Cinta yang Terlambat: Cerpen Sedih Tentang Perpisahan dan Penyesalan yang Menghancurkan

Posted on

Jadi, pernah nggak sih, kamu merasa udah melakukan yang terbaik dalam hubungan, tapi entah kenapa, akhirnya cuma berakhir dengan penyesalan dan perpisahan? Cerpen ini bakal ngasih kamu gambaran tentang cinta yang datang terlambat!

Tentang rasa yang nggak pernah sempat berkembang, dan tentang bagaimana kadang kita harus melepaskan orang yang kita cintai, meski itu rasanya sakit banget. Siap-siap, ya, karena ini bakal bikin kamu mikir tentang semua hal yang pernah kamu lewatin bareng seseorang.

 

Cinta yang Terlambat

Senyum yang Mengubah Segalanya

Pagi itu, seperti pagi-pagi biasanya, aku duduk di bangku belakang kelas, menulis catatan yang jarang sekali kulihat lagi setelahnya. Aku suka mencatat, meski kadang aku merasa tidak ada yang benar-benar butuh catatan-catatan itu. Dunia sekitar memang sepertinya terlalu sibuk dengan urusannya masing-masing, dan aku hanya menjadi salah satu bayangannya. Tidak ada yang spesial, tidak ada yang menonjol.

Lalu, dia datang.

Bukan suara langkahnya yang pertama kali ku dengar, tapi aroma parfum yang tercium samar di udara, semerbak bunga yang entah kenapa selalu terasa familiar. Aku menoleh sedikit, hanya ingin tahu siapa yang baru saja masuk. Dan saat itu, dia duduk di sebelahku. Liana.

Aku tak bisa ingat bagaimana tepatnya dia bisa tahu namaku. Seingatku, kami tidak pernah benar-benar berbicara sebelumnya. Hanya sesekali bertukar pandang di kelas atau saat kami kebetulan bertemu di kantin. Namun, tiba-tiba saja, dia sudah ada di sini, duduk di sampingku.

“Reza, boleh aku duduk di sini?” katanya dengan suara ceria, yang membuat seisi ruangan seolah terhenti sejenak. Suaranya—entah kenapa—bukan sekadar suara biasa. Ada sesuatu dalam cara dia berbicara yang membuat semua orang terkesan, bahkan jika itu hanya sekedar permintaan sederhana.

Aku terkejut. Sekilas, aku menatapnya, lalu melirik kursi kosong di sebelahku. “Tentu, silakan.” Aku tidak tahu harus berkata apa, meskipun hatiku sudah berdebar sedikit lebih cepat dari biasanya.

Dia duduk dengan santai, membuka buku catatannya, dan mulai menulis. Aku berusaha kembali fokus pada catatanku, tapi tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa Liana, gadis yang dikenal semua orang sebagai yang tercantik dan paling populer di kampus ini, duduk tepat di sebelahku. Ada banyak orang yang pasti ingin berada di posisiku, tapi anehnya, aku merasa canggung dan tidak tahu harus berbuat apa.

“Lagi nulis apa?” Tiba-tiba dia bertanya, suaranya agak berbisik, tapi cukup keras untuk kudengar jelas.

Aku meliriknya, agak bingung. “Oh, ini? Cuma catatan kuliah biasa. Enggak ada yang spesial.”

Liana tersenyum, matanya berbinar. “Kayaknya kamu tipe yang serius ya, Reza?” Dia menyebut namaku dengan sangat santai, seolah kami sudah lama kenal. Padahal, aku merasa sangat asing dengannya.

“Bisa dibilang gitu,” jawabku pelan, sedikit gugup. Aku tidak biasa berbicara dengan orang-orang seperti dia—gadis yang hampir setiap lelaki ingin dekat dengannya, yang selalu punya segudang teman dan kegiatan.

Tapi Liana tidak memperlihatkan tanda-tanda merasa canggung atau terhalang oleh status sosialnya yang jauh lebih tinggi dariku. Sebaliknya, dia justru terlihat nyaman, begitu alami dengan siapa pun. Itu yang membuatnya begitu berbeda. Sepertinya, semua orang merasa bahwa Liana bukan hanya sekadar seorang gadis cantik, dia juga memiliki aura yang membuat orang merasa diterima.

“Kamu sering duduk di belakang, ya?” katanya sambil menyentuh ujung pulpen di buku catatannya. Aku mengangguk, berusaha menunjukkan kesan santai meski jantungku berdebar. “Iya, biasanya gini. Paling enak di sini, nggak terlalu rame.”

Dia mengangguk paham, matanya tak lepas dari buku yang dibuka di hadapannya. Tapi, entah kenapa, aku merasa dia masih sesekali mencuri pandang ke arahku, membuatku makin tidak tenang. Namun, dia tidak pernah terlihat berpura-pura atau terlalu ingin menarik perhatian. Sifatnya yang sederhana itulah yang kadang membuatnya terasa begitu luar biasa.

Kami terdiam sejenak, hanya terdengar suara pensil yang menyentuh kertas, dan suara deru angin yang menyusup melalui celah jendela kelas. Tapi aku merasa ada yang berbeda. Entah kenapa, seiring berjalannya waktu, Liana mulai menyapa lebih sering. Kami mulai berbicara lebih banyak, saling bertukar cerita, hingga rasanya tak ada lagi yang menghalangi kami untuk berbicara lebih banyak.

Hingga suatu hari, saat kami berjalan pulang setelah kelas berakhir, Liana berhenti di depan pintu keluar kampus. Dia menatap langit yang mulai kelabu, tampak seperti sedang merenung. Aku berjalan sedikit lebih dekat, bingung apakah aku harus mengatakan sesuatu atau hanya menunggu.

“Reza,” katanya perlahan, hampir seperti berbisik. “Kamu pernah merasa nggak, sih, kalau semua yang kamu lakukan itu cuma kebetulan?”

Aku tertegun. Tidak ada angin yang berhembus, dan sekeliling kami begitu hening. Semua orang sibuk dengan dunianya masing-masing, tapi aku merasa seperti dunia kami berdua berhenti. Aku tidak tahu harus menjawab apa. “Kebetulan?” ulangku, mencoba memahami apa yang dia maksud.

“Ya, kebetulan. Maksudku, kadang-kadang aku merasa kalau semua hal yang terjadi di hidup ini tuh nggak ada yang benar-benar terencana. Semua cuma pertemuan yang terjadi begitu saja, kayak kita ini bertemu karena kebetulan.” Liana menatapku, ada sedikit keraguan di matanya. “Apa kamu nggak pernah merasa gitu?”

Aku terdiam. Aku ingin mengatakan sesuatu yang bisa meyakinkan dia bahwa kita tidak hanya kebetulan, bahwa pertemuan ini berarti lebih dari sekadar takdir yang tersusun acak. Tapi, aku hanya bisa mengangguk pelan.

“Aku paham,” jawabku akhirnya, meskipun hatiku mulai terasa berat. “Tapi aku rasa kita nggak cuma kebetulan, Liana. Aku… aku yakin kita bisa membuat ini lebih dari sekedar itu.”

Liana menatapku, ada sedikit senyum di bibirnya, namun aku bisa merasakan ada sesuatu yang tidak diungkapkannya. Sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap, sesuatu yang mungkin aku tidak akan pernah benar-benar tahu.

Hari itu, kami berpisah dengan senyum. Tapi aku tahu, entah kenapa, aku merasa ada yang berbeda. Sesuatu yang tak terungkapkan, dan aku belum siap untuk menghadapinya.

Namun, aku sudah merasa satu hal pasti—aku terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari sekedar kebetulan. Aku sudah jatuh.

 

Langit yang Berubah Warna

Hari-hari berlalu dengan cepat setelah pertemuan kami yang tak terlupakan. Liana dan aku mulai lebih sering menghabiskan waktu bersama, meskipun kadang-kadang aku merasa kami hanya bertemu dalam kebetulan yang aneh. Kami berbicara tentang banyak hal—mengenai kelas, tentang masa kecil, tentang mimpi-mimpi yang tak pernah kami ceritakan pada siapa pun. Semakin banyak waktu yang kami habiskan bersama, semakin aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara kami. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya, atau bahkan apakah Liana merasakannya juga.

Pagi itu, langit tampak berbeda. Tak ada matahari yang bersinar seperti biasa, hanya awan kelabu yang menggantung rendah di langit. Udara terasa lebih dingin, seperti tanda akan hujan. Aku tidak tahu mengapa, tapi aku merasa sesuatu akan berubah. Sesuatu yang besar.

Aku duduk di bangku favoritku di kantin, menunggu Liana datang. Dia terlambat hari itu, seperti biasa. Aku tidak terlalu mengkhawatirkannya, karena biasanya dia datang dengan senyum lebar, selalu membawa semangat meski seharian penuh menjalani jadwal padat. Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Liana datang dengan ekspresi yang tak biasa—lebih serius, lebih tenang. Tidak seperti dirinya yang biasanya selalu penuh energi.

“Hey, kamu kelihatan capek,” kataku saat dia duduk di depanku.

Dia tersenyum tipis, tapi senyum itu tidak menghilangkan kerutan di dahinya. “Aku nggak apa-apa, kok,” jawabnya pelan. “Cuma sedikit pusing aja.”

Aku mengerutkan kening. “Apa yang terjadi? Kamu nggak seperti biasanya.”

Liana menghela napas panjang, seolah berjuang untuk mencari kata-kata. Matanya tak menatapku langsung. Ada sesuatu yang tertahan di sana, tapi dia tidak ingin mengatakannya.

“Aku cuma merasa… semuanya berjalan terlalu cepat,” katanya akhirnya. “Semua ini, Reza, aku nggak tahu apakah aku bisa terus bertahan dengan semuanya.”

Aku hanya diam, mencoba menangkap maksudnya. “Maksudmu, bertahan dengan apa?”

“Dengan hidup ini. Dengan semua ekspektasi yang ada, dengan orang-orang yang mengharapkan sesuatu dariku. Aku nggak tahu lagi apa yang aku inginkan. Semua ini terasa… kosong.” Liana menunduk, bermain-main dengan ujung pensilnya yang ada di meja.

Aku terdiam. Tidak ada kata-kata yang tepat untuk menjawabnya. Liana yang selalu terlihat kuat, yang selalu memancarkan kepercayaan diri, ternyata merasakan keraguan yang sama. Tiba-tiba aku merasa seperti orang yang paling bodoh di dunia, tidak pernah menyadari bahwa di balik senyum cerianya, dia menyimpan ketakutan yang tak terlihat oleh siapa pun.

“Liana, aku nggak tahu apa yang kamu rasakan, tapi kamu nggak sendirian. Kalau kamu butuh seseorang untuk berbicara, aku di sini,” kataku, berusaha menenangkan.

Dia mengangkat wajahnya, matanya agak merah, dan ada bayangan kesedihan yang tidak bisa aku baca sepenuhnya. “Makasih, Reza. Tapi kadang, aku merasa aku harus menyelesaikan ini sendiri. Semua orang punya masalah mereka sendiri, kan? Nggak adil kalau aku selalu menggantungkan orang lain untuk masalahku sendiri.”

Aku menggeleng pelan. “Jangan salah. Terkadang kita butuh orang lain untuk membantu kita keluar dari masalah. Gak ada salahnya kalau kita saling bantu.”

Liana menatapku lama, dan aku bisa merasakan ada sesuatu yang tak terucap di sana. Sejenak, dia tidak mengatakan apa-apa. Hanya ada keheningan yang menenangkan di antara kami. Liana memegang tangannya sendiri, seolah sedang mencari kekuatan di dalam dirinya.

Aku merasa cemas, tapi aku tidak ingin memaksanya. “Liana, kalau kamu butuh waktu, nggak masalah. Aku bisa ngerti kok.”

Dia tersenyum lemah, senyum yang lebih tulus meski sedikit penuh kerisauan. “Aku cuma butuh waktu untuk merenung. Jangan khawatir, aku nggak akan menghilang begitu saja.”

Mendengar itu, hatiku terasa sedikit lega, meskipun entah mengapa, aku tahu ada sesuatu yang lebih besar yang sedang mengancam hubungan ini. Ada ketegangan yang sulit diungkapkan, seolah-olah kami berada di ambang jurang yang tak terlihat, dan aku hanya bisa memandangi dengan cemas.

Liana mengangkat wajahnya, memandang langit di luar jendela kantin. “Kadang aku merasa seperti… seperti langit itu, Reza. Penuh awan yang menutupi semuanya. Tapi suatu saat, matahari pasti akan keluar lagi, kan?”

Aku hanya mengangguk pelan, meskipun hatiku tahu bahwa kadang-kadang, setelah hujan, tidak ada lagi pelangi. Hanya kesedihan yang lebih dalam.

Liana berdiri, menatapku sekali lagi. “Aku harus pergi sekarang. Aku janji, Reza, aku akan baik-baik saja. Terima kasih sudah ada di sini.”

Aku mengangguk, merasa ada yang hilang begitu dia berjalan menjauh. Ada perasaan yang tidak bisa aku jelaskan, seolah-olah hari itu akan menjadi titik balik dalam hidup kami. Aku berharap bisa memegang kata-katanya, tapi aku tahu, kadang takdir sudah lebih dulu mengatur segalanya.

Hari itu berakhir dengan langit yang semakin gelap, dan aku hanya bisa berharap bahwa Liana bisa menemukan kedamaian dalam dirinya. Namun, aku juga tahu bahwa perasaan ini, perasaan yang semakin berkembang dalam diriku, mungkin tidak akan pernah bisa diungkapkan sepenuhnya.

Apa yang akan terjadi selanjutnya? Aku belum tahu. Tapi satu hal yang pasti—aku sudah jatuh, dan tak ada yang bisa mengubahnya.

 

Sisa-Sisa Cinta yang Tertinggal

Beberapa hari setelah percakapan itu, aku masih belum bisa mengusir rasa gelisah yang terus menggerogoti pikiranku. Liana semakin jarang muncul di kampus, dan meskipun aku tahu dia sedang berjuang dengan perasaannya sendiri, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa aku pahami sepenuhnya. Aku tidak tahu bagaimana caranya, tetapi aku merasa seolah-olah dunia di sekitarku mulai kehilangan warnanya.

Hari itu, hujan turun dengan deras, dan aku berjalan sendirian menuju kelas, tanpa benar-benar memperhatikan jalan di depan. Semua terasa kabur, seperti pandangan yang tertutup kabut. Aku teringat percakapan kami yang terakhir, senyum Liana yang terasa begitu jauh, dan hatiku semakin merasa kosong.

Saat aku memasuki kelas, aku tidak melihat Liana di tempat duduknya. Beberapa teman sekelas duduk sambil bercakap-cakap, tapi aku langsung menuju tempat dudukku, berusaha untuk tetap tenang meskipun hati rasanya tidak pernah seberat itu. Aku ingin sekali berbicara dengan Liana, ingin tahu apakah dia benar-benar baik-baik saja, tapi sepertinya dia sedang menghindariku. Atau mungkin aku yang terlalu takut mendekatinya.

Pelajaran berjalan lambat, seolah-olah waktu juga menunggu keputusan untuk sesuatu yang belum pasti. Saat istirahat tiba, aku berjalan keluar kelas untuk mencari udara segar. Pemandangan di luar kampus berubah suram, dengan langit yang tertutup awan hitam. Hujan belum juga berhenti.

Aku baru saja hendak menyalakan rokok ketika aku melihatnya—Liana—berdiri di bawah pohon besar di pinggir jalan, tampak terdiam. Dia tidak melihatku, hanya menatap kosong ke arah hujan yang jatuh, seolah-olah sedang berbicara dengan dunia yang tidak bisa dia mengerti. Aku mendekatinya dengan hati-hati, tak ingin mengganggunya, tapi pada saat yang sama, rasa ingin tahuku memaksaku untuk melangkah lebih dekat.

“Liana,” aku memanggilnya pelan, takut mengganggu ketenangannya.

Dia menoleh, dan matanya seketika bertemu dengan mataku. Ada kesan kelelahan yang dalam di wajahnya, tapi aku bisa melihat ada sesuatu yang lebih. Sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang aku tidak bisa mengungkapkan, tapi rasanya sangat nyata.

“Reza,” jawabnya dengan suara yang agak serak, seperti baru saja menangis. “Kamu cari aku?”

Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan, jadi aku hanya mengangguk. “Iya, aku… aku cuma ingin tahu gimana keadaanmu.”

Liana tertawa pelan, namun tawa itu terdengar pahit, seperti ada rasa sakit yang terpendam di dalamnya. “Kamu tahu, Reza, kadang aku merasa seperti hujan ini. Menyembunyikan segalanya. Tapi pada akhirnya, hujan itu tetap akan berhenti, dan semuanya akan kembali terlihat—hanya saja, semuanya sudah berubah.”

Aku merasa ada kejujuran yang luar biasa dalam kata-katanya, tapi juga ada ketakutan yang mendalam. Ketakutan akan perubahan yang tidak bisa dihentikan, ketakutan akan kehilangan, ketakutan akan apa yang mungkin datang setelah ini.

“Liana,” aku mulai dengan suara yang lebih pelan, mencoba menangkap makna di balik kata-katanya. “Apa yang sebenarnya kamu takutkan?”

Dia memandangku, matanya kosong namun penuh arti. “Aku takut kalau aku terlalu bergantung pada orang lain. Aku takut kalau aku menyakiti mereka dengan ketidakmampuanku. Aku takut kalau aku jatuh terlalu dalam, dan aku nggak bisa bangkit lagi.”

Aku terdiam sejenak, merasa terjepit di antara perasaanku yang semakin dalam dan kata-kata Liana yang penuh ketakutan. “Kamu nggak perlu takut, Liana. Kita semua punya ketakutan, tapi itu bukan alasan buat menjauh dari orang-orang yang peduli sama kamu.”

Dia memejamkan mata, lalu membuka lagi, seolah mencoba untuk menemukan sesuatu di dalam diriku. “Reza… kadang aku merasa… kita berdua terlalu jauh, padahal kita sudah terlalu dekat. Aku nggak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan ini, tapi aku merasa… aku menyakiti kamu tanpa sengaja.”

Aku menatapnya, mencoba memahami apa yang dia maksud. “Kamu nggak pernah menyakiti aku, Liana. Kalau ada yang menyakiti aku, itu adalah ketakutanku sendiri, ketakutan akan kehilangan kamu.”

Liana terdiam, kemudian memalingkan wajahnya ke arah hujan yang masih turun deras. “Reza, aku nggak bisa terus seperti ini. Aku nggak bisa terus bertahan dengan rasa ini. Aku nggak bisa terus membuat kamu berharap pada sesuatu yang tidak pasti.”

Aku merasa dadaku sesak, seperti ada sesuatu yang ingin kuteriakkan, tapi kata-kata itu terhenti begitu saja. Aku tahu—ini adalah saat yang aku takutkan. Liana ingin pergi, ingin melepaskan diri dari semua yang telah terjalin di antara kami. Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, tidak tahu bagaimana caranya meyakinkan dia untuk tetap di sini, untuk tidak pergi meninggalkan segalanya.

“Apa kamu ingin aku pergi?” aku bertanya dengan suara yang hampir tidak terdengar, takut jika aku terlalu memaksakan.

Liana menatapku dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. “Aku tidak ingin kamu pergi, Reza. Tapi aku juga tidak ingin terus membuatmu berharap pada sesuatu yang tidak bisa aku beri.”

Kata-katanya mengiris hatiku, lebih dalam dari yang bisa kuungkapkan. Aku ingin memeluknya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, kadang-kadang, kata-kata tidak cukup untuk menghentikan perasaan yang sudah terlanjur tumbuh.

Liana melangkah mundur sedikit, lalu membalikkan badan dan berjalan menjauh, meninggalkan aku yang terdiam di bawah hujan. Tidak ada yang bisa kulakukan, selain menatap punggungnya yang semakin jauh, dan berharap bahwa suatu saat, mungkin, dia akan kembali.

Aku berdiri di sana, merasa perasaan itu semakin menyesakkan, semakin sulit untuk bernapas. Apa yang harus aku lakukan? Apa yang bisa aku lakukan untuk mencegah dia pergi?

Aku tidak tahu jawabannya. Yang aku tahu hanya satu—perasaan ini, yang semakin menguasai, akan tetap ada di sini, meski tidak ada janji bahwa semuanya akan berakhir bahagia.

 

Ujung yang Tak Terduga

Seminggu setelah pertemuan itu, aku tidak melihat Liana lagi. Dia tidak muncul di kelas, tidak ada kabar darinya. Teleponku terus berdering, tetapi hanya berisi pesan dari teman-teman yang ingin tahu kenapa aku terlihat seperti orang yang baru saja kehilangan segalanya. Aku tidak bisa menjawab mereka, karena aku juga merasa seperti itu—kehilangan segalanya.

Hari itu, aku memutuskan untuk pergi ke tempat kami dulu sering menghabiskan waktu bersama. Sebuah taman kecil di luar kampus, tempat yang selalu menyimpan kenangan kami yang begitu manis dan begitu pahit. Aku berharap—meskipun aku tahu itu hampir mustahil—untuk melihat Liana di sana, setidaknya untuk sekali lagi.

Aku duduk di bangku taman itu, menatap pohon-pohon yang sudah mulai menguning. Udara sore itu dingin, dan suasana sepi. Tidak ada suara apapun selain desiran angin yang bergerak perlahan. Ini adalah pemandangan yang aku kenal, pemandangan yang dulu bisa membuatku merasa damai, namun kali ini, semuanya terasa berbeda. Semuanya terasa kosong.

Aku melihat ke sekeliling, berharap ada sesuatu yang mengingatkan aku pada kebersamaan kami. Tetapi tidak ada. Aku menyandarkan punggungku ke sandaran bangku, memejamkan mata, dan membiarkan kenangan itu datang.

Tiba-tiba, aku mendengar suara langkah kaki. Aku membuka mata dan melihat sosok itu—Liana. Dia berdiri di ujung taman, dengan hoodie merah yang pernah dia pinjam dariku, wajahnya yang sedikit lebih pucat, dan matanya yang terlihat lelah. Aku ingin melompat dan berlari ke arahnya, tapi entah kenapa tubuhku terasa kaku.

Liana melangkah mendekat, dan aku bisa melihat ekspresi yang sulit dibaca di wajahnya. Ada kesedihan, ada penyesalan, dan ada kebingungan. Dia berdiri di depanku, diam sejenak, lalu akhirnya mengeluarkan suara yang hampir tak terdengar.

“Reza…” Suaranya seperti mengandung banyak beban, berat, tapi juga penuh kerinduan.

Aku hanya bisa menatapnya, bingung dengan apa yang harus kukatakan. Aku ingin memeluknya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja, tapi aku tahu aku tidak bisa. Tidak sekarang.

“Kenapa kamu nggak memberi kabar? Kenapa kamu pergi tanpa bicara sama aku?” tanyaku, suara aku lebih keras dari yang kusangka. Rasa kecewa, rasa sakit itu meluap begitu saja.

Liana menundukkan kepala, seolah tidak mampu menatapku. “Aku… aku nggak tahu bagaimana caranya. Aku takut. Takut kalau aku melukai kamu lebih dalam lagi. Takut kalau aku membuatmu merasa lebih buruk.”

Aku bisa merasakan getaran dalam suaranya, dan itu membuat hatiku semakin sesak. “Liana, kenapa kamu nggak bisa percaya kalau aku… aku akan selalu ada buat kamu? Kenapa kita nggak bisa menghadapi ini bersama-sama?”

Dia terdiam lama. Aku bisa melihat dia berjuang dengan perasaannya sendiri, seperti ada perang yang sedang terjadi dalam dirinya. Dan aku hanya bisa menunggu, berharap agar dia mau mendengarkan apa yang aku katakan.

“Liana,” aku akhirnya berkata, suara aku lebih lembut, penuh dengan kerinduan. “Aku nggak pernah memaksa kamu untuk menjadi siapa-siapa, hanya… hanya kamu yang sebenarnya. Kenapa harus pergi? Kita bisa mencari jalan keluar dari semuanya, kan?”

Liana mengangkat wajahnya perlahan, dan aku bisa melihat mata itu—mata yang penuh dengan air mata yang belum tumpah. “Aku nggak bisa, Reza. Aku nggak bisa terus begini. Aku nggak bisa membuat kamu menunggu pada sesuatu yang nggak pasti. Aku terlalu takut untuk terus melanjutkan ini. Aku takut aku akan menghancurkan kita lebih jauh.”

Aku merasa seperti ada yang robek dalam hatiku. Perasaan yang selama ini aku simpan begitu dalam akhirnya terungkap. “Kamu nggak pernah menghancurkan kita, Liana. Kita bisa melewati ini, kita bisa menemukan cara untuk membuat semuanya kembali. Aku ingin kita bersama, lebih dari apapun.”

Dia menggeleng pelan, seolah mencoba melepaskan dirinya dari kata-kataku. “Reza, kamu harus tahu… kadang-kadang, kita nggak bisa memaksa hati untuk tetap bersama. Kita hanya bisa melepaskan. Aku sudah mencoba, tapi… aku nggak bisa lagi.”

Aku terdiam. Rasa sakit itu datang begitu dalam, menyakitkan lebih dari apapun yang pernah aku rasakan. Semua yang aku inginkan hanyalah untuk melihat Liana bahagia, tapi dia memilih untuk meninggalkan ini semua. Meninggalkan kita.

Dengan langkah yang berat, Liana mundur sedikit, seolah menyiapkan diri untuk pergi. “Aku pergi bukan karena aku nggak peduli sama kamu, Reza,” katanya dengan suara yang semakin pelan. “Tapi karena aku peduli terlalu banyak, dan aku nggak bisa terus membuatmu terluka.”

Dia berbalik dan berjalan menjauh, tanpa menoleh ke belakang lagi. Aku hanya bisa menatap punggungnya yang semakin jauh, merasakan hati ini yang semakin rapuh.

Akhirnya, aku mengerti. Cinta kadang-kadang bukanlah tentang mempertahankan, tetapi tentang melepaskan. Mungkin ini adalah yang terbaik untuk kami berdua—meskipun itu sangat menyakitkan. Meskipun rasanya seperti seluruh dunia runtuh di sekelilingku.

Aku menutup mataku, merasakan tetes hujan yang mulai turun lagi, menyatu dengan air mata yang hampir tak terhitung jumlahnya. Cinta ini telah mengajarkanku banyak hal, tetapi kali ini, aku harus belajar untuk melepaskan.

Dan dengan itu, aku menyadari—beberapa perpisahan memang harus terjadi, untuk memberi ruang bagi penyembuhan yang datang dari dalam diri kita sendiri.

 

Dan pada akhirnya, kita cuma bisa berharap kalau segala perpisahan punya alasan. Meskipun hati ini masih terasa berat, aku tahu, mungkin inilah yang terbaik untuk kita. Mungkin, cinta itu memang nggak selalu tentang bersatu, tapi tentang belajar melepaskan dengan cara yang paling baik.

Jadi, jika ada yang perlu ditinggalkan, biarlah itu pergi. Karena kadang, hal terbaik yang bisa kita lakukan adalah memberi ruang untuk cinta yang baru—meskipun itu harus dimulai dengan melangkah sendirian.

Leave a Reply