Cinta yang Sia-Sia: Ketika Menunggu Hanya Berujung Luka

Posted on

Pernah nggak sih, jatuh cinta sama seseorang yang nggak pernah ngelihat kamu lebih dari sekadar tempat singgah? Yang datang cuma pas lagi butuh, tapi pergi tanpa pamit? Kalau pernah, cerpen ini bakal nusuk banget buat kamu. Ini bukan cerita cinta yang manis atau penuh keajaiban. Ini tentang cinta yang diperjuangkan sendirian—cinta yang pada akhirnya cuma menyisakan kehampaan.

 

Cinta yang Sia-Sia

Cahaya yang Tak Tersentuh

Ansel pertama kali melihat Seraphine di sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan yang tak terlalu ramai. Kedai itu tak pernah istimewa sebelumnya, hanya sekadar tempat singgah untuk menghangatkan diri dari udara dingin. Tapi sejak hari itu, tempat itu menjadi sesuatu yang lain—sesuatu yang lebih hidup, lebih berwarna.

Seraphine duduk di dekat jendela besar, cahaya matahari sore jatuh di rambutnya yang panjang, menciptakan ilusi mahkota keemasan. Ia menyesap kopinya perlahan, menatap keluar dengan tatapan yang entah bagaimana terasa jauh, seolah pikirannya sedang mengembara ke tempat yang tidak bisa dijangkau oleh siapa pun.

Ansel tak mengenalnya waktu itu. Tapi ia ingat bagaimana jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya. Ada sesuatu tentang gadis itu—cara ia menggulung lengan sweaternya, cara ia menggigit bibirnya saat membaca sesuatu di ponselnya—yang membuat Ansel sulit mengalihkan pandangan.

Hari-hari berlalu, dan mereka akhirnya berkenalan. Entah bagaimana, percakapan pertama mereka terjadi begitu saja, seperti sesuatu yang seharusnya memang terjadi.

“Aku suka teh chamomile,” kata Seraphine suatu hari saat mereka duduk bersama di kedai kopi itu. “Kamu harus coba. Rasanya tenang.”

Ansel mengangkat alis. “Aku lebih suka kopi.”

Seraphine tertawa kecil, suara yang ringan seperti angin. “Kamu tipe orang yang butuh kafein buat tetap hidup, ya?”

“Bukan. Aku cuma suka rasanya.”

Seraphine menatapnya sebentar, lalu mengaduk tehnya dengan pelan. “Coba sesekali ganti dengan teh. Hidup nggak selalu harus pahit.”

Ansel hanya tersenyum. Ia ingin mengatakan bahwa bukan kopinya yang pahit, tapi hidupnya. Tapi ia tidak perlu mengatakannya. Lagipula, Seraphine terlalu terang untuk dibebani dengan hal-hal seperti itu.

Hari demi hari berlalu, dan entah bagaimana, Seraphine menjadi bagian dari kesehariannya. Ia tak pernah benar-benar mengajaknya masuk, tapi Seraphine datang dengan caranya sendiri.

Seraphine sering mengirim pesan acak di tengah malam.

Kamu pernah kepikiran nggak kenapa langit malam selalu terlihat lebih luas daripada langit siang?

Kalau ada dunia lain di luar sana, menurut kamu kita tetap bakal ketemu?

Kamu percaya jodoh?

Ansel selalu menjawab, meskipun ia tahu sebagian besar pertanyaan itu tidak benar-benar butuh jawaban.

Enggak. Langit siang dan malam luasnya sama.

Kalau memang seharusnya ketemu, pasti ketemu.

Aku nggak tahu.

Jawaban yang singkat. Sesuai dengan kepribadiannya yang tidak banyak bicara. Tapi tetap saja, Seraphine selalu kembali dengan pertanyaan baru.

Hingga suatu malam, di tengah gerimis yang turun ragu-ragu, Seraphine mengajak Ansel keluar. Mereka duduk di atas kap mobilnya, menatap langit yang tertutup awan, sesekali merasakan titik hujan yang jatuh di kulit.

“Aku sering kepikiran sesuatu,” kata Seraphine pelan.

“Hmm?”

“Apa rasanya dicintai seseorang?”

Ansel mengerutkan kening, menoleh ke arahnya. “Kamu nanya gitu seolah nggak pernah ngerasain.”

Seraphine mengangkat bahu. “Aku nggak tahu. Mungkin aku memang belum pernah ngerasain.”

Ansel terdiam. Ia ingin mengatakan bahwa ada seseorang yang mencintainya, seseorang yang mengingat setiap kebiasaan kecilnya, yang menghafal bagaimana caranya tersenyum ketika berbohong. Tapi kata-kata itu mengendap di tenggorokannya, menolak keluar.

Seraphine melanjutkan, “Aku sering mikir, kalau suatu hari ada orang yang benar-benar mencintai aku, dia bakal kayak gimana, ya?”

Ansel menatapnya lama, lalu menoleh ke depan lagi.

“Mungkin dia orang yang selalu ada buat kamu, yang nggak peduli gimana pun keadaan kamu,” katanya pelan.

Seraphine tersenyum tipis, menatapnya sejenak sebelum kembali menatap langit.

“Kamu pikir aku bakal nemuin orang kayak gitu?” tanyanya.

Ansel menelan ludah. “Mungkin.”

Malam itu berlalu, sama seperti malam-malam lainnya. Tapi untuk pertama kalinya, Ansel sadar bahwa Seraphine bahkan tidak pernah melihatnya. Ia hanyalah latar belakang dalam hidup gadis itu—sesuatu yang selalu ada, tapi tak pernah benar-benar dianggap penting.

Dan itulah pertama kalinya Ansel merasa takut. Takut bahwa ia akan tetap ada di situ, mencintai dalam diam, tanpa pernah bisa menyentuh cahaya yang selalu ia lihat dari kejauhan.

 

Tempat Bersandar, Bukan Tempat Berlabuh

Ansel mulai memahami perannya dalam hidup Seraphine. Ia bukan tujuan, bukan sesuatu yang dinanti. Ia hanyalah tempat singgah—tempat di mana Seraphine bisa mengeluh tentang harinya, berbagi cerita acak yang tak penting, atau sekadar duduk diam tanpa merasa canggung.

Dan Ansel, bodohnya, menerima peran itu tanpa ragu.

Seraphine sering datang kepadanya dengan wajah yang lelah, dengan mata yang sedikit sembab atau bibir yang terkatup rapat, seolah menahan sesuatu yang tidak ingin dikatakan. Ansel tidak pernah bertanya. Ia hanya akan menunggu sampai Seraphine siap untuk berbicara.

“Aku benci ini,” gumam Seraphine suatu malam saat mereka duduk di dalam mobil Ansel, suara hujan menghantam kaca jendela.

Ansel melirik ke arahnya. “Apa?”

“Hidup. Segalanya. Semua yang terjadi.”

Ia tidak tahu apa yang telah terjadi hari itu, tapi melihat Seraphine menggenggam jemarinya sendiri erat-erat, Ansel tahu gadis itu sedang berusaha menahan sesuatu.

“Kalau ada yang bisa aku lakuin buat bikin hari kamu lebih baik, bilang aja,” ujar Ansel.

Seraphine menoleh, matanya penuh dengan sesuatu yang sulit dijelaskan. Lelah, mungkin. Atau putus asa.

“Kalau aku minta kamu tetap di sini sampai aku baik-baik aja, kamu bakal tetap di sini, kan?”

Ansel tersenyum kecil, senyum yang hanya sedikit menyamarkan perasaan yang ia tahan.

“Kapan sih aku nggak ada?”

Seraphine tidak menjawab. Ia hanya menghela napas pelan dan menyandarkan kepalanya di bahu Ansel.

Dan malam itu berlalu begitu saja.

Seraphine selalu kembali. Setiap kali dunia memperlakukannya dengan tidak adil, setiap kali hatinya terluka, setiap kali ia butuh tempat untuk merasa aman.

Dan Ansel selalu ada.

Seperti malam itu, ketika Seraphine meneleponnya hampir tengah malam, suaranya bergetar, terdengar seperti seseorang yang baru saja kehilangan sesuatu yang berharga.

“Kamu di mana?” tanyanya, tanpa basa-basi.

“Di rumah. Kenapa?”

“Keluar. Aku mau ketemu.”

Ansel tidak bertanya lebih lanjut. Dalam waktu kurang dari lima belas menit, ia sudah ada di depan apartemen Seraphine, dan gadis itu masuk ke dalam mobilnya tanpa mengatakan apa-apa.

Ia tidak menangis. Tapi matanya kosong.

“Mau ke mana?” tanya Ansel setelah beberapa menit berlalu tanpa suara.

“Ke mana aja.”

Jadi, ia mengemudi.

Mereka berakhir di tepi danau kecil di pinggiran kota, tempat yang jarang dikunjungi orang di malam hari. Seraphine turun dari mobil, berjalan pelan ke arah air yang berkilauan di bawah cahaya bulan.

Ansel mengikutinya dari belakang, membiarkan gadis itu mengambil waktu untuk mengumpulkan pikirannya.

“Aku bodoh,” Seraphine akhirnya berbicara, suaranya nyaris tak terdengar.

Ansel menyelipkan tangannya ke dalam saku jaket. “Kenapa?”

“Aku pikir… kalau aku cukup berusaha, dia bakal lihat aku.”

Hati Ansel menegang.

Dia.

Tentu saja.

Ia tahu bahwa Seraphine sedang berbicara tentang seseorang yang lain, seseorang yang bukan dirinya. Tapi ia tetap berdiri di situ, mendengarkan, seperti yang selalu ia lakukan.

“Aku kasih semua yang aku punya,” lanjut Seraphine. “Aku coba jadi seseorang yang dia suka. Aku coba ngerti dia. Aku coba buat dia bahagia. Tapi tetap aja…”

Ia tertawa kecil, tapi suaranya getir. “Dia nggak pernah lihat aku lebih dari sekadar seseorang yang kebetulan ada di hidupnya.”

Ansel ingin mengatakan sesuatu. Mungkin sesuatu yang bodoh, seperti, Aku selalu lihat kamu. Atau mungkin sesuatu yang lebih tajam, seperti, Kalau dia nggak bisa lihat kamu, dia yang rugi.

Tapi apa gunanya?

Jadi, ia hanya menatap gadis itu, memperhatikan bagaimana ujung jari Seraphine gemetar saat menggenggam lengan jaketnya sendiri.

“Aku capek,” bisik Seraphine akhirnya.

Ansel menghela napas pelan, lalu melepas jaketnya dan menyampirkannya ke bahu gadis itu.

Seraphine menoleh, bibirnya sedikit terbuka seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi akhirnya, ia hanya tersenyum kecil—senyum yang lebih terlihat seperti kepasrahan.

Dan untuk kesekian kalinya, Ansel sadar.

Ia bukan tempat Seraphine ingin tinggal.

Hanya tempat untuk sementara beristirahat.

Tapi meskipun begitu, meskipun ia tahu bahwa akhirnya akan sama saja, ia tetap memilih untuk ada di sana.

Karena meskipun Seraphine tidak pernah melihatnya seperti ia melihat gadis itu…

Ansel tetap tidak bisa berhenti mencintainya.

 

Kata yang Tak Pernah Terucap

Malam itu, setelah Seraphine tertidur di kursi penumpang mobilnya, Ansel hanya duduk diam, menatap jalanan kosong dengan perasaan yang tidak bisa dijelaskan. Ia ingin menyentuh gadis itu, ingin menyisir rambutnya dengan jemarinya, ingin membisikkan sesuatu yang mungkin bisa membuat semua luka di hatinya hilang.

Tapi ia tidak bisa.

Dan ia tidak akan pernah bisa.

Ia membiarkan Seraphine tertidur sampai hampir subuh, sampai cahaya matahari pertama mulai menyapu langit. Lalu, dengan lembut, ia menggoyangkan bahu gadis itu.

“Seraphine,” panggilnya pelan.

Seraphine menggeliat, matanya mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya terbuka sepenuhnya. Ia menghela napas panjang, lalu menatap Ansel dengan mata yang masih setengah mengantuk.

“Aku ketiduran, ya?”

Ansel tersenyum tipis. “Hmm.”

Seraphine melirik jam di ponselnya. “Udah subuh.”

“Ya.”

Gadis itu terdiam sebentar, lalu menunduk, memainkan ujung lengan jaket Ansel yang masih ia kenakan. “Aku harus pulang.”

Ansel mengangguk, lalu menyalakan mobil tanpa berkata apa-apa.

Saat ia mengantarkan Seraphine kembali ke apartemennya, ia berharap gadis itu akan mengatakan sesuatu. Apapun. Bahkan jika itu hanya ucapan terima kasih yang biasa.

Tapi Seraphine hanya membuka pintu mobil, menatap Ansel sejenak, lalu tersenyum kecil. “Sampai nanti.”

Dan itu saja.

Ansel menatap punggung gadis itu yang perlahan menghilang di balik pintu apartemennya, lalu menundukkan kepala ke kemudi, menghela napas panjang yang terasa berat di dadanya.

Ia ingin mengatakan sesuatu tadi. Ia ingin menahan gadis itu, ingin bertanya, Apa aku nggak cukup? Apa aku nggak bisa jadi orang yang kamu lihat?

Tapi, seperti semua kata lain yang pernah ingin ia ucapkan…

Semuanya tetap tertahan di dalam dirinya.

Beberapa hari setelah itu, Seraphine tidak menghubunginya.

Tidak ada pesan acak di tengah malam. Tidak ada panggilan tiba-tiba. Tidak ada permintaan untuk bertemu tanpa alasan yang jelas.

Dan Ansel, bodohnya, tetap menunggu.

Ponselnya tetap ada di genggaman, layar yang kosong terasa lebih menyakitkan daripada yang seharusnya. Setiap kali ada notifikasi masuk, ia berharap itu dari Seraphine. Tapi tidak pernah.

Hingga suatu malam, ketika ia akhirnya melihatnya lagi.

Tidak dalam keadaan yang ia inginkan.

Ansel baru saja keluar dari kedai kopi tempat mereka biasa bertemu, udara dingin menggigit kulitnya. Dan di seberang jalan, di bawah lampu jalan yang temaram, ia melihat Seraphine.

Bersama seorang pria.

Bukan sekadar berdiri berdampingan, bukan sekadar berbicara seperti teman biasa.

Pria itu meraih wajah Seraphine dengan lembut, lalu menunduk untuk menciumnya.

Dan Seraphine, yang selama ini selalu terlihat hancur di depan Ansel, yang selama ini selalu datang kepadanya saat ia merasa dunia tidak berpihak padanya…

Ia tersenyum.

Senyum yang utuh.

Senyum yang tidak pernah Ansel lihat saat gadis itu bersamanya.

Jantungnya terasa seperti dihantam sesuatu yang tidak terlihat. Tangannya mengepal tanpa ia sadari, udara di sekelilingnya mendadak terlalu dingin untuk ia hirup.

Seraphine akhirnya menemukannya.

Orang yang ia cari.

Dan itu bukan Ansel.

Ia seharusnya sudah tahu. Seharusnya sudah menerima.

Tapi tetap saja, sakitnya tidak berkurang.

Ansel berdiri di sana untuk beberapa saat, membiarkan dirinya merasakan semuanya—pahitnya, perihnya, hancurnya.

Lalu, sebelum ia bisa melakukan sesuatu yang lebih bodoh lagi, ia membalikkan badan dan pergi.

Tanpa suara.

Tanpa sepatah kata pun.

Karena Ansel tahu, ia tidak berhak untuk marah. Tidak berhak untuk kecewa.

Tidak berhak untuk merasa patah hati.

Karena sejak awal, Seraphine memang bukan miliknya.

Dan Ansel…

Ia hanya tempat singgah yang akhirnya ditinggalkan.

 

Yang Tertinggal Setelah Hujan Pergi

Setelah malam itu, Ansel berhenti menunggu.

Bukan karena ia ingin, tapi karena ia tahu tidak ada gunanya lagi.

Seraphine telah menemukan apa yang ia cari, dan Ansel harus menerima bahwa dirinya hanyalah bagian dari perjalanan gadis itu—bukan tujuan akhirnya.

Hari-hari berlalu tanpa kabar darinya. Tidak ada lagi pesan singkat yang meminta ditemani. Tidak ada lagi suara Seraphine di tengah malam yang meminta pelarian sejenak dari dunia yang ia benci.

Dan Ansel?

Ia menjalani harinya seperti biasa. Bangun, bekerja, pulang, mengulang semuanya keesokan harinya. Semua terasa seperti rutinitas kosong, tanpa warna, tanpa arti.

Bukan karena ia masih mengharapkan sesuatu.

Tapi karena ada bagian dari dirinya yang mati bersama perasaannya yang sia-sia.

Hingga suatu hari, tanpa peringatan, Seraphine kembali muncul.

Ansel sedang duduk di kedai kopi tempat mereka biasa bertemu, bukan karena ia ingin mengenang masa lalu, tapi karena tempat itu sudah menjadi bagian dari rutinitasnya.

Lalu, tiba-tiba saja, gadis itu berdiri di hadapannya, dengan mata yang tidak secerah malam itu ketika ia melihat Seraphine bersama pria lain.

Ansel hanya menatapnya sekilas sebelum kembali menyeruput kopinya, seolah kehadiran gadis itu tidak berarti apa-apa.

Seolah ia tidak pernah mengenalnya.

“Hei,” suara Seraphine terdengar pelan, hampir ragu.

Ansel tidak menjawab. Ia hanya menatap gadis itu dengan ekspresi datar.

Seraphine menggigit bibirnya, lalu menarik napas. “Aku bisa duduk?”

Ansel mengangkat bahu, tanpa benar-benar peduli. Seraphine pun menarik kursi dan duduk di depannya.

Hening.

Biasanya, dulu, ini adalah saat di mana Ansel akan bertanya, Ada apa? atau Kenapa tiba-tiba datang? Tapi sekarang, ia tidak tertarik untuk tahu.

Seraphine akhirnya berbicara lebih dulu. “Aku putus sama dia.”

Ansel tidak terkejut. Ia hanya mengangguk pelan. “Oh.”

Seraphine terlihat bingung dengan reaksinya yang datar. “Itu aja? Nggak mau nanya kenapa?”

Ansel menghela napas, lalu meletakkan cangkir kopinya. “Harusnya aku peduli?”

Seraphine terdiam. Seolah kata-kata Ansel baru saja menamparnya.

Dulu, jika ia datang dalam keadaan seperti ini, Ansel pasti sudah menenangkannya, membiarkannya bersandar, mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja.

Tapi sekarang, tidak ada sisa Ansel yang dulu di hadapannya.

“Jadi, kamu marah?” Seraphine bertanya, suaranya lebih pelan.

Ansel menggeleng pelan. “Nggak.”

“Terus… kenapa kamu jadi beda?”

Ansel menatapnya, lalu tersenyum kecil—bukan senyum hangat seperti dulu, tapi senyum yang hambar. Kosong.

“Aku cuma udah nggak bisa ngerasain apa-apa lagi.”

Seraphine menelan ludah, ekspresinya berubah. “Karena aku?”

Ansel menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. “Seraphine, aku nggak bisa terus ada di sini buat kamu setiap kali dunia nggak berpihak sama kamu.”

Gadis itu mengerjap, tampak seperti seseorang yang baru menyadari sesuatu yang terlambat untuk diperbaiki.

“Aku nggak pernah minta kamu pergi,” ucapnya pelan.

“Tapi kamu juga nggak pernah minta aku tetap tinggal,” jawab Ansel dengan nada tenang, tanpa emosi.

Hening kembali menyelimuti mereka.

Seraphine menunduk, memainkan ujung jaketnya—kebiasaannya setiap kali ia gugup atau tidak tahu harus berkata apa.

“Dulu, aku pikir kamu selalu ada,” ucapnya akhirnya. “Aku pikir, kalau aku balik lagi, kamu bakal tetap di sini.”

Ansel menatap gadis itu lama, lalu tersenyum tipis.

“Kamu benar,” katanya. “Aku memang selalu ada.”

Seraphine mengangkat kepala, tatapan matanya seolah berharap ada sesuatu yang bisa ia pegang dari jawaban itu.

Tapi kemudian, Ansel melanjutkan.

“Tapi bukan buat kamu lagi.”

Dan di saat itulah, sesuatu di dalam diri Seraphine seolah runtuh.

Mungkin, selama ini, ia tidak pernah benar-benar melihat Ansel.

Mungkin, selama ini, ia tidak pernah menyadari bahwa seseorang bisa hilang, bukan karena mereka pergi, tapi karena mereka akhirnya berhenti peduli.

Seraphine menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu. Tapi pada akhirnya, ia hanya diam.

Dan kali ini, ketika ia pergi…

Ansel tidak menahannya.

Karena akhirnya, setelah semua luka dan waktu yang berlalu…

Ia benar-benar berhenti mencintainya.

 

Kadang, yang paling nyakitin itu bukan ditinggalin, tapi sadar kalau kita sebenarnya nggak pernah dianggap ada. Ansel nggak kehilangan Seraphine—karena dari awal, dia nggak pernah benar-benar memilikinya.

Dan begitulah, ada orang yang akhirnya memilih berhenti mencintai, bukan karena lelah, tapi karena akhirnya sadar kalau selama ini mereka cuma berjuang sendirian. Jadi, kalau kamu lagi dalam posisi kayak Ansel, ingat satu hal: beberapa orang memang ditakdirkan untuk kita cintai, tapi bukan untuk kita miliki.

Leave a Reply