Cinta yang Pergi: Cerpen Romansa Sedih tentang Kenangan, Penyesalan, dan Melepaskan

Posted on

Kadang, cinta nggak selalu tentang bahagia atau bersama selamanya. Ada kalanya, kita harus belajar melepaskan—meski rasanya sakit banget. Cerita ini tentang Dhuha, yang harus berhadapan dengan kenyataan pahit bahwa seseorang yang dia cintai, pergi.

Dan meskipun perasaan itu masih ada, dia mulai belajar bahwa hidup nggak selalu harus bertahan di masa lalu. Siap-siap deh, siapin tisu, karena cerpen ini bakal bikin kamu terhanyut dalam kenangan, penyesalan, dan akhirnya… sedikit rasa lega.

 

Cinta yang Pergi

Kenangan yang Tertinggal

Hari itu, udara terasa sedikit lebih dingin dari biasanya. Dhuha duduk di tepi jendela kamar, matanya menatap kosong ke luar. Langit yang mulai gelap menggantungkan awan tebal berwarna kelabu, seakan mencerminkan hatinya yang tak pernah benar-benar cerah sejak kepergian Ersa. Di luar sana, kota tetap berjalan dengan hiruk pikuknya—tapi baginya, semuanya sudah berbeda. Semuanya terasa jauh, seolah ia berada di dalam gelembung kaca yang rapuh, yang hanya bisa mendengar suara dunia tanpa bisa ikut merasakannya.

Ersa. Nama itu seolah terpatri kuat dalam pikiran Dhuha, tak pernah bisa hilang meski ia berusaha untuk melepaskannya. Dia tak tahu kapan tepatnya semua itu berubah, kapan tepatnya senyumnya menjadi alasan untuk tetap bertahan, atau kapan tepatnya segala percakapan mereka menjadi sesuatu yang sangat berarti. Mungkin, itu semua dimulai sejak mereka pertama kali duduk di bangku taman itu bersama, bertukar cerita tentang mimpi dan harapan, bercanda tentang masa depan, dan merasa bahwa semuanya bisa terjadi asalkan mereka bersama.

Tapi, kenyataan akhirnya datang tanpa diundang. Dan kini, dia harus berhadapan dengan kenyataan itu.

Dhuha menatap foto-foto mereka yang tergeletak di meja samping tempat tidur. Beberapa di antaranya adalah potret senyum cerah Ersa, diambil dengan kamera handphone mereka yang sering mereka gunakan untuk menangkap momen-momen kecil yang berarti. Momen yang kini hanya tinggal kenangan. Semua itu terasa seperti sebuah ilusi—sesuatu yang pernah ada, tapi kini hilang begitu saja.

Tangan Dhuha meraih salah satu foto yang ada di sana, foto mereka berdua saat berlibur di pinggir pantai. Senyum Ersa di sana sangat tulus, begitu ceria, hingga bisa menghangatkan hati siapapun yang melihatnya. Dhuha pernah memikirkannya—bagaimana bisa senyum itu kini hanya jadi kenangan, sesuatu yang tak bisa dia pegang lagi.

“Aku nggak tahu harus gimana, Dh. Aku butuh waktu sendiri,” kata Ersa beberapa minggu yang lalu, suaranya terkesan ragu. Dhuha masih ingat jelas, suara itu menggetarkan hati, seakan ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Rasanya seperti sebuah tembok yang dibangun begitu saja di antara mereka berdua.

Dhuha ingat benar bagaimana detik-detik itu berjalan begitu lambat. Saat itu, mereka sedang duduk di bangku taman, di bawah pohon besar yang selalu mereka lewati setiap hari. Ersa memandangnya dengan tatapan yang sulit dibaca, dan Dhuha merasakan sesuatu yang asing—sesuatu yang lebih kuat dari sekadar perasaan cemas.

“Waktu…?” Dhuha sempat bertanya, masih mencoba untuk mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. “Apa maksudnya, waktu? Bukannya kita sudah punya waktu bersama selama ini?”

Ersa menggigit bibir bawahnya, menghindari tatapan Dhuha. “Aku cuma… butuh ruang. Butuh waktu untuk… berpikir, Dhuha.”

Itulah kalimat yang menjadi titik awal dari semuanya. Dhuha ingin memahaminya, ingin meraih tangannya dan berkata bahwa mereka bisa menghadapinya bersama. Tapi saat itu, dia hanya bisa diam. Melihat Ersa pergi begitu saja, dengan kata-kata yang tak bisa dia tanggapi. Sejak itu, dia berusaha untuk menjaga jarak, meski hatinya teriris setiap kali melihat ke arah tempat yang dulu penuh kenangan mereka.

Beberapa minggu berlalu, namun perasaan itu—rasa kehilangan dan kebingungannya—tak kunjung hilang. Setiap pagi, Dhuha masih terbangun dengan kenangan yang menggantung, menyelimutinya seperti kabut tebal yang tak pernah beranjak. Dia mencoba untuk melanjutkan hidup, mencoba untuk berbicara dengan teman-temannya, tapi semuanya terasa hampa. Tidak ada lagi senyuman Ersa yang menenangkan, tidak ada lagi percakapan yang penuh tawa.

“Ersa… kenapa kamu pergi?” bisik Dhuha pada dirinya sendiri, di malam hari ketika semua sudah tidur dan hanya kesunyian yang menemani.

Hari-hari berlalu begitu saja, namun hatinya tetap tak bisa bergerak maju. Dhuha merasa terjebak dalam kenangan yang semakin membuatnya rindu. Setiap sudut kota seolah mengingatkannya pada momen-momen indah yang pernah mereka lalui. Taman tempat mereka sering duduk bersama, kafe kecil di sudut jalan yang selalu mereka singgahi untuk minum kopi, bahkan hujan yang turun dengan lembut seakan membawa kembali suara tawa Ersa yang hilang.

Satu hal yang Dhuha sadari—kenangan itu tak pernah bisa lepas begitu saja. Mereka telah menjadi bagian dari dirinya, menjadi sesuatu yang tidak bisa dia lupakan meski dia berusaha sekuat tenaga untuk melupakan.

“Apakah kamu bahagia di sana, Ersa?” Dhuha bertanya dalam hati, bertanya pada diri sendiri jika mungkin dia bisa mendapatkan jawaban yang sudah lama ingin didengarnya.

Namun, tentu saja tidak ada jawaban. Hanya kesepian yang merayapi tiap langkahnya.

Malam itu, Dhuha keluar dari kamarnya, meninggalkan foto-foto yang masih tergeletak di atas meja. Ia memutuskan untuk berjalan keluar, meski tahu bahwa itu tidak akan mengubah apapun. Senja yang datang begitu lambat, menambah berat di hatinya. Tapi dia tidak tahu harus ke mana lagi. Jarak yang semakin lebar di antara mereka berdua terasa seperti tembok yang tak bisa dihancurkan.

Di luar sana, dunia terus berputar. Namun di dalam dirinya, hanya ada kenangan tentang mereka berdua. Dan dalam setiap langkah yang ia ambil, Dhuha tahu—mungkin dia tak akan pernah benar-benar bisa melupakan Ersa.

 

Senja yang Patah

Dhuha masih berjalan menyusuri trotoar, langkahnya terasa berat, seolah-olah setiap langkah membawa beban yang semakin mendalam. Malam semakin larut, dan lampu-lampu jalan memantulkan cahaya kekuningan yang membuatnya teringat pada senja yang selalu mereka nikmati bersama—senja yang kini hanya menjadi bayangan, seolah menghilang bersama Ersa.

Dia tiba di taman yang dulu menjadi tempat favorit mereka. Di sini, mereka selalu duduk di bawah pohon besar yang rindang, bercakap-cakap tentang mimpi, kehidupan, dan segala hal yang terdengar sederhana tapi terasa sangat berarti waktu itu. Setiap sudut taman ini mengingatkannya pada tawa Ersa, pada semua cerita yang mereka bagi, dan pada janji yang tidak pernah mereka ucapkan. Namun kini, taman ini sepi. Tidak ada lagi gelak tawa, tidak ada lagi suara Ersa yang mengisi ruang kosong di sekitar mereka.

Dhuha duduk di bangku taman, matanya menatap kosong ke depan, seperti tak tahu apa yang sedang dia tunggu. Dia menutup matanya sebentar, mencoba untuk mengingat suaranya, mencoba untuk mengingat senyumannya yang dulu selalu membuat hari-harinya terasa ringan. Tapi yang dia dapatkan hanya kesunyian yang semakin menyakitkan.

“Kenapa kamu pergi, Ersa?” gumamnya lirih, seperti mencoba memecah keheningan malam yang begitu pekat.

Saat itu, ponselnya bergetar, memecah lamunan Dhuha. Tanpa berpikir panjang, dia membuka layar ponsel itu dan melihat nama yang muncul—Aira, sahabat lama yang selalu mencoba menghiburnya. Dhuha terdiam sejenak sebelum akhirnya menerima panggilan itu.

“Hai,” suara Aira terdengar di ujung sana, penuh dengan kehangatan, meski ada rasa khawatir yang jelas terdengar.

“Hai,” jawab Dhuha pelan, berusaha menyembunyikan kerapuhan suaranya.

“Masih di taman?” Aira bertanya, menebak apa yang sedang terjadi. “Kamu harus keluar dari sana, Dhuha. Ini bukan tempat yang tepat untuk kamu mengingat semuanya. Kamu perlu sesuatu yang baru.”

Dhuha tersenyum miris mendengarnya. “Aku tahu, tapi… semua yang ada di sini, di jalan ini, di setiap tempat yang kita lewati bersama, selalu ada dia. Ersa,” ucapnya dengan suara yang hampir hilang. “Aku nggak tahu harus gimana lagi. Semua terasa kosong tanpa dia.”

Aira diam sejenak, mungkin berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku paham, Dh. Tapi kamu nggak bisa terus hidup dalam bayang-bayangnya. Ersa punya jalan hidupnya sendiri, dan kamu… kamu juga harus menemukan jalanmu. Kita bisa mulai lagi dari awal.”

Dhuha menggigit bibirnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Aku nggak bisa. Semua yang aku lakukan, semua yang aku lihat, selalu mengingatkan aku pada dia. Bahkan kalau aku berjalan di tempat yang tidak pernah kami lewati berdua, dia tetap ada. Di dalam setiap hal kecil, ada kenangan yang tak bisa aku lupakan.”

Aira menghela napas panjang. “Aku tahu. Tapi kamu harus tahu, Dh. Waktu nggak akan berhenti hanya karena kamu belum bisa move on. Jangan biarkan dirimu terkubur dalam kenangan yang akhirnya hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”

Dhuha merasa kata-kata Aira menusuk hatinya. Terkadang, saat berada dalam kesakitan yang mendalam, rasanya hampir tidak mungkin untuk bisa melihat jalan keluar. Bagaimana bisa melupakan sesuatu yang begitu berharga, seseorang yang begitu berarti?

“Aku cuma ingin merasa bahwa aku punya kesempatan,” ucap Dhuha perlahan. “Kesempatan untuk bilang kalau aku nggak siap kehilangan dia. Tapi semuanya sudah terlambat.”

Aira tak segera menjawab. Mungkin dia tahu, kadang kata-kata tidak bisa memperbaiki perasaan yang sedang dilanda luka.

Di luar sana, suara angin berdesir pelan, seolah memberi Dhuha waktu untuk merenung. Malam semakin larut, dan udara terasa lebih dingin. Dia merasa terasing di dunia ini, seperti dia terperangkap dalam lingkaran kenangan yang tak bisa lepas. Namun di satu sisi, Dhuha tahu bahwa ia tidak bisa terus-menerus mengutuk masa lalu. Ersa tidak akan kembali, dan itu adalah kenyataan yang harus diterima.

“Cobalah untuk keluar, Dh. Lakukan sesuatu yang baru. Kamu nggak akan tahu kalau kamu terus terjebak di tempat ini,” suara Aira terdengar lagi, lebih lembut kali ini. “Aku ada di sini, kapanpun kamu butuh aku.”

Dhuha mengangguk pelan, meski Aira tidak bisa melihatnya. “Terima kasih, Aira. Aku akan coba. Aku cuma… butuh waktu.”

Setelah percakapan itu berakhir, Dhuha kembali diam, menatap langit yang semakin gelap. Pikirannya kosong. Tidak ada jawaban yang bisa dia temukan. Hanya ada rasa sakit yang terus menggelayuti. Hati Dhuha seperti terbelah, seolah ada dua dunia yang berusaha memaksanya memilih. Dunia yang masih mengingat Ersa dan dunia yang mencoba bergerak maju.

Dhuha berdiri dan melangkah perlahan meninggalkan taman itu. Di sepanjang jalan, ia berjalan tanpa tujuan, tanpa arah. Lampu-lampu jalan berkelip di sekelilingnya, tetapi tak ada yang bisa menembus kegelapan yang ada di dalam hatinya. Senja yang dulu begitu menyenangkan kini hanya menjadi bayangan yang memudar, seperti kisah cinta yang tak pernah selesai.

Dan di setiap langkahnya, Dhuha tahu satu hal—kenangan tentang Ersa akan tetap ada, tak peduli seberapa jauh ia mencoba untuk melarikan diri darinya.

 

Bayang-bayang yang Tak Pernah Menghilang

Pagi datang dengan cahaya yang lembut, tapi bagi Dhuha, itu hanya menguatkan rasa hampa yang semakin dalam. Ia duduk di depan meja, menatap secangkir kopi yang sudah mulai dingin. Rencananya hari ini adalah hari untuk memulai sesuatu yang baru. Tapi seberapa banyak usaha yang bisa ia lakukan untuk mengusir bayang-bayang Ersa dari pikirannya?

Dhuha menghela napas panjang, meremas gelas kopi yang hampir tumpah. Sejak malam tadi, bayangannya selalu kembali, seolah-olah dunia ini tak ada habisnya berputar dalam lingkaran kenangan. Setiap detik, setiap nafas, selalu membawa dia kembali ke saat-saat yang dulu—saat-saat bersama Ersa yang terasa begitu nyata, begitu dekat.

Aira sudah beberapa kali menghubunginya pagi ini, menawarkan berbagai kegiatan yang bisa dilakukan bersama. “Kamu nggak bisa terus di rumah, Dh. Pasti lebih baik kalau kamu keluar, ketemu orang, dan lakukan sesuatu. Jangan cuma terperangkap dalam ingatan. Kamu lebih dari itu,” ujar Aira, dengan nada yang mengingatkan Dhuha pada kenyataan yang tak bisa ia hindari.

Namun, kenyataan itu terasa sangat sulit. Dhuha tidak tahu harus kemana, tidak tahu harus melakukan apa. Sementara di luar sana, hidup terus berjalan tanpa memperdulikan rasa sakit yang sedang ia rasakan. Setiap kali ia mencoba melangkah, rasa berat itu selalu datang kembali, menahan langkahnya.

Teringat saat terakhir kali mereka bertemu. Ersa ada di sana, duduk di sebelahnya, tersenyum dengan wajah yang penuh kebahagiaan. Mereka berbicara tentang masa depan, tentang apa yang akan terjadi setelah lulus nanti. Ersa begitu ceria, seolah dunia ini adalah tempat yang penuh harapan. Dhuha, di sisi lain, hanya bisa tersenyum kaku, karena dalam hatinya, ia tahu bahwa dunia yang cerah itu hanyalah ilusi belaka. Tak ada masa depan yang pasti. Ersa akan pergi, seperti angin yang datang dan pergi begitu saja.

Tiba-tiba, telepon berdering lagi. Dhuha melihat nama yang muncul di layar—Ersa. Untuk sekejap, ia terpaku. Nafasnya tercekat. Tidak mungkin. Itu hanya suara dari kenangan, atau mungkin hanya pikirannya yang sedang mengerjai dirinya sendiri. Tapi dia tahu, itu bukan kenyataan. Ersa sudah tidak ada di sini lagi.

Dengan tangan gemetar, Dhuha menekan tombol untuk menjawab, namun hanya terdengar suara dering panjang yang memberi tahu bahwa panggilan itu tidak terjawab. Entah kenapa, perasaan itu semakin mengganggu. Hatinya merasa sesak, seolah ada sesuatu yang hilang dan tak bisa ia temukan.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumamnya, memandang langit yang cerah di luar jendela. “Kenapa aku nggak bisa lupa?”

Tiba-tiba, suara ketukan di pintu kamar memecah pikirannya. Aira masuk tanpa menunggu jawaban. Melihat wajah Dhuha yang pucat dan tampak letih, Aira berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.

“Dh, kamu udah denger kabar tentang Ersa?” tanya Aira hati-hati, suara lembut, tapi Dhuha bisa merasakan kekhawatiran dalam nada itu.

Dhuha menoleh, terkejut. “Ersa… ada apa dengan dia?”

Aira menarik napas, lalu memandang Dhuha dengan penuh perhatian. “Aku nggak tahu pasti, tapi kemarin, ada yang bilang dia… dia sudah pindah ke luar kota. Mungkin untuk melanjutkan studi atau bekerja di sana. Entahlah. Tapi yang pasti, dia nggak ada di sini lagi.”

Dhuha merasa dunia seakan runtuh di sekitarnya. Kepalanya berputar, dan rasa kosong itu menguasai tubuhnya. Apa ini artinya? Apa Ersa benar-benar pergi tanpa memberi peringatan? Tidak ada kata perpisahan, tidak ada janji untuk kembali. Hanya ada kepergian yang terasa begitu mendalam.

“Dia… pergi?” Dhuha hampir tidak bisa mempercayainya. “Tanpa bilang apa-apa?”

Aira mengangguk pelan. “Aku nggak tahu alasan pastinya, Dh. Tapi kamu harus paham, kadang hidup memang nggak selalu berjalan seperti yang kita harapkan. Kamu tahu dia kan, dia selalu punya cara untuk memilih jalan yang dia anggap terbaik untuk dirinya.”

Dhuha terdiam, menatap kosong ke luar jendela. Semua terasa hampa. Sakit itu datang lagi, lebih dalam, lebih tajam. Mengapa semua yang ia rasakan seolah tak pernah bisa terucap? Mengapa perasaannya selalu terjebak dalam masa lalu yang tak bisa ia ubah?

Ia bangkit dari kursi dan berjalan ke jendela. Matanya menangkap secercah sinar matahari yang masuk melalui celah-celah tirai. Begitu terang, begitu menyilaukan, tapi Dhuha merasakannya seperti bayangan gelap yang menyelubungi hidupnya. Ersa yang dulu selalu ada dalam setiap keputusan, dalam setiap langkah, kini tidak lagi. Seperti bintang yang hilang dari langit malam.

“Dhuha, dengarkan aku,” suara Aira kembali terdengar, lembut namun penuh kekuatan. “Kamu nggak bisa terus hidup di bayangan dia. Kalau kamu terus menunggu, kamu nggak akan pernah bisa melangkah maju. Kamu punya kehidupan sendiri. Kamu punya hak untuk bahagia. Jangan biarkan kenangan itu menguasai hidupmu.”

Dhuha memejamkan mata, mencoba menyerap setiap kata yang diucapkan Aira. Tapi di dalam hatinya, ada rasa yang sulit dijelaskan. Rasa yang seolah tak bisa lepas, seolah tertinggal bersama kenangan itu. Apa benar ia harus melepaskan semua yang ia rasakan, untuk bisa melangkah ke depan?

Dalam kesunyian itu, Dhuha merasakan sesuatu yang baru. Mungkin, justru inilah waktunya untuk menemukan dirinya sendiri. Untuk memahami bahwa meski cinta itu terasa seperti luka yang tak kunjung sembuh, hidup harus terus berjalan. Ersa tidak akan kembali, dan mungkin sudah saatnya Dhuha mulai belajar untuk merelakan.

Namun, meski demikian, bayang-bayang itu tak akan pernah hilang. Dia tahu itu. Karena kenangan tentang Ersa akan selalu ada—terpatri dalam setiap detik hidupnya yang baru.

 

Menemukan Cahaya di Tengah Kegelapan

Dhuha menghela napas panjang saat kaki-kakinya melangkah keluar dari rumah. Hari itu, langit biru terbentang luas, namun hatinya masih terasa berat, seperti ada beban yang tak kunjung hilang. Kenangan tentang Ersa masih menggantung di benaknya, tapi untuk pertama kalinya, Dhuha merasa sedikit lebih ringan. Mungkin bukan karena ia sudah sepenuhnya bisa melepaskan, tetapi karena ia mulai menerima kenyataan bahwa hidup harus terus berjalan, meskipun tanpa kehadiran seseorang yang pernah begitu berarti.

Aira berjalan di sampingnya, memberi ruang bagi Dhuha untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Mereka tidak banyak bicara, hanya langkah-langkah mereka yang beriringan, membentuk ritme yang nyaman. Di jalanan, suara tawa anak-anak bermain dan riuh kendaraan yang berlalu lalang menjadi latar belakang kehidupan yang tampaknya tidak peduli dengan apapun yang sedang Dhuha rasakan.

“Dh, kamu udah coba ke tempat yang aku kasih tahu kemarin? Tempat itu kan biasanya bisa ngasih kamu inspirasi. Mungkin bisa sedikit meringankan perasaan kamu,” kata Aira dengan suara lembut, namun penuh perhatian.

Dhuha mengangguk perlahan. Ia tahu apa yang Aira maksud. Itu adalah taman yang sering mereka kunjungi saat masih duduk di bangku kuliah. Tempat itu, dengan pepohonan rindangnya dan danau kecil yang menenangkan, adalah tempat di mana mereka dulu berbicara panjang lebar tentang masa depan. Tempat di mana Dhuha merasa dekat dengan Ersa, tempat di mana mereka membuat kenangan tanpa menyadari bahwa waktu akan membawa mereka ke arah yang berbeda.

Mereka tiba di taman itu sekitar setengah jam kemudian. Dhuha duduk di salah satu bangku kayu yang ada di pinggir danau, menatap air yang tenang. Matahari mulai turun, menyirami dunia dengan cahaya keemasan. Suasana yang damai itu membawa Dhuha pada sebuah perasaan yang asing, perasaan yang tak pernah ia rasakan selama beberapa waktu terakhir.

Dia menatap langit, seolah mencari jawaban di balik cahaya senja yang semakin meredup. Wajah Ersa muncul dalam pikirannya, namun kali ini tidak ada rasa sakit. Ada sesuatu yang berbeda, seolah kenangan itu mulai membentuk dirinya menjadi seseorang yang lebih kuat, seseorang yang tak lagi terikat pada masa lalu.

“Aira…” suara Dhuha terdengar lebih tenang dari sebelumnya, namun tetap penuh dengan perasaan yang dalam. “Aku rasa… aku mulai mengerti. Aku nggak akan bisa terus hidup dengan bayang-bayang dia. Aku nggak akan bisa terus menunggu sesuatu yang nggak pasti. Mungkin aku harus belajar untuk melepaskan.”

Aira yang berdiri di sebelahnya tersenyum lembut. “Aku tahu kamu kuat, Dh. Aku selalu percaya kamu bisa melewati ini. Kamu hanya perlu waktu. Tidak ada yang salah dengan memberi diri kamu waktu untuk sembuh.”

Dhuha mengangguk, mencoba meresapi kata-kata Aira. Mungkin ini saatnya. Mungkin inilah waktunya untuk berhenti memikirkan masa depan yang tak pasti dan mulai memikirkan masa depan yang ada di tangannya sendiri. Ada banyak hal yang masih bisa ia lakukan, banyak impian yang masih ingin ia raih.

Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga yang mekar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Dhuha merasa hidupnya bisa kembali berjalan. Tidak lagi terjebak dalam kenangan atau penyesalan, tetapi menuju hal-hal yang baru. Tak ada lagi bayangan Ersa yang menghantui setiap langkahnya. Hanya ada dirinya sendiri, dengan harapan baru yang mulai tumbuh perlahan.

Ia berdiri dan menatap danau, melihat refleksi dirinya yang kini berbeda. Di sana, ia melihat seseorang yang lebih kuat, seseorang yang mampu berdamai dengan masa lalu dan membuka diri untuk masa depan yang lebih cerah. Meski perasaan cinta itu tetap ada, Dhuha tahu bahwa ia tak akan bisa hidup selamanya dalam bayang-bayang seseorang yang sudah pergi.

“Terima kasih, Aira,” kata Dhuha, suaranya penuh dengan kehangatan. “Karena kamu nggak pernah menyerah sama aku.”

Aira hanya tersenyum, tanpa kata. Itu sudah cukup baginya. Dhuha sudah menemukan jalan untuk dirinya sendiri, dan itu adalah hal yang paling penting.

Saat matahari benar-benar tenggelam, Dhuha menatap langit yang kini gelap, dan meskipun masih ada kesedihan di hatinya, ia merasa lebih bebas. Ia tahu, kehidupan akan terus berjalan. Dan dengan langkah pertama itu, Dhuha akhirnya menemukan kekuatan untuk bangkit.

Melepaskan bukan berarti melupakan. Itu berarti memberi ruang untuk hal-hal baru, memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk tumbuh. Dan mungkin, hanya mungkin, di suatu hari nanti, Dhuha akan mampu melihat kembali kenangan-kenangan itu dengan senyuman. Tapi untuk saat ini, ia tahu, ia harus bergerak maju. Karena dunia ini lebih besar dari sekadar satu cerita yang sudah berakhir.

Sambil berjalan meninggalkan taman itu, Dhuha merasa sedikit lebih ringan, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa siap untuk menyambut apa yang ada di depan.

 

Jadi, kadang kita harus belajar untuk melepaskan, meski itu nggak mudah. Karena dalam setiap perpisahan, ada kesempatan untuk menemukan diri sendiri lagi. Mungkin, cinta itu nggak selalu tentang kita yang tetap bersamanya, tapi tentang kita yang mampu berdiri tegak meskipun dia sudah pergi.

Siapa tahu, di balik segala kesedihan, ada kebahagiaan yang lebih besar menunggu. Jadi, jangan takut untuk melangkah, karena hidup terus berjalan, dan siapa tahu, cerita baru akan segera dimulai.

Leave a Reply