Daftar Isi
Cinta itu kadang nggak perlu diucapin buat terasa, kan? Kadang kita terlalu takut buat ungkapin perasaan, takut kalau semuanya jadi beda. Tapi, apakah lebih baik disimpan dalam diam? Yuk, baca cerita ini, tentang dua hati yang saling diam-diam mencintai tapi nggak pernah punya cukup keberanian buat ngomongin itu. Siapa tahu, kamu pernah ngerasain hal yang sama…
Cinta yang Tak Pernah Terungkap
Senyum yang Tak Terucap
Diva duduk di bangku kayu panjang di taman, matanya menerawang pada langit sore yang berwarna keemasan. Di sampingnya, Raihan tampak sibuk mengutak-atik ponselnya, membuka pesan yang sepertinya cukup penting. Diva mencoba menahan detakan hati yang mulai tak beraturan. Senyuman Raihan yang mudah, cerah, selalu mampu mengusik ketenangannya. Tapi hari ini, entah mengapa, segala sesuatu terasa lebih intens. Setiap gerakan Raihan terasa begitu jelas, begitu dekat, seolah-olah semua fokus Diva hanya tertuju pada pria itu.
“Eh, kamu ngapain sih? Kayak lagi ngelamun gitu,” Raihan tiba-tiba menoleh dan menyadarkan Diva dari lamunannya. Diva tersentak, mencoba untuk tersenyum, meskipun senyum itu terasa sedikit kaku.
“Apa nggak boleh? Pikiranku lagi… ngalor-ngidul aja,” jawab Diva sambil memainkan ujung rambutnya. Ia selalu mencari cara agar perasaan itu tidak terlihat oleh Raihan. Selalu berusaha menyembunyikan sesuatu yang lebih dalam dari sekadar persahabatan di balik setiap kata dan senyum.
Raihan tertawa ringan, senyumnya selalu membuat Diva merasa seperti ada sesuatu yang nyaman dalam dirinya. “Gitu ya? Aku pikir kamu tipe yang nggak gampang bosen, ternyata malah lebih sering melamun, ya.”
“Ah, nggak juga,” Diva berusaha mengalihkan perhatian, melirik sekeliling taman yang mulai sepi. “Lagi pengen santai aja. Lagian, kamu tuh selalu sibuk, jadi aku cuma bisa di sini diem.”
“Tuh kan, itu yang aku bilang. Kamu diem terus, malah jadi kayak ngilang. Padahal kan kita udah lama nggak ketemu.”
Diva merasa ada sedikit perasaan menyesak di dadanya. Kata-kata Raihan, meskipun terdengar biasa, semakin membuatnya merasa jauh dari dirinya sendiri. Mereka memang berteman sudah lama, tapi perasaan itu mulai tumbuh begitu dalam, bahkan Diva merasa, setiap detik yang mereka habiskan bersama sekarang terasa begitu berarti, padahal di sisi lain, dia tahu betul itu tak akan pernah diungkapkan.
“Aku cuma… lagi nggak enak badan aja,” Diva berusaha memberikan alasan yang terdengar masuk akal. “Lagi cape gitu.”
“Kalau cape, ya istirahat aja. Jangan dipaksain,” Raihan menatapnya dengan tatapan yang, seperti biasa, penuh perhatian. Diva hampir merasa canggung. Perhatian itu selalu hadir begitu tulus, namun ada saat-saat di mana perhatian itu membuat hatinya berdebar lebih cepat daripada yang seharusnya.
Diva hanya mengangguk pelan, berusaha menutupi kegelisahan yang tumbuh di dalam dirinya. “Iya, ya. Aku pasti lebih baik kok.”
Ada hening di antara mereka. Hujan mulai turun perlahan dari langit yang sebelumnya cerah, dan suasana di sekitar mereka berubah menjadi lebih tenang. Rintik hujan yang jatuh di daun-daun pohon menambah kedamaian, namun untuk Diva, ketenangan itu justru terasa begitu asing. Karena di dalam hatinya, ada sebuah perasaan yang tak bisa ia kendalikan, sesuatu yang begitu kuat namun tak pernah ia beri nama.
“Rai, aku cuma penasaran deh,” Diva mulai membuka pembicaraan dengan suara yang sedikit gemetar. “Kamu pernah nggak sih, merasa kayak… ada perasaan yang nggak bisa kamu ungkapin ke orang yang penting buat kamu? Tapi kamu nggak berani ngomong?”
Raihan mengerutkan dahi, seolah pertanyaan itu cukup aneh baginya. Ia berhenti sejenak, menatap Diva dengan serius. “Maksud kamu? Kayak ada yang gak bisa dibilangin, tapi seharusnya bisa?”
Diva mengangguk pelan. “Iya, gitu deh. Kadang aku merasa ada banyak hal yang nggak bisa diungkapin. Bukan karena nggak pengen, tapi… karena takut semuanya jadi aneh, tahu nggak sih?”
Raihan terdiam, matanya seakan berusaha mencari jawaban dari dalam diri Diva. “Kenapa sih kamu mikirin kayak gitu? Aku kira kamu orang yang tegas. Kalau ada yang kamu rasain, ya bilang aja.”
Diva tertawa pelan, meskipun hatinya terasa sedikit perih. “Iya, sih. Tapi kalau itu bikin orang lain jadi nggak nyaman gimana?”
“Tuh kan, kayaknya kamu takut banget kalau bikin orang lain ngerasa aneh,” Raihan berkata sambil tersenyum kecil, tidak tahu bahwa kata-katanya malah semakin membuat Diva merasa terperangkap.
“Ya gitu deh,” jawab Diva pelan, berusaha menghindar dari topik yang mulai membuat hatinya semakin sesak.
Hujan semakin deras, membuat suara rintikannya menjadi lebih keras. Diva mengalihkan pandangannya ke luar, melihat tetesan hujan yang jatuh di jendela, menciptakan pola-pola acak yang membingungkan. Sepertinya, begitulah perasaannya—terjebak dalam kebingungannya sendiri, terjebak dalam perasaan yang tidak berani ia ungkapkan.
Raihan menghela napas, lalu berbicara dengan suara yang lebih ringan. “Diva, kamu itu keren kok. Jangan pernah ngerasa kayak ada yang salah sama dirimu.”
Diva hanya tersenyum tipis, meskipun dalam hatinya, senyum itu terasa sangat pahit. Apa yang bisa dia katakan? Semua itu memang benar, tapi tetap saja—perasaan yang ada di dalam dirinya tak bisa dia ungkapkan. Tidak sekarang, dan mungkin tidak pernah.
“Ya, aku ngerti, Rai,” jawab Diva, suaranya hampir berbisik. “Aku cuma… lagi mikir. Kadang, lebih baik nggak ngomong apa-apa daripada nanti malah nyesel.”
Raihan hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa lagi. Mereka duduk dalam keheningan, menikmati detik-detik yang berlalu dengan begitu pelan. Diva tahu, inilah momen yang mungkin tak akan pernah terulang lagi—perasaan yang terpendam begitu dalam, yang tak bisa ia ungkapkan kepada siapa pun. Tapi meskipun begitu, ia tetap ingin berada di sisi Raihan, tetap ingin menjadi bagian dari hidupnya, meski hanya dalam diam.
Di luar, hujan mulai mereda. Namun perasaan yang ada dalam diri Diva tetap mengalir deras, tak bisa dihentikan.
Rintik Hujan dan Rahasia Hati
Hari itu, langit kembali mendung. Tapi Diva tak merasa khawatir. Sebenarnya, hujan hanya memberikan alasan untuk menunda diri keluar dari rumah dan terus memendam semuanya dalam hati. Setidaknya, hujan selalu mengerti tentang keinginannya untuk tidak mengungkapkan perasaan. Ia memilih diam, menyendiri di sudut kamarnya dengan buku yang terbuka, meski pikirannya sudah jauh melayang ke tempat lain.
Telepon yang tergeletak di atas meja mendadak bergetar. Diva melihat nama Raihan muncul di layar, dan rasanya hatinya hampir melonjak keluar dari dadanya. Sebuah pesan singkat dari Raihan, hanya dua kata yang tertulis di sana: “Mau ketemu?”
Diva membiarkan ponsel itu tergeletak beberapa detik, sebelum akhirnya dengan canggung meraih dan membalasnya. “Ke mana?”
Tidak lama kemudian, Raihan mengirimkan lokasi—taman yang mereka kunjungi kemarin sore. Taman yang penuh kenangan dan keheningan. Tempat di mana mereka pernah duduk bersama, di mana Diva merasakan perasaan yang lebih dari sekadar pertemanan. Tempat di mana ia pertama kali merasa takut untuk mengungkapkan segalanya.
Diva melangkah keluar, menatap hujan yang mulai turun lagi. Tetesan air membasahi wajahnya, tetapi ia tak peduli. Hujan ini seolah menyembunyikan wajah cemasnya, menutupi perasaan yang kini semakin mengendap di dalam dirinya. Ia tahu, saat ia bertemu Raihan nanti, ia akan kembali berada dalam dilema yang sama: apakah ia akan mengungkapkan apa yang selama ini dipendam atau terus membiarkan semuanya dalam diam?
Sesampainya di taman, Diva melihat Raihan sudah duduk di bangku yang sama seperti kemarin. Wajahnya tampak lebih serius, dan Diva merasakan ketegangan yang menyelimuti udara di antara mereka. Namun, saat Raihan menoleh dan memberikan senyumnya yang khas, hati Diva kembali berdebar, lebih cepat dari yang seharusnya.
“Akhirnya datang juga,” kata Raihan dengan nada santai, meski matanya menatap Diva lebih tajam dari biasanya. Diva tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap.
“Maaf, tadi ada sedikit urusan,” jawab Diva sambil duduk di sampingnya. Hujan perlahan mulai mereda, namun masih ada rintik-rintik yang turun sesekali. Angin malam terasa sejuk, membawa aroma tanah basah yang menenangkan. Tapi, di dalam dirinya, ada ribuan perasaan yang saling beradu.
Raihan diam sejenak, menatapnya dengan pandangan yang lebih serius, seolah ingin mengatakan sesuatu yang penting. “Kamu kenapa sih, Diva? Tadi di rumah kayaknya kamu agak… aneh.”
Diva terkejut, merasa seperti dikejar-kejar oleh perasaan yang tak bisa ia katakan. “Enggak kok, nggak ada apa-apa,” jawabnya cepat, mencoba menghindari sorot mata Raihan yang tajam. Namun, ia tahu, seiring waktu, Raihan akan terus menggali, dan Diva tak bisa lagi menghindar.
“Jangan bohong,” Raihan sedikit tertawa, meski ada ketegangan yang jelas terasa. “Kamu berubah sejak kemarin. Aku tahu kok.”
Diva menundukkan kepala, menatap ke tanah di bawahnya. “Aku… cuma mikirin sesuatu aja. Nggak penting.”
Raihan mendekat sedikit, menatap Diva dengan ekspresi yang sulit dipahami. “Mungkin kamu nggak sadar, tapi aku tahu ada sesuatu yang bikin kamu ngerasa nggak nyaman. Aku nggak tahu apa itu, Diva, tapi kalau kamu mau cerita, aku di sini kok.”
Diva merasakan perasaan itu kembali menggumpal di dadanya—perasaan yang selalu ia coba untuk lupakan, yang selalu ia sembunyikan jauh di dalam. Ia ingin bercerita, ingin sekali mengatakan betapa perasaannya terhadap Raihan sudah berubah. Namun, setiap kali ia membuka mulut, kata-kata itu terasa berat, terjebak di tenggorokannya.
“Aku cuma takut, Rai,” Diva akhirnya bersuara, suaranya nyaris berbisik. “Takut kalau aku ngomong, semuanya jadi aneh. Takut kalau aku ngomong, kamu bakal ngelihat aku beda. Takut kalau kamu… nggak ngerasa sama.”
Diva menatap tanah, berusaha menahan air matanya yang mulai menggenang. Hujan seolah menambah kesedihan yang ia rasakan. Tetesan air yang jatuh dari langit seakan mewakili perasaannya yang tumpah tanpa bisa dicegah.
Raihan terdiam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Diva. Setelah beberapa detik yang terasa panjang, dia menghela napas pelan. “Diva, kamu nggak perlu takut. Kalau kamu merasa sesuatu, kenapa nggak bilang aja? Jangan simpan sendiri, itu nggak baik buat kamu.”
“Tapi bagaimana kalau… kamu nggak ngerasain hal yang sama? Kalau aku cuma… cuman jadi orang yang canggung buat kamu?” Diva menatap Raihan dengan tatapan penuh keraguan.
Raihan menggenggam tangan Diva dengan lembut, membuat jantung Diva berdegup lebih kencang. “Aku nggak bakal berpikir seperti itu. Aku cuma ingin kamu jadi diri kamu, Diva. Kalau ada yang kamu rasakan, ya ungkapkan aja. Kamu nggak sendirian, kamu tahu itu?”
Perasaan yang selama ini terpendam dalam diri Diva seakan meronta, ingin keluar begitu saja, namun ketakutan itu masih menghalangi. Dia takut kehilangan Raihan, takut jika perasaannya yang sebenarnya bisa merusak segalanya. Mungkin memang lebih baik jika ia tetap diam, jika semuanya tetap seperti ini—tersembunyi dalam rahasia hati yang tak pernah terucap.
Namun, dalam hati Diva, ada harapan yang tak bisa ia matikan begitu saja. Harapan yang mungkin tak akan pernah terwujud, tetapi setidaknya ia ingin percaya, bahwa mungkin suatu hari nanti, akan ada momen di mana semuanya bisa berubah.
“Diva, aku nggak mau kamu merasa seperti ini terus,” Raihan berkata dengan suara lebih dalam, lebih serius. “Aku peduli sama kamu, dan itu bukan sekedar teman. Aku nggak tahu apa yang kamu rasakan, tapi aku… mungkin aku juga punya sesuatu yang sama. Tapi kamu harus jujur sama diri kamu sendiri dulu.”
Diva menatap Raihan dengan mata yang hampir tak percaya. Hatinya berdetak begitu cepat, namun ia masih merasa ragu, merasa takut. Semua ini terlalu cepat, terlalu mendalam, dan Diva takut jika dia tidak bisa menghadapinya.
“Terima kasih, Rai,” Diva akhirnya bisa mengucapkan kata-kata itu, meski masih ada rasa takut yang mengganjal di dalam dirinya.
Namun, dalam diamnya, Diva tahu satu hal: perasaan ini tak akan pernah bisa dihentikan. Segala keraguan, segala ketakutan, mungkin hanya akan tetap ada. Tetapi untuk pertama kalinya, ada sedikit keyakinan yang muncul. Mungkin, hanya mungkin, perasaan ini bisa tumbuh menjadi sesuatu yang lebih besar—meskipun untuk saat ini, semuanya masih terpendam.
Terungkap dalam Keheningan
Hari-hari setelah pertemuan itu berlalu dengan cepat, seiring dengan perubahan kecil yang terasa di antara Diva dan Raihan. Keduanya seolah terjebak dalam permainan perasaan yang tidak terucap, namun tetap mengikat mereka dalam diam. Mereka masih berbicara seperti biasa, masih saling menyapa dan berbagi cerita, namun ada sesuatu yang berbeda. Sebuah ketegangan yang samar, namun jelas terasa oleh Diva.
Diva kembali menatap layar ponselnya, melihat pesan dari Raihan yang baru saja masuk. “Mau jalan bareng gak, nanti sore?”
Diva tahu persis apa artinya. Sore ini, mereka akan bertemu lagi. Dan kali ini, perasaan yang selama ini ia pendam akan kembali diuji. Setiap kali melihat pesan dari Raihan, ada kebingungan yang datang. Di satu sisi, ia ingin sekali memberanikan diri, mengungkapkan apa yang selama ini terpendam dalam hatinya. Namun, di sisi lain, ketakutan yang sama masih menghantuinya—takut jika perasaannya tak diterima, atau bahkan membuat hubungan mereka menjadi canggung.
“Ya, kenapa enggak,” Diva akhirnya membalas, meskipun hatinya berdegup tak karuan.
Sore itu, hujan tak turun. Langit cerah dengan sedikit awan yang mengapung di sana-sini, menciptakan suasana yang tenang. Diva duduk di bangku taman, menunggu Raihan datang. Setiap langkah yang mendekat membuat hatinya semakin gelisah, seolah waktu berjalan lebih lambat dari biasanya.
Saat Raihan tiba, senyumnya seperti biasa, tetapi Diva bisa merasakan ada yang berbeda. Ada ketegangan yang menyelimuti pertemuan mereka. Raihan duduk di sebelahnya, dan mereka mulai berbicara tentang hal-hal yang ringan, tentang buku yang mereka baca, tentang film yang mereka tonton, tentang hal-hal yang biasa mereka bahas. Namun, Diva tahu, ada lebih dari itu. Mereka berdua tahu ada lebih dari itu.
“Aku… sebenarnya ada sesuatu yang pengen aku omongin, Diva,” Raihan berkata dengan suara yang sedikit cemas, berbeda dari biasanya. Diva menoleh ke arahnya, jantungnya mulai berdetak lebih cepat. Ini, ini adalah momen yang sudah ia tunggu—atau lebih tepatnya, yang sudah ia hindari.
“Kamu tahu kan, kita udah temenan cukup lama, dan… kita udah lewat banyak hal bareng-bareng,” Raihan melanjutkan, menatap Diva dengan tatapan yang lebih dalam. “Tapi… belakangan ini aku ngerasa ada sesuatu yang beda.”
Diva menelan ludahnya, berusaha menenangkan diri. Kalimat itu datang begitu tiba-tiba, begitu dalam, dan ia tahu, saat-saat seperti ini adalah saat di mana ia harus memutuskan. Menanggapi dengan jujur atau terus bersembunyi di balik ketakutannya.
“Rai,” Diva memulai dengan suara pelan, hampir terbata. “Aku juga ngerasa itu. Aku gak tahu gimana ngejelasin, tapi… perasaan ini, perasaan aku tentang kita, rasanya udah gak bisa dibilang cuma temen lagi.”
Diva berhenti sejenak, menatap tanah, mencoba meredakan kegelisahan yang semakin mencekam. Ia berharap Raihan tidak melihatnya gemetar, berharap ia bisa tetap tenang meskipun hati dan pikirannya kacau.
Tiba-tiba, Raihan menggerakkan tubuhnya sedikit lebih dekat, membuat Diva terkejut dan sedikit mundur, merasa jarak antara mereka semakin rapat. “Diva, aku… sebenarnya juga ngerasain hal yang sama. Aku… aku cuma takut kamu gak ngerasain yang sama.”
Diva menatap Raihan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Semua kata-kata yang ia simpan begitu lama, yang selama ini ia takutkan untuk diungkapkan, kini datang begitu saja, tak bisa ditahan.
“Aku takut kalau… kalau aku ngomong, aku bakal kehilangan kamu. Aku takut kalau… kalau kamu gak ngerasa hal yang sama,” Diva akhirnya mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Tapi, aku nggak bisa terus kayak gini, gak bisa terus… nahan semuanya sendiri.”
Raihan memegang tangan Diva dengan lembut, membuat Diva terkejut. Jari-jari mereka saling bersentuhan, memberi kehangatan yang tiba-tiba menyebar ke seluruh tubuhnya. “Aku juga takut, Diva. Tapi aku nggak bisa pura-pura nggak tahu lagi tentang perasaan ini. Aku juga ngerasain hal yang sama, aku cuma… takut kalau kita gak bisa balik lagi ke yang dulu.”
Diva menatap mata Raihan, mencari tanda-tanda kebohongan, tetapi yang ada hanya kejujuran yang tampak begitu jelas. Dalam mata Raihan, ia melihat perasaan yang sama. Perasaan yang selama ini terpendam, yang mereka berdua takut untuk ungkapkan.
“Kita nggak bisa kembali ke yang dulu, Rai,” Diva akhirnya berkata, suaranya lebih tegas sekarang. “Tapi, kalau kita nggak coba, kita akan terus merasa seperti ini. Mungkin… kita bisa lihat ke depan. Mungkin kita bisa coba jalani ini.”
Raihan tersenyum, senyum yang lebih tulus, lebih dalam dari sebelumnya. “Mungkin kita harus mulai dengan langkah kecil, Diva. Mungkin kita harus berhenti takut dan mulai… membuka hati kita satu sama lain.”
Diva merasa beban berat yang selama ini menekan dadanya mulai berkurang, sedikit demi sedikit. Mungkin perasaan ini memang layak untuk diperjuangkan. Mungkin, hanya mungkin, mereka bisa melangkah maju bersama, menatap masa depan tanpa rasa takut yang membelenggu.
Hari itu, di bawah langit senja yang mulai gelap, mereka berdua duduk dalam keheningan yang nyaman. Mereka tidak perlu banyak kata untuk memahami satu sama lain. Terkadang, hanya dengan diam, mereka bisa saling mengerti. Tapi, ada satu hal yang kini lebih jelas dari sebelumnya—perasaan ini tak perlu lagi dipendam, tak perlu lagi disembunyikan dalam rahasia yang tak terucap. Mungkin inilah awal dari sesuatu yang lebih indah.
Menemukan Keberanian dalam Kebersamaan
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, Diva dan Raihan mulai menjalani hari-hari mereka dengan cara yang berbeda. Tidak ada lagi keraguan yang menggantung, tidak ada lagi ketakutan yang membelenggu. Mereka berdua kini berjalan bersama dalam perasaan yang sudah mereka ungkapkan, dalam hubungan yang baru mulai tumbuh. Namun, seperti semua hubungan, mereka tahu bahwa perjalanan ini tak akan selalu mulus.
Pagi itu, seperti biasa, Diva sedang duduk di kafe favorit mereka, menunggu Raihan. Sambil menunggu, matanya menyapu pandangan di sekitar, dan meskipun tubuhnya terdiam, pikirannya berputar cepat. Kadang ia merenung, kadang ia tersenyum sendiri memikirkan betapa jauh perjalanan mereka sudah berjalan. Ada rasa syukur yang mendalam di hatinya, karena akhirnya ia menemukan keberanian untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama ia pendam.
Raihan tiba dengan senyuman yang selalu membuat hati Diva berdebar. Ia duduk di hadapan Diva, dan seketika suasana menjadi nyaman seperti biasa. Tidak perlu banyak bicara, karena mereka berdua sudah saling memahami, setiap senyum, setiap tatapan sudah cukup menjadi bahasa mereka.
“Gimana hari ini?” Raihan bertanya, dengan nada yang ringan, namun Diva bisa merasakan bahwa ada kekhawatiran di balik pertanyaan itu.
“Baik,” Diva menjawab singkat, meskipun senyumannya yang lebih cerah memberi tahu lebih banyak. “Aku cuma… lagi mikir, Rai. Tentang kita, tentang hubungan ini.”
Raihan menatap Diva dengan serius. “Kamu khawatir, ya? Tentang kita?”
Diva mengangguk perlahan, meskipun ia merasa lega bisa mengatakan itu. “Iya. Mungkin aku takut… takut kalau ini cuma sementara, takut kalau kita salah jalan, atau bahkan takut kita gak bisa terus kayak gini.”
Raihan diam sejenak, lalu menggenggam tangan Diva dengan lembut. “Aku juga takut, Diva. Takut kalau kita terlalu cepat mengambil langkah ini, takut kalau perasaan kita enggak cukup kuat buat tahan cobaan yang bakal datang. Tapi satu hal yang aku tahu, aku nggak pernah menyesal waktu kita ungkapin semuanya. Aku nggak menyesal sama sekali.”
Diva terdiam, merasakan tangan Raihan yang menggenggam erat tangannya. Ada kehangatan yang mengalir melalui sentuhan itu, dan untuk pertama kalinya sejak sekian lama, Diva merasa benar-benar yakin bahwa mereka akan baik-baik saja.
“Aku juga nggak menyesal, Rai,” Diva berkata, suara seraknya bergetar sedikit. “Aku cuma takut… kita kehilangan arah kalau kita nggak hati-hati. Tapi, aku sadar… kalau kita berdua punya niat yang sama, kita pasti bisa jalanin ini.”
Raihan tersenyum dan mengangguk. “Betul. Kita punya waktu, kita punya kesempatan untuk pelan-pelan membangun ini. Aku tahu kita masih bisa berkembang, dan selama kita masih percaya satu sama lain, aku yakin kita bisa lewatin apapun.”
Diva merasa semakin tenang. Mungkin memang benar bahwa tidak ada yang sempurna, tetapi mereka berdua bisa membuat hubungan ini menjadi sempurna dengan cara mereka sendiri. Ada begitu banyak hal yang harus dipelajari bersama, dan meskipun masa depan tidak bisa diprediksi, mereka berdua memiliki keberanian untuk menghadapi apapun yang datang.
Hari itu, mereka memutuskan untuk berjalan bersama ke taman kota, tempat yang dulu mereka sering kunjungi saat masih berteman. Langit cerah, dengan awan putih yang melayang tenang di atas mereka, dan suasana di sekitar terasa damai. Diva merasa seperti menemukan kembali dirinya di tengah-tengah perjalanan ini, menemukan dirinya yang dulu hilang dalam ketakutan dan penyesalan.
Di bawah pohon besar di taman itu, mereka berhenti dan duduk di bangku yang sama tempat mereka dulu sering duduk bersama. Diva menatap Raihan, merasakan betapa semuanya kini terasa lebih jelas.
“Kamu tahu, Rai,” Diva berkata sambil tertawa kecil, “Aku sempat khawatir banget waktu pertama kali ngomong perasaan itu. Takut kalau semuanya bakal berubah, takut kalau kamu bakal pergi. Tapi sekarang… aku merasa lebih kuat dari sebelumnya.”
Raihan tersenyum, matanya memancarkan kehangatan yang membuat Diva merasa aman. “Kamu nggak sendirian, Diva. Kita berdua ada di sini. Kita gak tahu apa yang akan datang, tapi selama kita bisa saling percaya, kita bisa jalani ini bersama. Pelan-pelan, langkah demi langkah.”
Mereka duduk dalam keheningan, menikmati waktu yang mereka miliki. Tak perlu banyak kata, karena mereka tahu bahwa terkadang, kebersamaan itu lebih dari cukup. Tidak ada lagi perasaan yang tertahan, tidak ada lagi rahasia yang belum terungkap. Semua sudah jelas, semua sudah ada di sana—dalam hati mereka yang kini lebih terbuka dari sebelumnya.
Ketika matahari mulai terbenam, menyisakan cahaya jingga yang hangat di langit, Diva dan Raihan saling berpandangan dengan senyuman yang sama. Tidak ada lagi ketakutan yang menghalangi mereka. Mereka tahu, meskipun jalan yang mereka pilih tidak selalu mudah, bersama-sama mereka bisa menghadapi apapun.
Dan di bawah langit senja itu, dengan hati yang lebih ringan, mereka tahu satu hal yang pasti: cinta ini, yang dulunya dipendam, kini akan tumbuh dengan bebas—dengan keberanian yang akhirnya ditemukan dalam kebersamaan.
Mungkin, kadang kita terlalu takut untuk mengungkapkan perasaan, tapi siapa tahu, apa yang kita takutkan itu justru yang membuat cinta jadi lebih indah. Jadi, kalau kamu ngerasain hal yang sama, mungkin udah saatnya untuk bilang—walaupun itu terlambat. Karena, meskipun cinta itu bisa dipendam, bukan berarti tak bisa tumbuh.