Cinta yang Kembali: Kisah Perjalanan Dua Hati dan Peluang Kedua

Posted on

Jadi, pernah nggak kamu ngerasa kayak terjebak di antara masa lalu dan masa kini? Gitu deh, pas ketemu mantan yang bikin semua kenangan kembali melintas di benak.

Ini cerita tentang Bianca dan Levin, dua hati yang terpisah oleh waktu, tapi ternyata masih ada benang merah yang menghubungkan mereka. Siap-siap, ya! Karena kita akan menyelami dunia cinta yang penuh warna, keraguan, dan kesempatan kedua! Let’s go!

 

Cinta yang Kembali

Bayang-Bayang di Bawah Gerimis

Malam itu, langit tampak suram. Awan gelap menggantung berat, seperti membawa beban yang terlalu sulit untuk dilepaskan. Gerimis turun pelan-pelan, membasahi jalanan yang sepi. Udara di luar terasa lembap, dan lampu-lampu jalan memancarkan cahaya kuning redup yang terpantul di genangan air. Di sisi kota yang lebih tenang, Bianca berdiri di depan pintu kafe kecil yang baru saja menutup. Tangannya menggenggam secangkir kopi hangat yang masih mengepul. Aroma kopi itu sedikit memberi kenyamanan di malam yang sendu, meskipun hati Bianca terasa dingin dan jauh dari damai.

Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba menikmati keheningan yang ada, namun pikirannya terlalu sibuk untuk benar-benar tenang. Sepuluh tahun berlalu sejak hari itu, tetapi setiap kali hujan turun, perasaannya seolah kembali ke masa lalu. Kembali ke masa ketika dia dan Levin masih saling memahami tanpa banyak kata. Kembali ke waktu ketika mereka berbagi tawa, impian, dan senyuman, tanpa perlu mengakui bahwa ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.

Bianca menghela napas pelan. Di bawah payung besar yang menaungi depan kafe, dia menatap ke arah jalanan. Sepi. Sama seperti hatinya yang kosong. Levin, pria yang pernah menghiasi hari-harinya, kini hanya bayang-bayang samar dalam ingatan. Mereka pernah begitu dekat, namun jarak di antara mereka sekarang terasa seperti tak terukur. Levin pergi tanpa sepatah kata, meninggalkan Bianca dengan banyak pertanyaan tanpa jawaban.

“Kenapa kamu nggak pernah kembali, Levin?” bisiknya pelan, seolah berharap angin bisa membawa pesan itu pada orang yang entah ada di mana.

Dulu, di hari-hari yang penuh warna, Levin adalah pusat dari segalanya. Meski mereka tidak pernah mengucapkan kata cinta, hubungan mereka begitu kuat—lebih dari sekadar sahabat, tetapi juga bukan sepasang kekasih. Ada ikatan tak kasatmata yang selalu menghubungkan mereka. Levin, dengan kameranya, sering kali memotret Bianca saat gadis itu melukis. Mereka berdua menikmati keheningan bersama, di mana tidak perlu banyak bicara karena setiap gerakan, setiap senyuman, sudah menjelaskan segalanya.

Namun, semuanya berubah dalam sekejap. Tanpa peringatan, tanpa alasan yang jelas, Levin menghilang. Bianca mencoba mencari alasan, mencoba mencari jawaban di balik kepergiannya, tetapi yang ia temukan hanya kesunyian. Dan kini, sepuluh tahun berlalu, kenangan itu masih hidup, meskipun Levin sudah menjadi bagian dari masa lalu yang Bianca simpan rapat-rapat.

“Aku sudah move on, kok,” gumam Bianca pelan, meski tidak sepenuhnya percaya pada kata-katanya sendiri. Dia menggerakkan tangannya, menghangatkan diri dengan cangkir kopi yang masih ia genggam. Gerimis belum juga berhenti, dan malam terasa semakin dingin. Bianca merapikan rambutnya yang tergerai di bawah mantel cokelat panjang yang ia kenakan.

Lalu, ponselnya bergetar. Pesan dari temannya yang memberitahukan pameran seni di galeri kecil dekat pusat kota. Bianca tersenyum tipis. Dia memang sudah merencanakan akan pergi ke sana besok malam. Sejak meninggalkan sekolah seni, dia memutuskan untuk menekuni dunia lukisan. Bukan karena dia ingin melarikan diri dari kenangan bersama Levin, tapi karena di setiap sapuan kuas, di setiap warna yang ia pilih, Bianca merasa lebih bisa mengekspresikan semua yang tidak pernah bisa ia ungkapkan lewat kata-kata.

Lukisan-lukisannya sering kali menggambarkan perasaan kehilangan yang mendalam, tetapi juga ada harapan yang samar. Setiap kali dia melukis, Bianca seperti berbicara dengan dirinya sendiri. Lukisan-lukisan itu adalah tempat dia menumpahkan semua yang ia pendam selama bertahun-tahun. Ada satu lukisan yang paling dia banggakan—lukisan tentang siluet seorang pria yang berdiri di bawah hujan, dengan latar belakang kabut yang tebal. Pria itu, meskipun tidak memiliki wajah, selalu mengingatkannya pada Levin.

Namun, Bianca tidak pernah benar-benar mencari Levin. Bukan karena dia tidak ingin tahu bagaimana kabarnya, tetapi karena dia takut. Takut jika Levin sudah menemukan tempat lain yang lebih baik daripada berada di sampingnya. Takut bahwa Levin sudah benar-benar melupakan semua kenangan yang pernah mereka bagi. Bagaimanapun, Bianca tahu bahwa beberapa orang memilih untuk tidak kembali ke masa lalu. Beberapa cerita memang seharusnya dibiarkan tanpa akhir.

Di dalam kafe, barista yang sedang beres-beres memperhatikannya. “Kamu nggak kedinginan, Bianca?” tanya pria itu sambil melipat apron-nya. Mereka sudah saling mengenal cukup lama, meskipun tak pernah ada obrolan yang terlalu mendalam.

“Ah, nggak kok, biasa aja,” jawab Bianca sambil tersenyum tipis. “Cuma lagi menikmati suasana aja.”

Pria itu mengangguk, lalu masuk ke dalam. Bianca kembali menatap jalanan. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada galeri seni tempat pameran besok. Bianca tidak tahu kenapa, tapi firasatnya mengatakan bahwa sesuatu akan terjadi. Sesuatu yang mengubah perasaan hampa yang sudah lama dia rasakan.

Malam berganti pagi dengan cepat, dan sebelum Bianca menyadarinya, dia sudah berdiri di depan galeri seni. Suasana di dalam cukup ramai, banyak orang berkumpul di depan berbagai lukisan dan patung yang dipamerkan. Bianca merasa sedikit gugup. Ini adalah salah satu pameran besar pertamanya setelah sekian lama. Meski sudah sering memamerkan karya-karyanya di beberapa tempat, pameran ini terasa berbeda. Ada perasaan bahwa sesuatu yang tak terduga akan terjadi.

Dia melangkah masuk, dan aroma cat yang segar memenuhi ruangan. Musik klasik yang lembut mengalun di latar belakang, memberi suasana yang menenangkan. Bianca tersenyum tipis melihat beberapa orang berhenti di depan lukisannya. Salah satu lukisan yang dia pamerkan adalah lukisan siluet pria di bawah kabut dan gerimis—lukisan yang selalu membuatnya teringat pada Levin.

“Ini luar biasa,” seseorang berbisik di dekatnya, membuat Bianca menoleh.

Tapi suara itu… Bianca membeku. Detak jantungnya tiba-tiba melonjak. Di depan lukisan itu, berdiri seorang pria dengan postur tubuh yang sangat dikenalnya. Rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali ia melihatnya, tapi wajah itu, sorot mata yang teduh namun dingin itu—tidak mungkin salah. Bianca hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya. Itu Levin.

Seperti ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat, Levin mendekat ke lukisan itu, memandanginya dengan tatapan dalam. Bianca merasa ingin melangkah maju, mengatakan sesuatu, tapi kakinya seolah tertahan. Segala kenangan yang selama ini ia coba lupakan menyerbu pikirannya. Apakah ini nyata? Apakah ini hanya kebetulan?

“Ini lukisan yang sangat kuat,” Levin bergumam pada dirinya sendiri, matanya masih terpaku pada siluet itu.

Bianca menahan napas. Tiba-tiba, ruangan terasa lebih kecil, lebih sesak. Mungkin ini adalah saatnya, pikirnya. Mungkin ini adalah waktu di mana semua pertanyaan yang selama ini ia pendam akan terjawab. Namun, dia juga tahu, bahwa pertemuan ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang mungkin akan mengubah hidupnya sekali lagi.

Dan tanpa dia sadari, malam itu menjadi awal dari perjalanan baru yang tak pernah ia duga sebelumnya.

 

Lukisan yang Tak Pernah Usai

Malam itu, Bianca merasa seperti terjebak dalam adegan mimpi yang terlalu nyata. Levin, sosok yang selalu hadir dalam ingatannya namun tak pernah dia temui selama bertahun-tahun, kini berdiri di depan lukisan yang paling berarti baginya. Setiap detik terasa begitu panjang, dan Bianca tidak tahu apa yang harus dilakukan—haruskah dia menyapanya, atau tetap diam dan membiarkan waktu yang memutuskan?

Langkah Levin mundur perlahan, dan Bianca melihat tatapan matanya yang penuh arti. Dia menatap lukisan itu dengan cara yang membuat Bianca yakin, pria itu tahu siapa yang digambarkan di dalamnya. Tapi dia tetap tak bergerak. Tangannya gemetar di samping tubuhnya, seolah kehilangan kekuatan untuk bertindak.

Beberapa detik berlalu seperti selamanya hingga tiba-tiba suara seorang wanita terdengar di ruangan itu, menyadarkan Bianca dari kebekuan. “Levin, kamu di sini!” Suara ceria itu datang dari arah lain galeri, disusul oleh seorang wanita dengan gaun merah yang tampak mewah melangkah cepat menuju Levin. Dia meraih tangan Levin dengan penuh percaya diri, seperti seseorang yang sudah sangat dekat dengan pria itu.

“Aku sudah keliling galeri ini, tapi kamu malah di sini, asyik sendirian,” wanita itu tertawa ringan.

Bianca tersentak. Rasanya ada sesuatu yang menyengat di dalam dadanya. Dia menelan ludah, mencoba mengabaikan perasaan aneh yang muncul ketika melihat Levin bersama wanita lain. Mereka tampak serasi, setidaknya dari pandangan luar. Wanita itu memiliki kecantikan yang anggun, berbeda jauh dengan Bianca yang masih mengenakan pakaian sederhana untuk pameran. Entah mengapa, Bianca merasa semakin kecil di tengah keramaian itu.

“Ah, maaf, aku tadi terpaku melihat lukisan ini,” jawab Levin sambil tersenyum kecil, meski sorot matanya masih tertuju pada lukisan di hadapannya. Bianca memperhatikan bahwa senyuman Levin tampak sedikit berbeda, lebih kaku dari yang dia ingat.

Wanita itu, yang tampaknya tidak terlalu peduli dengan lukisan, menatap Levin dengan manja. “Yuk, kita lihat yang lain. Kamu kan janji bakal nemenin aku keliling.” Levin mengangguk, meski matanya sekali lagi terarah pada lukisan Bianca sebelum dia berbalik.

Bianca merasakan napasnya sedikit sesak. Bagaimana bisa, setelah sepuluh tahun, pertemuan mereka terjadi dengan cara seperti ini? Seolah-olah Levin hanyalah pengunjung biasa yang singgah sejenak di pamerannya, lalu pergi bersama orang lain tanpa satu kata pun untuknya.

“Bianca?” Suara lain menyapanya. Kali ini, suara itu berasal dari temannya, Ilona, sesama seniman yang sering bekerja sama dengannya dalam proyek pameran. “Kamu kenapa? Dari tadi diem aja.”

Bianca menggeleng pelan, berusaha menyembunyikan kegugupannya. “Nggak apa-apa, aku cuma… lagi mikir aja.”

“Kamu kelihatan pucat. Apa karena pameran pertama di galeri ini?” Ilona menatapnya dengan khawatir. “Santai aja, karya-karyamu bagus kok. Lihat aja, banyak yang suka.”

Bianca tersenyum lemah. Bukan pameran ini yang membuatnya gelisah, melainkan kemunculan Levin yang begitu mendadak. “Iya, mungkin cuma sedikit gugup aja.”

Ilona menepuk bahunya. “Santai. Nggak usah dipikirin, oke?”

Bianca mengangguk, meskipun pikirannya masih jauh dari kata tenang. Saat Ilona beranjak pergi untuk menyapa pengunjung lain, Bianca tetap diam di tempatnya, memandangi lukisannya sendiri. Sekarang, siluet itu terasa semakin jelas. Itu memang tentang Levin. Dan mungkin, tanpa dia sadari, setiap lukisan yang dia buat selama bertahun-tahun adalah upaya Bianca untuk menyampaikan sesuatu kepada pria itu—sesuatu yang tak pernah sempat diucapkan.

Waktu berlalu. Pameran selesai dengan sukses, tapi bagi Bianca, malam itu meninggalkan perasaan tak selesai. Dalam perjalanan pulang, Bianca terus memikirkan pertemuan singkat dengan Levin dan wanita misterius yang bersamanya. Siapa dia? Apa Levin sudah menemukan kebahagiaannya bersama orang lain? Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepalanya, namun Bianca tidak memiliki jawaban. Dan mungkin, dia terlalu takut untuk mencari tahu.

Keesokan harinya, Bianca memutuskan untuk kembali ke studionya. Studio itu, yang terletak di pojok apartemen mungilnya, adalah tempat dia bisa melarikan diri dari dunia luar. Dindingnya penuh dengan kanvas kosong, cat minyak yang berantakan, dan beberapa sketsa yang belum selesai. Di sini, dia selalu menemukan ketenangan, meski hanya sementara.

Bianca menatap kanvas besar di tengah ruangan. Kanvas itu adalah proyek barunya—sesuatu yang dia mulai kerjakan beberapa minggu lalu, tapi belum sempat diselesaikan. Entah kenapa, setiap kali dia mencoba melanjutkan lukisan itu, Bianca merasa seperti ada yang menghalangi tangannya untuk menyentuh kuas. Mungkin karena dia masih mencari tahu apa yang sebenarnya ingin dia tuangkan ke dalam lukisan itu. Dan sekarang, setelah melihat Levin lagi, inspirasi yang dia cari seolah-olah mulai terbentuk di dalam pikirannya.

Dengan perlahan, dia mengambil kuas dan mulai melukis. Tangannya bergerak otomatis, menciptakan bayangan-bayangan abstrak yang saling bertautan. Bianca membiarkan perasaannya mengalir melalui setiap sapuan kuas. Rasa rindu yang dia pendam begitu lama, kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi selanjutnya, dan keraguan tentang apakah dia masih memiliki tempat dalam hidup Levin.

Saat dia tenggelam dalam proses itu, suara ketukan di pintu mengagetkannya. Bianca menurunkan kuasnya, membersihkan tangannya dengan cepat, lalu berjalan menuju pintu. Dia tidak mengharapkan tamu di hari seperti ini, dan jantungnya berdebar aneh saat dia membuka pintu.

Levin berdiri di sana.

Bianca terdiam, matanya membelalak kaget. “Levin?” Suaranya keluar pelan, hampir seperti bisikan.

Levin tersenyum tipis. “Boleh aku masuk?”

Bianca menelan ludah. Ini terlalu mendadak. Perasaannya bercampur aduk antara bahagia, gugup, dan sedikit bingung. “Tentu,” jawabnya akhirnya, memberi jalan bagi Levin untuk masuk.

Ruangan studio itu terasa lebih kecil saat Levin melangkah masuk, melihat-lihat sekelilingnya. Bianca mencoba membaca ekspresinya, tapi seperti biasa, wajah Levin sulit ditebak. Dia selalu pandai menyembunyikan perasaannya, sesuatu yang dulu membuat Bianca frustrasi.

“Studio yang bagus,” kata Levin pelan, pandangannya berhenti pada lukisan yang setengah jadi di tengah ruangan. “Kamu masih melukis.”

“Tentu saja,” jawab Bianca singkat. “Itu satu-satunya hal yang selalu bisa membuatku merasa lebih baik.”

Levin mengangguk pelan. Dia diam sejenak, seolah mencoba merangkai kata-kata yang tepat. “Aku… sudah lama ingin bicara denganmu, Bianca.”

Bianca merasakan jantungnya berdetak kencang. Dia tidak tahu apa yang akan dikatakan Levin, tapi perasaannya tak menentu. Sudah terlalu lama mereka terpisah, dan kini mereka berdiri di ruangan yang sama, dengan jarak di antara mereka yang seolah tak bisa terjembatani.

Namun, saat Levin menatapnya dengan tatapan yang serius, Bianca tahu bahwa apa pun yang akan terjadi, pertemuan ini akan mengubah segalanya.

 

Bayangan yang Kembali

Levin berdiri di tengah studio, seolah ruang itu adalah dunia yang asing baginya. Bianca bisa merasakan getaran aneh di antara mereka—seperti ada hal besar yang menunggu untuk diungkapkan, tetapi mereka berdua ragu untuk memulainya. Bianca menyandarkan diri pada meja kecil di dekat jendela, mencoba menenangkan perasaannya yang campur aduk. Rasanya, waktu berlalu dengan sangat lambat saat Levin mengamati setiap sudut studio, termasuk lukisan-lukisan yang berjajar di dinding.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, Levin akhirnya berbicara. “Lukisanmu… selalu punya cara untuk menangkap emosi yang nggak bisa diungkapin dengan kata-kata.”

Kalimat itu membuat jantung Bianca berdebar. Dia mengerutkan kening, berusaha memahami maksud dari kata-kata Levin. “Maksudmu?”

Levin menghela napas, matanya sekali lagi tertuju pada lukisan setengah jadi yang tergantung di tengah ruangan. “Aku tahu aku menghilang dari hidupmu, Bianca. Dan aku nggak akan bohong, itu bukan hal yang mudah. Banyak yang berubah selama sepuluh tahun ini.”

Bianca menggigit bibirnya. Dia ingin mengatakan sesuatu—apa saja—tapi kata-kata itu tak kunjung keluar. Suara Levin terdengar tenang, tetapi ada sesuatu di baliknya, seperti rasa bersalah yang mendalam.

“Kamu benar-benar nggak pernah bilang apa-apa,” kata Bianca akhirnya, suaranya nyaris pecah. “Aku nggak ngerti, Levin. Satu hari kamu ada di sana, dan hari berikutnya kamu nggak pernah kembali. Kamu ninggalin aku tanpa penjelasan.”

Levin terdiam sesaat, tampak berjuang dengan emosinya sendiri. “Aku… nggak tahu harus bilang apa waktu itu. Semua terjadi begitu cepat. Pindah ke luar negeri, keluarga, pekerjaan… aku terlalu pengecut buat hadapi semuanya.”

Bianca tertawa kecil, meski tak ada kebahagiaan dalam tawanya. “Jadi, kamu pikir dengan ninggalin tanpa kabar itu lebih baik?”

Levin tampak gelisah, tangannya bergerak ke arah rambutnya yang agak acak-acakan. “Nggak, tentu aja nggak. Aku nyesel, Bianca. Setiap hari, aku kepikiran tentang apa yang aku lakuin waktu itu, dan apa yang seharusnya aku lakuin. Tapi waktu itu aku terlalu bingung, terlalu takut untuk ngadepin kenyataan.”

Kenyataan apa? Itu pertanyaan yang muncul di benak Bianca, tapi dia tidak segera mengatakannya. Matanya memandang Levin dengan ragu, berharap ada kejelasan dari semua keraguan yang selama ini menggerogotinya.

“Aku udah berusaha buat move on, Levin. Aku benar-benar mencoba untuk hidup tanpamu,” Bianca melanjutkan, suaranya lebih tegas sekarang. “Tapi kamu tiba-tiba muncul lagi, dan semua yang udah aku bangun selama ini jadi terasa nggak berarti.”

Levin mendekat, matanya menatap Bianca dengan intensitas yang membuatnya merasa terjebak di tempat. “Aku datang bukan untuk ganggu hidupmu, Bianca. Aku cuma… aku cuma butuh bicara denganmu, tentang hal-hal yang dulu nggak sempat aku jelaskan.”

Bianca menahan napas. Levin begitu dekat sekarang, dan itu membuatnya merasa canggung. “Hal-hal apa, Levin? Apa lagi yang perlu kita bicarakan setelah semua ini?”

Levin menghela napas dalam-dalam. “Tentang perasaan kita, Bianca. Perasaan yang dulu aku pikir bisa hilang dengan waktu. Tapi ternyata nggak.”

Perasaan yang dulu? Bianca merasa seperti terhanyut dalam ingatan masa lalu mereka. Dulu, Levin adalah segalanya baginya. Tapi saat dia menghilang, Bianca belajar hidup tanpa bayangannya. Namun, kini pria itu ada di hadapannya lagi, membawa serta semua kenangan yang seharusnya sudah terkubur.

“Apa kamu benar-benar yakin, Levin?” Bianca bertanya pelan, takut dengan jawaban yang akan dia dengar. “Setelah semua ini, apa kamu yakin masih ada yang tersisa untuk kita?”

Levin terdiam sesaat, menatap Bianca dengan pandangan yang begitu dalam. “Aku nggak pernah lupa, Bianca. Setiap lukisan yang kamu buat, setiap momen yang kita habiskan bareng… semuanya selalu ada di pikiranku. Aku tahu, aku nggak pantas untuk minta kesempatan lagi, tapi aku harus jujur. Aku nggak pernah bisa move on darimu.”

Bianca merasa dadanya bergetar. Kalimat-kalimat itu terdengar seperti yang selalu dia tunggu selama bertahun-tahun, tapi mendengarnya sekarang malah membuatnya bingung. Apa yang harus dia lakukan? Levin, pria yang dulu begitu dia cintai, sekarang mengaku bahwa dia belum pernah melupakan perasaan itu.

Tapi apakah itu cukup? Apakah satu pengakuan bisa memperbaiki semua keretakan di antara mereka?

“Kamu nggak ngerti, Levin,” Bianca berkata pelan. “Aku sudah mencoba untuk melupakanmu. Aku mencoba untuk hidup tanpamu, dan untuk waktu yang lama, aku berhasil. Sekarang kamu datang lagi, tiba-tiba saja, dan semua usahaku selama bertahun-tahun seolah sia-sia.”

Levin menundukkan kepalanya, tampak menyesal. “Aku ngerti, Bianca. Dan aku minta maaf. Aku tahu, aku nggak bisa berharap kamu langsung nerima aku kembali. Tapi aku cuma pengen satu hal… kesempatan buat ngelurusin semua.”

“Kesempatan?” Bianca menatap Levin dengan mata penuh pertanyaan. “Untuk apa, Levin? Apa kamu ingin semuanya kembali seperti dulu? Karena itu nggak mungkin.”

Levin tampak berjuang mencari kata-kata yang tepat. “Aku nggak berharap semuanya bisa kembali seperti dulu. Tapi aku pengen kita punya kesempatan buat bicara, buat menebus apa yang aku hancurkan. Mungkin kita nggak akan pernah bisa balik ke tempat kita dulu, tapi kita bisa mulai lagi, meskipun dengan langkah kecil.”

Bianca menarik napas panjang. Apa yang Levin katakan terdengar masuk akal, tapi itu tidak menghapus rasa sakit yang sudah dia alami selama bertahun-tahun. “Aku nggak tahu, Levin,” Bianca akhirnya berkata dengan nada lembut. “Mungkin aku perlu waktu. Semua ini terlalu mendadak buat aku.”

Levin mengangguk pelan. “Aku ngerti. Aku nggak akan memaksa. Aku cuma ingin kamu tahu, aku masih di sini, dan aku siap kalau kamu mau ngomong lagi.”

Ada jeda yang panjang di antara mereka sebelum Levin akhirnya beranjak pergi. Bianca menatap punggungnya saat pria itu menuju pintu. Ada bagian dari dirinya yang ingin menahannya, ingin membiarkannya tinggal dan menyelesaikan semua percakapan ini. Tapi bagian lain, bagian yang terluka selama bertahun-tahun, merasa bahwa ini bukanlah saatnya.

Ketika Levin akhirnya menutup pintu di belakangnya, Bianca merasa lega sekaligus hampa. Dia menunduk, menatap kanvas yang belum selesai di depannya, dan menyadari bahwa perjalanan mereka—perjalanan panjang yang penuh keraguan dan rasa sakit—belum usai.

Mungkin, seperti lukisan yang ada di depannya, cinta mereka hanyalah bayangan yang belum sepenuhnya terlukis. Sesuatu yang akan butuh lebih banyak waktu untuk benar-benar terselesaikan.

 

Lukisan Terakhir

Hari-hari berlalu dengan hening. Bianca terjebak dalam kebingungan yang semakin dalam, perasaan terombang-ambing di antara masa lalu dan masa kini. Levin memang tidak memaksa, tapi kehadirannya yang kembali di hidup Bianca sudah cukup untuk mengacaukan segalanya. Setiap kali dia melangkah ke studionya, kenangan akan percakapan mereka memenuhi pikirannya, seperti bayangan yang tidak bisa diabaikan.

Dia duduk di depan kanvas kosong, kuas di tangannya, tapi tak ada yang bergerak. Biasanya, ketika Bianca merasa buntu, dia akan menuangkan semua yang dia rasakan ke dalam lukisan. Namun kali ini, setiap gerakan terasa berat, seolah ada sesuatu yang menahan perasaannya dari mengalir bebas. Dia tahu apa yang harus dia hadapi—perasaannya untuk Levin yang belum benar-benar hilang, meski dia sudah mencoba sekuat tenaga untuk menolaknya.

“Bianca?”

Suara itu mengejutkannya. Bianca menoleh, dan mendapati Ellie berdiri di ambang pintu, ekspresi penuh perhatian di wajahnya. Sahabatnya itu tampak ragu-ragu, seolah tak yakin apakah dia boleh mengganggu. “Kamu baik-baik aja?”

Bianca memaksakan senyum. “Ya, aku cuma… terlalu banyak mikir.”

Ellie masuk ke dalam studio, mengamati lukisan-lukisan yang masih belum selesai, dan kemudian menatap Bianca. “Tentang Levin?”

Bianca mengangguk, tak ada gunanya menyembunyikan hal itu dari Ellie. “Aku nggak tahu, El. Setelah sepuluh tahun, dia kembali, dan sekarang rasanya… semua perasaan yang udah aku kubur jadi muncul lagi.”

Ellie duduk di kursi di dekat Bianca, menatap sahabatnya dengan penuh empati. “Kamu masih mencintainya?”

Pertanyaan itu menusuk hati Bianca. Dia tidak langsung menjawab, tetapi di dalam hatinya, dia tahu jawabannya sudah jelas sejak hari pertama Levin kembali. “Aku nggak tahu, Ellie. Mungkin, tapi semuanya terasa salah sekarang. Setelah sekian lama, apa aku masih bisa percaya padanya?”

Ellie menghela napas panjang, menatap Bianca dengan penuh perhatian. “Denger, Bianca. Kadang, cinta itu nggak pernah benar-benar hilang, bahkan setelah bertahun-tahun. Tapi kamu harus tanya pada dirimu sendiri, apakah kamu siap untuk memaafkan dan mencoba lagi? Atau apakah kamu lebih baik melanjutkan hidup tanpa dia?”

Bianca memandang Ellie dengan penuh keraguan. “Aku nggak tahu. Rasanya semuanya terlalu cepat.”

“Tapi kamu juga nggak bisa selamanya menghindar dari perasaanmu, Bi. Cepat atau lambat, kamu harus mengambil keputusan.”

Bianca terdiam, kata-kata Ellie meresap dalam benaknya. Selama ini, dia terus mencoba menghindar dari kenyataan, berharap bahwa semua kebingungannya akan hilang dengan sendirinya. Tapi Ellie benar—dia harus menghadapi apa yang dia rasakan, dan lebih penting lagi, apa yang dia inginkan untuk masa depannya.

Beberapa hari kemudian, Levin kembali ke studio. Bianca sudah menduganya akan datang, tetapi kali ini, dia merasa lebih siap. Tidak ada lagi bayang-bayang yang menggantung di pikirannya, hanya ada sebuah keputusan yang harus dia ambil—apa pun hasilnya.

Mereka berdiri di tempat yang sama seperti sebelumnya, di tengah-tengah ruangan yang dipenuhi lukisan-lukisan yang masih belum selesai. Levin tampak gugup, tetapi Bianca bisa melihat bahwa dia juga tampak lebih tenang dibanding pertemuan sebelumnya.

“Aku tahu ini sulit,” kata Levin, suaranya pelan namun mantap. “Dan aku tahu aku nggak punya hak untuk minta apa pun darimu. Tapi aku tetap harus jujur, Bianca. Aku masih mencintaimu.”

Kata-kata itu menggantung di udara, begitu sederhana namun penuh makna. Bianca menatap Levin, dan untuk pertama kalinya sejak dia kembali, dia merasakan ketenangan. Bukan karena semuanya sudah jelas, tapi karena dia tahu apa yang harus dia lakukan sekarang.

“Aku percaya kamu, Levin,” Bianca akhirnya berkata, suaranya tenang. “Tapi percaya nggak berarti aku bisa begitu saja kembali ke masa lalu.”

Levin terdiam, ekspresi penuh harapan di wajahnya berubah menjadi sesuatu yang lebih realistis. “Aku ngerti, Bianca. Aku nggak berharap semuanya akan langsung kembali seperti dulu. Aku cuma pengen kesempatan untuk kita… mulai lagi, dari awal.”

Bianca menghela napas panjang, menatap ke arah lukisan setengah jadi yang ada di depannya. “Aku sudah mencoba untuk melupakanmu, Levin. Dan mungkin, sebagian dari diriku memang sudah move on. Tapi aku nggak bisa menyangkal kalau kamu masih ada di hatiku.”

Levin mendekat, jarak di antara mereka semakin kecil, tetapi Bianca tidak mundur. “Apa artinya itu, Bianca?”

Bianca tersenyum tipis. “Artinya kita bisa mencoba lagi, Levin. Tapi kita nggak akan kembali ke masa lalu. Kita akan mulai dari sini, dari tempat kita sekarang.”

Levin menatapnya dengan mata berbinar, seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. “Beneran, Bianca? Kamu yakin?”

Bianca mengangguk. “Aku yakin. Tapi ada satu hal yang harus kita sepakati—kita nggak akan buru-buru. Aku butuh waktu untuk benar-benar mempercayaimu lagi.”

Levin mengangguk cepat. “Aku setuju. Aku nggak akan memaksa apa pun, Bianca. Aku siap untuk apa pun yang kamu butuhkan.”

Bianca merasa beban yang selama ini menghimpitnya perlahan-lahan menghilang. Mungkin, ini bukan akhir yang sempurna, tapi ini adalah awal yang baru. Sebuah awal yang mereka butuhkan untuk memperbaiki apa yang pernah hancur. Mereka mungkin tidak bisa menghapus masa lalu, tetapi mereka bisa membangun masa depan yang berbeda—masa depan yang lebih kuat.

Levin tersenyum, senyum yang membuat Bianca merasa sedikit lebih ringan. “Jadi, kapan kita mulai?”

Bianca tertawa kecil, sebuah tawa yang sudah lama tidak dia rasakan. “Mungkin kita bisa mulai sekarang? Dengan ngopi bareng, kayak dulu.”

Levin tertawa, senyum lebar menghiasi wajahnya. “Ngopi bareng? Kayaknya itu ide yang bagus.”

Mereka berjalan keluar studio bersama, meninggalkan lukisan-lukisan yang belum selesai. Tapi Bianca tahu, mungkin lukisan-lukisan itu juga akan segera menemukan akhirnya—seperti hubungan mereka. Mungkin mereka tidak akan pernah kembali ke tempat yang sama seperti dulu, tetapi mereka bisa menciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang lebih indah.

Dan itu cukup.

Masa lalu memang tidak bisa diubah, tetapi masa depan selalu bisa dipilih. Dan hari itu, Bianca dan Levin memutuskan untuk memilih masa depan bersama—tanpa terburu-buru, tanpa tekanan, hanya dengan harapan bahwa cinta yang mereka miliki masih cukup kuat untuk bertahan.

Di luar, matahari mulai tenggelam, memberikan semburat jingga yang indah di langit. Dan di bawah langit yang berubah warna itu, dua hati yang pernah terluka kini berjalan beriringan, siap untuk memulai bab baru yang akan mereka tulis bersama.

 

Dan di antara lukisan-lukisan yang belum selesai, Bianca dan Levin menyadari satu hal: cinta sejati itu seperti seni—kadang butuh waktu, ketekunan, dan keberanian untuk menciptakan sesuatu yang indah. Jadi, siapkah kamu untuk melukis kisah cinta yang baru, meski di tengah banyaknya warna yang bercampur? Karena, siapa tahu, setiap detik yang kita lalui adalah bagian dari lukisan hidup yang belum selesai.

Leave a Reply