Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih punya temen deket banget, sampe kamu nggak sadar kapan mulai ada perasaan lebih dari sekadar temen? Tapi, ya, masalahnya kamu nggak pernah ngomongin itu, karena takut semuanya jadi awkward.
Nah, cerita ini tentang itu—cinta yang nggak pernah diungkapin, tapi selalu ada, dan akhirnya jadi beban yang malah bikin bingung. Yuk, lanjutin baca, dan rasain gimana rasanya ada di posisi yang sama! Let’s go!!
Cinta yang Tak Terucap
Di Balik Tawa Sahabat
Pagi itu, aku duduk di kafe kecil yang sudah jadi tempat biasa kami. Tempat ini sepertinya punya cerita untuk setiap sudutnya. Setiap meja, setiap kursi, selalu mengingatkan aku pada beragam kenangan. Dan di salah satu meja itu, duduk seorang gadis dengan rambut cokelat panjangnya yang selalu tergerai rapi, matanya yang berbinar, dan senyum manis yang selalu mampu membuat siapa saja merasa nyaman—termasuk aku. Namanya Yumna.
Dia sedang sibuk dengan ponselnya, tertawa lepas membaca pesan dari seseorang. Mungkin dari teman-temannya, atau mungkin dari pacarnya—tapi aku berharap bukan. Aku berusaha menahan perasaan itu, perasaan yang semakin sulit aku bendung setiap kali aku melihatnya tersenyum seperti itu. Rasanya seperti ada yang mengganjal, tapi aku terus menyembunyikan semuanya di balik tawa kami, obrolan-obrolan ringan, dan kebersamaan yang seolah tak pernah berujung.
Aku mengangkat cangkir kopi yang sudah mulai dingin, menatap Yumna yang asyik berbicara dengan seorang temannya di aplikasi pesan, lalu menyandarkan punggungku pada kursi. Mungkin, hari ini aku bisa sedikit lebih jujur, meskipun aku tahu itu masih sulit. Cinta yang aku simpan sejak lama rasanya semakin menghimpit dada. Tapi, aku tahu—aku harus sabar. Aku sudah berjanji padanya, tak akan ada yang lebih penting dari persahabatan kami.
“Rian!” Yumna memanggilku dengan suara ceria, seolah bisa membaca pikiranku yang sudah berlarian entah ke mana.
Aku tersentak. “Iya?” jawabku, dengan sedikit gugup.
“Ayo, foto kita! Kayaknya nggak lengkap kalau nggak ada foto kita berdua, deh,” katanya sambil mengangkat ponselnya.
Aku tersenyum kecut. “Apa kamu nggak bosan, Yumn, foto-foto terus?”
Dia tertawa. “Nggak, kok! Foto-foto itu penting. Biar kita punya kenangan. Kamu tahu kan, kalau nanti kita udah gede, kita bisa lihat lagi foto-foto ini. Biar kita tahu dulu kita sempat muda, gitu.”
Aku tertawa kecil. “Oke deh, kalau kamu yang bilang.”
Dia menempelkan ponselnya di depan kami, sedikit menjauhkan jaraknya agar kami terlihat lebih kompak dalam foto. Aku sedikit tertawa canggung, tapi senyuman Yumna sudah cukup menghangatkan hati. Tak lama setelah foto diambil, dia meletakkan ponselnya di meja dan menatapku dengan serius.
“Kamu kenapa sih, Rian? Kok kelihatan jauh gitu?” Tanya Yumna sambil menatap mataku. Ada sesuatu dalam tatapannya yang mengingatkan aku bahwa dia tahu ada yang berbeda hari ini.
Aku menggeleng cepat. “Nggak apa-apa, cuma sedikit capek aja,” jawabku, berusaha seolah-olah tidak ada yang salah.
Dia tetap menatapku tanpa berbicara, seolah menunggu aku untuk membuka mulut, tetapi aku hanya bisa tertunduk. Aku bisa merasakan tatapannya yang tajam, seolah menelusuri kedalamanku, ingin mengetahui apa yang sebenarnya ada di pikiranku.
Tapi aku tidak bisa. Aku tidak bisa memberitahunya apa yang sebenarnya ada di hati ini. Apa yang sudah bertahun-tahun aku pendam. Cinta yang tidak pernah aku katakan, yang selalu aku sembunyikan. Aku tidak berani. Takut semuanya rusak. Takut kehilangan dia.
“Rian…” Suaranya terdengar lembut, penuh kekhawatiran, tapi tidak ada yang bisa aku katakan.
Aku mengambil napas dalam-dalam dan menatapnya. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu, tapi aku tahu itu akan merusak semuanya. Kami sudah terlalu lama berada dalam dunia kami yang penuh tawa dan kebersamaan, dan aku tidak ingin itu berubah.
“Gimana kabar sekolah?” tanyaku, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Yumna tersenyum, seolah senang aku mengubah topik pembicaraan. “Baik kok, cuma capek aja, banyak tugas. Tapi nggak masalah, yang penting kita bisa hangout gini, kan?”
Aku tersenyum, meski sebenarnya ada beban di dadaku. “Iya, betul banget. Kita kan butuh waktu santai, biar nggak stress.”
Kami berdua tertawa bersama. Tapi, dalam tawa itu, ada sesuatu yang hilang. Sebuah kekosongan yang aku tak tahu bagaimana cara mengisinya. Cinta yang aku sembunyikan semakin menyesakkan, dan aku tahu, semakin lama aku membiarkan semuanya terpendam, semakin sulit rasanya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara menghadapinya. Aku tidak tahu harus bagaimana.
Dia mengangguk, menyesap minumannya sambil melanjutkan cerita tentang teman-temannya yang sedang sibuk mempersiapkan acara sekolah. Aku hanya mendengarkan, mencoba terlihat biasa saja, meskipun hatiku berteriak untuk mengatakan apa yang sebenarnya aku rasakan. Tapi aku takut, takut semuanya akan berubah. Aku tidak ingin kehilangan persahabatan ini.
“Kamu pasti udah punya pacar, ya, Rian?” tanya Yumna tiba-tiba.
Aku terkejut. “Eh, pacar? Hahaha, nggak kok. Belum ada yang pas aja.”
“Ah, nggak mungkin. Kamu kan baik banget, pasti banyak yang suka.” Yumna tertawa, tapi kali ini ada sedikit keheranan di matanya.
Aku terdiam. Banyak yang suka? Aku ingin sekali berkata, “Iya, banyak yang suka, tapi aku cuma menunggu satu orang.” Tapi aku tidak bisa. Aku tidak berani. Bahkan untuk mengucapkan kata-kata itu, seakan ada sesuatu yang menahan tubuhku.
“Ya gitu deh, kadang juga nggak tahu, kenapa belum ada yang cocok,” jawabku sambil mengalihkan pandangan.
Yumna mengangguk, dan ekspresinya berubah sedikit serius. “Mungkin kamu cuma belum ketemu orang yang tepat, Rian. Jangan khawatir, pasti ada.”
Aku hanya tersenyum kecut. “Iya, mungkin.”
Senyumannya begitu tulus, membuat aku semakin bingung. Kenapa aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya? Mengapa aku harus selalu bersembunyi di balik tawa dan kebersamaan ini?
Dan di situlah aku merasa, setiap detik yang berlalu semakin membuatku bingung. Aku ingin sekali mengungkapkan semuanya, tetapi aku tahu, mungkin ini adalah pilihan terbaik—meski sakit. Kita berdua terperangkap dalam zona yang sama: persahabatan yang sudah terlalu kuat untuk diubah, tapi terlalu rapuh untuk disinggung dengan cinta.
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri, meski di dalam hatiku ada kegelisahan yang semakin mendalam.
Aku hanya bisa berharap, mungkin suatu saat nanti, ada kata-kata yang akan datang, yang akhirnya bisa mengubah semuanya.
Kata-kata yang Terlupakan
Malam itu aku pulang agak terlambat, setelah menghabiskan waktu yang lama di perpustakaan. Di luar, udara mulai mendingin, dan lampu jalan mulai menyala satu per satu, memberi sentuhan keemasan pada trotoar yang basah oleh gerimis ringan. Aku berjalan cepat, berusaha menghindari hujan yang tampaknya semakin deras. Namun, pikiranku tidak bisa secepat langkah kakiku.
Tadi sore, perasaan yang aku sembunyikan begitu lama kembali muncul dengan kuatnya. Seperti mendengar gemericik air hujan yang tak pernah aku harapkan, tapi harus kuhadapi. Yumna, dengan senyumnya, kata-katanya, semuanya seolah menyesakkan dada. Aku bertanya-tanya, apakah dia benar-benar tidak tahu apa yang kurasakan, atau justru dia pura-pura tidak peduli? Aku berharap bukan yang kedua, karena itu akan membuat semuanya semakin rumit.
Aku memutuskan untuk menelponnya. Sekadar memastikan semuanya baik-baik saja. Entah kenapa, malam ini aku merasa sepi meski masih ada ribuan orang di luar sana. Tidak ada teman yang bisa menemaniku untuk sekadar berbicara tentang apa yang ada di dalam kepala.
Tiga detik setelah aku menekan tombol telepon, suara Yumna terdengar di ujung sana, terdengar sedikit terkejut.
“Rian? Ada apa?” suaranya lembut, khas. Tapi kali ini, ada sedikit keraguan di sana. Aku tahu, dia tahu aku tidak akan menelpon hanya untuk basa-basi.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Aku cuma pengen nanya, kamu lagi sibuk nggak?” tanyaku, berusaha terdengar santai.
“Enggak sih, cuma lagi di rumah aja. Kenapa?” jawabnya, terdengar lebih santai. Aku bisa membayangkan Yumna yang sedang duduk di ruang tamunya, mengenakan piyama biru langit yang sudah sering ia pakai.
Aku berhenti di depan pintu apartemenku, meraba kunci yang terasa dingin di tangan. “Cuma… pengen ngobrol aja,” kataku, suara sedikit ragu, tapi seolah tidak ada yang berubah. Aku berharap, dia akan memahami maksudku. Tapi, entah kenapa, kali ini sepertinya ada perasaan yang berbeda. Ada ketegangan yang tidak bisa aku singkirkan.
“Yumna, tadi sore kamu bilang sesuatu yang aneh,” aku memulai dengan perlahan. “Tentang aku yang belum ketemu orang yang tepat.”
Di ujung sana, terdengar hening sejenak. Aku bisa membayangkan Yumna yang sedang menatap ponselnya, mengernyitkan dahi. Mungkin dia sedang mencoba memikirkan apa yang aku maksud.
“Kenapa? Apa maksud kamu?” jawabnya pelan, suara penuh tanda tanya.
Aku tidak tahu kenapa, tapi kali ini aku merasa seperti ada dorongan kuat yang menggerakkan mulutku. Mungkin aku sudah lelah berpura-pura, atau mungkin malam ini, perasaan itu sudah terlalu kuat untuk ditahan.
“Apa kamu… pernah berpikir kalau aku, ya, aku tuh—” Aku berhenti sejenak, membenahi kata-kataku. “Mungkin aku sudah ketemu orang yang tepat.”
Ada hening lagi. Kali ini lebih lama. Aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang rasanya berdentam lebih cepat, seolah menunggu jawaban yang tak kunjung datang.
Yumna akhirnya berbicara, dengan suara yang lebih rendah. “Rian… maksud kamu siapa?”
Aku menunduk, merasakan angin dingin dari luar yang menyelinap masuk ke dalam ruanganku. Kata-kata itu terasa berat, tapi aku harus mengatakannya. Aku tidak bisa terus menghindar.
“Kamu, Yumna. Aku… Aku sudah merasa seperti ini sejak lama, cuma aku nggak pernah berani ngomong. Tapi… aku suka sama kamu. Lebih dari sekadar teman.”
Aku menutup mataku sejenak, berharap kata-kata itu bisa hilang begitu saja dari udara. Sepertinya aku baru saja memutuskan untuk menghancurkan persahabatan kami, hanya dengan satu kalimat yang terucap begitu saja.
Di seberang sana, Yumna terdiam. Aku mendengar napasnya yang agak terengah, seolah kata-kataku baru saja menghantamnya. Aku tidak tahu apakah itu kaget, bingung, atau entah apa. Aku hanya mendengar keheningan yang semakin menekan.
Setelah beberapa detik yang terasa sangat panjang, akhirnya dia berkata, “Rian, kamu… kamu nggak salah paham, kan?” Suaranya masih terdengar tenang, tapi ada sedikit kegugupan di sana.
Aku menggigit bibir, merasa lebih cemas. “Aku nggak salah paham, Yumna. Aku nggak tahu harus gimana lagi kalau aku terus-terusan sembunyiin perasaan ini.”
Ada tarikan napas panjang dari Yumna di seberang sana, seolah ia mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Rian… kamu sahabatku. Aku nggak tahu harus jawab apa. Aku nggak bisa bilang iya, dan aku juga nggak bisa bilang nggak. Aku cuma butuh waktu buat pikirin semuanya.”
Aku merasa seolah dunia ini mendekatiku dengan sangat cepat. Apa yang dia katakan? Dia butuh waktu? Waktu untuk apa? Waktu untuk menjauhkan diri dariku? Atau waktu untuk berpikir apakah aku benar-benar sahabat yang bisa dia terima lebih dari itu?
“Aku ngerti,” jawabku akhirnya, dengan suara datar. Aku merasa kosong. “Aku cuma nggak mau kamu bingung. Aku nggak akan mengharapkan apa-apa. Tapi aku cuma ingin kamu tahu, Yumna. Aku nggak bisa terus-terusan pura-pura.”
Dia diam lagi. Kali ini aku merasa sedikit lega, meskipun hatiku masih dihantui banyak pertanyaan. Apakah dia akan berubah sikap padaku setelah ini? Apakah persahabatan kami akan kembali seperti dulu?
“Rian,” akhirnya suara Yumna terdengar lagi. “Kita jangan terlalu buru-buru. Aku butuh waktu.”
Aku mengangguk meski dia tidak bisa melihatnya. “Aku tunggu, Yumna.”
Setelah itu, kami mengakhiri percakapan, masing-masing tenggelam dalam pemikiran kami sendiri. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi satu hal yang pasti—persahabatan kami, yang sudah terjalin begitu lama, akan berubah. Dan entah itu menuju ke arah yang lebih baik atau malah lebih buruk, aku tidak tahu. Aku hanya berharap bahwa waktu yang dia butuhkan akan memberikan jawabannya, dan jika ada harapan, biarkan itu datang dengan cara yang benar.
Aku memandang ke luar jendela, melihat hujan yang semakin lebat. Seolah-olah dunia juga tahu, malam ini ada banyak kata yang tak terucap.
Ketika Waktu Menuntut Jawaban
Hari-hari setelah percakapan malam itu terasa berjalan lebih lambat dari biasanya. Mungkin karena aku terus-menerus memikirkan apa yang Yumna katakan—”Aku butuh waktu.” Kata-kata itu, meski terdengar ringan, tapi entah kenapa terus menghantui. Aku mencoba bersikap biasa saja, seolah tidak ada yang berubah, tapi rasanya seperti ada ruang kosong yang dulu tak pernah ada di antara kami.
Aku tidak tahu apa yang harus kuperbuat. Sebelumnya, hubungan kami selalu sederhana. Kami tertawa bersama, berbicara tentang segala hal, bahkan hal-hal yang paling bodoh sekalipun. Kami sahabat, dan itu sudah cukup bagi kami. Tapi setelah malam itu, aku tidak bisa lagi merasa biasa-biasa saja. Perasaan yang selama ini kupendam mulai menguasai diriku. Dan aku takut, takut kalau Yumna akan menjauh, atau lebih buruk, kalau dia hanya melihatku sebagai teman biasa yang tidak lebih dari itu.
Aku bertemu dengannya lagi beberapa hari kemudian, di kafe yang sudah jadi tempat favorit kami berdua. Waktu itu aku datang lebih awal, duduk di sudut dekat jendela, menatap hujan yang turun dengan derasnya. Aku tahu, hujan sering kali menjadi pemicu pikiran-pikiran tak terduga. Namun kali ini, hujan tak membawa ketenangan.
Setengah jam kemudian, Yumna datang. Rambutnya yang biasanya rapi sedikit berantakan, seolah dia terburu-buru, dan matanya, yang selalu cerah, terlihat sedikit muram. Tapi meskipun begitu, dia tetap memancarkan senyuman khasnya begitu dia melihatku.
“Apa kabar?” tanya Yumna begitu dia duduk di seberangku, meletakkan tasnya dengan pelan. Aku bisa melihat matanya yang mengamati ekspresiku, mungkin mencoba mencari tahu apakah ada yang berbeda.
“Aku baik,” jawabku singkat, meskipun aku tahu, jawabanku itu tidak sepenuhnya benar. “Kamu?”
Dia mengangguk, tapi aku bisa melihat ada keraguan dalam tatapannya. “Jujur, aku masih mikirin percakapan kita kemarin.” Suaranya terdengar lembut, hati-hati, seolah dia takut kata-katanya akan membuat situasi ini semakin canggung.
Aku menarik napas panjang, menatapnya langsung. “Aku ngerti kalau kamu butuh waktu, Yumna. Aku nggak akan buru-buru atau maksa kamu buat ngasih jawaban. Aku cuma pengen kamu tahu kalau… aku serius.” Aku berhenti sejenak, mencoba menata kata-kataku dengan lebih hati-hati. “Aku nggak nyangka bakal ngomong ini, tapi aku nggak bisa terus-terusan pura-pura. Aku suka sama kamu, lebih dari sekadar teman.”
Yumna terdiam, tangannya bergerak mengacak rambutnya yang agak basah terkena hujan. Aku bisa melihat ketegangan yang terbangun di antara kami berdua. Kami sama-sama tahu bahwa ini adalah titik balik yang tidak bisa dihindari, dan mungkin juga titik yang akan mengubah segalanya.
“Rian…” Yumna memulai dengan suara yang serak, seperti ada beban yang ditahannya. “Aku… aku nggak tahu harus bilang apa. Aku butuh waktu lebih lama untuk ngerti perasaan aku sendiri. Semua ini bikin aku bingung. Aku nggak ingin kehilangan kamu sebagai teman, tapi aku juga nggak bisa cuma bilang ‘iya’ tanpa mikirin perasaan aku lebih dalam lagi.”
Aku mengangguk, meskipun hatiku sedikit teriris mendengar itu. “Aku nggak nyuruh kamu buat buru-buru, Yumna. Aku ngerti kok. Aku cuma nggak mau nunggu lebih lama lagi buat nunggu kamu mikirin hal ini. Aku cemas kalo makin lama aku simpen, makin susah buat aku jaga perasaan ini.”
Yumna diam, matanya tertunduk. Aku bisa melihat betapa sulitnya baginya untuk memilih kata-kata yang tepat. Aku ingin sekali memeluknya, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi aku tahu, itu bukan yang dia butuhkan sekarang.
“Aku nggak mau jadi orang yang salah, Rian,” Yumna akhirnya berkata, suaranya hampir berbisik. “Aku takut kalau aku bikin kamu makin sakit hati kalau aku nggak bisa jawab seperti yang kamu harapkan.”
“Aku nggak akan nyakitin diri sendiri kalau kamu nggak bisa kasih jawaban sekarang,” jawabku jujur. “Aku cuma pengen kamu bahagia, Yumna. Kalau kamu nggak ngerasain hal yang sama, aku bisa ngerti kok. Aku cuma nggak mau kehilangan kamu. Aku ingin kita tetep jadi teman, walaupun mungkin itu berarti aku harus menahan perasaan ini.”
Aku bisa melihat ekspresinya berubah, sedikit lega meski masih penuh ketegangan. “Rian, kamu tuh baik banget. Aku tahu itu, dan aku nggak mau nyakitin perasaan kamu. Tapi kadang… aku nggak bisa paksain perasaan aku kalau aku nggak tahu pasti apa yang aku rasain.”
Ada keheningan yang lebih panjang. Aku menatapnya, mencoba mencari jawaban di matanya yang kini sedikit lebih cerah meskipun masih terlihat ragu.
“Aku ngerti, Yumna.” Aku meneguk kopi yang sudah mulai dingin. “Aku harap kita bisa tetap seperti ini, nggak peduli apapun yang terjadi.”
Yumna mengangguk pelan. “Aku juga pengen itu, Rian. Aku cuma butuh waktu.”
Aku tersenyum tipis, meski hati ini masih terasa berat. “Oke, kita tunggu waktunya.”
Namun, di dalam hati, aku tahu satu hal—waktu yang dia butuhkan mungkin bukan hanya untuk memahami perasaannya, tapi juga untuk memutuskan apakah dia ingin aku tetap ada di hidupnya lebih dari sekadar teman. Aku tidak tahu berapa lama aku bisa menunggu, tapi yang pasti, aku tidak ingin kehilangan harapan begitu saja.
Hujan masih turun, dan kami duduk di sana, berdua, dengan kata-kata yang belum selesai terucap. Waktu bergerak, tapi tak ada yang tahu kapan semuanya akan benar-benar terungkap.
Ketika Kata-kata Akhirnya Tersampaikan
Seminggu berlalu sejak percakapan itu, dan rasanya seperti ada semacam kebekuan di udara setiap kali aku bertemu dengan Yumna. Kami masih saling menyapa, tertawa, dan berbicara, tapi ada jarak yang tak pernah ada sebelumnya. Kami berdua tahu itu—meskipun tak pernah diungkapkan dengan kata-kata.
Aku merasa seperti ada dua dunia yang terpisah dalam hidup kami. Satu dunia yang penuh dengan kenangan indah, penuh dengan tawa dan candaan, dunia yang penuh dengan keakraban sebagai teman sejati. Namun, ada dunia lain yang mulai tumbuh perlahan-lahan, penuh dengan perasaan yang tak terucap, penuh dengan ketegangan dan harapan yang tak pasti.
Hari ini, di kafe yang sama, aku menunggunya lagi. Aku sudah datang lebih awal, duduk di tempat yang biasa, dengan secangkir kopi yang sudah setengah habis. Hujan tidak turun, langit hanya tampak mendung. Aku memikirkan semua yang sudah terjadi, dan aku tahu, kali ini aku harus mendengarkan jawabannya. Baik atau buruk, aku sudah siap.
Yumna datang seperti biasa, dengan langkah yang sedikit lebih cepat dari biasanya. Dia membawa tas punggungnya yang penuh dengan buku, dan aku bisa melihat ekspresi yang lebih serius di wajahnya. Ketika dia duduk di seberangku, dia langsung menatapku dengan mata yang agak berbeda—ada ketegasan yang tidak biasa.
“Aku sudah mikirin ini, Rian,” katanya langsung, tanpa basa-basi. Suaranya tenang, tapi ada beban yang jelas terasa. “Aku nggak bisa terus-terusan ragu. Aku nggak mau berlarut-larut dalam ketidakpastian, apalagi kalau itu bisa bikin kita semakin jauh.”
Aku mengangguk, mataku bertemu dengan matanya, dan aku bisa merasakan jantungku mulai berdebar lebih cepat. Apapun yang akan dia katakan, aku harus siap.
“Jadi, apa jawabannya?” Aku berusaha mengendalikan nada suaraku, mencoba terdengar lebih tenang daripada yang sebenarnya kurasakan.
Yumna terdiam sejenak, matanya menatap meja, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak bisa janji bakal gampang, Rian. Cinta itu bukan sesuatu yang bisa langsung datang begitu aja, tapi… aku rasa, aku nggak bisa terus menahan perasaan ini.”
Dia menghela napas panjang, seolah beban yang ada di pundaknya sudah terlalu berat untuk ditanggung sendirian. “Aku suka kamu, Rian. Lebih dari sekadar teman. Aku sudah lama ngerasain ini, tapi aku nggak berani ngomong karena takut kehilangan kamu. Aku nggak mau hubungan kita jadi canggung atau malah hancur. Aku takut kalau perasaan ini nggak akan cukup buat mengubah apa yang ada di antara kita.”
Hatiku berdebar. Aku merasa seperti ada bagian dari diriku yang tertahan begitu lama, akhirnya bisa lepas dan mengalir dengan bebas. Aku menatap Yumna, merasa semua ketegangan itu perlahan-lahan memudar.
“Jadi, kamu… kamu serius?” aku bertanya, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Yumna mengangguk pelan, senyum kecil menghiasi bibirnya. “Iya. Aku serius. Aku nggak bisa terus menunggu waktu yang tepat, karena kadang waktu nggak bisa memberi jawaban yang pasti. Kadang kita harus memilih untuk melangkah, bahkan kalau itu berarti berani mengambil risiko.”
Aku tersenyum lega, meskipun ada sedikit kebingungan di dalam diriku. “Aku juga ngerasa hal yang sama, Yumna. Aku cuma takut kamu nggak bakal ngerasain itu.”
Kami duduk diam sejenak, saling menatap dengan senyum yang tak bisa lagi disembunyikan. Aku tahu, ini bukan akhir dari cerita kami, tapi justru awal dari sebuah perjalanan baru—perjalanan yang penuh dengan ketidakpastian, tapi juga harapan yang lebih besar.
“Jadi, kita mulai dari sini?” Yumna bertanya dengan suara lembut, mata penuh dengan harapan.
Aku mengangguk, perasaan ini sudah tidak bisa lagi ditahan. “Kita mulai dari sini. Gimana pun hasilnya, aku siap.”
Hari itu, kami tidak lagi duduk sebagai teman biasa. Tidak ada lagi jarak, tidak ada lagi ketegangan. Yang ada hanya dua hati yang akhirnya saling mengerti dan siap untuk menghadapi masa depan bersama. Tidak ada yang bisa memprediksi apa yang akan terjadi ke depan, tapi kami tahu, setidaknya kami berdua sudah memulai perjalanan yang benar.
Malam itu, hujan tidak turun. Tapi aku merasa seolah dunia ini sudah kembali terang, dan entah bagaimana, semua hal yang pernah terasa kabur, kini mulai terlihat lebih jelas. Mungkin, yang kami butuhkan hanyalah sedikit keberanian untuk mengungkapkan apa yang selama ini terpendam.
Ya, gitu deh, kadang perasaan itu memang susah diungkapin, tapi bukan berarti nggak bisa ditaklukin, kan? Kadang kita cuma perlu berani ngambil langkah pertama, meskipun takut kalau semuanya berubah.
Yang jelas, kadang cinta itu nggak butuh kata-kata, cukup waktu buat ngebuktiin. Semoga kamu bisa ngerasain apa yang aku rasain di cerita ini—dan siapa tahu, kamu juga jadi berani ngomongin perasaanmu sendiri. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, ya!