Daftar Isi
Pernahkah merasa sudah memberikan segalanya dalam sebuah hubungan, tapi justru merasa tak dihargai? Seolah-olah cinta yang kamu berikan hanya sia-sia dan tidak pernah mendapat balasan yang sebanding. Rasanya seperti dihancurkan perlahan, tapi tetap bertahan karena berharap ada perubahan.
Namun, pada akhirnya, ada kalanya kita harus melepaskan dan menerima kenyataan bahwa cinta yang tak dihargai hanya akan menyakitkan. Ini adalah cerita tentang perjalanan mencari kekuatan untuk bangkit meski hati terasa retak, dan menemukan harapan baru meski harus melepas apa yang sudah lama diinginkan.
Cinta yang Tak Dihargai
Cinta yang Terlupakan
Pagi itu, cuaca begitu cerah di luar sana, meski hatiku terasa seperti hujan deras yang tak kunjung reda. Kafe kecil yang aku pilih untuk bertemu Kavi tampaknya begitu tenang, seolah tak tahu ada gejolak besar yang terjadi di dalam diriku. Aku memesan kopi seperti biasa, hitam tanpa gula, dan duduk di sudut dekat jendela. Melihat Kavi yang datang, aku merasa seolah sudah menunggu terlalu lama.
Dia duduk di hadapanku dengan ekspresi yang sama sekali tidak berubah, seolah ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya. Aku tahu, aku selalu tahu, bahwa Kavi adalah orang yang tidak bisa menyembunyikan perasaan terlalu lama. Aku hanya tidak pernah tahu betapa dalamnya perasaan itu.
“Kamu terlambat,” kataku sambil tersenyum tipis, mencoba mengalihkan perhatianku dari rasa bersalah yang mulai menggerogoti hatiku.
Dia hanya mengangguk pelan, menundukkan kepala sejenak, lalu mengangkat wajahnya dengan mata yang terasa kosong. “Maaf,” jawabnya singkat, seolah kata itu hanya keluar karena kewajiban.
Aku menghela napas panjang, tak tahu harus berkata apa lagi. Entah kenapa, semakin lama aku merasa semakin asing dengan Kavi. Aku tahu dia masih mencintaiku, setidaknya itu yang aku yakini selama ini. Tapi ada yang berbeda sekarang. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang dulu selalu membuat aku merasa begitu berarti di matanya.
“Ada apa, Kav? Kamu nggak seperti biasanya,” tanyaku, merasa harus bertanya meski aku sudah tahu jawabannya.
Dia mengangkat tangannya, mengusap wajahnya dengan frustrasi. “Aku cuma capek, Merya. Capek banget,” jawabnya, suaranya sedikit serak.
Aku hanya diam mendengar itu. Capek? Aku tahu betapa dia selalu berusaha keras untuk mempertahankan hubungan ini, meski aku tahu dia mulai lelah. Tapi aku? Aku merasa seperti dibiarkan begitu saja, seolah aku adalah kebiasaan yang harus dijaga, bukan seseorang yang benar-benar dihargai.
Kavi mendongak, matanya bertemu mataku, dan aku merasakan ketegangan yang ada di antara kami. “Aku nggak tahu lagi, Merya. Aku nggak tahu harus gimana,” katanya, kali ini lebih terbuka.
Aku tahu itu. Aku tahu dia lelah dengan aku yang selalu sibuk dengan dunia aku sendiri, dengan aku yang terkadang begitu acuh tak acuh pada perasaannya. Tapi aku juga lelah, lelah menjadi orang yang selalu berusaha menjaga semuanya tetap utuh, lelah menjadi orang yang selalu memberikan waktu dan perhatian, tapi tidak pernah mendapatkannya kembali.
“Aku nggak tahu kalau kamu merasa gitu, Kavi,” jawabku, berusaha terdengar tidak terbawa emosi meski sebenarnya hatiku sangat sakit. “Tapi aku juga capek, kamu tahu itu kan? Aku nggak pernah merasa jadi prioritas kamu, bahkan sejak dulu.”
Kata-kataku meluncur begitu saja, keluar dari mulutku tanpa bisa kubendung. Setiap kalimat terasa seperti pecahan-pecahan hati yang tak bisa kembali utuh. Kavi terdiam, seolah mencerna setiap kata yang aku ucapkan. Mungkin dia baru menyadari, atau mungkin memang dia sudah tahu tapi memilih untuk tidak peduli.
Dia membuka mulut, tetapi kata-kata yang keluar justru membuat hatiku semakin perih. “Aku nggak pernah bermaksud buat kayak gitu, Merya. Aku… aku selalu berusaha. Tapi rasanya kamu nggak pernah lihat usaha aku,” ujar Kavi dengan suara pelan.
Aku menunduk, menahan air mata yang mulai berkumpul di sudut mataku. “Aku bukan cuma butuh usaha, Kavi. Aku butuh perhatian, aku butuh kamu di sini. Kamu selalu sibuk dengan pekerjaanmu, teman-temanmu, dunia kamu. Aku cuma… cuma ingin merasa dihargai. Itu aja.”
Kavi terdiam lama, seakan mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Aku tahu, aku benar-benar tahu, dia tidak bisa memberi apa yang aku butuhkan. Dan itu membuatku semakin merasa kosong. Seperti ada ruang besar di antara kami yang tak bisa diisi lagi.
“Aku nggak bisa terus hidup begini, Kavi. Aku nggak bisa terus merasa sendirian meski kita berdua ada di sini,” kataku dengan suara yang hampir tak terdengar, meski aku tahu kata-kataku itu menyakitkan.
Kavi menatapku dengan mata yang sudah mulai berkaca-kaca. “Merya… kamu tahu aku cinta kamu, kan?” katanya dengan nada yang hampir hilang.
Aku mengangguk pelan, meskipun aku tidak merasa itu cukup lagi. “Iya, Kavi, aku tahu. Tapi cinta itu nggak cukup buat aku. Cinta aja nggak cukup kalau nggak ada perhatian, nggak ada pengertian.”
Suasana di sekitar kami semakin terasa asing. Orang-orang di kafe itu sibuk dengan obrolan mereka sendiri, tapi aku dan Kavi seolah berada di dunia yang berbeda. Tidak ada lagi rasa nyaman yang dulu pernah ada. Tidak ada lagi tawa yang saling mengisi. Semua hanya rasa hampa yang menyakitkan.
“Aku… aku nggak tahu harus gimana, Merya,” katanya, suaranya pecah, penuh keputusasaan.
Aku menghela napas panjang, menatap Kavi untuk terakhir kalinya dengan perasaan yang campur aduk. “Aku juga nggak tahu, Kavi,” jawabku, kali ini lebih tegas. “Tapi aku rasa aku nggak bisa terus berharap kalau yang ada cuma sakit hati.”
Kavi terdiam. Kami berdua saling berpandangan, dan dalam diam itu, aku tahu sudah tidak ada lagi yang bisa diperbaiki. Aku sudah terlalu lama bertahan pada sesuatu yang tidak pernah menghargai cintaku. Aku sudah lelah. Dan mungkin, Kavi juga sama lelahnya.
“Maafkan aku,” kata Kavi akhirnya, suaranya terputus-putus, hampir seperti bisikan.
Aku tersenyum tipis, meski hatiku retak. “Aku juga minta maaf, Kavi. Tapi aku harus pergi.”
Dan saat itu, aku tahu ini bukan perpisahan yang mudah. Tapi ini adalah perpisahan yang harus terjadi, karena aku tak bisa terus mencintai seseorang yang tak pernah benar-benar menghargai aku.
Penantian yang Terlalu Lama
Pagi setelah pertemuan itu, aku terbangun dengan perasaan hampa. Rasanya seperti aku baru saja kehilangan sesuatu yang begitu besar, tapi entah kenapa aku tidak bisa lagi merasakannya. Kavi, lelaki yang sudah menjadi bagian dari hidupku selama dua tahun, kini terasa seperti kenangan yang mengambang, tak tergapai lagi. Bahkan aroma kopi yang biasanya kuhirup dengan penuh kenikmatan, pagi ini terasa hambar.
Aku berjalan keluar kamar dengan pikiran yang kacau. Satu hal yang selalu kutahu—aku tidak bisa terus begini. Tidak bisa terus menunggu dan berharap pada seseorang yang sudah jelas tidak bisa memberi apa yang aku butuhkan. Tapi kenapa aku masih merasa sakit?
Di luar, jalanan kota tampak sibuk. Orang-orang berlarian dengan kehidupan mereka masing-masing, tak ada yang tahu betapa hancurnya hati seorang perempuan yang baru saja melepaskan seseorang yang dia cintai. Mungkin bagi mereka, ini hanya bagian dari hidup yang biasa saja. Tapi tidak untuk aku. Aku merasa seperti aku baru saja kehilangan bagian dari diriku yang selama ini kusembunyikan.
Langkahku terasa berat, tapi aku tahu aku harus melangkah, apapun yang terjadi. Meskipun aku sudah berusaha melepaskan, kenyataannya tidak semudah itu. Perasaan itu masih ada—tersisa dalam setiap sudut pikiranku.
Ponselku bergetar, sebuah pesan dari Kavi muncul di layar. Aku ragu sejenak untuk membukanya, tapi akhirnya aku memutuskan untuk membacanya.
“Merya, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Aku minta maaf kalau aku bikin kamu merasa nggak dihargai. Aku benar-benar nggak mau itu. Aku cuma bingung, nggak tahu gimana harus berbuat lebih baik.”
Aku hanya terdiam menatap pesan itu. Kavi selalu seperti ini—datang terlambat, mengakui kesalahan setelah semuanya hancur. Aku sudah terbiasa dengan kata-katanya, tapi kali ini, kata-kata itu tidak bisa menyembuhkan luka di hatiku.
Aku tahu, dia merasa bersalah. Tapi aku juga tahu, itu sudah terlambat. Semua yang dia lakukan, semua usahanya, sudah tidak cukup untuk menambal hati yang sudah tergores lama.
Pesan itu tidak menjawab pertanyaanku yang paling besar—kenapa dia tidak pernah cukup peduli selama ini? Kenapa aku harus selalu menjadi yang terakhir diprioritaskan? Kenapa aku harus selalu menunggu, bahkan ketika aku sudah tidak tahu lagi apa yang aku tunggu?
Kav, kenapa kamu datang hanya setelah aku merasa terlalu lelah untuk bertahan?
Aku membuka kotak pesanku dan mulai mengetik balasan.
“Kavi, aku tahu kamu merasa bersalah. Tapi aku juga nggak bisa terus hidup dalam kebingunganku. Kamu bilang kamu cinta aku, tapi cintamu tidak pernah cukup buat aku. Aku sudah lelah berharap.”
Setelah beberapa saat, aku menekan tombol kirim. Lalu, aku meletakkan ponsel di atas meja dan menatap ke luar jendela. Tak ada hujan, tak ada badai, tapi aku merasa seperti dunia ini sedang berhenti berputar. Aku ingin menangis, tapi aku tahu air mata ini tidak akan pernah bisa mengubah apapun.
Waktu berlalu, dan keheningan di antara kami semakin terasa. Kavi tidak mengirimkan pesan balasan. Aku tahu dia sedang berpikir, mencari cara untuk memperbaiki semuanya. Tapi ada satu hal yang sudah pasti—kali ini, aku tidak akan menunggu lagi. Aku sudah terlalu lama menunggu. Sekarang adalah waktuku untuk berhenti.
Beberapa hari berlalu, dan meskipun aku mencoba melanjutkan hidup, rasanya tidak semudah itu. Setiap kali aku mendengar langkah kaki yang familiar, setiap kali aku melihat pesan-pesan lama, aku merasa seolah aku sedang jatuh kembali ke dalam lubang yang sama. Kavi masih ada di sana, dalam setiap ruang kosong yang aku ciptakan di dalam hati.
Aku berusaha untuk tidak berpikir tentangnya, tapi kenangan tentang kami terus kembali, seperti bayangan yang tidak bisa kuhilangkan. Aku mencoba untuk berkonsentrasi pada pekerjaanku, pada hal-hal yang dulu membuatku merasa hidup. Namun, setiap detik yang berlalu terasa sia-sia tanpa Kavi di sisiku. Perasaan itu, yang tak pernah benar-benar hilang, terus mengganggu pikiranku.
Suatu malam, aku memutuskan untuk keluar. Aku ingin melepaskan diri dari semua pikiran tentang Kavi, ingin merasa bebas, meski hanya untuk beberapa jam. Aku berjalan menuju bar kecil yang selalu menjadi tempat pelarian. Musik yang mengalun pelan di dalam ruangan, cahaya lampu yang temaram, dan gelas-gelas kosong yang menghiasi meja, membuatku sedikit merasa lebih hidup.
Saat aku duduk di sebuah sudut, tiba-tiba ponselku bergetar lagi. Pesan baru dari Kavi. Aku tidak ingin membukanya, tetapi entah kenapa, aku merasa harus melakukannya.
“Merya, aku nggak bisa hidup tanpa kamu. Aku tahu aku salah, tapi aku minta kesempatan lagi. Jangan tinggalkan aku.”
Pesan itu hanya menguatkan keputusan yang sudah aku buat. Aku tahu, kalau aku kembali lagi ke dalam pelukannya, aku hanya akan terluka lebih dalam. Dia mungkin menyesal sekarang, tapi penyesalan itu datang terlambat.
Aku menutup ponsel dan menyeruput minuman di tanganku. Aku memutuskan, aku tidak akan lagi menjadi orang yang selalu menunggu. Tidak ada lagi ruang untuk penyesalan yang datang terlambat. Aku harus berjalan maju, tanpa menoleh lagi.
Namun, meskipun aku tahu ini adalah yang terbaik, hatiku tetap terasa kosong. Tidak ada yang bisa menggantikan Kavi di hatiku, tapi aku juga tahu, kadang-kadang, melepaskan adalah hal yang paling menyakitkan namun juga paling penting.
Hari-hari berlalu, dan meskipun aku mencoba terlihat baik-baik saja, aku tahu ada sesuatu yang hilang. Seperti ada bagian dari diriku yang tertinggal di sana, di antara kenangan dan janji-janji kosong yang tidak pernah terpenuhi.
Tapi entah kenapa, aku merasa sedikit lebih kuat. Mungkin ini adalah bagian dari proses. Mungkin, hanya mungkin, aku sedang belajar untuk melepaskan.
Untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk hidup tanpa Kavi.
Jejak yang Ketinggalan
Waktu terus berlari, dan meskipun aku mencoba untuk tidak menoleh ke belakang, jejak-jejak yang Kavi tinggalkan di hidupku tetap terukir. Ada kalanya aku merasa seolah aku sedang menapaki jalan yang tak pernah benar-benar aku pilih. Rasanya seperti aku sudah menaruh begitu banyak harapan pada seseorang yang ternyata tak pernah ada untukku.
Hari-hari itu berlalu, dan aku mencoba menemukan diriku yang hilang dalam kebingungan. Aku kembali fokus pada pekerjaanku, mencoba mengejar mimpi-mimpi yang selama ini tertunda. Namun, tak jarang aku merasa ada ruang kosong yang tak bisa diisi oleh apapun. Ruang itu adalah tempat Kavi pernah berada—tempat yang dulu kupenuhi dengan harapan-harapan tentang masa depan yang kami rencanakan bersama.
Setiap kali aku berjalan di tengah kota, di antara keramaian yang tak pernah berhenti, pikiranku kembali terlempar pada masa-masa itu. Masa ketika aku percaya, Kavi adalah segala yang aku butuhkan. Masa yang kini terasa begitu jauh, meskipun baru beberapa bulan berlalu.
Malam itu, aku berjalan menyusuri trotoar yang sepi, dengan langkah yang lebih ringan dari sebelumnya. Aku tidak tahu kenapa aku memilih untuk keluar malam, meskipun aku tahu, malam ini aku tidak akan bertemu siapa pun yang bisa menggantikan perasaan ini. Aku hanya butuh sedikit waktu untuk berpikir, untuk menyendiri, untuk bernafas tanpa tekanan apa pun.
Langkahku terhenti di depan sebuah kafe kecil yang belum pernah kulihat sebelumnya. Lampu-lampu temaram dan musik yang lembut mengalun dari dalam membuatku tertarik untuk masuk. Tanpa banyak berpikir, aku mendorong pintu dan melangkah masuk.
Di dalam, suasananya begitu tenang, seperti dunia ini berhenti sejenak. Aku duduk di sebuah sudut, memesan secangkir kopi. Saat kopi itu datang, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak bisa kugambarkan dengan kata-kata. Mungkin hanya sekadar ketenangan yang aku butuhkan, mungkin hanya ingin merasa normal lagi.
Aku baru saja memegang cangkir kopi ketika mataku tertuju pada seseorang yang duduk di meja sebelah. Seperti dunia menyusut, hanya ada dia dan aku dalam pandanganku. Kavi.
Dia duduk di sana, dengan wajah yang terlihat lebih lelah dari sebelumnya. Matanya, yang dulu penuh semangat, kini tampak kosong dan hampa. Dia mengenakan jaket hitam yang aku tahu sudah lama tidak dia cuci. Dari jauh, aku bisa melihat kelelahan yang terbayang di wajahnya—kelelahan yang aku yakini bukan hanya fisik, tapi juga mental.
Aku berusaha untuk tetap tenang, meskipun hatiku mulai berdebar. Sejak pertama kali aku memutuskan untuk melepaskan, aku berjanji pada diriku sendiri untuk tidak lagi mencari tahu tentangnya. Tapi di sini, di hadapanku, dia kembali muncul tanpa pemberitahuan, tanpa alasan yang jelas.
Dia tidak melihatku, dan aku tak berencana untuk memanggilnya. Aku hanya ingin dia tahu, meskipun aku merasa hancur, aku sudah jauh melangkah. Aku bukan lagi perempuan yang dulu dia kenal—perempuan yang selalu ada menunggu dia berubah. Aku bukan lagi perempuan yang mengorbankan dirinya untuk seseorang yang tidak tahu caranya menghargai.
Namun, meskipun aku mencoba mengalihkan pandangan, mataku tetap terpaku padanya. Kavi mulai menulis sesuatu di sebuah buku catatannya. Tangan yang dulu begitu ceria menulis surat-surat panjang untukku kini tampak gelisah, tergesa-gesa, seolah dia sedang melawan sesuatu yang lebih besar dari dirinya.
Aku menelan rasa yang mengganjal di tenggorokan, mencoba menahan air mata yang ingin keluar. Aku tahu, aku tidak boleh lagi merasa lemah. Tapi kenapa, setiap kali melihatnya, aku merasa begitu rapuh? Apakah aku akan terus terjebak dalam perasaan ini?
Dengan hati-hati, aku berdiri dan melangkah pergi. Aku tak ingin menunjukkan kepadanya betapa sakitnya aku, betapa hatiku sudah hancur sejak dia menghilang tanpa kata.
Namun, langkahku terhenti ketika aku hampir sampai di pintu keluar.
“Merya…”
Suara itu, yang dulu begitu akrab, kini terdengar asing. Aku menoleh pelan, melihat Kavi berdiri di belakangku dengan wajah penuh penyesalan.
“Kamu… kamu benar-benar pergi tanpa sepatah kata pun?” Kavi bertanya, suaranya berat, penuh emosi yang tak bisa kusebutkan.
Aku terdiam. Bagaimana menjelaskan perasaan yang tak pernah dia pahami? Bagaimana memberitahunya bahwa aku sudah lelah menunggu—bahwa aku sudah terlalu lama mengorbankan segalanya untuk sesuatu yang bahkan tidak bisa memberikan kembali apa yang aku berikan?
“Kavi…” aku memulai, dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku sudah tidak bisa lagi menunggu. Aku sudah terlalu lama menunggu sesuatu yang tak pernah datang.”
Dia menatapku, seperti mencoba mengerti, tapi aku tahu, dia tidak akan pernah bisa mengerti. Tidak jika dia tidak pernah benar-benar menghargai semua yang aku lakukan untuknya.
“Aku minta maaf, Merya… Aku tahu ini terlambat, aku tahu aku salah…” Kavi berusaha menjelaskan, namun aku bisa melihat keputusasaan yang terpantul di matanya.
Aku menggelengkan kepala, tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. “Tidak ada yang bisa memperbaiki ini, Kavi. Aku sudah lelah.”
Tanpa menunggu jawaban, aku melangkah keluar dari kafe itu. Kaki-kakiku terasa ringan, tetapi hatiku terasa lebih berat dari sebelumnya. Aku tahu, keputusan ini adalah yang terbaik. Aku tahu, aku harus meninggalkan masa lalu untuk bisa melangkah ke masa depan yang lebih baik.
Dan meskipun ada rasa sakit yang menyesak, aku merasa sedikit lebih bebas. Untuk pertama kalinya, aku merasa seperti aku sedang melangkah menuju hidup yang baru.
Menyusun Ulang Patah Hati
Hari-hari setelah pertemuan itu terasa seperti langkah-langkah yang berat. Aku merasa seperti baru saja keluar dari labirin yang penuh dengan kebingungannya, tapi satu hal yang aku tahu pasti—aku tidak bisa kembali ke sana. Tidak setelah apa yang sudah terjadi. Tidak setelah aku membiarkan diriku terjerat dalam perasaan yang tidak pernah dihargai.
Malam itu, aku duduk di balkon apartemen, melihat kota yang tak pernah tidur. Pemandangan itu, yang dulu penuh dengan harapan dan impian bersamanya, kini terasa seperti kenangan yang memudar. Lampu-lampu kota itu masih bersinar terang, tetapi tidak ada yang bisa menghangatkan hatiku yang beku.
Aku menarik napas panjang, mencoba melepaskan semua rasa yang tersisa. Rasanya, hatiku seperti terbakar dengan luka lama yang seakan tak kunjung sembuh, meski aku sudah berusaha melupakan dan menyembuhkan diri. Namun, kenyataannya adalah, rasa itu tidak akan hilang begitu saja. Rasa sakit ini masih ada, menghantui, meskipun aku sudah berusaha untuk melangkah pergi.
Aku menatap bintang-bintang di langit, seolah mereka mengerti bahwa aku sedang berjuang untuk berdamai dengan masa lalu. Sebentar lagi, aku akan melangkah jauh dari kenangan itu—melangkah tanpa menoleh, tanpa berharap kembali. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa siap untuk menyusun ulang hatiku yang patah.
Hari-hari selanjutnya berjalan lebih mudah. Aku kembali fokus pada diriku sendiri, pada hal-hal yang selalu aku lupakan demi seseorang yang tidak pernah melihatku lebih dari sekadar bayangannya. Aku mulai menemui teman-temanku lagi, tertawa, berbicara tentang hal-hal kecil yang dulu kulupakan karena aku terlalu sibuk merawat rasa yang tak pernah tumbuh.
Di suatu sore yang cerah, aku duduk di kafe yang sama, tempat aku pernah bertemu dengannya. Tanpa aku sadari, aku sudah bisa duduk di sana tanpa teringat akan apa pun tentang Kavi. Tak ada lagi rasa sakit yang menghantui, tak ada lagi bayangannya yang mengikuti setiap langkahku.
Tiba-tiba, seorang pria duduk di meja sebelah. Aku menoleh, dan untuk sejenak, rasanya seperti dunia ini berhenti sejenak.
Itu bukan Kavi.
Pria itu tersenyum, sebuah senyum yang hangat, tanpa beban, tanpa masa lalu yang menghantui. Ada kedamaian di matanya, kedamaian yang dulu kuinginkan dari seseorang yang tidak bisa memberikannya padaku. Aku hanya menatapnya tanpa berkata apa-apa, merasa asing namun nyaman.
Aku menarik napas dan membiarkan waktu berlalu. Mungkin, cinta yang dulu kumiliki tak pernah untukku, tapi aku tahu sekarang—aku bisa mencintai diriku sendiri lebih dari siapa pun. Aku bisa menyembuhkan hatiku yang terluka, meski itu memerlukan waktu.
“Tidak ada yang salah dengan menunggu waktu yang tepat.” Aku berkata dalam hati. “Tidak ada yang salah dengan memberi diri kesempatan untuk tumbuh.”
Aku bangkit dan meninggalkan kafe itu dengan langkah yang lebih ringan. Aku tak tahu apa yang akan datang dalam hidupku nanti. Tapi yang pasti, aku sudah siap untuk memulai lagi. Keputusan ini adalah milikku. Cinta, kali ini, akan lebih tulus—untuk diriku sendiri terlebih dahulu.
Sebelum aku melangkah lebih jauh, aku berhenti sejenak. Aku memandangi langit, merasa seolah dunia ini kembali memberikan aku harapan, sedikit demi sedikit. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa bahwa aku tidak lagi berjalan sendirian.
Aku berjalan menuju masa depan dengan percaya diri, dengan keyakinan bahwa meskipun hati ini pernah patah, aku bisa menyusun ulang kepingan-kepingan itu. Dan siapa tahu, suatu saat nanti, aku akan menemukan cinta yang benar-benar layak untukku.
Pada akhirnya, kadang melepaskan adalah cara terbaik untuk menghargai diri sendiri. Cinta yang tak dihargai mungkin membuat hati terluka, tetapi itu juga yang mengajarkan untuk lebih mengenal siapa kita sebenarnya.
Setelah semua luka dan air mata, ada pelajaran berharga yang ditemukan: bahwa kebahagiaan sejati dimulai dari diri sendiri, bukan dari orang lain. Siapa tahu, mungkin di luar sana ada cinta yang lebih layak menanti, cinta yang tak hanya memberi harapan, tapi juga menghargai sepenuh hati.