Daftar Isi
Kadang, kita cuma bisa simpan perasaan di dalam hati, tanpa bisa bilang apa-apa. Cinta yang nggak pernah terucapkan, tapi selalu ada, bikin hati jadi berat. Cerita ini tentang itu, tentang perasaan yang dipendam terlalu lama, dan tentang bagaimana kita akhirnya belajar menerima kenyataan—meskipun itu nggak mudah. Kalau kamu pernah ngerasain cinta yang nggak kesampaian, kamu bakal ngerti banget deh rasanya.
Cinta yang Tak Tersampaikan
Hujan yang Tak Pernah Henti
Sore itu, aku duduk sendirian di sudut kafe yang selalu aku kunjungi, tempat yang bisa memberikan sedikit kedamaian di tengah kesibukan kota yang tak pernah tidur. Hujan turun begitu deras, membuat suara dunia di luar semakin tak terdengar. Hanya ada suara detakan jam dinding yang terasa lebih keras, seperti mengingatkan bahwa waktu tak pernah berhenti. Kopi di cangkirku sudah dingin, tapi aku tak merasa ingin meminumnya. Semua terasa begitu hampa.
Aku memandangi tetesan air yang jatuh dari jendela, menari-nari di atas kaca. Setiap tetesnya terasa seperti perasaan yang mengendap di dalam dada. Perasaan yang aku tak bisa ungkapkan, yang aku pendam sejak lama. Hujan ini, entah kenapa, seolah mencerminkan apa yang ada dalam hatiku—terasa begitu berat, tapi tak bisa diubah. Selalu ada, tetapi tak pernah ada cara untuk mengusirnya.
Beberapa minggu terakhir, aku sering datang ke sini. Aku tahu, tempat ini tak akan memberiku solusi atau jawaban atas segala pertanyaan yang ada di dalam kepala, tetapi setidaknya, di sini aku bisa bersembunyi. Dari semua orang. Dari semua perasaan yang selalu ingin keluar.
Pintu kafe terbuka. Aku melihatnya—Selena. Hujan yang tak pernah berhenti seolah memudar begitu melihatnya. Ia masuk dengan langkah ringan, mengenakan jas hujan panjang yang membuat rambutnya yang tergerai semakin tampak indah. Seperti biasa, ia tersenyum, senyum yang selalu bisa membuat hatiku berdegup lebih cepat. Tapi aku tahu, senyum itu bukan untukku. Itu hanya senyuman yang diberikan kepada teman, bukan untuk seseorang yang memiliki perasaan lebih darinya.
“Rafael?” suara Selena memecah lamunanku. Aku menoleh, sedikit terkejut. “Aku kira kau di sini.”
Aku hanya mengangguk, mencoba tidak menunjukkan seberapa kacau perasaanku saat itu. “Iya, aku sering datang ke sini.”
Selena duduk di seberang meja, menghapus tetes hujan dari kaca mata hitamnya dengan sapu tangan. “Kafe ini memang punya suasana yang tenang,” katanya sambil menatap sekeliling. “Aku suka tempat ini.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Semua yang ingin aku katakan terasa berat di mulut, seolah-olah kata-kata itu terperangkap dalam rongga dada, tak bisa keluar. Aku memandangi Selena, wajahnya yang selalu terlihat cerah, dan merasa hatiku semakin sakit. Dia tak pernah tahu betapa aku ingin menjadi bagian dari senyum itu. Betapa aku ingin dia melihatku lebih dari sekadar teman. Tetapi, itu sudah terlambat. Dia sudah memilih jalannya.
“Bagaimana kabarmu?” Selena bertanya dengan lembut, seperti biasa. Suaranya tidak berubah, masih penuh perhatian, meskipun aku tahu itu hanya karena dia menganggapku sebagai teman baik. Tidak lebih dari itu.
Aku tersenyum tipis, berusaha menutupi rasa sakit di dalam hatiku. “Baik-baik saja. Hanya… sedikit sibuk akhir-akhir ini.”
Selena mengangguk, matanya memandang jauh ke luar jendela. “Aku juga,” katanya dengan nada agak pelan. “Ada banyak hal yang harus aku pikirkan. Dan kadang-kadang, aku merasa sedikit… sendirian.”
Aku merasa ada sesuatu yang berbeda dengan Selena. Sesuatu yang hilang dari dirinya. Meskipun dia selalu dikelilingi banyak orang, meskipun dia selalu tampak begitu bahagia, aku tahu ada bagian dari dirinya yang terasa kosong. Aku ingin sekali mengatakan sesuatu, menawarkan kata-kata yang bisa membuatnya merasa lebih baik. Tetapi, aku tahu, aku bukan siapa-siapa di matanya.
“Kadang-kadang,” lanjut Selena, menarik napas panjang. “Aku merasa seperti… aku hanya berlari mengejar sesuatu yang tidak pernah aku temukan. Seperti ada yang hilang.”
Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Dalam hati, aku ingin berkata bahwa yang hilang itu adalah aku, tetapi kata-kata itu terjebak di dalam tenggorokanku. Aku hanya menatapnya, menelan ludah, dan berharap dia bisa melihat betapa aku ingin menyelamatkannya dari perasaan kosong yang dia rasakan.
“Terkadang kita tidak bisa menemukan apa yang kita cari,” aku berkata pelan, dengan suara yang agak serak. “Mungkin, kita harus berhenti mencari dan membiarkan semuanya terjadi dengan sendirinya.”
Selena menatapku dengan mata yang penuh pertanyaan, seolah-olah sedang mencoba mencari makna dari kata-kataku. “Kau benar, Rafael,” katanya akhirnya, suaranya terdengar lebih lembut. “Mungkin aku terlalu terburu-buru untuk menemukan sesuatu yang tidak aku mengerti.”
Aku ingin menambahkan sesuatu lagi, tetapi hatiku terasa seperti terkunci. Apa yang bisa aku katakan untuk membuatnya mengerti? Apa yang bisa aku katakan untuk membuatnya tahu bahwa perasaan yang tumbuh dalam diriku sudah sangat dalam, sudah terlalu terlambat untuk diungkapkan?
Sekali lagi, kami terdiam. Hanya suara hujan yang terdengar di luar, menambah kesunyian di antara kami. Aku menatap Selena, wajahnya yang begitu akrab, tapi pada saat yang sama terasa begitu jauh. Ada banyak hal yang ingin aku sampaikan, banyak kata-kata yang ingin aku ucapkan, tapi semuanya terhenti di ujung lidah. Aku sadar diri. Cinta ini tak akan pernah sampai pada tempat yang seharusnya. Aku hanya bisa duduk di sini, melihatnya, mendengarnya, dan menyimpan semuanya dalam diam.
Selena bangkit dari kursinya. “Aku harus pergi sekarang,” katanya, tersenyum seperti biasa. “Tapi… terima kasih sudah mendengarkan.”
Aku hanya mengangguk, menahan segala perasaan yang ingin keluar. “Selena,” aku memanggilnya, tetapi suaraku terdengar begitu kecil. “Jaga dirimu.”
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang sulit kutafsirkan. “Kamu juga, Rafael. Jangan terlalu banyak menyendiri.”
Dan dengan itu, dia pergi. Aku kembali duduk di tempatku, dengan perasaan yang sama—terperangkap, tak bisa melangkah, terjebak dalam cinta yang tak pernah bisa aku ungkapkan. Hujan masih turun, dan aku tetap di sini, menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.
Aku berharap ada cara untuk mengubah semuanya. Tetapi kenyataan, seperti hujan, terus jatuh tanpa bisa diubah.
Bayang-bayang Cinta yang Hilang
Hari-hari berlalu dengan cepat. Waktu seolah terus bergerak tanpa peduli perasaan yang terperangkap di dalam hati. Setiap kali aku melangkah keluar dari rumah, ada perasaan yang tidak bisa kutepis—perasaan kosong yang datang setelah setiap pertemuan dengan Selena. Dia masih sering muncul di pikiran, seperti bayang-bayang yang tak pernah pergi. Aku tak pernah bisa melupakan senyumannya, apalagi suara lembutnya yang seolah menyapa dalam setiap keheningan.
Tapi sekarang, aku tahu. Cinta itu tak pernah bisa disampaikan, dan aku tidak akan pernah menjadi lebih dari seorang teman di matanya. Setiap kali aku berusaha mengabaikan perasaan ini, bayangannya justru semakin jelas, semakin nyata.
Aku berjalan keluar menuju taman, tempat yang dulu sering kami kunjungi bersama. Pagi itu cerah, namun hatiku tetap mendung. Aku duduk di bangku taman yang sudah usang, melipat tangan dan menatap jalan setapak yang membentang di depanku. Entah kenapa, semuanya terasa lebih sepi tanpa kehadirannya. Setiap suara burung yang berkicau seolah menjadi pengingat tentang segala yang hilang.
Ponselku bergetar, memecah keheningan yang sudah lama mencekam. Pesan dari Selena. Aku menatap layar dengan perasaan campur aduk. Mungkin ini bukan pesan penting, hanya sekadar basa-basi seperti biasa. Tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dari pesan kali ini.
“Rafael, bisa bicara sebentar? Aku butuh teman.”
Kata-kata itu langsung menusuk jantungku. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak segera membalasnya.
“Tentu, aku di taman. Mau ketemu di sini?”
Pesan terkirim, dan seketika itu juga, aku merasakan kegelisahan yang datang begitu mendalam. Ada sesuatu yang berbeda dengan Selena, aku bisa merasakannya. Suatu perasaan yang lebih gelap, lebih berat, yang membuat aku tidak bisa berpaling. Tidak bisa hanya duduk diam dan berpura-pura semuanya baik-baik saja.
Tak lama, langkah kaki terdengar. Selena muncul dari balik pepohonan, mengenakan jaket tebal dan wajah yang lebih serius dari biasanya. Matanya terlihat lebih lelah, seolah dia membawa beban yang sangat berat. Aku berdiri menyambutnya, mencoba mengatur napasku.
“Rafael,” katanya, suaranya lebih rendah dari biasanya, “terima kasih sudah datang.”
Aku hanya mengangguk, merasakan kecemasan yang menyelimuti udara di sekitar kami. “Ada apa, Selena? Kau terlihat berbeda,” kataku, mencoba membaca wajahnya.
Selena duduk di sampingku, menatap tanah. “Aku… aku merasa terjebak,” katanya pelan. “Seperti semua yang aku lakukan, semua yang aku kejar, tidak pernah cukup. Aku merasa semakin jauh dari diriku sendiri.”
Aku memandangnya, merasa hatiku terbelah. Dia selalu tampak begitu kuat, begitu sempurna di mata banyak orang. Tapi sekarang, aku melihat kerentanannya yang belum pernah aku lihat sebelumnya. Rasanya aku ingin mengangkat beban itu dari pundaknya, tapi aku tahu aku tak punya hak untuk itu.
“Apa yang sebenarnya terjadi, Selena?” tanyaku, berusaha menahan perasaan yang meluap-luap. “Kau tidak terlihat seperti biasanya. Apa yang sedang mengganggumu?”
Dia menarik napas panjang. “Aku merasa seperti hidup dalam bayang-bayang. Bayang-bayang semua ekspektasi orang lain, bayang-bayang keinginan yang tidak pernah aku penuhi.” Selena menoleh ke arahku, matanya berkaca-kaca. “Aku selalu berpura-pura baik-baik saja, selalu tersenyum, selalu menjadi orang yang mereka harapkan. Tapi sebenarnya, aku… aku hanya ingin lari.”
Aku terdiam, kata-kata itu mengguncang dunia kecil yang kubangun di dalam hatiku. Aku ingin memeluknya, memberikan rasa aman, tapi aku tahu itu bukan tempatku. Bahkan ketika aku merasa begitu ingin melakukannya, aku harus sadar diri. Selena bukan milikku. Dia mungkin sedang mencari pelarian, tetapi aku bukan jawabannya.
“Selena, aku—” Aku memulai kalimat, tetapi terhenti, karena kata-kata itu terasa begitu salah untuk diucapkan. “Aku… aku hanya bisa mendengarkanmu. Tidak lebih dari itu.”
Dia tersenyum lemah. “Aku tahu. Itu sudah cukup, Rafael. Aku tidak mengharapkan lebih.” Ada kesedihan dalam suaranya, tetapi juga ada rasa syukur yang seolah mengalir begitu saja. “Terkadang, kita hanya butuh seseorang yang bisa mendengarkan tanpa menghakimi, kan?”
Aku mengangguk pelan. Aku merasa bodoh, merasa seperti orang yang terjebak dalam perasaan yang tak akan pernah dijawab. Aku duduk di sampingnya, merasakan kehadirannya yang begitu dekat, tetapi terasa begitu jauh. Hujan tak turun hari ini, tetapi ada semacam badai dalam diriku yang tak bisa aku lawan.
“Tapi aku… aku takut,” Selena melanjutkan, suara cemasnya mengguncang aku lebih dalam. “Aku takut kalau aku terus hidup seperti ini. Aku takut kalau aku terus berlari tanpa tahu ke mana.”
Aku ingin berkata bahwa aku bisa menjadi jawabannya, bahwa aku bisa memberikan semua yang dia butuhkan, tetapi aku tahu itu tidak akan pernah cukup. Aku bukan orang yang bisa menyelamatkannya. Tidak dengan cinta yang terpendam, tidak dengan perasaan yang hanya bisa ku simpan dalam diam.
“Kamu tidak sendirian,” kataku pelan, lebih kepada diriku sendiri. “Meskipun semuanya terasa sulit, kamu tidak sendirian.”
Selena menatapku dengan tatapan yang penuh pertanyaan, seolah mencoba menemukan makna dari kata-kataku. Tetapi, aku tidak bisa menjelaskan lebih dari itu. Aku sadar, aku hanya bisa berada di sini, di sampingnya, tanpa bisa memberikan apa yang sebenarnya dia butuhkan.
Hari itu berakhir dengan keheningan. Selena akhirnya pamit, berjalan kembali dengan langkah yang lebih ringan, meskipun aku tahu dia masih membawa beban yang sama. Aku tetap di taman itu, termenung, merasakan setiap detik berlalu dengan lambat, seolah waktu ingin mengingatkan bahwa tidak ada yang bisa dilakukan.
Aku tetap sendirian. Cinta ini tetap tak tersampaikan, dan aku tahu itu akan selalu seperti itu—terpendam, tak pernah bisa mencapai tempat yang seharusnya.
Di Antara Kenangan yang Tak Terucapkan
Pagi datang dengan sinar matahari yang hampir sama dengan hari-hari sebelumnya. Namun bagi aku, hari itu terasa berbeda. Seperti ada yang berubah dalam udara, seperti ada yang hilang—sesuatu yang aku coba abaikan, tapi terus menghantui. Selena sudah pergi, tapi aku merasa perasaan yang aku simpan dalam diam malah semakin kuat. Entah bagaimana, aku merasa lebih dekat dengan kenyataan bahwa perasaanku kepadanya takkan pernah terbalas.
Aku bangun lebih pagi dari biasanya, memutuskan untuk berjalan tanpa tujuan. Kaki-ku melangkah otomatis menuju tempat yang sering ku kunjungi saat hati sedang tak menentu—sebuah kafe kecil di ujung jalan. Dulu, Selena dan aku sering duduk di sana, berbicara tentang hal-hal sederhana yang kadang terasa lebih penting daripada segalanya. Tapi kini, aku hanya merasa sepi di dalamnya. Mungkin aku tak bisa lagi datang ke sini dengan harapan apapun.
Saat aku duduk di meja dekat jendela, pemandangan kota yang sibuk di luar sana hanya menambah rasa kosong di hatiku. Semua orang berjalan dengan cepat, sibuk dengan dunia mereka sendiri. Tak ada yang tahu, tak ada yang peduli tentang siapa yang merasa terjebak dalam perasaan yang tak bisa terungkapkan.
Ponselku bergetar lagi. Aku menatap layar, melihat nama yang sama seperti kemarin—Selena. Sebuah pesan masuk.
“Rafael, maaf kalau aku membuatmu bingung kemarin. Aku hanya perlu waktu untuk berpikir.”
Aku menelan ludah, tanganku sedikit gemetar saat mengetik balasan. “Tidak apa-apa. Aku mengerti. Aku di sini jika kamu butuh bicara lagi.”
Aku menatap pesan itu untuk beberapa detik lebih lama dari yang seharusnya. Tidak ada yang istimewa dengan pesan itu. Hanya kata-kata biasa, penuh ketidakpastian, namun mengandung pengakuan bahwa sesuatu tengah berubah. Aku tahu, dia tak ingin berlarut-larut dalam ketidakjelasan ini. Tapi aku juga tahu, meskipun aku mencoba untuk memahami, hatiku tetap terasa perih setiap kali aku mengingat apa yang sebenarnya terjadi di antara kami.
Kafe itu kembali sunyi. Hanya ada suara mesin kopi yang berdengung, dan obrolan ringan dari meja sebelah. Aku hanya bisa memandang keluar, menunggu sesuatu yang tak akan pernah datang.
Beberapa menit kemudian, kaki-kaki kecil terdengar mendekat. Aku menoleh, dan tanpa sengaja mataku bertemu dengan mata seorang gadis yang duduk di meja depan. Aku tersenyum tipis, namun ada sesuatu dalam tatapannya yang membuatku terhenyak. Dia memandangku seolah mengenaliku, atau lebih tepatnya, seperti dia tahu ada sesuatu yang aku sembunyikan.
“Hei, kamu Rafael, kan?” katanya, suaranya ringan namun penuh rasa ingin tahu. “Dulu aku lihat kamu sering bareng Selena. Sekarang kok nggak pernah lihat lagi?”
Aku terkejut mendengar namanya disebutkan. Namun aku mencoba tidak menunjukkan ekspresi terkejut itu. “Oh, ya. Kami sudah agak jarang ketemu.” Aku berusaha terdengar biasa, tapi kata-kata itu seperti pisau yang menghujam, mengingatkan tentang ketidakberdayaanku.
Gadis itu tersenyum. “Aku Tara,” katanya. “Aku teman sekelas Selena waktu SMA. Kalau kamu nggak sibuk, boleh ngobrol sebentar?”
Aku sedikit terkejut, tapi akhirnya mengangguk. “Tentu, ada apa?”
Tara duduk di hadapanku dengan tenang. Ada sesuatu yang berbeda darinya—mungkin karena dia bukan bagian dari dunia yang pernah aku kenal bersama Selena, atau mungkin karena dia mengingatkan aku pada waktu yang lebih sederhana. Selena dan Tara memang berbeda, namun ada sesuatu dalam cara mereka berbicara, yang membuat aku merasa seperti aku sedang menghadapi kenyataan yang lebih berat.
“Jadi, kamu masih sering bertemu Selena, ya?” Tara bertanya lagi dengan nada lebih serius. “Kamu tahu kan, dia itu sangat tertutup belakangan ini. Aku khawatir tentang dia.”
Aku mengangguk perlahan. “Ya, aku tahu. Dia memang tidak seperti biasanya akhir-akhir ini. Aku mencoba untuk ada buat dia, tapi… terkadang aku merasa seperti aku bukan orang yang bisa membantunya.”
Tara menatapku dengan mata yang penuh pemahaman. “Aku rasa, dia hanya butuh waktu untuk menemukan jalannya sendiri. Kamu tahu, kadang kita nggak bisa terlalu mengandalkan orang lain untuk menyelesaikan masalah kita.”
Aku menunduk, mencoba mencerna apa yang Tara katakan. Aku sadar, mungkin aku terlalu fokus pada perasaanku sendiri. Aku merasa aku harus menjadi seseorang yang bisa memberi Selena solusi, padahal yang dia butuhkan mungkin justru kebebasan—untuk menemukan dirinya sendiri tanpa bergantung pada siapapun.
Tara melanjutkan, “Tapi, mungkin kamu juga harus memikirkan dirimu sendiri. Aku tahu, ini terdengar egois, tapi aku rasa, terkadang kita terlalu terjebak dalam apa yang orang lain butuhkan, sampai kita lupa dengan apa yang kita inginkan.”
Aku merasa seperti disadarkan dari lamunan panjang yang tak pernah berhenti. Aku memang terlalu larut dalam bayang-bayang perasaan itu—perasaan yang seharusnya sudah kutinggalkan sejak lama.
Aku memandangi secangkir kopi yang semakin dingin di meja, seolah mencari jawaban dari cangkir itu. “Aku hanya merasa… aku sudah terlalu terlambat. Semua yang aku rasakan sudah terlalu lama dipendam. Mungkin itu salahku.”
Tara menggelengkan kepalanya. “Bukan itu masalahnya, Rafael. Terkadang, kita memang tidak bisa mengontrol kapan waktu yang tepat untuk menyampaikan perasaan kita. Tapi yang terpenting, adalah kamu tetap ada untuknya. Meskipun kadang kita tidak bisa mengungkapkan semuanya, hanya dengan menjadi bagian dari hidup orang lain, itu sudah cukup berarti.”
Aku terdiam, mencerna kata-kata itu. Rasanya seperti ada yang tercabut dari hati, memberikan ruang bagi hal-hal yang lebih jelas untuk masuk.
Tara tersenyum tipis. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri. Semua orang punya waktu masing-masing untuk memahami apa yang mereka inginkan. Termasuk Selena, dan juga kamu.”
Saat dia pergi, aku merasa sebuah perasaan lega yang datang perlahan, seolah beban yang ku rasa selama ini sedikit demi sedikit menghilang. Terkadang, kita memang perlu mendengar pendapat orang lain untuk mengerti bahwa cinta yang tidak tersampaikan bukanlah akhir dari segalanya. Itu hanya bagian dari perjalanan yang harus kita lewati—meskipun perasaan itu tidak akan pernah hilang, meskipun kita tak bisa mengubah apa yang sudah terjadi.
Dan mungkin, untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih bebas dari bayang-bayang cinta yang tak tersampaikan.
Akhir yang Tak Terucapkan
Hari-hari berlalu dengan lebih tenang, namun perasaan di dalam diriku tak pernah benar-benar menghilang. Aku belajar untuk menerima kenyataan, bahwa ada banyak hal dalam hidup ini yang tak bisa kita kendalikan, termasuk perasaan kita terhadap seseorang. Aku sadar, meskipun cinta yang aku rasakan tak pernah terungkapkan, itu tidak berarti bahwa semuanya berakhir begitu saja. Mungkin, inilah cara hidup memberi pelajaran tentang bagaimana merelakan, tanpa harus melupakan.
Aku kembali ke kafe yang sama. Kali ini, sepi lebih terasa. Meja yang biasa kami duduki sudah tak pernah lagi terisi oleh keduanya. Aku duduk di sudut dekat jendela, memandang keluar. Angin sore menyapu pelan, membawa aroma hujan yang mungkin sebentar lagi datang. Aku membiarkan diriku tenggelam dalam suasana yang agak melankolis ini. Seperti biasa, kafe ini mengingatkanku pada Selena, pada waktu-waktu yang sudah berlalu, pada semua obrolan ringan yang kami bagi.
Namun kali ini, aku tidak merasa sesakit dulu. Aku merasa lebih utuh, meskipun ada bagian yang tetap kosong. Aku meminum secangkir kopi, dan menunggu seseorang yang tidak akan datang.
Ponselku bergetar, menandakan sebuah pesan masuk. Aku menatap layar, dan kali ini, aku tidak kaget melihat nama Selena muncul di sana.
“Rafael, aku ingin mengucapkan terima kasih. Untuk segala perhatian yang pernah kamu beri. Aku tahu aku tidak bisa memberi jawaban yang kamu harapkan, dan mungkin aku tidak akan pernah bisa. Tapi aku merasa kita berdua perlu jalan masing-masing. Aku harap, kamu bisa mengerti.”
Aku menghela napas panjang. Tidak ada lagi kata-kata manis, tidak ada lagi harapan yang bisa ku genggam. Pesan itu adalah penutupan yang ku harapkan selama ini. Aku tersenyum tipis, merasakan sebuah kedamaian yang datang setelah begitu banyak keraguan dan penantian. Aku tahu, aku harus melangkah pergi, seperti yang dia lakukan. Dan itu bukan akhir, hanya sebuah titik yang aku harus lewati.
Aku membalas pesan itu dengan sederhana. “Aku mengerti, Selena. Terima kasih juga. Semoga kita semua menemukan jalan yang tepat.”
Aku duduk diam sejenak, memandangi secangkir kopi yang semakin dingin. Semua rasa yang pernah ada, semua kenangan yang pernah terukir, kini terasa seperti angin yang lewat begitu saja. Tak ada yang bisa dipaksa untuk tetap tinggal, termasuk perasaan itu.
Di luar sana, hujan mulai turun perlahan. Seperti hari-hari yang lalu, seperti kisah ini yang tak pernah bisa dipaksakan untuk berakhir bahagia. Tapi aku tahu, tak ada yang benar-benar hilang. Semua yang pernah ada tetap akan menjadi bagian dari diriku, walau tak terungkapkan.
Aku berdiri, meninggalkan meja itu dengan langkah yang lebih pasti daripada sebelumnya. Tidak ada lagi beban yang mengganggu, tidak ada lagi perasaan yang harus ditahan. Mungkin cinta ini tidak pernah sampai pada kata-kata yang seharusnya, tapi itu tidak mengurangi apapun. Aku tetap berterima kasih atas setiap detik yang pernah ada.
Hujan semakin deras, tapi aku merasa cukup hangat di dalam hati. Karena kadang, perasaan yang tak terucapkan justru memberi kita kebebasan yang tak terduga.
Dan aku tahu, meskipun aku tidak bisa mendapatkan cintanya, aku akhirnya bisa belajar untuk mencintai diriku sendiri.
Ya, kadang cinta memang nggak harus selalu diungkapin biar bisa dirasain. Ada perasaan yang cuma bisa kita simpan, meski nggak pernah sampai. Nggak semua cerita cinta punya akhir bahagia, tapi kadang yang nggak tersampaikan itu justru yang paling berarti. Jadi, biarlah rasa itu tetap di hati, nggak perlu dipaksa. Yang penting, kita tahu… kita pernah cinta.