuatu yang lebih kuat—harapan.

“Aku akan pergi dulu,” katanya dengan suara yang lebih rendah dari sebelumnya. “Tapi ingatlah, Dahlia, aku akan selalu ada di sini, di setiap langkahmu. Aku hanya ingin kamu tahu itu.”

Aku menatapnya, dan seakan waktu berhenti sejenak. Aku ingin memeluknya, ingin memberi tahu dia bahwa aku juga mencintainya, bahwa aku ingin bersama dia. Tapi aku tahu, dalam hatiku, ada sesuatu yang lebih besar dari cinta ini yang harus aku hadapi.

Arion berbalik dan melangkah pergi. Setiap langkahnya yang menjauh seakan menambah berat di dadaku. Aku berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan merasakan ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak akan pernah kembali lagi.

Aku tahu, saat itu, aku telah kehilangan sesuatu yang berharga—sesuatu yang bahkan tak pernah sempat aku miliki.

 

Ketika Kenyataan Menghantam

Pagi hari datang begitu cepat, seperti biasa. Aku berdiri di jendela apartemenku, menatap ke luar, pada kota yang sepertinya tak pernah berhenti bergerak. Di bawah sana, manusia-manusia berlalu lalang dengan rutinitas mereka, sementara aku hanya terjebak dalam kebisuan dunia yang terasa begitu asing. Semua yang terjadi kemarin malam terasa begitu nyata, tapi juga seperti sebuah mimpi buruk yang tidak ingin aku hadapi.

Sejak pertemuan itu, Arion tidak menghubungiku lagi. Aku tahu dia memberiku ruang, memberi waktu untuk merenung. Tapi justru itu yang membuatku semakin bingung. Aku merasa kehilangan, tapi di sisi lain, aku juga merasa cemas tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Cinta yang terpendam, harapan yang tak terucap—semuanya terasa seperti bom waktu yang siap meledak kapan saja.

Hari itu, aku bertemu dengan Ayla di kafe favorit kami, tempat yang biasa kami kunjungi untuk berbicara tentang segala hal. Ayla tahu segalanya tentang diriku—perasaanku, kegundahanku. Dia adalah satu-satunya orang yang selalu ada, yang bisa mengerti apa yang aku rasakan.

“Kamu kelihatan murung,” Ayla membuka percakapan dengan canggung, melihatku yang terdiam menatap secangkir kopi.

Aku mengangkat bahu, mencoba tersenyum, meski rasanya itu hanya sebuah topeng. “Aku baik-baik aja.”

Ayla tidak percaya. Dia tahu aku lebih baik dari itu. “Jangan bohong, Dahlia. Aku tahu kamu nggak baik-baik aja. Itu tentang Arion, kan?”

Aku hanya menatapnya. Tak perlu lagi menjawab pertanyaannya. Ayla sudah mengerti. Sudah lama dia tahu tentang hubungan kami, meski aku selalu berusaha menutupi perasaanku yang sebenarnya.

“Apa yang kamu rasakan, Dahlia? Kamu nggak bisa terus-terusan begini. Kamu harus ambil keputusan. Kalau kamu mencintainya, kenapa kamu nggak berjuang?” Ayla bertanya dengan nada serius, tapi tidak memaksaku.

Aku menarik napas panjang, meletakkan cangkir kopi di atas meja. “Aku ingin, Ayla. Tapi aku takut. Aku takut orang tuaku marah. Mereka nggak akan pernah terima Arion. Mereka sudah memilihkan seseorang untukku, seseorang yang seharusnya sesuai dengan harapan mereka. Aku nggak bisa…” Aku terhenti, kata-kataku terasa macet di tenggorokan.

Ayla menatapku dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu itu. Aku tahu kamu dihadapkan pada pilihan yang sulit. Tapi kamu nggak bisa hidup dengan rasa takut selamanya, Dahlia. Ini hidupmu, bukan hidup mereka. Kalau kamu terus mengikuti apa yang mereka inginkan, kamu nggak akan pernah bahagia.”

Dia benar. Aku tahu itu. Namun, kenyataan bahwa aku harus memilih antara cinta dan keluargaku terasa begitu berat. Orang tuaku sudah membesarkan aku dengan harapan tinggi, dengan impian besar tentang masa depan yang sudah mereka rencanakan. Aku tidak bisa mengecewakan mereka. Tapi di sisi lain, apakah aku bisa hidup tanpa cinta yang sejati? Tanpa Arion?

“Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Ayla,” jawabku lirih, suaraku pecah. “Aku mencintainya, tapi aku juga takut kehilangan semuanya.”

Ayla menyentuh tanganku dengan lembut, seakan memberikan dukungan yang aku butuhkan. “Kamu nggak perlu punya semua jawaban sekarang. Tapi kamu harus memikirkan diri kamu sendiri, Dahlia. Jangan biarkan rasa takut itu mengendalikanmu.”

Aku mengangguk pelan. Kata-kata Ayla seperti jarum yang menusuk dalam-dalam, mengingatkanku bahwa aku telah lama menunda untuk menghadapi kenyataan. Tapi apapun yang aku pilih, aku tahu keputusan itu tidak akan mudah.

Siang itu, aku pulang ke rumah dengan perasaan yang lebih berat dari sebelumnya. Di depan pintu rumah, aku berhenti sejenak. Waktu rasanya berjalan lambat. Aku tahu, begitu aku melangkah masuk, dunia yang aku kenal akan kembali menyambutku dengan semua harapan dan aturan yang sudah ditetapkan. Dunia yang penuh dengan harapan orang tua, dunia yang penuh dengan tanggung jawab yang harus aku penuhi. Aku harus memilih—antara mencintai Arion, atau mengikuti jalan yang sudah dipilihkan untukku.

Langkahku terasa berat saat memasuki rumah. Di ruang tamu, aku melihat kedua orang tuaku duduk di sofa, menunggu kedatanganku dengan tatapan penuh harapan. Mereka tidak tahu apa yang sedang berkecamuk di dalam hatiku. Mereka tidak tahu bahwa aku sedang mempertaruhkan perasaan dan masa depanku, memilih antara dua dunia yang sangat berbeda.

“Dahlia, kita perlu bicara,” suara ayahku memecah keheningan, membuatku sadar bahwa saat ini adalah saat yang krusial.

Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri sebelum akhirnya duduk di hadapan mereka. Ayahku memandangku serius, sementara ibu di sebelahnya tersenyum, seakan berharap ada kabar baik dariku.

“Ada seseorang yang ingin kami perkenalkan denganmu,” kata ibu, wajahnya penuh harapan. “Kami sudah berbicara dengan keluarga mereka, dan kami pikir… ini bisa menjadi masa depanmu.”

Aku menatap mereka, perasaan gelisah semakin menggulung di dada. Aku tahu siapa yang mereka maksud. Seorang pria yang berasal dari keluarga yang kaya, tampan, dan memiliki status yang sangat dihormati. Mereka sudah menyiapkan semuanya untukku, seperti yang selalu mereka lakukan. Namun, aku tahu, dalam hatiku, perasaan ini tidak akan pernah bisa tergantikan dengan semua yang mereka inginkan.

“Ada sesuatu yang harus aku katakan,” jawabku dengan suara yang mulai bergetar, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Aku sedang jatuh cinta dengan seseorang. Bukan dengan orang yang kalian pilihkan untukku.”

Suasana di ruangan itu berubah seketika. Ayahku menatapku tajam, sementara ibuku tampak terkejut, hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja aku katakan.

“Apa maksudmu, Dahlia?” suara ayahku terdengar tegas, penuh kejutan.

Aku menggigit bibir, berusaha mengumpulkan keberanian untuk menghadapi apa yang akan terjadi selanjutnya. “Aku mencintai Arion, dan itu tidak akan pernah berubah.”

Di sinilah aku berdiri sekarang, di antara dua dunia yang saling bertentangan, memutuskan jalan hidupku sendiri, meski aku tahu, itu berarti harus menghadapi kekecewaan orang tuaku.

 

Cinta yang Mengalir Tanpa Batas

Malam itu, aku duduk di kamar, menatap langit yang gelap melalui jendela. Cahaya bulan yang samar-samar tampak begitu jauh, begitu asing, dan sepertinya itu adalah gambaran dari perasaanku yang terluka. Semua yang telah terjadi dalam beberapa hari terakhir terasa begitu cepat, seperti sebuah badai yang menghantam tanpa ampun. Aku belum siap untuk menghadapi kenyataan yang begitu pahit, namun aku tahu aku harus melangkah maju.

Pagi tadi, pertemuan dengan orang tuaku berakhir dengan tangis ibu dan kemarahan ayah. Mereka tidak bisa menerima pilihanku, dan aku tahu itu. Aku melihat kekecewaan yang mendalam di mata mereka, tetapi aku tidak bisa membiarkan mereka merampas kebahagiaanku begitu saja. Arion adalah pilihanku, dan aku ingin dia dalam hidupku, meski itu berarti aku harus menghadapi konsekuensinya.

Aku melangkah keluar dari kamar, menuju balkon tempat aku sering menghabiskan waktu untuk merenung. Malam semakin larut, dan lampu-lampu kota yang berkilauan di bawah sana membuatku merasa semakin kecil, terjepit di antara keinginan hati dan realitas yang ada. Namun, di tengah kesunyian itu, aku merasakan satu hal yang sangat jelas: aku harus menemukan cara untuk memperjuangkan cinta ini.

Aku mengeluarkan ponselku dan menatap layar dengan cemas. Sudah beberapa kali aku melihat nama Arion di daftar pesan yang belum terbaca. Mungkin dia sudah tahu tentang keputusan yang aku ambil. Aku membuka salah satu pesan yang masuk, dan kata-kata Arion itu membuat dadaku terasa sesak.

“Aku akan menunggumu. Jangan biarkan apapun menghentikan kita, Dahlia.”

Aku menarik napas dalam-dalam. Kata-kata itu seakan memberi kekuatan baru padaku, meski aku tahu jalan yang akan kutempuh tidak akan mudah. Tapi aku tidak bisa membiarkan kebahagiaan yang tulus ini hilang hanya karena ketakutan akan kehilangan keluarga. Aku tidak ingin hidup dalam penyesalan.

Dengan keputusan yang bulat, aku melangkah keluar dari rumah, menuju tempat yang sudah lama kuimpikan—tempat di mana aku akan bertemu dengan Arion. Langkahku mantap, meski hatiku masih dipenuhi dengan kebingungan dan kecemasan tentang reaksi orang tuaku. Namun, aku tahu satu hal pasti: aku tidak akan pernah bisa bahagia jika terus-menerus hidup dalam bayang-bayang harapan orang lain.

Setibanya di tempat yang sudah kami sepakati—di sebuah taman yang sepi, dengan hanya suara angin yang berbisik di antara dedaunan—aku melihat Arion berdiri di sana, menunggu. Senyumannya yang sederhana, namun penuh dengan makna, membuat hatiku berdegup lebih kencang.

“Aku datang,” kataku dengan suara yang sedikit gemetar, mencoba menenangkan diri meski ribuan pertanyaan menggulung dalam pikiranku.

Arion berjalan mendekat, dan tanpa berkata apa-apa, dia mengulurkan tangannya. Aku menerima tangan itu, merasakan kehangatannya yang menenangkan. Tanpa kata-kata, aku tahu dia mengerti segala kecemasan yang ada di dalam diriku. Segala yang telah kulalui, segala rasa sakit yang kuhadapi, tiba-tiba terasa seperti bisa ditanggung bersama.

“Kamu benar-benar datang,” Arion berkata, suaranya lembut, penuh keyakinan. “Aku tahu ini tidak mudah buatmu. Tapi aku yakin kita bisa melewati semuanya.”

Aku mengangguk, merasa seperti ada beban yang sedikit terangkat. Meskipun aku tahu orang tuaku mungkin tidak akan menerima hubungan kami, aku merasa, di sisi Arion, aku bisa menemukan keberanian untuk bertahan.

“Arion, aku ingin kamu tahu,” aku mulai berbicara, “Aku mungkin tidak bisa mengubah keputusan orang tuaku sekarang, tapi aku… aku ingin berjuang untuk kita. Aku tidak ingin kehilangan kamu.”

Arion menatapku dalam-dalam, matanya penuh dengan harapan yang sama. “Dahlia, aku tidak akan pernah menyerah. Apapun yang terjadi, kita akan terus berjuang. Cinta kita lebih kuat dari apapun.”

Aku merasa air mata mulai menggenang, tetapi kali ini bukan air mata kesedihan, melainkan air mata yang penuh dengan rasa lega dan harapan. Mungkin perjalanan ini tidak akan mudah. Mungkin kami akan menghadapi banyak rintangan. Tetapi bersama Arion, aku tahu aku tidak akan pernah sendirian.

Dia menarikku ke dalam pelukannya, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku merasa aman. Semua ketakutan dan keraguan yang sempat menguasai diriku terasa menghilang begitu saja. Di pelukannya, aku tahu, ini adalah rumahku—tempat di mana aku merasa dicintai tanpa syarat.

“Kita akan baik-baik saja,” bisiknya, dan aku percaya padanya.

Di bawah sinar bulan yang perlahan terbenam, di antara bisikan angin yang sejuk, aku menyadari satu hal: terkadang, cinta yang paling indah bukanlah yang mudah didapat, tetapi yang datang setelah perjuangan panjang. Dan aku siap menjalani perjuangan itu, karena aku tahu, cinta kami lebih dari sekadar harapan. Itu adalah kenyataan yang aku pilih, dan aku takkan pernah menyesalinya.

 

Jadi, begitulah cerita kita. Cinta yang datang tanpa permisi, terlarang, dan penuh perjuangan. Mungkin kita nggak pernah tahu kapan semuanya akan berakhir, tapi satu hal yang pasti, kadang kita perlu melawan untuk mendapatkan apa yang benar-benar kita inginkan. Mungkin gak semua orang akan setuju dengan pilihan kita, tapi kalau hati sudah memilih, harus berani untuk terus berjalan.

Cinta itu rumit, nggak selalu indah, tapi kadang, justru dari kesedihan itulah kita bisa menemukan kebahagiaan yang sejati. Jadi, semoga kamu bisa belajar dari cerita ini, tentang betapa kuatnya kita dalam memperjuangkan cinta meskipun rintangannya berat. Karena cinta yang sejati nggak pernah mudah, dan itu yang membuatnya berarti.

Leave a Reply