Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu merasain cinta yang bikin hati kamu berbunga-bunga, tapi juga hancur lebur dalam sekejap? Cerita ini bakal bawa kamu ke dalam dunia remaja yang penuh drama, tawa, dan air mata. Siap-siap buat ngerasain perasaan campur aduk saat Ranya dan Bintang berjuang dengan cinta dan impian mereka di SMA. Yuk, simak perjalanan cinta yang bikin hati ini bergetar!
Cinta yang Hilang
Pertemuan di Antara Hujan
Langit kelabu menggantung rendah di atas sekolah, menandakan bahwa hujan akan segera turun. Ranya, seorang gadis berambut panjang dengan mata berwarna hazel, duduk di sudut aula yang sepi. Ia tenggelam dalam dunia puisi, membiarkan kata-kata mengalir melalui pikirannya. Aroma buku tua dan suara derap langkah siswa-siswi yang berlalu-lalang menciptakan suasana yang akrab, namun di dalam hati Ranya, ada rasa kesepian yang mendalam.
Mendadak, suara gemuruh dari luar membuatnya menoleh. Hujan mulai turun, pelan tapi pasti, membuat suasana di dalam aula menjadi semakin melankolis. Ranya menatap jendela, air hujan jatuh seolah menciptakan tiruan dari apa yang ia rasakan. Ia meraih buku puisi yang terbuka, seolah mencari pelipur lara dalam bait-bait indah yang ditulis oleh penulis favoritnya. Namun, hatinya tetap berat, terasa kosong tanpa seseorang di sampingnya.
Di luar, Bintang, sosok yang selalu menarik perhatian, berdiri di tepi pagar sekolah, mengenakan hoodie hitamnya yang sederhana. Ia terlihat berbeda di tengah guyuran hujan, seolah ia adalah bintang yang hilang di tengah langit mendung. Meskipun ramai dikelilingi teman-temannya, ada sesuatu yang membuatnya tampak sepi. Ranya tahu betul siapa Bintang, bukan hanya karena ketampanannya, tetapi juga karena pesonanya yang menawan. Ia adalah pemain sepak bola yang selalu menjadi bintang di setiap pertandingan, dihormati dan disukai banyak orang.
Setelah beberapa saat, tanpa berpikir panjang, Ranya menutup bukunya dan melangkah keluar, nekat menembus hujan. “Bintang, kenapa kamu tidak masuk ke dalam? Hujannya sangat deras!” serunya, suaranya lembut namun tegas.
Bintang menoleh, terkejut melihat Ranya yang mendekat. “Oh, Ranya. Aku… hanya butuh sedikit waktu sendiri,” jawabnya, suaranya samar dan hampir tenggelam oleh suara hujan.
Ranya mengernyitkan dahi. “Masa sih? Di luar hujan begini? Ayo, kita masuk! Jangan cuma berdiri di sini.” Ia mengeluarkan payung dari tasnya, membukanya dan menunjukkan kepada Bintang. Payung kecil itu seolah tak cukup untuk melindungi mereka berdua, tapi Ranya tidak peduli.
Tanpa ragu, Bintang mengangguk dan berjalan mendekat. Ketika mereka melangkah bersisian, payung yang mereka gunakan membuat Ranya merasakan kehangatan yang menyelimuti keduanya. “Kamu suka hujan?” tanya Bintang, berusaha memecah kebisuan yang terbangun di antara mereka.
“Hujan itu… ada keindahannya sendiri. Seperti saat semua orang memilih untuk tinggal di dalam rumah, dan aku bisa merasakan kebebasan saat berada di luar,” Ranya menjawab sambil tersenyum, menggambarkan bagaimana hujan membawanya ke dalam dunia yang berbeda. “Kamu sendiri?”
Bintang menggelengkan kepala. “Aku lebih suka bermain di lapangan. Tapi ya, hujan membuat suasana terasa beda. Kadang, aku merasa seperti… terjebak.”
“Terjebak? Kenapa bisa begitu?” Ranya memandang Bintang, penasaran.
“Entahlah. Mungkin karena saat hujan, semua orang merasa… melankolis. Bahkan aku yang biasanya ceria, kadang merasa berat,” jawab Bintang, matanya melirik ke arah tanah yang basah.
Ranya terdiam, merasakan kedalaman kata-kata Bintang. Dia bisa melihat betapa kuatnya rasa yang disembunyikan di balik senyumnya yang ceria. “Mungkin kita butuh seseorang untuk berbagi perasaan itu,” ucapnya pelan.
Bintang menatap Ranya, ada kilatan pengertian di matanya. “Kamu tahu, aku sangat menghargai saat-saat seperti ini. Rasanya nyaman, bisa berbicara dengan kamu tanpa harus berpura-pura.”
Ranya tersenyum, merasa hangat di dalam hatinya. Hujan yang jatuh seolah menjadi saksi bisu dari percakapan ini, menambah kedekatan di antara mereka. “Aku juga. Sudah lama aku tidak berbagi cerita dengan seseorang,” jawabnya tulus.
Selesai berbincang, mereka melanjutkan perjalanan menuju perpustakaan, tempat yang menjadi saksi bisu berbagai kisah yang terjalin di antara mereka. Di dalam perpustakaan, mereka duduk di meja yang sama, Ranya mengambil buku puisi yang ditinggalkannya sebelumnya, sementara Bintang mengeluarkan buku catatan untuk belajar.
“Boleh aku baca puisi itu?” tanya Bintang tiba-tiba, memecah keheningan.
“Puisi ini tentang harapan dan keindahan yang datang setelah hujan,” jawab Ranya, sedikit ragu. “Tapi… mungkin ini terlalu pribadi untuk dibaca orang lain.”
“C’mon, Ranya. Aku janji akan mengembalikannya utuh,” Bintang menggoda sambil tersenyum, membuat Ranya tak bisa menahan tawa.
Akhirnya, Ranya mengangguk. “Baiklah. Tapi kamu harus berjanji untuk tidak mengubah isi puisi ini. Ini adalah bagian dari diriku.”
Bintang mengulurkan tangannya. “Deal. Aku janji.”
Saat Ranya mulai membaca, suaranya lembut dan menenangkan, sementara Bintang menyimak dengan seksama. Setiap kata yang terucap seolah mengikat mereka dalam satu ikatan yang tak terpisahkan. Mereka tertawa, berbagi tawa ringan yang membuat suasana semakin hangat, walau hujan masih turun di luar.
Saat hari beranjak gelap, Ranya merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam hatinya. Pertemuan ini terasa seperti awal dari sesuatu yang indah, meski di sudut hatinya, ia juga merasakan ketakutan akan apa yang mungkin terjadi di kemudian hari. Tetapi untuk saat ini, di tengah hujan ini, semua yang ia inginkan adalah melanjutkan momen ini bersama Bintang.
Senyum Bintang, canda tawa mereka, semuanya terasa begitu sempurna. Ranya berharap bahwa momen ini akan abadi, tetapi ia tidak tahu, angin perubahan segera menghampiri, dan ujian cinta mereka baru saja dimulai.
Pertumbuhan Cinta yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu seperti aliran air hujan yang tak pernah berhenti. Ranya dan Bintang semakin dekat, seperti dua bintang yang saling menarik dalam orbit mereka. Setiap hari di sekolah menjadi lebih cerah ketika mereka menghabiskan waktu bersama. Dalam pandangan Ranya, Bintang bukan hanya sekadar teman, tetapi juga seseorang yang bisa membangkitkan perasaannya yang selama ini terpendam.
Di kelas, saat pelajaran berlangsung, Bintang sering mencuri pandang ke arah Ranya, memberi isyarat bahwa ia juga merasakan hal yang sama. Ranya selalu berusaha untuk tidak memperhatikan, tapi hatinya berdebar-debar setiap kali mata mereka bertemu. Suatu sore, saat mereka berdua duduk di taman sekolah setelah jam pelajaran, Bintang menyinggung tentang hobi lamanya.
“Ranya, aku sebenarnya pernah bermain gitar. Tapi sudah lama tidak melakukannya,” ungkap Bintang sambil menyandarkan punggungnya ke kursi.
“Gitar? Serius? Kenapa kamu berhenti?” tanya Ranya, tidak bisa menahan rasa ingin tahunya.
“Entahlah. Mungkin karena aku lebih fokus pada sepak bola. Tapi kadang, aku merasa rindu untuk bermain musik. Musik itu… memberi ketenangan,” Bintang menjawab, wajahnya menunjukkan kerinduan yang mendalam.
“Kalau kamu mau, aku bisa ajarin kamu beberapa lagu. Aku senang bermain gitar,” Ranya menawarkan, matanya berbinar-binar.
“Beneran? Kamu bisa main gitar?” Bintang terkejut, lalu tertawa kecil. “Kamu ini benar-benar orang yang serba bisa, ya.”
“Ah, tidak juga. Cuma hobi saja. Tapi kalau kamu mau, kita bisa mulai minggu depan. Kita cari waktu,” jawab Ranya dengan penuh semangat.
Bintang tersenyum, dan dalam senyum itu, Ranya merasa jantungnya berdebar. Ada sesuatu yang magis di antara mereka. Keduanya bersepakat untuk mulai berlatih di rumah Ranya, dan harapan itu membuat Ranya merasa bersemangat untuk menanti hari-hari berikutnya.
Di hari pertama mereka berlatih, suasana di rumah Ranya terasa nyaman. Hujan kembali turun di luar, menciptakan melodi latar yang sempurna. Ranya menyiapkan teh hangat dan beberapa camilan untuk menemani sesi mereka. Ketika Bintang tiba, suasana di dalam rumah seolah dipenuhi cahaya.
“Wow, kamu benar-benar mengatur tempat ini untuk kita, ya?” ujar Bintang sambil mengagumi ruangan yang didekorasi dengan poster-poster band favorit Ranya.
“Itu hanya beberapa dari banyak hal yang aku suka. Ayo, kita mulai!” Ranya tersenyum, mengambil gitar dari sudut ruangan.
Bintang duduk di sebelah Ranya, dan saat Ranya mulai memetik senar, ia menyadari bahwa kebersamaan mereka bukan hanya sekadar latihan gitar. Setiap nada yang dihasilkan seolah mengikat hati mereka lebih erat. Ketika Bintang mencoba mempelajari nada-nada dasar, tawa mereka mengisi ruangan.
“Gitar ini sepertinya lebih sulit daripada yang aku bayangkan,” Bintang mengeluh, mencoba menyesuaikan jari-jarinya di atas senar.
“Tenang saja. Semua butuh proses. Kamu pasti bisa!” Ranya memberi semangat, memegang tangannya untuk menunjukkan posisi yang benar.
Saat waktu berlalu, mereka saling belajar dan berbagi cerita. Ranya menceritakan tentang impian-impian kecilnya, seperti ingin pergi ke konser band favoritnya suatu hari nanti. Bintang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan sebaliknya, ia juga membagikan mimpinya untuk menjadi pemain sepak bola profesional.
“Aku ingin bermain di liga yang lebih besar, mungkin di luar negeri,” katanya dengan semangat, matanya berbinar-binar saat membayangkannya.
“Kalau kamu sampai di sana, jangan lupakan aku ya,” Ranya bercanda, meski hatinya sedikit bergetar saat membayangkan Bintang menjauh.
“Gimana bisa? Kamu pasti jadi orang pertama yang aku undang ke pertandingan,” jawab Bintang, membuat Ranya merasa hangat.
Keduanya tertawa, tetapi di balik tawa itu, Ranya mulai merasakan kedalaman perasaannya terhadap Bintang. Setiap hari yang dihabiskan bersama semakin membuatnya tak bisa membayangkan hidup tanpa kehadiran Bintang. Dia tidak hanya menjadi teman, tetapi juga menjadi bagian dari dirinya.
Suatu malam, saat mereka berlatih, tiba-tiba Bintang berhenti dan menatap Ranya dengan serius. “Ranya, aku… aku merasa kita semakin dekat, kan?”
Ranya terkejut, jantungnya berdebar lebih kencang. “Iya, aku merasa begitu juga.”
“Aku ingin jujur padamu tentang perasaanku. Tapi aku takut… takut kalau itu akan merusak semuanya.” Suara Bintang sedikit bergetar, dan Ranya bisa merasakan ketegangan di antara mereka.
Tanpa bisa menahan, Ranya menjawab, “Bintang, kita bisa jujur satu sama lain. Aku tidak mau kita berbohong tentang apa pun.”
Bintang mengangguk, matanya tetap menatap Ranya. “Kalau begitu, aku… aku suka kamu, Ranya. Suka lebih dari sekadar teman.”
Hati Ranya meloncat mendengar pengakuan itu. “Aku juga, Bintang. Aku sudah lama merasakannya, tapi tidak tahu bagaimana cara mengatakannya.”
Momen itu terasa magis, seolah waktu berhenti untuk memberi mereka kesempatan meresapi perasaan yang telah terpendam. Senyum mengembang di wajah Bintang, dan Ranya merasakan angin sepoi-sepoi yang menyapu perasaannya. Namun, di balik kebahagiaan itu, ada keraguan yang menggelayuti pikiran Ranya.
“Lalu, bagaimana kita melanjutkan ini? Kita sudah dekat, tapi…” Bintang menghela napas.
“Biarkan semuanya mengalir. Kita jalani bersama, dan lihat ke mana perasaan ini membawa kita,” jawab Ranya, berharap bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Saat mereka kembali berlatih, meskipun gitar yang mereka pegang sama, nada yang dihasilkan kini terasa berbeda. Ada melodi baru yang mengisi ruangan itu, sebuah melodi cinta yang belum teruji. Ranya berharap, di antara hujan dan gelapnya malam, mereka akan menemukan cahaya yang mengarahkan jalan mereka.
Namun, seiring berjalannya waktu, Ranya tidak tahu apa yang akan menghadang mereka di depan, sebuah tantangan yang mungkin bisa mengubah segalanya. Untuk saat ini, mereka berpegangan pada harapan dan mimpi yang sama, tanpa menyadari bahwa badai yang lebih besar sedang mengintai di balik awan mendung yang menggantung.
Ketidakpastian yang Menghantui
Seminggu setelah pengakuan itu, Ranya dan Bintang mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama. Mereka berbagi tawa, rahasia, dan impian di antara nada-nada yang mereka ciptakan bersama. Setiap latihan di rumah Ranya menjadi lebih menyenangkan, menguatkan ikatan mereka. Namun, di balik senyuman itu, Ranya merasakan ketegangan yang perlahan muncul. Rasa takut akan kehilangan Bintang mulai menghantuinya, dan dia merasa ada sesuatu yang tak terucapkan yang menggantung di udara.
Hari itu, mereka berencana untuk berlatih di taman sekolah setelah jam pelajaran. Ranya berangkat lebih awal, merasa bersemangat sekaligus cemas. Setiap langkahnya menuju taman terasa berat, seolah ada beban di pundaknya. Ketika dia tiba, Bintang sudah menunggu dengan senyum lebar yang membuat hatinya berdebar.
“Ranya! Kamu datang lebih awal, ya?” Bintang menyapa, wajahnya berseri-seri.
“Iya, aku tidak sabar untuk berlatih lagi,” jawab Ranya, berusaha mengabaikan keraguannya.
Mereka mulai bermain gitar, tetapi suasana yang biasanya ceria kali ini terasa sedikit berbeda. Ranya bisa merasakan bahwa Bintang juga menyimpan sesuatu di dalam hatinya. Mereka berlatih beberapa lagu, namun ada keheningan yang menyelimuti di antara nada-nada yang mereka ciptakan.
“Bintang, ada yang ingin aku tanyakan,” Ranya memulai, berusaha untuk memecah ketegangan.
“Hmm, apa itu?” Bintang menatapnya, ada keraguan di mata Bintang.
“Kenapa kamu tidak pernah membicarakan tentang keluargamu? Aku penasaran,” Ranya berkata pelan, melihat ekspresi wajah Bintang yang mendadak berubah.
Bintang menunduk, tampak tidak nyaman. “Aku… aku hanya merasa tidak enak. Keluargaku… kami tidak selalu baik-baik saja.”
Ranya merasakan getaran yang dalam dalam pernyataan itu. “Maksudmu?”
“Aku memiliki kakak yang selalu mengatur hidupku. Dia pemain sepak bola yang hebat, jadi semua orang mengharapkan aku mengikuti jejaknya. Tapi aku tidak selalu ingin menjadi seperti dia,” Bintang menjelaskan, suaranya penuh ketegangan.
Ranya bisa melihat rasa sakit di matanya, dan dia merasa hatinya hancur mendengarnya. “Tapi kamu punya hak untuk memilih jalanmu sendiri, Bintang. Tidak ada yang bisa memaksa kamu.”
“Iya, aku tahu. Tapi kadang-kadang, tekanan itu terlalu berat. Kadang aku merasa tidak berharga jika tidak memenuhi harapan mereka,” jawab Bintang, matanya terlihat kosong.
Ranya berusaha menghiburnya, meraih tangannya. “Bintang, kamu lebih dari sekadar harapan orang lain. Kamu memiliki bakat dan impianmu sendiri. Jangan biarkan mereka menentukan siapa kamu.”
Bintang menatap Ranya, dan dalam sekejap, Ranya bisa melihat ada kerinduan dan harapan dalam tatapan itu. “Kamu tahu, kadang aku merasa kamu adalah satu-satunya orang yang benar-benar mengerti aku.”
Ranya merasakan hangat saat mendengar kata-kata itu. “Karena aku peduli padamu, Bintang. Kamu layak mendapatkan kebahagiaan.”
Saat itu, Ranya berusaha mengubah suasana, dan mereka mulai bermain gitar lagi. Namun, di tengah latihan, Ranya menerima pesan di ponselnya. Saat melihat layar, jantungnya berdegup kencang. Pesan dari sahabatnya, Tara, yang memberitahukan bahwa ada gosip beredar di sekolah.
“Ranya, kamu dengar tentang apa yang terjadi dengan Bintang?” tanya Tara melalui pesan.
“Hah? Apa maksudmu?” Ranya segera membalas, penasaran.
“Dengar-dengar, Bintang ditawari untuk bergabung dengan tim sepak bola kota. Ini bisa jadi peluang besar, tapi semua orang tahu dia sangat ingin mengejar musik. Menurut rumor, keluarganya sudah menekannya untuk menerima tawaran itu,” tulis Tara.
Ranya merasakan seolah semua udara di sekelilingnya menghilang. Bintang sudah menghadapi tekanan dari keluarganya, dan sekarang rumor ini membuat segalanya semakin rumit.
“Aku harus bicara sama Bintang,” gumam Ranya, merasa cemas.
Setelah latihan selesai, Ranya tidak bisa menahan diri untuk tidak menanyakan tentang tawaran itu. Dia tahu itu penting, dan hatinya berdebar ketika melihat Bintang mengemas gitarnya.
“Bintang, ada sesuatu yang perlu aku bicarakan. Tadi aku mendengar kabar tentang tawaran tim sepak bola kota…” Ranya memulai.
Bintang tampak terkejut, lalu menghela napas. “Iya, aku sudah mendengar. Keluargaku sangat ingin aku mengambil kesempatan itu.”
“Apa kamu mau mengambilnya?” tanya Ranya, berusaha membaca ekspresi wajah Bintang.
“Aku tidak tahu. Di satu sisi, itu peluang bagus. Tapi di sisi lain, aku merasa tidak siap,” Bintang mengakui, terlihat bingung.
Ranya merasakan ketidakpastian di antara mereka. “Tapi kamu tidak perlu melakukan itu jika hatimu ingin mengejar musik.”
Bintang mengangguk, tetapi raut wajahnya tampak berat. “Tapi jika aku menolak, semua orang akan kecewa. Keluargaku, teman-temanku… mereka sudah menaruh harapan padaku.”
“Dan jika kamu mengikuti harapan mereka, apakah kamu akan bahagia?” Ranya bertanya, hatinya bergetar saat menantikan jawabannya.
Bintang terdiam, seolah terjebak dalam pikiran yang dalam. “Aku tidak tahu, Ranya. Semua terasa begitu rumit.”
Saat melihat Bintang berjuang dengan emosinya, Ranya merasakan sakit di dalam hatinya. Dia ingin Bintang bahagia, tetapi dia juga tidak ingin melihatnya mengorbankan impiannya. “Bintang, aku hanya ingin kamu tahu, apapun keputusanmu, aku akan selalu ada untuk mendukungmu.”
Bintang menatapnya dengan mata yang berbinar, dan Ranya bisa melihat rasa terima kasih dalam tatapannya. “Kamu benar-benar sahabat terbaik, Ranya.”
Dalam momen itu, mereka berdua merasakan ketegangan di antara mereka, seperti dua jiwa yang saling bergantung satu sama lain. Namun, meski ada pengertian dan dukungan, Ranya tahu bahwa badai akan segera datang. Keputusan yang harus diambil Bintang bisa mengubah segalanya. Ranya hanya berharap agar cinta mereka bisa bertahan, terlepas dari apa pun yang terjadi di depan.
Perpisahan yang Tak Terduga
Hari-hari berlalu setelah percakapan yang menegangkan itu, dan keputusan Bintang semakin mendekat. Ranya merasa cemas, setiap hari menunggu jawaban dari Bintang, namun keheningan menggelayuti mereka. Dia bisa melihat bahwa Bintang berjuang dengan keputusannya, dan itu membuat hatinya semakin berat. Ranya merasa terjebak antara mendukung sahabatnya dan ketakutan akan kehilangan.
Akhirnya, saat hari pengumuman tiba, Ranya dan Bintang sepakat untuk bertemu di taman sekolah setelah jam terakhir. Ranya berusaha menenangkan dirinya, tetapi kegugupan menyelimutinya saat dia berjalan menuju tempat yang telah mereka tentukan. Setiap langkah terasa lebih berat, dan saat melihat Bintang sudah menunggu dengan raut wajah serius, hatinya mulai berdegup kencang.
“Ranya,” Bintang memulai, suaranya lembut namun tegas. “Aku sudah membuat keputusan.”
Ranya menatap Bintang, mencoba membaca ekspresi wajahnya. “Dan… apa itu?” tanyanya, suara bergetar sedikit.
“Aku memutuskan untuk mengambil tawaran itu,” jawab Bintang, dan Ranya merasakan jantungnya seolah berhenti sejenak.
“Oh,” Ranya tidak tahu harus berkata apa. “Kamu yakin, Bintang?”
Bintang mengangguk, tetapi matanya tampak penuh keraguan. “Iya. Keluargaku sangat berharap aku melakukannya. Aku tidak ingin mengecewakan mereka, meskipun aku tahu ini bukan yang aku inginkan.”
Ranya merasakan perasaan hancur dalam hatinya. Dia berusaha tersenyum, tetapi senyumnya terasa pahit. “Aku mengerti. Itu keputusan yang besar.”
“Ranya, aku tidak ingin kamu merasa… kecewa padaku,” Bintang melanjutkan, jelas terlihat berusaha menenangkan suasana. “Kamu tahu aku mencintai musik, tetapi aku juga mencintai keluargaku. Ini sangat sulit.”
“Aku tidak kecewa, Bintang. Aku hanya… ingin kamu bahagia,” Ranya menjawab, mencoba menyembunyikan air mata yang mulai menggenang di pelupuk matanya. “Kamu berhak memilih jalanmu sendiri.”
“Dan aku berterima kasih padamu. Kamu selalu mendukungku, bahkan saat aku merasa bingung,” Bintang mengungkapkan, mengambil tangan Ranya dan menggenggamnya erat. “Tapi aku merasa kita harus berbicara tentang apa yang akan terjadi setelah ini.”
“Apa maksudmu?” Ranya menanyakan, semakin merasa cemas.
“Setelah aku bergabung dengan tim sepak bola, mungkin kita tidak akan memiliki banyak waktu bersama lagi,” Bintang menjelaskan, wajahnya terlihat sangat serius. “Kamu akan sibuk dengan musikmu, dan aku akan terfokus pada latihan.”
Ranya menggigit bibirnya, menahan isak yang ingin keluar. “Aku tahu. Tapi kita bisa tetap berusaha untuk saling mendukung, kan?”
“Iya, tentu. Tapi aku khawatir… jika kita terlalu terpisah, kita mungkin akan kehilangan satu sama lain,” Bintang menjawab, dan Ranya bisa merasakan ketulusan dalam kata-katanya.
“Bintang, aku tidak ingin kehilangan kamu. Kamu sudah menjadi bagian terpenting dalam hidupku,” Ranya berkata dengan tulus, tidak bisa menahan emosinya lagi. “Tapi aku juga tidak ingin menghalangi impianmu.”
Bintang menghela napas dalam-dalam, tampak bingung antara harapan dan keputusasaan. “Mungkin kita perlu memberi ruang satu sama lain, agar bisa tumbuh, tanpa ada tekanan.”
Ranya merasakan hatinya hancur saat mendengar kata-kata itu. “Jadi, kamu ingin kita… berhenti bertemu?” tanyanya, berusaha menahan air mata yang mengalir di pipinya.
“Bukan berhenti, Ranya. Hanya memberi jarak. Aku ingin kamu fokus pada musikmu, dan aku ingin belajar menjalani kehidupanku sendiri,” Bintang menjelaskan, suaranya lembut namun tegas. “Kita akan selalu memiliki kenangan, tapi kita perlu memberi diri kita waktu untuk menemukan siapa kita sebenarnya.”
Ranya mengangguk, meskipun hatinya terasa seperti diremas. “Kalau itu yang kamu mau… aku akan menghormatinya. Tapi itu akan sangat sulit.”
“Dan aku akan merindukanmu, Ranya. Setiap detik. Tapi kita bisa saling mengingat kenangan-kenangan itu, kan?” Bintang menjawab, matanya berkilau, menunjukkan betapa beratnya keputusan ini bagi keduanya.
“Ya, aku akan merindukanmu juga,” Ranya berusaha tersenyum meski suaranya nyaris putus. “Tapi aku akan berusaha untuk tetap kuat.”
Mereka saling berpelukan, dan Ranya bisa merasakan kehangatan dari Bintang yang mengingatkannya pada semua momen indah yang telah mereka lalui bersama. Namun, pelukan itu terasa semakin melemah, seolah masing-masing dari mereka tahu bahwa ini adalah perpisahan yang tak terhindarkan.
Saat mereka melepaskan pelukan, Ranya melihat Bintang menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan dan kesedihan. “Semoga kamu selalu bahagia, Ranya. Jangan lupakan impianmu.”
“Aku juga berharap yang sama untukmu, Bintang. Jadilah yang terbaik. Jangan lupa, aku selalu ada di sini untuk mendukungmu dari jauh,” Ranya menjawab, berusaha menguatkan dirinya.
Setelah perpisahan yang menyedihkan itu, Ranya berjalan pulang dengan langkah berat, menahan air mata yang mengalir. Dia tahu, ini bukanlah akhir dari segalanya, tetapi satu bab dalam perjalanan hidup mereka yang penuh liku. Dalam hati, dia berjanji untuk mendukung Bintang dari jauh, meskipun kesedihan menyelimuti jiwanya.
Waktu berlalu, dan meski hidup mereka semakin terpisah, kenangan indah bersama Bintang akan selalu terukir dalam hatinya. Ranya berusaha untuk melanjutkan hidupnya, mengejar mimpinya dalam musik, tetapi di setiap nada yang dia mainkan, ada selalu sentuhan kenangan tentang cinta yang indah, meski sedih, yang pernah mereka bagikan.
Karena dalam setiap lagu yang dia nyanyikan, Ranya tahu, cintanya untuk Bintang akan selalu hidup.
Akhirnya, kita semua tahu bahwa cinta kadang datang dengan suka dan duka, seperti alunan lagu yang indah namun penuh rasa. Meskipun Ranya dan Bintang harus berpisah, kenangan mereka akan selalu hidup di hati, mengajarkan kita bahwa setiap perpisahan bukanlah akhir, melainkan langkah menuju awal yang baru. Jadi, tetaplah berharap dan percaya, karena cinta yang tulus pasti akan menemukan jalannya, meski kadang harus melewati jalan yang penuh liku.