Cinta yang Memilih Setia: Kisah Livia dan Niko

Posted on

Hai, kamu pernah merasakan sakit hati yang bikin kamu pengen mengurung diri seharian? Nah, di sini ada cerita tentang Livia, cewek yang harus berjuang buat bangkit dari patah hati dan menemukan cinta baru yang lebih baik. Siap-siap baper, ya, karena perjalanan Livia ini penuh drama, harapan, dan pastinya, baper! Yuk, kita intip bagaimana Livia memilih untuk setia pada cintanya yang baru.

 

Kisah Livia dan Niko

Janji di Ujung Jalan

Sore itu, Livia berdiri di ujung jalan setapak yang berbatu, menatap langit yang perlahan memerah. Setiap jengkal tempat itu menyimpan kenangan indah, mengingatkannya pada tawa dan harapan yang pernah mengisi hari-harinya. Angin lembut berbisik, membawa aroma segar dari pepohonan di sekitar, tetapi hatinya seakan tertutup awan mendung.

Di hadapannya, Arka muncul, berjalan dengan langkah ragu. Wajah tampan itu kini tampak lebih muram, seolah bayang-bayang kesedihan menyelimuti jiwanya. Livia mengamati ekspresi Arka dengan hati-hati, merasakan getaran di dalam dadanya. “Kita sudah berjanji untuk selalu bersama, kan?” suara Livia bergetar, mencoba menjaga ketenangan meski rasa cemas mulai merayap.

Arka mengangguk pelan, tetapi sorot matanya menghindar. “Iya, Livia. Tapi…”

Kata ‘tapi’ itu menggetarkan hatinya. “Tapi apa, Arka?” Livia menatapnya dengan penuh harap, berusaha mencari secercah keyakinan dari tatapan yang penuh keraguan itu.

“Aku… aku rasa aku sudah tidak bisa melanjutkan ini.” Suara Arka serak, seakan ada yang menyekat dari dalam. Kata-katanya mengoyak ketenangan yang coba dipertahankan Livia.

Mata Livia melebar, tak percaya dengan apa yang baru saja didengar. “Apa kamu serius? Kita sudah berjuang bersama untuk semua ini!” Dia merasa seperti ditampar, setiap kata terasa seperti jarum yang menusuk lembut, tetapi sangat menyakitkan.

“Aku tahu,” Arka melanjutkan dengan nada penuh penyesalan. “Tapi ada seseorang yang membuatku merasa hidup lagi. Dia… dia datang saat aku merasa kehilangan.”

Hati Livia terjerembab ke dalam jurang kesedihan. “Jadi, kamu memilih dia? Meninggalkan semua yang kita miliki?” Setiap kata yang diucapkan terasa berat, seakan menggerogoti keteguhan hatinya.

“Livia, aku tidak mau menyakitimu. Kamu tahu betapa berarti kamu bagiku. Tapi aku… tidak bisa berpura-pura lagi,” ucap Arka, wajahnya tertunduk, seperti burung yang terkurung dalam sangkar.

“Aku memilih untuk setia padamu, Arka!” Suara Livia meninggi, teringat pada semua kenangan manis yang pernah mereka jalani. “Bagaimana bisa kamu melupakan semua itu begitu saja?”

“Maafkan aku,” Arka berbisik, tetapi Livia tidak ingin mendengar kata ‘maaf’ itu. Kata-kata itu hanya menambah luka di dalam hatinya. Dia ingin berteriak, tetapi suaranya tercekik dalam kerinduan dan sakit hati.

Sekali lagi, Livia menatap mata Arka, berharap menemukan cinta yang pernah ada. Namun, yang ia temui hanyalah bayangan samar dari kenangan yang pudar. “Kamu pergi begitu saja, tanpa menghargai semua yang kita bangun?”

Arka terdiam, tidak bisa menjawab. Livia merasakan air matanya mulai menetes, tetapi ia berusaha keras menahan. “Kamu harus pergi, Arka. Jika ini yang kamu pilih, aku tidak bisa memaksa.”

Langit semakin gelap, dan suara rintik hujan mulai terdengar. Livia merasa setiap tetes hujan adalah pelipur lara bagi hatinya yang remuk. Dalam hati, dia berjanji untuk menemukan kembali dirinya, meskipun saat ini semua terasa begitu menyakitkan.

“Livia, aku…” Arka mencoba berbicara lagi, tetapi Livia memotongnya.

“Jangan. Aku butuh waktu untuk memikirkan semuanya. Mungkin ini adalah jalan terbaik untuk kita berdua.”

Dengan langkah berat, Livia menjauh, meninggalkan Arka di belakangnya. Dia merasa seolah ada yang hancur dalam dirinya. Namun, di dalam hati, dia tahu bahwa cinta yang tulus takkan pernah berakhir meski disakiti. Dia akan memilih untuk setia pada kenangan indah, meskipun sekarang terasa seperti beban yang tak tertahankan.

Hujan mulai mengguyur, dan Livia merasakan air yang membasahi wajahnya, bercampur dengan air matanya. Dia tidak ingin terlihat lemah, tetapi perasaannya tak bisa dia sembunyikan. Dalam setiap tetes hujan, dia merasa seolah ada harapan baru yang muncul, meski sangat kecil.

Dengan langkah penuh tekad, Livia melangkah pulang, berusaha mengumpulkan potongan-potongan hatinya yang hancur. Dia tahu, meskipun rasa sakit ini takkan hilang dengan cepat, dia akan menemukan cara untuk melanjutkan hidupnya. Dan di dalam hatinya, dia berjanji untuk selalu setia kepada cinta yang lebih dalam—cinta kepada dirinya sendiri.

 

Berlayar Tanpa Kompas

Hari-hari berlalu, dan Livia merasa hidupnya seperti kapal yang kehilangan arah di tengah badai. Setiap pagi saat bangun tidur, rasa berat itu menyambutnya kembali. Dia berusaha beraktivitas seperti biasa—kuliah, berkumpul dengan teman-teman, bahkan ikut dalam kegiatan kampus. Namun, rasa kehilangan itu selalu membayangi langkahnya.

Malam hari, saat seharusnya menjadi waktu bersantai, Livia malah sering terjaga, memikirkan semua kenangan bersama Arka. Dia kembali ke tempat yang penuh ingatan, mencari cara untuk melupakan, tetapi semua itu hanya membuatnya semakin tenggelam dalam rasa sedih.

Suatu malam, Livia duduk di meja belajarnya, dengan lembaran kosong di depannya. Ia memegang pena, tetapi tak ada kata yang bisa dia tulis. Otaknya terisi oleh kenangan-kenangan indah yang terus berulang. “Kenapa harus seperti ini?” gumamnya pelan, mencoba menyingkirkan rasa sakit yang menghimpit hatinya.

Akhirnya, Livia menutup matanya dan membayangkan Arka. Dia teringat pada suara tawa mereka saat berjalan-jalan di taman, saat saling menggoda di kafe, hingga saat mereka berbagi mimpi di bawah bintang-bintang. “Aku harus bisa move on,” pikirnya, tetapi setiap kali mencoba, rasanya seperti melawan arus.

Keesokan harinya, saat di kampus, Livia berusaha untuk bersosialisasi. Dia bertemu dengan teman-teman kuliahnya di kafe, tetapi suasana terasa canggung. Tidak ada yang tahu apa yang dia rasakan, dan dia tidak ingin membebani mereka dengan masalahnya.

“Eh, Livia! Sudah lama kita tidak melihatmu ceria,” sapa Mira, sahabatnya. “Kamu baik-baik saja?”

Livia tersenyum tipis, berusaha menampakkan kesan positif. “Iya, aku baik-baik saja. Hanya butuh sedikit waktu untuk diri sendiri,” jawabnya, mencoba meyakinkan Mira dan dirinya sendiri.

“Kalau butuh teman, aku di sini, ya! Kita bisa nonton film atau makan es krim,” tawar Mira, penuh perhatian.

“Terima kasih, Mira. Mungkin lain kali,” Livia menjawab, merasa bersalah karena tidak bisa sepenuhnya menikmati tawaran itu.

Sepanjang hari, Livia merasakan hatinya kosong. Ketika dia melihat pasangan-pasangan lain di kampus, rasa sakit itu kembali menghantui. Dia bertanya-tanya apakah Arka merasakan hal yang sama, atau apakah dia sudah sepenuhnya melupakan mereka.

Malam itu, Livia kembali ke kamarnya dan mencoba menyalakan musik. Lagu-lagu yang biasanya membuatnya merasa bahagia kini hanya menyisakan rasa pahit. Livia akhirnya mengambil keputusan untuk menulis, berharap bisa mengekspresikan semua perasaannya.

Dengan pena di tangan, dia mulai menulis puisi tentang cinta dan kehilangan, tentang bagaimana dia berjuang melawan rasa sakitnya. Kata-kata itu mengalir seperti air terjun, penuh emosi yang terpendam. Dalam setiap bait, dia menemukan kekuatan untuk menerima bahwa cinta tidak selalu berjalan mulus.

“Cinta, yang aku pilih setia, meski kini berlayar tanpa kompas…” tulisnya, merasakan setiap kata mencerminkan hatinya.

Ketika menulis, Livia merasakan semacam kelegaan. Seperti ada beban yang terangkat, meski dia tahu rasa sakitnya belum sepenuhnya hilang. Malam itu, dia bertekad untuk mencari kembali siapa dirinya sebelum Arka datang, menemukan kembali mimpi dan harapannya yang sempat terpendam.

Sejak saat itu, setiap malam Livia menghabiskan waktu menulis. Dia menemukan kebahagiaan dalam setiap kalimat, menjadikannya sebagai pelarian dari realita. Di antara tumpukan kertas, dia merasakan kedamaian yang selama ini hilang. Kata-kata menjadi sahabatnya, menggantikan kehadiran Arka yang kini hanya menjadi kenangan.

Namun, meski Livia mulai menemukan kembali jati dirinya, rasa rindu kepada Arka tetap membayangi. Dia masih ingin mendengar suaranya, melihat senyumnya, tetapi dia tahu itu tidak mungkin. Dia memilih untuk melanjutkan hidupnya, berjuang meski terkadang terasa berat.

Suatu sore, saat dia duduk di taman kampus, menulis di bawah sinar matahari, dia melihat sekelompok orang berkumpul. Mereka tertawa, berbagi cerita, dan menikmati kebersamaan. Di tengah keramaian itu, Livia melihat Arka sedang berdiri. Jantungnya berdegup kencang, hatinya bergetar.

Tanpa sadar, dia membayangkan apa yang akan terjadi jika Arka mendekatinya. “Apa yang akan aku katakan?” pikirnya, merasa cemas. Namun, Arka tidak melihat ke arahnya, dan Livia merasa seolah ada jurang yang menghalangi mereka.

Malam itu, Livia kembali ke kamarnya dengan pikiran yang membingungkan. Di satu sisi, dia ingin melanjutkan hidupnya, tetapi di sisi lain, hatinya tidak bisa sepenuhnya lepas dari masa lalu. Dalam keraguan dan kesedihan, dia bertekad untuk melanjutkan perjalanan ini dengan satu harapan: menemukan cinta yang lebih dalam, bahkan jika itu harus dimulai dari diri sendiri.

 

Cinta yang Tak Terlupakan

Minggu-minggu berlalu, dan Livia berusaha menata kembali hidupnya. Dia mulai bergabung dengan klub puisi di kampus, tempat di mana dia bisa mengekspresikan perasaannya tanpa harus merasa tertekan. Di sana, Livia bertemu dengan banyak orang baru yang memiliki latar belakang berbeda, tetapi semuanya memiliki satu kesamaan: cinta pada kata-kata.

Di salah satu sesi, saat membacakan puisi tentang harapan, Livia merasakan sesuatu yang berbeda. Suaranya bergetar saat ia membacakan bait yang ditulisnya dengan penuh rasa. “Cinta itu seperti pelangi, indah tetapi rapuh; terkadang hadir, tetapi sering kali menghilang,” ucapnya, dan seisi ruangan terdiam sejenak, merasakan kedalaman kata-katanya.

Salah satu anggota klub, Niko, yang duduk di barisan depan, tampak terpukau. Setelah sesi berakhir, dia menghampiri Livia. “Kamu punya bakat yang luar biasa. Puisi itu sangat menyentuh. Rasanya seperti kamu berbicara langsung dari hati,” puji Niko, senyum lebar menghiasi wajahnya.

Livia merasa sedikit terkejut, tetapi senyumnya kembali. “Terima kasih. Aku hanya mencoba mengekspresikan apa yang aku rasakan.”

Niko adalah sosok yang ramah dan menyenangkan, dengan pengertian yang mendalam tentang seni. Mereka mulai berbincang lebih jauh, dan Livia merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkan Niko. “Kalau kamu mau, kita bisa kolaborasi bikin puisi. Mungkin bisa jadi sesuatu yang unik,” tawar Niko.

“Aku suka idenya! Kita bisa mencoba,” jawab Livia, merasa semangatnya kembali berkobar.

Sejak hari itu, mereka mulai sering bertemu untuk berdiskusi tentang puisi dan berbagi pengalaman. Niko membuat Livia merasa nyaman, seolah dia bisa menjadi diri sendiri tanpa merasa tertekan. Setiap pertemuan mereka diwarnai tawa dan obrolan hangat, mengingatkannya pada saat-saat indah bersama Arka, tetapi dengan cara yang berbeda.

Meski Livia masih merindukan Arka, kehadiran Niko memberi nuansa baru dalam hidupnya. Dia mulai berani membuka hatinya untuk hal-hal baru, bahkan jika rasa sakit itu masih menghantui. Suatu malam, saat mereka selesai menulis puisi bersama, Niko mengajak Livia untuk pergi ke sebuah kafe kecil yang sering mereka lewati.

“Kamu harus coba kue cokelat di sana. Rasanya enak banget!” kata Niko, matanya berbinar penuh antusiasme.

“Baiklah, ayo! Aku suka cokelat,” balas Livia, merasa bersemangat. Kafe itu penuh dengan cahaya lembut dan aroma kopi yang menggugah selera. Mereka duduk di sudut yang tenang, dan saat menunggu pesanan, Niko mengeluarkan beberapa puisi yang telah dia tulis.

Livia terpesona membaca karya Niko. “Wow, ini keren! Kamu sangat berbakat,” pujinya, dan Niko hanya tersenyum malu.

Saat mereka berbicara, Livia mulai merasakan kehangatan yang sudah lama tidak dia rasakan. Tawa dan canda Niko membawanya kembali ke masa-masa ceria, membuatnya merasa bahwa hidup masih menyimpan keindahan. Namun, di sudut hatinya, Arka tetap menghantui.

Suatu malam, saat mereka berada di kafe, Livia tidak bisa menahan diri untuk bertanya, “Niko, pernahkah kamu mencintai seseorang tetapi harus merelakannya?”

Niko terdiam sejenak, seolah merenungkan setiap kata. “Ya, pernah. Rasanya sangat menyakitkan. Tapi aku belajar bahwa mencintai tidak selalu berarti memiliki. Kadang, melepaskan adalah bentuk cinta yang sebenarnya,” jawabnya dengan bijak.

Kata-kata Niko menggugah Livia. Dalam hati, dia mulai merenungkan kembali perasaannya terhadap Arka. Mungkin, memang saatnya dia belajar untuk merelakan, meski itu terasa sulit. Dia tidak ingin terus-menerus terjebak dalam kenangan yang menyakitkan.

Seiring berjalannya waktu, hubungan Livia dan Niko semakin dekat. Dia mulai berbagi lebih banyak tentang hidupnya, tentang bagaimana dia berjuang untuk bangkit dari keterpurukan. Niko menjadi pendengar yang baik, selalu ada untuknya, memberikan dukungan tanpa menghakimi.

Suatu malam, ketika mereka berada di taman, Livia merasakan kehangatan di hatinya. Dia mengingat saat-saat indah saat berjalan di bawah sinar bulan, berbagi impian dan harapan. “Niko, terima kasih telah ada di sini. Aku merasa kamu sudah membantu aku banyak,” ucap Livia, sambil memandangi langit malam.

Niko menatapnya dengan lembut. “Aku hanya melakukan apa yang seharusnya. Kita saling membantu, kan? Aku senang bisa mengenalmu, Livia.”

Saat itu, Livia merasakan benih-benih perasaan baru tumbuh di dalam hatinya. Mungkin ini adalah langkah menuju cinta yang berbeda, cinta yang tidak memaksanya untuk mengingat masa lalu, tetapi membawanya ke petualangan baru. Namun, bayangan Arka masih ada, membuatnya ragu.

Kembali ke rumah malam itu, Livia merasa bingung. Dia tahu harus memberikan kesempatan pada dirinya sendiri untuk mencintai lagi, tetapi bagaimana jika hatinya masih terikat pada kenangan bersama Arka? Dalam perasaannya yang campur aduk, Livia tahu satu hal: perjalanan ini belum berakhir. Dia harus terus melangkah, meski jalannya tidak selalu jelas.

 

Menemukan Cahaya Baru

Hari-hari berlalu dan Livia merasa hidupnya mulai berputar kembali. Setiap pagi, dia berusaha untuk bangkit dan menjalani rutinitasnya dengan semangat baru. Kegiatan di klub puisi semakin membuatnya betah, dan Niko terus menjadi sumber inspirasi yang tak terduga. Melalui puisi-puisi mereka, Livia belajar untuk mengungkapkan perasaannya dengan cara yang lebih jujur.

Suatu sore, saat mereka berlatih bersama di taman, Livia merasakan kedamaian yang belum pernah dia rasakan sebelumnya. Di bawah sinar matahari yang hangat, mereka duduk berdampingan, berbagi tulisan dan cerita. “Kamu tahu, Livia, aku merasa beruntung bisa menemukan seseorang yang mau berbagi hal-hal ini,” ucap Niko, sambil tersenyum.

“Dan aku merasa beruntung bisa punya teman seperti kamu,” balas Livia, hatinya bergetar mendengar pujian itu.

Tetapi di dalam hatinya, bayangan Arka masih kadang menghantuinya. Dia selalu bertanya-tanya apakah dia akan dapat sepenuhnya melupakan masa lalu yang menyakitkan itu. Namun, seiring berjalannya waktu, dia mulai menyadari bahwa melepaskan bukan berarti melupakan, melainkan menerima dan melanjutkan hidup.

Suatu malam, saat duduk di balkon kamarnya, Livia melihat bulan yang bersinar terang. Kenangan bersama Arka muncul lagi, tetapi kali ini dia tidak merasa sakit hati. Dia merasa bersyukur pernah merasakan cinta yang tulus. “Terima kasih, Arka, untuk semua kenangan indah yang kita buat. Kini saatnya aku melangkah,” bisiknya, seolah-olah bulan bisa mendengarnya.

Keesokan harinya, Livia bangkit dengan semangat baru. Dia menyiapkan beberapa puisi untuk dibacakan dalam acara terbuka di kampus. Hari itu, dia merasa perlu berbagi perasaannya dengan lebih banyak orang.

Saat tiba gilirannya di panggung, dia merasakan jantungnya berdegup kencang. Livia menatap audiens yang penuh dengan teman-teman dan orang-orang yang mendukungnya. “Aku ingin membagikan puisi ini untuk siapa pun yang pernah merasakan sakit hati, tetapi menemukan kembali cahaya dalam kegelapan,” ucapnya, mengatur napas sebelum mulai membaca.

Puisi itu bercerita tentang cinta yang hilang, tetapi juga tentang kekuatan untuk bangkit. Saat menyampaikan bait demi bait, Livia merasakan kekuatan di dalam dirinya. Kata-katanya meluncur dengan lancar, dan setiap kalimat yang diucapkannya menambah keyakinan dalam dirinya.

Di antara kerumunan, dia melihat Niko tersenyum, dan itu memberinya dorongan lebih. Ketika dia menyelesaikan pembacaan, tepuk tangan riuh menggema di seluruh ruangan. Livia merasa bangga. Dia tidak hanya berbagi cerita, tetapi juga mengekspresikan perjalanan emosional yang telah dilalui.

Setelah acara, banyak orang yang datang menghampirinya. Mereka memberi pujian dan berbagi cerita tentang bagaimana puisi itu menyentuh mereka. Livia merasa terhubung dengan banyak orang, merasakan energi positif yang mengalir di sekelilingnya.

Niko mendekatinya, matanya bersinar penuh kekaguman. “Kamu luar biasa, Livia! Aku terharu mendengarnya,” katanya, dan Livia merasakan kehangatan dari pujian itu.

“Terima kasih, Niko. Aku merasa sangat bersemangat hari ini,” balasnya, hatinya berdebar bahagia.

Sejak saat itu, Livia semakin aktif di klub puisi. Dia berusaha untuk mengeksplorasi lebih banyak tentang dirinya, mencari cara untuk mengungkapkan perasaannya dengan lebih mendalam. Dalam proses itu, dia semakin dekat dengan Niko. Mereka berbagi impian, harapan, dan ketakutan. Hubungan mereka tumbuh, tetapi Livia masih merasakan ketakutan untuk sepenuhnya membuka hatinya.

Suatu sore, saat mereka duduk di kafe favorit mereka, Livia merasakan keinginan untuk membicarakan perasaannya. “Niko, aku ingin jujur tentang bagaimana perasaanku,” ucapnya, menatap langsung ke matanya.

Niko memperhatikannya dengan penuh perhatian. “Apa pun itu, aku di sini untuk mendengarkan,” jawabnya, memberikan dorongan yang Livia butuhkan.

“Aku masih merindukan Arka. Tapi aku juga menyadari bahwa hidupku tidak bisa terjebak di masa lalu. Aku ingin memberi kesempatan untuk sesuatu yang baru, jika kamu bersedia,” Livia mengungkapkan, merasa hatinya berdebar.

Niko tersenyum lebar. “Aku sangat menghargai kejujuranmu, Livia. Aku juga ingin kita bisa menjelajahi apa yang bisa terjadi di antara kita. Tidak perlu terburu-buru, kita bisa melakukannya dengan pelan,” katanya lembut.

Mendengar itu, Livia merasa lega. Dia tidak perlu terburu-buru untuk menyimpulkan perasaannya. Mereka dapat menjalani proses ini dengan hati-hati, saling memahami dan saling mendukung.

Sejak hari itu, Livia memutuskan untuk menjalani hidupnya dengan penuh semangat dan harapan. Dia tidak lagi terjebak dalam bayangan Arka, melainkan memilih untuk merangkul kenangan itu sebagai bagian dari perjalanan hidupnya. Dia belajar untuk mencintai dirinya sendiri dan membiarkan cinta baru memasuki hidupnya.

Livia merasa seolah-olah dia sedang menjelajahi lautan baru, berlayar dengan harapan dan keyakinan. Dia tahu bahwa perjalanan ini tidak selalu mudah, tetapi dia siap menghadapinya dengan sepenuh hati. Dengan Niko di sisinya, Livia merasa tidak sendirian. Dia tahu, cinta yang setia akan selalu menemukan jalannya, bahkan dalam kegelapan.

 

Jadi, apa yang bisa kita ambil dari cerita Livia? Kadang, perjalanan cinta itu nggak selalu mulus, tapi dengan keberanian untuk melepaskan masa lalu dan membuka hati untuk hal baru, kita bisa menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.

Ingat, cinta yang setia tidak hanya berarti menunggu, tapi juga berani melangkah ke depan. Semoga cerita ini bikin kamu berpikir ulang tentang cinta dan harapan, dan ingatlah, selalu ada cahaya di ujung terowongan. Sampai jumpa di cerita selanjutnya!

Leave a Reply