Cinta yang Terhalang Keyakinan: Kisah Pilu dalam Cerpen ‘Senja yang Terakhir’

Posted on

Pernah nggak sih kamu jatuh cinta sama seseorang, tapi dunia seakan nggak merestui? Senja yang Terakhir adalah sebuah cerpen yang bakal bikin kamu terhanyut dalam kisah cinta beda agama yang penuh dilema, harapan, dan realitas pahit.

Cerita ini bukan cuma soal perasaan, tapi juga tentang memilih antara cinta dan keyakinan. Gimana akhirnya? Apakah cinta mereka bisa bertahan atau justru harus kalah oleh kenyataan? Yuk, simak kisahnya sampai habis!

Cinta yang Terhalang Keyakinan

Senja yang Menyatukan

Langit mulai berwarna jingga saat Nayla menatap danau yang tenang. Permukaan air memantulkan cahaya sore, menciptakan bayangan keemasan yang berkilauan. Angin berembus pelan, membelai rambutnya yang terurai. Di sampingnya, Langit duduk bersila, menatapnya dengan senyum kecil di sudut bibir.

“Kamu selalu suka senja,” ujar Langit tiba-tiba.

Nayla menoleh. “Tentu saja. Aku suka warnanya. Rasanya… hangat, tapi juga sedih.”

Langit mengerutkan dahi, seakan memikirkan sesuatu. “Kenapa sedih?”

Nayla menatap langit yang perlahan berubah lebih gelap. “Karena sesaat lagi, dia akan menghilang.”

Langit mengangguk pelan, lalu ikut memandangi cakrawala. Mereka duduk di taman dekat danau ini sudah entah berapa kali. Tempat ini menjadi titik temu di antara kesibukan masing-masing. Meski Nayla lebih sering datang untuk mencari ketenangan, bersama Langit tempat ini terasa lebih damai.

“Dulu aku nggak suka senja,” kata Langit lagi. “Menurutku, senja itu cuma pertanda kalau hari udah habis. Nggak ada yang istimewa.”

Nayla meliriknya, menahan tawa. “Terus kenapa sekarang sering ngajak aku ke sini?”

Langit menoleh, menatapnya lama. “Karena sekarang aku suka senja. Mungkin karena kamu.”

Nayla terdiam. Ada kehangatan yang merayap di dadanya, tapi juga sesuatu yang mengganjal di hati. Sudah berbulan-bulan mereka seperti ini. Berbagi cerita, tertawa bersama, dan saling memahami. Namun, ada batas tak terlihat yang terus menghantui mereka.

Nayla menarik napas dalam-dalam. “Langit…”

“Hm?”

“Kamu sadar kan… kita beda?”

Langit tidak langsung menjawab. Ia menunduk, memainkan rumput dengan ujung jari. “Aku tahu.”

“Dan kita nggak bisa pura-pura nggak sadar soal itu.”

Langit tersenyum tipis, tetapi matanya meredup. “Aku tahu, Nay.”

Suasana menjadi lebih sunyi. Sesekali hanya terdengar suara air beriak pelan ketika angin berembus. Nayla menggigit bibir. Ada begitu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi ia juga takut mendengarnya.

“Tapi kenapa kita masih kayak gini?” Nayla akhirnya bertanya.

Langit menoleh, menatapnya dalam. “Karena kita nggak bisa berhenti.”

Nayla tersenyum miris. “Atau karena kita nggak mau berhenti?”

Langit tidak menjawab. Nayla tahu mereka berdua sama-sama paham bahwa hubungan ini adalah sesuatu yang seharusnya tidak terjadi—setidaknya, menurut dunia di sekitar mereka. Tapi bagaimana caranya berhenti saat hati sudah terlanjur memilih?

Sore semakin tua. Langit beringsut sedikit lebih dekat, menumpukan tangannya ke rumput.

“Kamu pernah mikir nggak, kalau kita ketemu dalam keadaan lain, semuanya bakal lebih mudah?” Langit bertanya pelan.

Nayla menghela napas, lalu menatap danau yang mulai kehilangan sinar keemasannya. “Mungkin. Tapi kita ketemunya di sini, di dunia yang kayak gini.”

“Dan dunia ini nggak adil buat kita.”

Nayla tersenyum pahit. “Iya, nggak adil.”

Angin kembali berembus, kali ini lebih dingin. Malam akan segera turun, menggantikan senja yang perlahan memudar. Tapi mereka tetap duduk di sana, seakan berharap senja bertahan sedikit lebih lama.

Di Antara Dua Keyakinan

Suasana di meja makan rumah Langit terasa lebih hening dari biasanya. Ayahnya sibuk membaca berita di tablet, ibunya dengan anggun menyendokkan sup ke dalam mangkuk, sementara Langit sendiri hanya mengaduk nasinya tanpa benar-benar berniat makan.

Di sampingnya, Nayla duduk dengan punggung tegak. Senyumnya sopan, tapi jelas ada kegugupan yang disembunyikannya. Ini pertama kalinya ia makan malam bersama keluarga Langit, dan meskipun sambutan mereka hangat, ia tahu ada sesuatu yang tidak terucapkan di antara mereka. Sesuatu yang menggantung seperti bayangan di sudut ruangan.

“Nayla,” suara ibu Langit akhirnya memecah keheningan, “kamu cantik sekali. Langit nggak pernah cerita kalau pacarnya secantik ini.”

Nayla tersenyum, meskipun ada rasa canggung yang menyelinap dalam hatinya. “Ah, aku bukan pacarnya, Tante.”

Ibu Langit mengangkat alis dengan ekspresi yang sulit diartikan. “Bukan? Lalu hubungan kalian apa?”

Langit menegakkan punggungnya. “Kami dekat, Bu.”

Senyum ibunya tetap ada, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang berbeda. “Dekat seperti apa?”

Langit menelan ludah. “Seperti dua orang yang sama-sama nyaman.”

Hening.

Ayahnya akhirnya meletakkan tabletnya dan menatap Nayla dengan penuh selidik. “Kamu tahu, Nayla, kami menghargai siapa pun yang dekat dengan Langit. Tapi ada satu hal yang selalu kami tekankan dalam keluarga ini.”

Nayla sudah bisa menebak ke mana arah pembicaraan ini. Tapi ia tetap memasang wajah tenang, meskipun hatinya sedikit bergetar. “Apa itu, Om?”

“Prinsip.” Ayah Langit menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangannya di dada. “Kami selalu berpegang pada keyakinan kami, dan kami berharap Langit juga begitu.”

Langit tampak ingin mengatakan sesuatu, tapi ibunya lebih dulu berbicara. “Kamu anak yang baik, Nayla. Kami bisa melihat itu,” katanya dengan suara lembut, tapi tegas. “Tapi pada akhirnya, manusia harus memilih jalan yang benar.”

Nayla tersenyum kecil, meskipun rasanya hatinya baru saja diremas. Ia paham. Ini bukan hanya tentang dirinya dan Langit. Ini lebih besar dari itu.

Dan yang lebih menyakitkan, mereka bukan satu-satunya yang berpikir seperti ini.

Di rumahnya sendiri, Nayla duduk di meja makan bersama kedua orang tuanya. Makan malam kali ini lebih terasa seperti sebuah interogasi.

“Kalian sudah sejauh apa?” suara ayahnya terdengar tegas, meskipun ia berusaha tetap tenang.

Nayla meletakkan sendoknya dengan hati-hati. “Aku dan Langit cuma dekat, Yah.”

“Dekat itu maksudnya apa?” Ibunya menatapnya tajam. “Kalian pacaran?”

Nayla menggeleng. “Nggak.”

Ayahnya menghela napas panjang. “Nayla, kamu tahu apa yang diajarkan pada kita, kan? Pernikahan bukan sekadar soal cinta. Ini soal ibadah. Kalau kamu serius sama dia, apa kamu yakin dia bisa ikut jalan kita?”

Nayla terdiam. Ia tahu ini akan datang. Sejak awal, ia sudah menduga bahwa keluarganya akan menolak hubungannya dengan Langit. Bukan karena mereka tidak menyukai Langit, tapi karena sesuatu yang lebih mendasar dari itu—keyakinan mereka berbeda.

“Nayla,” suara ibunya lebih lembut kali ini. “Ibu tahu kamu sudah dewasa, dan kamu bisa menentukan pilihan sendiri. Tapi tolong, jangan menutup mata pada kenyataan.”

“Kenyataan?” Nayla menatap ibunya. “Kalau aku mencintai seseorang, kenapa itu harus jadi kesalahan?”

Ayahnya meletakkan sendok dengan sedikit lebih keras dari yang seharusnya. “Karena ada batas yang tidak bisa kamu langgar, Nak.”

Batas.

Itulah kata yang terus menghantui Nayla.

Ia menghela napas panjang, lalu bangkit dari kursinya. “Aku kenyang.”

“Nayla—”

“Aku capek, Yah, Bu. Bisa kita nggak bahas ini malam ini?”

Tanpa menunggu jawaban, Nayla melangkah pergi ke kamarnya. Ia menutup pintu dengan pelan, lalu membiarkan tubuhnya jatuh ke kasur.

Matanya menatap langit-langit kosong.

Ia dan Langit mencintai satu sama lain. Tapi semakin lama, rasanya cinta itu seperti rumah tanpa pondasi. Bisa berdiri untuk sementara waktu, tapi pada akhirnya, akan runtuh dengan sendirinya.

Jalan yang Berbeda

Langit duduk di dalam mobilnya, memandangi layar ponsel yang menampilkan pesan terakhir dari Nayla.

— Aku butuh waktu sendiri dulu.

Tangannya mengepal di atas setir. Udara di dalam mobil terasa sesak, meskipun jendela sedikit terbuka. Semalaman ia tak bisa tidur, memikirkan bagaimana semuanya mulai terasa berbeda. Nayla semakin sering diam, semakin sering menghindari percakapan tentang masa depan mereka.

Dan sekarang, untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar takut kehilangan.

Di sisi lain kota, Nayla duduk di dalam kamar dengan tangan yang gemetar. Pikirannya dipenuhi berbagai suara—suara keluarganya, suara Langit, suara hatinya sendiri yang terus berdebat tanpa akhir.

Ia menginginkan Langit. Ia mencintainya.

Tapi cinta saja tidak cukup.

Hari itu, mereka bertemu di tempat biasa. Di tepi danau yang dulu terasa seperti dunia kecil mereka, tapi kini terasa asing.

Langit datang lebih dulu, duduk di bangku kayu dengan tatapan kosong ke permukaan air. Saat langkah Nayla terdengar, ia menoleh, lalu tersenyum kecil.

“Kamu baik-baik aja?” tanyanya pelan.

Nayla mengangguk, meskipun sebenarnya ia sendiri tidak yakin. “Kamu?”

Langit tertawa kecil, getir. “Kamu tahu jawabannya.”

Mereka terdiam. Udara di antara mereka terasa berat, seakan ada sesuatu yang menggantung tanpa bisa dijangkau.

“Aku nggak mau kita kayak gini terus, Nay,” Langit akhirnya berkata. “Kita nggak bisa terus pura-pura semuanya baik-baik aja.”

Nayla menunduk, jemarinya saling menggenggam erat di pangkuan. “Aku tahu.”

Langit menarik napas panjang, lalu menoleh ke arahnya. “Kalau gitu, ayo kita cari jalan keluarnya.”

“Jalan keluar?” Nayla tertawa kecil, suaranya sarat kelelahan. “Langit, kita nggak lagi nyari jalan keluar. Kita nyari sesuatu yang sebenarnya nggak ada.”

Langit terdiam. Matanya menyiratkan perlawanan, seakan menolak menerima kata-kata Nayla. “Kenapa harus kayak gitu?”

“Karena kita nggak mungkin bersatu.”

Langit mengusap wajahnya dengan kasar. “Kenapa sih, Nay? Kenapa kita harus dengerin kata mereka?”

Nayla menoleh, menatapnya dalam. “Karena mereka keluarga kita. Karena ada hal-hal yang nggak bisa kita abaikan cuma demi perasaan kita sendiri.”

Langit menggigit bibirnya. “Jadi kita harus menyerah?”

Nayla menghela napas, lalu menatap danau yang mulai kehilangan cahaya keemasannya. “Mungkin kita nggak menyerah, Langit. Mungkin ini cuma kita… menerima kenyataan.”

Langit terdiam. Ada sesuatu yang pecah di dalam dirinya—sesuatu yang sejak awal ia tahu tak bisa ia perbaiki.

Nayla berusaha menahan air matanya. Ia ingin percaya bahwa ada dunia di mana mereka bisa bersama, tapi dunia yang mereka tinggali sekarang bukan salah satunya.

Dan di titik ini, mereka berdua tahu.

Cinta mereka sedang berada di ambang kehancuran.

Senja yang Terakhir

Nayla berdiri di tepi danau, sendirian. Langit sore ini dipenuhi semburat jingga keemasan, menciptakan bayangan di permukaan air yang bergelombang pelan. Angin berembus lembut, membelai rambutnya yang tergerai.

Tempat ini masih sama. Suasananya masih tenang. Tapi segalanya terasa berbeda.

Langkah kaki terdengar dari belakang, lalu suara yang begitu dikenalnya menyusul.

“Kamu masih suka senja?” Langit bertanya.

Nayla menoleh, tersenyum kecil. “Masih.”

Langit berdiri di sampingnya, menatap cakrawala yang perlahan menelan matahari. Tidak ada lagi ketegangan seperti sebelumnya, hanya kesunyian yang penuh arti. Mereka tahu, ini adalah pertemuan terakhir mereka di tempat ini.

“Kamu yakin ini keputusan yang benar?” Langit bertanya pelan.

Nayla menatapnya lama, lalu mengangguk. “Iya.”

Langit menghela napas panjang. “Aku cuma kepikiran… kalau aja kita ketemu di dunia yang lebih adil, mungkin semuanya nggak akan serumit ini.”

Nayla tersenyum tipis. “Tapi kita ketemunya di dunia ini.”

Langit menoleh ke arahnya, dan untuk pertama kalinya, Nayla melihat sesuatu yang berbeda di matanya—penerimaan. Rasa sakit itu masih ada, tapi tidak lagi memberontak.

“Aku bakal tetap mendoakan kamu,” Langit berkata, suaranya nyaris berbisik.

Nayla menelan ludah, mencoba menahan perasaan yang bergemuruh di dadanya. “Aku juga bakal selalu mendoakan kamu, Langit.”

Mereka sama-sama tersenyum, meskipun ada luka di baliknya.

Senja mulai menghilang di ufuk barat, seperti lambang dari kisah mereka yang perlahan memudar. Langit dan Nayla sama-sama tahu, cinta mereka nyata. Tapi tidak semua cinta ditakdirkan untuk bersama.

Dan di sinilah semuanya berakhir—di bawah langit senja, dengan perasaan yang akan tetap tinggal di hati masing-masing, meskipun langkah mereka kini menuju jalan yang berbeda.

Cinta itu indah, tapi nggak selalu mudah. Senja yang Terakhir mengajarkan kita bahwa dalam hidup, ada hal-hal yang nggak bisa dipaksakan, sekuat apa pun perasaan kita. Kadang, cinta bukan soal memiliki, tapi tentang merelakan dengan cara yang paling tulus.

Jadi, kalau kamu pernah atau sedang mengalami kisah serupa, ingatlah: setiap perpisahan bukan akhir dari segalanya, tapi awal dari perjalanan baru. Bagaimana menurutmu? Pernahkah kamu menghadapi dilema seperti ini? Share pendapatmu di kolom komentar!

Leave a Reply