Cinta yang Nggak Pernah Selesai: Saat Aku, Kamu, dan Dia Terjebak di Lingkaran Tanpa Akhir

Posted on

Pernah nggak sih, ada seseorang di hidupmu yang mau seberapa keras pun kamu coba lepas, tetap aja balik lagi? Kayak magnet yang selalu ketarik, kayak lagu lama yang nggak bisa di-skip, kayak luka yang sembuh tapi bekasnya nggak pernah hilang.

Ini bukan cuma soal cinta, tapi tentang kebiasaan, tentang seseorang yang jadi bagian dari kamu bahkan ketika kalian tahu kalian lebih banyak nyakitin daripada bikin bahagia. Ini cerita tentang aku, kamu, dan dia. Tentang perasaan yang nggak pernah benar-benar selesai.

Cinta yang Nggak Pernah Selesai

Luka yang Kita Pelihara

Arka bertemu Nayla di tahun yang sama ketika hujan lebih sering turun dibanding matahari yang bersinar. Itu tahun di mana segalanya terasa lebih lambat, tapi hidup justru berlari lebih cepat.

Nayla, dengan segala pesonanya yang berantakan, datang ke dalam hidup Arka seperti angin topan—menghantam keras, merusak ketenangan, tapi entah kenapa tetap membuatnya bertahan di tengah badai. Mereka bertemu di sebuah pesta kecil yang sebenarnya tidak menarik, di mana Arka lebih memilih duduk diam dengan segelas soda, sementara Nayla adalah pusat dari segala kebisingan.

“Aku butuh alasan buat kabur dari orang-orang bising itu,” kata Nayla sambil duduk di sebelah Arka.

Arka hanya melirik sekilas. “Terus kenapa malah duduk di sebelah aku?”

Nayla tertawa kecil, menyesap minuman dari gelas plastiknya. “Karena kamu kelihatan lebih menarik daripada mereka.”

Dari pertemuan pertama itu, hubungan mereka berjalan seperti dua kutub yang bertabrakan. Nayla penuh gairah dan spontanitas, sementara Arka lebih memilih diam dan mengamati. Tapi justru itu yang membuat semuanya bekerja—sampai akhirnya tidak lagi.

Hubungan mereka tidak pernah benar-benar tenang. Nayla terlalu impulsif, Arka terlalu banyak berpikir.

“Kamu kenapa sih selalu mikir lama buat ambil keputusan? Hidup itu nggak bisa terus diatur pakai logika, Arka.”

Dan Arka, yang selalu mencoba sabar, akhirnya membalas, “Dan kamu kenapa nggak pernah mikir sebelum ngomong atau ngelakuin sesuatu?”

Nayla membuang napas kasar, lalu meraih tasnya. “Aku capek ngomong sama kamu.”

“Tapi kamu nggak pernah pergi, ‘kan?”

Dan benar, Nayla tidak pernah benar-benar pergi.

Entah berapa kali mereka bertengkar karena hal-hal yang seharusnya bisa diselesaikan dengan kepala dingin. Tapi Nayla selalu meledak, dan Arka selalu mencoba menenangkan, meskipun akhirnya dia sendiri ikut terbakar dalam kemarahan yang sama.

Kadang mereka saling diam berhari-hari. Kadang Nayla menangis dan mengancam pergi. Kadang Arka benar-benar berharap Nayla tidak kembali.

Tapi setiap kali ada jeda di antara mereka, mereka selalu kembali, seolah tubuh mereka sudah diprogram untuk mencari satu sama lain.

Ada satu malam di mana Arka berpikir, mungkin ini titik akhirnya.

Mereka bertengkar hebat di dalam mobil, di parkiran apartemen Nayla. Hujan turun di luar, membasahi jendela dengan tetesan air yang memburamkan cahaya lampu jalan.

“Aku nggak ngerti kenapa kamu selalu berusaha bikin aku salah dalam segala hal!” Nayla berteriak, suaranya nyaris bergetar karena emosi.

Arka menggenggam setir erat, menahan keinginannya untuk ikut berteriak. “Karena kamu nggak pernah mau dengerin aku!”

“Karena aku capek, Arka! Aku capek harus selalu jadi orang yang lebih banyak berusaha di hubungan ini! Aku capek kalau kamu cuma diem dan berharap semuanya bakal baik-baik aja!”

Arka akhirnya menoleh, menatap Nayla dengan tatapan yang sulit diartikan. Lelah, kecewa, mungkin juga putus asa. “Terus maunya kamu apa?”

Nayla terdiam.

Dan dalam keheningan itu, hujan tetap turun, mengetuk kaca mobil seolah ingin ikut campur dalam kekacauan di antara mereka.

Untuk pertama kalinya, Nayla tidak tahu harus berkata apa.

Arka menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya membuka pintu mobil. “Aku butuh udara,” katanya, sebelum keluar dan membiarkan hujan membasahi tubuhnya.

Nayla hanya bisa memandang punggungnya dari balik jendela.

Dan mungkin, untuk pertama kalinya juga, Nayla sadar bahwa mungkin kali ini Arka benar-benar sudah sampai di batasnya.

Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang akan jauh lebih menyakitkan.

Sesuatu yang akan membuat mereka menyadari bahwa hubungan ini, sejak awal, memang bukan sesuatu yang bisa mereka selamatkan.

 

Perpisahan yang Tak Benar-Benar Usai

Mereka tidak langsung putus malam itu.

Tidak ada kata perpisahan yang diucapkan. Tidak ada kesepakatan untuk berhenti. Yang ada hanya jeda panjang yang terasa lebih dingin dari biasanya.

Sejak malam itu, Arka dan Nayla berhenti berbicara. Tidak ada chat, tidak ada telepon, tidak ada pertengkaran yang biasa terjadi setiap dua atau tiga hari sekali.

Semuanya hanya… sunyi.

Dan sunyi itu ternyata lebih menyiksa dari yang mereka kira.

Hingga tiga minggu kemudian, Nayla mengirim pesan.

“Kamu di mana?”

Butuh waktu lima menit sebelum Arka membalas.

“Kenapa?”

Nayla mengetik sesuatu, lalu menghapusnya. Kemudian mengetik lagi.

“Aku butuh kamu.”

Arka menatap layar ponselnya lama. Seharusnya dia tidak membalas. Seharusnya dia mengabaikan. Tapi jari-jarinya tetap mengetik.

“Di tempat biasa.”

Dan seperti itulah mereka.

Tidak peduli seberapa keras mereka mencoba menjauh, ketika salah satu terjatuh, yang lain pasti akan datang.

Arka menunggu di dalam mobil di depan kafe kecil yang biasa mereka datangi. Langit gelap, lampu jalan menyala temaram. Napasnya berat, tangannya menggenggam setir tanpa sadar.

Dia tahu Nayla akan datang.

Dan benar, lima belas menit kemudian, sosok itu muncul di depan kaca mobilnya.

Nayla masuk tanpa berkata apa-apa. Raut wajahnya terlihat lebih pucat dari biasanya, matanya sembab.

Arka tidak bertanya.

Mereka hanya duduk dalam diam selama beberapa menit sebelum akhirnya Nayla berbisik, “Aku benci ini.”

Arka meliriknya sekilas. “Benci apa?”

Nayla menghela napas panjang, menatap lurus ke depan. “Benci gimana kita selalu nyakitin satu sama lain, tapi tetap nggak bisa benar-benar pergi.”

Arka menatapnya lama sebelum akhirnya berkata, “Tapi kita juga nggak bisa tetap di sini, Nay.”

Hening.

Nayla menggigit bibir, menunduk. “Jadi kita harus gimana?”

Arka tidak menjawab. Dia sendiri tidak tahu.

Mereka akhirnya putus satu bulan setelah percakapan itu.

Kali ini tidak ada pertengkaran besar. Tidak ada teriakan atau air mata. Tidak ada pintu yang dibanting atau ponsel yang dilempar ke tembok.

Hanya pertemuan singkat di sebuah taman di sore hari, dengan Arka yang berkata, “Kita nggak bisa terus kayak gini.”

Dan Nayla yang akhirnya hanya diam, sebelum mengangguk pelan.

Hanya begitu saja.

Setelah itu, mereka mulai menjalani hidup masing-masing.

Arka menghapus chat Nayla, tapi tidak pernah benar-benar bisa menghapus nomor itu dari ponselnya.

Nayla menghindari tempat-tempat yang biasa mereka kunjungi, tapi tetap menyimpan foto mereka di galeri.

Mereka berpura-pura baik-baik saja. Pura-pura menjalani hidup yang lebih sehat.

Tapi yang tidak mereka sadari, perpisahan ini bukan akhir.

Karena ketika luka yang mereka tinggalkan masih terbuka, benang di antara mereka tidak benar-benar terputus.

Dan suatu saat, salah satu pasti akan jatuh lagi.

Dan yang lain, seperti biasa, akan kembali.

 

Kita yang Selalu Kembali

Mereka sudah berpisah.

Sudah tidak ada lagi percakapan larut malam, tidak ada panggilan telepon yang diangkat dengan suara mengantuk, tidak ada pertemuan mendadak di tengah hari hanya untuk sekadar duduk bersama dalam diam.

Tapi jika memang benar-benar sudah berakhir, mengapa rasanya masih sama?

Arka pikir hidupnya akan lebih tenang setelah perpisahan itu.

Dia mulai lebih fokus pada pekerjaannya, lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman-teman yang dulu sering dia abaikan. Bahkan, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa bisa bernapas tanpa harus memikirkan apakah besok akan ada pertengkaran lagi atau tidak.

Tapi yang tidak dia sadari, Nayla masih ada di setiap sudut kecil hidupnya.

Di lagu yang tiba-tiba terdengar di radio mobilnya. Di jalanan yang mereka lewati berkali-kali. Di kafe yang secara refleks masih ingin dia datangi meskipun kini dia memilih untuk menghindarinya.

Sementara Nayla…

Nayla sibuk berpura-pura baik-baik saja.

Dia pergi ke pesta, bertemu dengan banyak orang baru, mencoba tersenyum lebih sering. Tapi di balik semua itu, ada kehampaan yang tidak bisa dia isi.

Kadang, dia hampir mengirim pesan. Kadang, dia menatap ponselnya lama, menunggu sesuatu yang dia tahu tidak akan datang.

Tapi keduanya bertahan dalam diam.

Sampai malam itu tiba.

Pukul dua dini hari.

Arka terbangun karena dering telepon.

Nama di layar membuat dadanya terasa sesak.

Nayla.

Dia menatap layar itu lama, ragu apakah harus mengangkat atau tidak. Tapi seperti biasa, jarinya bergerak lebih cepat daripada pikirannya.

“Nay?”

Hening beberapa detik. Kemudian suara di seberang sana terdengar serak dan pelan. “Aku nggak bisa napas.”

Arka langsung duduk, kesadarannya seketika penuh. “Kamu di mana?”

“Apartemen.”

“Aku ke sana.”

Dia bahkan tidak berpikir. Tidak bertanya kenapa atau bagaimana. Tidak peduli apakah seharusnya dia ada di sana atau tidak.

Karena sejak awal, mereka memang tidak pernah benar-benar bisa melepaskan satu sama lain.

Nayla membuka pintu dengan tangan gemetar. Matanya merah, wajahnya pucat.

Arka tidak bertanya apa-apa.

Dia hanya masuk, menutup pintu, lalu menarik Nayla ke dalam pelukannya.

Nayla mencengkeram bajunya erat, menyembunyikan wajah di dadanya. Napasnya masih tersengal, tapi perlahan mulai teratur.

“Aku benci ini,” gumam Nayla, suaranya nyaris tak terdengar.

Arka menghela napas. “Aku tahu.”

“Kita nggak boleh gini terus.”

Arka tidak menjawab.

Karena mereka sudah berkali-kali mengatakan hal yang sama. Sudah berkali-kali mencoba berhenti.

Tapi pada akhirnya, mereka selalu kembali.

Pagi itu, Arka pergi sebelum matahari benar-benar muncul.

Nayla tetap terjaga, duduk di ujung tempat tidurnya, menatap langit yang perlahan berubah warna.

Sesuatu di dalam dirinya terasa semakin kosong.

Karena dia tahu, mereka tidak bisa terus begini.

Tapi dia juga tahu, mereka tidak akan bisa benar-benar berhenti.

 

Cinta yang Tak Pernah Selesai

Arka dan Nayla berhenti menghubungi satu sama lain setelah malam itu.

Bukan karena mereka sudah benar-benar bisa melupakan, tapi karena mereka tahu, jika dibiarkan, mereka akan terus terjebak dalam lingkaran yang sama.

Dan untuk pertama kalinya, mereka sama-sama takut dengan fakta bahwa mereka bisa saling menghancurkan lebih dari yang pernah mereka sadari.

Tapi seperti biasa, dunia punya cara lain untuk mempermainkan mereka.

Enam bulan kemudian.

Arka tidak pernah berpikir akan bertemu Nayla lagi dalam keadaan seperti ini.

Di sebuah kafe kecil di sudut kota, dia duduk di seberang seorang perempuan yang tersenyum lembut setiap kali dia bicara. Perempuan yang datang ke dalam hidupnya dengan tenang, tanpa drama, tanpa luka lama yang harus dijahit berkali-kali.

Nadine.

Hubungan mereka terasa mudah. Nyaman. Tidak ada perdebatan hebat, tidak ada panggilan telepon di tengah malam yang penuh isak tangis.

Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arka merasa… damai.

Tapi kedamaian itu hanya bertahan sampai pintu kafe terbuka.

Dan sosok yang masuk membuat napasnya tercekat.

Nayla.

Mereka saling bertatapan. Hanya beberapa detik, tapi rasanya seperti sesuatu yang lebih besar daripada waktu.

Arka melihat ada seseorang di samping Nayla. Seorang pria yang dia tidak kenal, tapi cukup untuk memberinya kesadaran bahwa Nayla juga sudah punya kehidupan baru.

Dia seharusnya tidak merasakan apa-apa.

Tapi kenapa dadanya sesak?

Malamnya, ponsel Arka bergetar.

Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak pernah lagi menghubunginya selama berbulan-bulan.

“Aku masih butuh kamu.”

Arka menutup matanya.

Dulu, dia akan langsung datang. Tanpa pikir panjang. Tanpa peduli apa pun.

Tapi malam ini, dia hanya menatap layar ponselnya lama.

Kemudian, dia mengetik sesuatu.

“Nay, kita nggak bisa terus begini.”

Tidak ada balasan.

Arka membayangkan Nayla sedang menatap pesan itu sama lamanya seperti dia menatap ponselnya.

Dan entah bagaimana, dia tahu Nayla mengerti.

Pagi itu, Nayla menghapus nomor Arka.

Arka menghapus chat terakhir mereka.

Mereka sama-sama tahu, ini bukan akhir dari perasaan itu.

Cinta mereka tidak pernah benar-benar selesai.

Tapi ada hal-hal yang tidak seharusnya mereka teruskan.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidup mereka, mereka memilih untuk melepaskan—bukan karena sudah tidak saling mencintai, tapi karena mereka sadar…

Kadang cinta saja tidak pernah cukup.

 

Kadang, cinta itu bukan soal siapa yang paling sayang, tapi siapa yang paling berani buat melepaskan. Nggak semua cerita bisa berakhir dengan bahagia, dan nggak semua orang yang kita cintai memang seharusnya kita pertahankan.

Karena pada akhirnya, ada cinta yang nggak ditakdirkan untuk bersama, tapi juga nggak akan pernah benar-benar hilang. Dan mungkin, itu yang paling menyakitkan.

Leave a Reply