Cinta yang Terhalang Takdir: Cerpen Kekasih yang Tak Bisa Bersama

Posted on

Siapa sih yang nggak pengen bisa bersama orang yang kita cintai? Tapi kadang, kenyataan nggak selalu sejalan sama keinginan kita. Ini cerita tentang dua hati yang saling cinta, tapi takdir dan dunia mereka yang beda-beda bikin mereka nggak bisa bersama.

Rasanya tuh kayak mencintai dari kejauhan, tapi tetap harus menerima kalau kadang cinta nggak selalu harus berakhir dengan kebersamaan. Baca deh ceritanya, dijamin bakal bawa perasaan kamu naik turun!

 

Cinta yang Terhalang Takdir

Tebing Crystal Verge

Matahari perlahan tenggelam di balik horizon, menciptakan langit yang terbakar oranye. Di atas tebing Crystal Verge, di mana batas antara dunia manusia dan dunia Altheria bertemu, suasana mulai berubah. Angin malam yang sejuk menghembus lembut, menyapu rambut Nathan yang kusut dan jaket kulitnya yang mulai usang.

Di sana, di ujung tebing, dia berdiri. Mematung. Matanya menatap lurus ke arah gadis yang tidak bisa ia miliki—Arianna. Wajahnya diselimuti cahaya senja, seolah dunia ini ingin memberi kesan bahwa pertemuan mereka adalah sebuah keajaiban yang tak akan terulang.

Arianna berdiri di sisi lain tebing, di tempat yang hanya bisa dijangkau selama satu jam setiap senja. Gaun peraknya berkilau lembut, melayang seolah-olah ia bukan bagian dari dunia ini. Matanya yang tajam menatap Nathan dengan campuran rasa sakit dan harapan yang semakin memudar seiring berjalannya waktu.

“Kamu datang lagi, ya?” Suara Arianna terdengar pelan namun tegas, seperti sudah tahu bahwa mereka tidak akan pernah benar-benar bisa bersatu.

Nathan mengangguk, menahan napas. “Tentu saja aku datang. Kamu tahu aku nggak bisa jauh dari sini.”

Arianna menunduk sejenak, seperti meresapi kata-kata Nathan, sebelum akhirnya mengangkat wajahnya dan tersenyum tipis. “Aku tahu. Tapi kita sudah sering berada di sini, Nathan. Apa yang kita harapkan dari pertemuan ini?”

Arianna melangkah sedikit maju, hanya beberapa inci dari batas yang memisahkan dunia mereka. Cahaya aneh dari dimensi Altheria berpendar di sekitar mereka, membuat tebing itu terlihat seperti tempat di luar waktu, seolah keduanya terjebak dalam momen yang terus berulang, namun tak pernah bisa berkembang.

“Kita berharap bisa bersama. Tidak peduli apa yang dunia ini katakan,” jawab Nathan dengan suara yang lebih berat dari biasanya. Ia bisa merasakan kekosongan itu di dalam dadanya. Setiap kali dia bertemu Arianna, dia merasa semakin dekat pada kenyataan bahwa hubungan ini hanya akan membawa penderitaan. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang tidak bisa melepaskan perasaan ini.

Arianna menggeleng pelan, rambutnya yang panjang tergerai lembut oleh angin malam. “Kamu tahu itu tidak mungkin, kan?” suaranya hampir tidak terdengar, namun ada gemuruh kesedihan di balik kata-katanya. “Setiap kali aku mencoba, setiap kali kita bertemu, aku semakin merasa jauh darimu. Kita datang dari dunia yang berbeda, Nathan. Dunia kita saling bertolak belakang.”

Nathan menatapnya, mengernyitkan dahi. “Aku tidak peduli tentang itu. Kenapa dunia harus memisahkan kita hanya karena kita berasal dari tempat yang berbeda? Kenapa kita tidak bisa memilih jalan kita sendiri?”

Arianna menatapnya dengan tatapan yang penuh penyesalan. “Jika aku bisa memilih, Nathan… aku sudah memilih kamu. Tapi ada sesuatu yang lebih besar dari kita yang menghalangi.”

Nathan melangkah lebih dekat, hanya beberapa langkah lagi, namun seperti ada dinding yang tak kasat mata yang menahan tubuhnya. “Aku tidak peduli kalau aku harus menanggung semua itu. Aku hanya ingin berada di dekatmu. Aku ingin kita punya waktu lebih dari sekadar satu jam setiap hari. Aku ingin kita punya lebih banyak kesempatan untuk bersama.”

Arianna mengangkat tangan, seolah hendak menyentuh wajahnya, namun ia berhenti sebelum jarinya menyentuh batas yang ada di antara mereka. “Tapi jika kita bersama, Nathan, aku akan menghilang. Jika aku meninggalkan dunia Altheria… aku akan kehilangan diriku sendiri.”

“Kenapa harus seperti itu?” Nathan bertanya, suara yang penuh dengan keraguan dan frustrasi. “Kenapa dunia ini begitu kejam? Kenapa kita harus terpisah hanya karena asal-usul kita?”

Arianna memalingkan wajah, matanya yang bening mulai berkaca-kaca. “Karena begitulah aturan alam. Aku bukan hanya seorang gadis dari dunia Altheria, aku adalah pewaris kerajaan. Jika aku meninggalkan tempatku, aku akan menghancurkan keseimbangan alam. Dunia kita tidak akan bisa bertahan tanpa batas yang ada di sini.”

“Aku tidak peduli tentang itu!” Nathan hampir berteriak, suaranya menggema di sekitar tebing. “Kenapa kita harus mengorbankan cinta kita hanya karena aturan yang tidak masuk akal? Aku… aku tidak ingin hidup tanpa kamu.”

Arianna menghela napas panjang. “Aku juga, Nathan. Aku juga.” Air mata mulai jatuh dari matanya, bercampur dengan cahaya senja yang mulai memudar. “Tapi terkadang, cinta tidak cukup untuk mengatasi semuanya. Kita datang dari dunia yang berbeda, dan itu bukan sesuatu yang bisa kita ubah.”

Mereka saling menatap dalam diam. Hanya angin malam yang menemani mereka. Seiring berjalannya waktu, cahaya senja mulai hilang, dan batas dimensi yang memisahkan mereka mulai terlihat semakin jelas, seperti sebuah garis tak terlintasi yang menunggu untuk menghancurkan setiap harapan yang ada di antara mereka.

“Satu jam lagi,” kata Arianna, suaranya lirih. “Kita hanya punya satu jam lagi sebelum aku kembali ke dunia yang tak bisa kujangkau.”

Nathan hanya mengangguk, merasakan hatinya terhimpit oleh kenyataan pahit itu. Setiap detik yang berlalu terasa semakin lama, dan ia tahu, semakin ia dekat dengan Arianna, semakin ia merasa semakin jauh dari kenyataan bahwa cinta mereka tidak bisa bersama.

Saat senja sepenuhnya hilang, Arianna mengangkat tangannya, memberi salam perpisahan. “Aku harus pergi sekarang, Nathan. Ingatlah, aku akan selalu ada di sini, di ujung dimensi, untukmu. Tetapi, kita tidak bisa bersama. Tidak sekarang, tidak nanti.”

Dengan hati yang hancur, Nathan melihat Arianna menghilang dalam kabut tipis, meninggalkan tebing yang sekarang terasa sangat sunyi. Ia tahu, meskipun pertemuan ini begitu indah, cinta mereka tetap akan terhalang oleh dunia yang tak bisa mereka atasi.

Namun, di dalam hatinya, ia berjanji untuk kembali lagi. Karena meski dunia memisahkan mereka, perasaan ini tak akan pernah mati.

Di tepi dunia yang berbeda, cinta itu tetap ada.

 

Cahaya yang Memisahkan

Esoknya, Nathan terjaga dengan perasaan berat yang menekan dadanya. Pagi yang cerah di kota hanya terasa hampa, seperti ada bagian dari dirinya yang hilang bersama Arianna semalam. Semua yang ada di sekitarnya—rumah yang sepi, jalanan yang penuh dengan orang-orang sibuk—terasa begitu jauh. Tidak ada yang bisa mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh pertemuan singkat mereka di tebing itu.

Ia duduk di depan meja makan dengan secangkir kopi yang hampir tidak tersentuh. Setiap suapan makanan terasa hambar, tak ada rasa. Hanya ada bayangan Arianna yang terus menghantui pikirannya. Wajahnya yang cantik, suaranya yang lembut, dan perasaan cinta yang terpendam di balik setiap kata-kata mereka.

“Satu jam lagi…” kata-kata Arianna terus terngiang di telinganya. Itu adalah kalimat yang paling menyakitkan, namun juga yang paling menggugah hatinya. Setiap detik bersamanya seperti hadiah yang sangat berharga, tapi hanya bisa dimiliki dalam waktu yang sangat terbatas.

Kehidupan sehari-hari seakan berjalan di luar kesadarannya. Di sekolah, ia merasa seperti orang asing. Setiap kata yang diucapkan temannya terdengar seperti gema yang kosong. Meskipun ia mencoba untuk tersenyum atau berbicara dengan orang-orang di sekitarnya, hatinya tetap berada di sana, di tebing Crystal Verge, tempat di mana batas antara dunia mereka begitu tipis.

Saat senja tiba, Nathan sudah siap. Ia tak peduli apa yang terjadi, dia harus kembali. Rasa ingin bertemu dengan Arianna, merasakan kehadirannya, sudah terlalu kuat. Ia berjalan cepat menuju tebing itu, menghindari tatapan bingung dari orang-orang yang melintas. Langkahnya cepat, seolah seluruh tubuhnya terarah hanya pada satu tujuan—tempat di mana ia dan Arianna bisa bertemu meskipun hanya sekejap.

Begitu tiba di tebing, ia tak melihat Arianna. Hanya ada angin yang berhembus kencang, seolah menantang untuk melepaskan segala kekhawatiran yang ada. Tapi, entah mengapa, hatinya mengatakan bahwa dia ada di sana, di ujung dimensi, menunggunya.

Beberapa menit berlalu, dan langit mulai berubah warna. Matahari yang meredupkan sinarnya memberi ruang bagi bulan yang mulai terbit perlahan. Saat itulah, bayangan Arianna muncul, perlahan-lahan dan tak kasat mata. Ia berdiri di sana, menatapnya dari kejauhan dengan tatapan yang sama—sedih, penuh harapan, dan jauh.

“Arianna…” Nathan berbisik, meski ia tahu suaranya tidak akan sampai. Meski mereka tak bisa benar-benar menyentuh satu sama lain, perasaan itu tetap nyata.

Arianna melangkah maju, namun ia berhenti ketika batas dimensi itu semakin dekat. “Nathan,” katanya dengan suara yang lebih lembut dari sebelumnya. “Aku tahu kamu datang, tapi kamu tahu kan ini tidak akan pernah berubah?”

“Kenapa kita harus menerima ini?” Nathan berkata dengan penuh kesedihan. “Kenapa kita tidak bisa memilih untuk melawan batasan itu? Aku tidak peduli dengan dunia kita yang berbeda, Arianna. Aku hanya ingin bersamamu.”

Arianna memejamkan mata, menarik napas dalam-dalam. “Aku juga ingin itu, Nathan. Aku ingin kita bisa bersama lebih lama, lebih sering. Tapi kamu tahu… ada harga yang harus dibayar jika kita melawan takdir.”

Nathan menggigit bibirnya, tak sanggup lagi menahan rasa frustasi yang mendera. “Aku tahu. Aku tahu kalau kita melawan, kita akan hancur. Tapi aku tak bisa hanya berdiri di sini dan menunggu waktu yang kita miliki berakhir tanpa melakukan apa-apa.”

Arianna menatapnya dengan penuh kepedihan. “Aku tidak ingin melihatmu hancur, Nathan. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi. Aku sudah cukup tahu betapa besar pengorbanan yang harus kita bayar. Tapi aku tidak bisa menjanjikan apa-apa. Dunia kita tidak mengizinkan cinta kita untuk berkembang.”

“Jadi, kita akan terus begini? Bertemu hanya satu jam dalam sehari, dengan harapan kosong?” suara Nathan bergetar, seolah menahan amarah dan kesedihan yang tumpah begitu saja. “Itu… itu terlalu sedikit, Arianna. Aku tidak bisa menerimanya.”

Arianna terdiam, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Matanya yang berbinar kembali mulai memudar, seperti dimakan oleh waktu yang terus berjalan. Senja hampir berakhir, dan batas dimensi yang memisahkan mereka mulai menunjukkan tanda-tanda akan menutup.

“Arianna, tunggu…” Nathan melangkah maju, tapi kali ini ia tahu ia tidak akan bisa melewatinya. Hanya satu langkah lagi, dan dia akan terhenti. Hanya satu langkah lagi, dan ia akan kehilangan kesempatan untuk mengatakan apa yang selama ini ia pendam.

“Aku akan kembali,” kata Arianna, suaranya penuh dengan keputusasaan. “Aku akan selalu kembali ke sini. Tapi aku tidak bisa menjanjikan sesuatu yang lebih, Nathan.”

“Kenapa tidak?” Nathan hampir berteriak, namun hanya bisa mengeluarkan suara serak, penuh dengan perasaan yang tak bisa diungkapkan. “Kenapa kita tidak bisa melawan dunia kita? Kenapa kita tidak bisa membuat cinta ini menjadi nyata?”

Arianna menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Karena dunia kita memang berbeda, Nathan. Tidak ada cara untuk menggabungkan keduanya tanpa kehilangan semuanya.”

Dengan kata-kata terakhir itu, Arianna menghilang perlahan, seperti kabut yang terhisap angin malam. Nathan hanya bisa menatap kosong ke tempat di mana dia berdiri, merasakan perasaan yang mengoyak hatinya. Setiap pertemuan ini selalu terasa seperti perpisahan yang lebih menyakitkan.

Malam itu, Nathan berdiri sendiri di tebing, menunggu kembali senja yang entah kapan akan datang lagi. Dan ia tahu, meski dunia menghalangi mereka, perasaan ini tak akan pernah bisa dihentikan. Cinta mereka terus hidup, meskipun terpisah oleh dimensi yang tak terjangkau.

Namun, dia tak bisa berhenti berharap.

 

Jejak yang Menghilang

Hari-hari terus berlalu, dan meskipun Nathan mencoba untuk melanjutkan hidupnya, perasaan yang mengikatnya pada Arianna tak kunjung padam. Setiap langkah yang diambilnya di dunia nyata terasa berat, seolah ada sesuatu yang tak terlihat menahan tubuhnya agar tak bisa bergerak maju. Ia terus berusaha mencari pengalihan—pelajaran di sekolah, hobi, bahkan berbicara dengan teman-temannya, tapi semuanya tampak hampa. Tidak ada yang mampu mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh Arianna.

Arianna, yang pernah menjadi bintang terang dalam hidupnya, kini terasa seperti bintang yang padam di langit malam. Namun, meskipun ia tahu ada batas yang tak bisa ia lewati, Nathan tak bisa melepaskan bayangan wajah Arianna yang selalu menyertainya. Seolah ada benang yang menghubungkan mereka meskipun mereka terpisah oleh dimensi yang berbeda.

Tiga hari telah berlalu sejak pertemuan terakhir mereka di tebing, dan Nathan merasa seolah ada sesuatu yang berubah di dalam dirinya. Ia merasakan dorongan untuk pergi ke tempat yang lebih jauh—untuk mencari jawaban atau mungkin menemukan cara untuk memperjuangkan cinta mereka yang tak terjangkau. Perasaan itu semakin menggema, semakin kuat, dan semakin memaksanya untuk mencari sebuah kejelasan. Ada sesuatu yang tak beres, sesuatu yang harus dipecahkan.

Pada malam yang sama, ia kembali ke tebing itu, meskipun langit malam sudah mulai gelap. Keheningan menyelimutinya, dan angin yang berhembus kencang mengingatkannya pada suara langkah Arianna yang selalu datang mendekat. Namun kali ini, berbeda. Ada yang aneh. Ada rasa cemas yang tak bisa dijelaskan, seolah alam semesta tengah menyiapkan sesuatu yang tak terduga.

Ia berdiri di sana, menatap ke arah langit yang dipenuhi oleh bintang-bintang. Dalam hatinya, sebuah pertanyaan terbesit. Apakah cinta mereka benar-benar tidak bisa bersama, atau apakah ada cara untuk membuatnya terjadi? Ia merasa terperangkap dalam sebuah dunia yang diciptakan oleh takdir, namun hatinya menolak untuk percaya bahwa itu adalah akhir dari segalanya.

Tiba-tiba, bayangan Arianna muncul, tetapi kali ini dia terlihat berbeda—lebih pudar, lebih jauh, seolah ada kekuatan yang menahan mereka lebih kuat dari sebelumnya. Wajahnya yang indah kini terselubung awan tipis, dan meskipun suaranya lembut, ada ketegangan yang tak terungkapkan di dalamnya.

“Nathan,” kata Arianna dengan suara yang terasa lebih jauh dari biasanya. “Kau kembali lagi?”

Nathan mengangguk, walaupun Arianna tak bisa melihatnya. “Aku tidak bisa berhenti memikirkanmu, Arianna. Setiap detik yang berlalu tanpa kau di sampingku terasa seperti waktu yang hilang. Aku tahu kita tidak bisa bersama, tapi aku tak bisa menerima kenyataan itu begitu saja.”

Arianna terdiam beberapa detik. Ketika akhirnya ia berbicara lagi, suaranya terdengar lemah. “Kau tak mengerti, Nathan. Kita memang tidak bisa bersama. Itu bukan hanya tentang batas yang ada di dunia kita, tetapi juga tentang apa yang akan terjadi jika kita memaksa segalanya. Tak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Kita berdua tahu itu.”

“Aku tidak peduli dengan kenyataan!” seru Nathan, suara yang tak bisa disembunyikan lagi. “Aku ingin kita bisa bersama, Arianna. Tidak ada yang bisa menghentikan aku untuk berjuang demi kita. Aku hanya… hanya ingin kau ada bersamaku, di dunia yang sama, dengan cara yang sama.”

Arianna menunduk, dan dalam diamnya, terlihat ada perasaan yang tak tertahankan di wajahnya. “Aku ingin itu juga, Nathan. Aku ingin kita bisa berlari bersama ke tempat yang jauh, tempat yang tidak ada batasan atau dimensi yang memisahkan kita. Tapi dunia kita bukan tempat yang adil. Jika kita tetap bersama, kita akan merusak segalanya. Kita akan menghancurkan satu sama lain.”

Nathan merasa hatinya seperti dihancurkan, retak sedikit demi sedikit. Setiap kata Arianna seperti pedang yang menembus langsung ke dalam jantungnya. “Apa artinya hidup ini kalau tidak bisa aku habiskan bersamamu?” kata Nathan dengan suara parau. “Kau mengatakan kita akan menghancurkan satu sama lain, tapi justru dunia yang memisahkan kita, bukan?”

Arianna menatapnya, dan untuk sesaat, mereka berdiri dalam keheningan yang terasa lebih berat daripada sebelumnya. Angin malam berhembus lebih kencang, membawa aroma lautan dan dedaunan yang segar. Suasana ini seolah ingin mengingatkan mereka pada apa yang ada di depan—sebuah pilihan yang harus diambil.

“Jika kita bertahan, Nathan,” kata Arianna dengan suara yang hampir tak terdengar, “kita akan kehilangan lebih banyak daripada yang kita bayangkan. Aku tidak ingin itu terjadi. Aku tidak ingin melihatmu hancur karena aku.”

Nathan merasa seolah dunia sekitarnya runtuh. Apa yang harus ia lakukan? Apa yang bisa ia lakukan untuk meyakinkan Arianna bahwa hidup bersamanya adalah satu-satunya hal yang diinginkannya?

Arianna melangkah mundur, dan seiring dengan itu, jarak di antara mereka semakin membesar. “Aku mencintaimu,” katanya dengan penuh kepedihan. “Tapi kita tidak bisa bersama, Nathan. Itu bukan hanya takdir, itu adalah kenyataan yang harus kita hadapi.”

Nathan ingin berteriak, ingin berlari dan mengejarnya, tapi tubuhnya terasa beku. Hanya ada kesedihan yang semakin mendalam, melingkupi dirinya. Dengan hati yang hancur, ia tahu bahwa mungkin inilah saatnya untuk melepaskan. Mungkin, cinta yang mereka miliki akan tetap menjadi kenangan—kenangan yang tak akan pernah hilang, tetapi tak akan pernah menjadi nyata.

Dengan langkah berat, Nathan berbalik dan mulai berjalan pergi, meninggalkan tebing itu dan Arianna yang semakin jauh di dalam bayangannya. Langit malam semakin gelap, dan bintang-bintang seakan mengingatkan bahwa meskipun cinta mereka terhalang dimensi, ia tak akan pernah benar-benar mati. Cinta mereka akan terus hidup dalam setiap langkah yang diambilnya, dalam setiap napas yang ia hirup.

Namun, apa artinya hidup tanpa dia? Apa artinya hidup tanpa rasa yang begitu kuat? Begitu besar.

 

Jejak Terakhir

Waktu terus berjalan, tak bisa diputar kembali. Hari demi hari berlalu dengan lambat, seperti air yang mengalir perlahan, melewati bebatuan besar yang tak bisa digoyahkan. Nathan merasa seperti terjebak dalam lingkaran waktu yang tak pernah berakhir. Ia mencoba menjalani hidupnya, tapi ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa digantikan oleh apapun. Arianna.

Ia kembali ke rutinitasnya—sekolah, teman-teman, kegiatan yang biasa ia lakukan—tapi semuanya terasa kosong. Seolah-olah seluruh dunia berputar tanpa ada tujuan. Tiap malam, ia terbangun dalam keheningan, menatap langit yang dipenuhi bintang, berharap suatu hari ia akan menemukan cara untuk meraih Arianna kembali. Namun, meskipun ia berusaha sekuat tenaga, ia tahu, jauh di dalam hatinya, bahwa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar keinginannya untuk bersama perempuan itu.

Hari itu, di ujung waktu, Nathan memutuskan untuk kembali ke tebing itu—tempat di mana segalanya dimulai, tempat di mana ia terakhir kali bertemu dengan Arianna. Ia tahu, di sana, di bawah langit yang luas, ia bisa menemukan sedikit kedamaian. Mungkin bukan jawaban, tetapi sebuah penerimaan akan kenyataan yang tak dapat diubah.

Tebing itu tetap sama, seperti waktu yang terhenti di sana, di tempat yang dipenuhi kenangan. Ia duduk di atas batu besar, menatap horizon yang luas. Angin malam bertiup lembut, membawa aroma segar dari laut yang jauh. Semuanya terasa hening. Nathan merasakan sesuatu yang berbeda, suatu ketenangan yang ia rindukan selama ini.

Tiba-tiba, suara lembut itu terdengar lagi, mengalun di telinganya. Suara yang membuat hatinya berdebar, meskipun tahu itu hanya sebuah kenangan. “Nathan,” suara Arianna memanggil, seolah-olah angin itu membawa suaranya, meskipun ia tak ada di sana.

“Arianna,” gumam Nathan pelan, tanpa bisa menahan perasaan yang datang begitu mendalam. “Aku di sini, di tempat yang sama. Tapi kenapa kamu tak bisa bersama aku? Kenapa kita terpisah seperti ini?”

Angin malam semakin kencang, seolah membawa jawabannya yang tak bisa diucapkan. Tak ada kata-kata yang keluar dari bibir Arianna, hanya keheningan yang lebih dalam dari sebelumnya.

Nathan menundukkan kepalanya, matanya memerah. “Aku mencintaimu,” ia berkata dengan penuh keyakinan, seakan ingin mengirimkan seluruh perasaannya menuju tempat itu. “Dan aku akan terus mencintaimu, meskipun kita tidak bisa bersama. Aku akan mengingatmu setiap hari, Arianna. Selalu.”

Suasana menjadi semakin sunyi, hanya ada suara angin dan deburan ombak jauh di bawah sana. Nathan tahu, saat ini, ia harus melepaskan segala yang mengikat hatinya. Mungkin cinta mereka tak akan pernah bisa ada di dunia yang sama, tapi kenangan itu—kenangan tentang Arianna—akan selalu ada. Di dalam dirinya. Di dalam setiap napas yang ia ambil.

Di langit malam yang penuh bintang, Nathan merasakan kedamaian yang lama hilang. Meskipun hatinya masih penuh dengan rasa sakit, ia tahu ini adalah langkah yang harus ia ambil. Ia tak bisa terus mengejar sesuatu yang tak bisa ia sentuh, sesuatu yang tak ada di dunia ini.

Dengan perlahan, ia berdiri dan berjalan menjauh dari tebing itu, meninggalkan jejak kaki yang semakin memudar. Angin malam mengiringinya, seperti sebuah perpisahan yang tak perlu kata-kata.

Pada akhirnya, cinta yang begitu besar, yang begitu dalam, harus berakhir dengan penerimaan. Nathan tahu, meskipun Arianna tak bisa bersama dengannya, cintanya akan selalu ada—sebagai sebuah kenangan yang abadi, yang tak akan pernah pudar oleh waktu.

Dan di atas langit yang luas, di antara bintang-bintang yang terus bersinar, cinta mereka akan terus hidup, dalam setiap hembusan angin, dalam setiap malam yang penuh misteri, dan dalam setiap langkah Nathan yang berjalan menuju masa depan, meskipun tanpa Arianna di sampingnya.

 

Jadi, kadang cinta itu nggak selalu harus berakhir bahagia, kan? Meskipun dua hati itu saling cinta, dunia bisa saja memisahkan mereka dengan cara yang nggak terduga. Tapi, meskipun mereka nggak bisa bersama, kenangan dan perasaan itu tetap hidup, diingat, dan dihargai.

Mungkin, cinta yang sejati itu bukan soal bisa bersama, tapi tentang menerima dan melepaskan dengan ikhlas. Semoga cerita ini bisa bikin kamu mikir, bahwa cinta nggak selalu harus punya akhir yang sama seperti yang kita bayangkan.

Leave a Reply