Cinta Tulus di Balik Kebohongan: Kisah Pria Autis dan Perawat Licik

Posted on

Bayangin ada cowok autis, keliatannya polos, tapi sebenarnya tahu banget kalau cewek yang dia suka cuma mau nguras hartanya. Alih-alih marah atau ngusir, dia malah ikut mainin permainannya karena dia beneran jatuh cinta. Gila, kan? Ini cerita tentang cinta yang nggak biasa, di mana sandiwara jadi bagian dari rencana. Siapa yang akhirnya menang? Baca aja deh!

 

Kisah Pria Autis dan Perawat Licik

Pertemuan yang Tidak Terduga

Pagi itu, sinar matahari menyinari rumah besar di pinggiran kota dengan lembut. Kian duduk di ruang tamunya yang luas, menyortir buku-bukunya dengan hati-hati. Ruang itu dipenuhi dengan koleksi buku dan barang-barang antik yang memberi kesan elegan dan tenang. Kian, dengan tatapan seriusnya, fokus pada rutinitas paginya, yang sangat penting baginya. Setiap hari memiliki susunan yang teratur, dan rutinitas itulah yang membuatnya merasa nyaman.

Tiba-tiba, suara derit pintu memecah keheningan. Seorang wanita melangkah masuk dengan langkah lembut dan penuh percaya diri. Dia mengenakan gaun profesional yang elegan dan senyum manis yang tampaknya tidak pernah pudar. Dia adalah Mila, perawat baru yang dipekerjakan untuk merawat Kian.

“Halo, Kian. Selamat pagi,” sapa Mila dengan nada lembut yang membuat Kian sedikit terkejut. “Aku Mila, perawat baru kamu. Bagaimana kabarmu hari ini?”

Kian menatap Mila dengan tatapan yang penuh perhatian. “Pagi, Mila. Aku baik-baik saja. Terima kasih sudah datang.”

Mila tersenyum sambil duduk di kursi di dekat Kian. “Kian, aku sudah membaca banyak tentang rutinitas harianmu. Aku harap kita bisa segera akrab.”

Kian merasa sedikit canggung dengan kehadiran Mila. Dia tidak terbiasa dengan perubahan, tetapi dia menghargai usaha Mila. “Oh, iya? Apa yang sudah kamu baca?”

“Ya, aku tahu kamu suka membaca buku-buku sejarah dan mendengarkan musik klasik,” jawab Mila dengan penuh antusiasme. “Aku juga membaca bahwa kamu suka membuat rencana harian. Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu suka dan tidak suka.”

Kian mengangguk. “Iya, aku suka membuat rencana. Itu membuatku merasa lebih teratur. Aku juga suka musik klasik. Tapi aku biasanya tidak berbicara banyak tentang apa yang aku suka.”

Mila mendekat sedikit, menunjukkan ketertarikan yang tulus. “Aku paham. Aku di sini untuk membantu kamu dan membuat hari-harimu lebih nyaman. Mungkin kita bisa mulai dengan ngobrol tentang hobimu. Aku penasaran tentang apa yang membuatmu tertarik dengan sejarah.”

Seiring berjalannya hari, Mila semakin terampil dalam perannya. Dia selalu datang dengan senyum manis dan perhatian yang tampaknya tulus. Kian, meskipun awalnya merasa canggung, mulai merasa sedikit lebih nyaman dengan kehadiran Mila. Mereka berbicara tentang berbagai topik, dan Mila berusaha keras untuk menjadi bagian dari rutinitas sehari-hari Kian.

Suatu hari, setelah makan siang, Mila duduk di teras bersama Kian. Matahari bersinar cerah, dan angin sepoi-sepoi menyapu lembut wajah mereka.

“Kian,” kata Mila sambil menatap taman yang indah, “aku senang sekali bisa bekerja di sini. Kamu tahu, aku benar-benar merasa bisa membantu.”

Kian menatap Mila dengan rasa ingin tahu. “Kenapa kamu tertarik bekerja di sini? Aku yakin ada banyak tempat lain yang bisa kamu pilih.”

Mila tersenyum lembut. “Sebenarnya, aku merasa ini adalah kesempatan yang bagus untuk aku. Aku suka merawat orang-orang dan membuat mereka merasa nyaman. Lagipula, aku merasa ada sesuatu yang istimewa di sini.”

Kian merasa sedikit tergerak oleh kata-kata Mila, meskipun dia masih merasa ada yang tidak beres. “Aku merasa kamu benar-benar peduli. Terima kasih atas semua perhatianmu.”

Seiring waktu, Mila semakin beradaptasi dengan kehidupan Kian. Dia mulai menunjukkan perhatian yang lebih dari sekadar profesional. Dia seringkali berusaha menciptakan momen-momen kecil yang intim, seperti berbagi cerita pribadi dan menanyakan tentang perasaan Kian. Kian merasa bahwa ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perhatian biasa.

Namun, Mila tidak hanya bermain peran. Di balik senyumnya yang menawan, dia memiliki rencana tersembunyi. Dia tahu bahwa Kian adalah bagian dari keluarga kaya raya, dan dia mulai memikirkan cara untuk memanfaatkan situasi ini. Meskipun dia menunjukkan perhatian yang tulus, dia juga merasakan dorongan untuk mendapatkan sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan.

Suatu malam, saat mereka duduk di ruang tamu setelah makan malam, Mila mencoba mendekat dengan sikap yang lebih intim. “Kian, aku merasa kita semakin dekat. Aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu rasakan.”

Kian merasa bingung namun senang. “Aku juga merasa kita semakin dekat, Mila. Tapi kadang-kadang aku merasa kamu tahu lebih banyak tentang aku daripada aku tahu tentang kamu.”

Mila tersenyum manis. “Aku paham. Aku ingin kamu merasa nyaman dengan aku, dan aku akan terus berusaha agar kita bisa saling memahami.”

Kian tidak bisa tidak merasa tergerak oleh perhatian Mila, meskipun dia juga merasakan adanya sesuatu yang tidak sepenuhnya jujur. Dia memutuskan untuk mengikuti permainan ini, berharap bahwa pada akhirnya Mila akan memahami dan merasakan apa yang dia rasakan.

Hari-hari berlalu dengan kehadiran Mila yang semakin mengisi rutinitas Kian. Dia merasa ada yang berbeda dalam hubungan mereka, tetapi dia tetap menyimpan perasaannya dalam-dalam. Mila juga merasakan ketertarikan yang semakin tumbuh, meskipun dia tidak bisa sepenuhnya mengabaikan niat awalnya.

 

Permainan yang Terpola

Beberapa minggu telah berlalu sejak Mila mulai bekerja di rumah Kian. Rutinitas harian mereka telah berubah menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan. Mila, dengan kecerdasannya, telah berhasil menyusup ke dalam kehidupan Kian dengan mulus, seolah-olah dia telah menjadi bagian tak terpisahkan dari rutinitas sehari-hari pria itu. Meskipun Kian merasakan kehadiran Mila, dia tidak sepenuhnya mengerti niat di balik perhatian yang diberikan.

Suatu sore, Mila duduk di ruang tamu dengan Kian, yang sedang membaca buku favoritnya. Suasana tenang dan nyaman, dan Mila memutuskan untuk melakukan pendekatan yang lebih personal.

“Kian, aku penasaran dengan salah satu buku yang kamu baca ini. Bisa cerita sedikit tentang apa yang membuat buku ini begitu spesial untukmu?” tanyanya sambil menunjukkan minat yang tulus.

Kian menutup bukunya dan tersenyum. “Oh, ini adalah buku tentang sejarah kuno yang sangat aku sukai. Menurutku, cara penulis menggambarkan peristiwa-peristiwa sejarah sangat menginspirasi. Aku suka bagaimana dia mengaitkan setiap detail dengan konteks waktu itu.”

Mila menanggapi dengan penuh perhatian. “Wah, itu menarik sekali. Aku sebenarnya belum banyak membaca tentang sejarah, tapi aku jadi tertarik untuk mempelajarinya lebih dalam.”

Seiring berjalannya waktu, Mila semakin terampil dalam memainkan perannya. Dia selalu mengetahui kapan harus datang dengan senyum manis dan perhatian penuh. Namun, di balik semua itu, dia mulai merencanakan langkah-langkah berikutnya untuk mencapai tujuannya. Mila tahu bahwa Kian memiliki kekayaan yang melimpah, dan dia mulai mencari cara untuk mendapatkan akses yang lebih dalam ke dalam harta keluarga Kian.

Mila seringkali berbicara tentang rencana-rencananya untuk masa depan, meskipun Kian hanya mendengarkan tanpa terlalu banyak berkomentar. Mila tahu bahwa Kian sangat fokus pada rutinitasnya dan mungkin tidak terlalu tertarik dengan detail kehidupan pribadi Mila. Namun, dia terus memainkan perannya dengan sempurna.

Suatu hari, Mila mengundang Kian untuk pergi ke taman yang indah di belakang rumah. Dia ingin menciptakan suasana yang lebih intim, berharap bisa mengikat hubungan mereka lebih dalam lagi.

“Kian, aku sudah mempersiapkan sesuatu untuk kita. Bagaimana kalau kita jalan-jalan ke taman dan menikmati sore yang indah ini?” ajaknya dengan senyum cerah.

Kian merasa sedikit ragu, tetapi dia akhirnya setuju. “Baiklah, Mila. Aku senang bisa pergi ke taman. Ini bisa menjadi perubahan yang menyenangkan dari rutinitas sehari-hari.”

Mereka berjalan bersama di taman yang hijau dan sejuk. Mila berbicara tentang berbagai hal, mencoba untuk mendekatkan diri kepada Kian dengan cerita-cerita yang tampaknya personal dan menyentuh hati. Kian, yang merasa nyaman dengan kehadiran Mila, mulai merasa bahwa hubungan mereka semakin berkembang.

Namun, di sisi lain, Mila mulai merasa bosan dengan permainan yang dia jalankan. Dia menyadari bahwa dia harus melakukan sesuatu yang lebih untuk mendapatkan apa yang dia inginkan. Dia mulai memikirkan cara-cara untuk mempercepat proses, tanpa memperhitungkan perasaan Kian yang semakin dalam.

Suatu malam, ketika Kian dan Mila sedang duduk di ruang tamu, Mila mulai mengarahkan percakapan ke topik yang lebih pribadi.

“Kian, aku ingin tahu lebih banyak tentang keluargamu. Apa yang kamu rencanakan untuk masa depanmu?” tanya Mila, berusaha menunjukkan kepedulian.

Kian menatap Mila dengan serius. “Aku belum punya banyak rencana besar. Aku lebih fokus pada rutinitas harian dan bagaimana cara membuat hari-hariku lebih baik.”

Mila tersenyum, mencoba menunjukkan empati. “Itu bagus. Aku yakin kamu akan menemukan jalanmu. Aku sendiri kadang merasa bingung dengan arah hidupku, tapi aku mencoba untuk tetap positif.”

Kian mengangguk, merasa bahwa Mila mungkin bisa menjadi seseorang yang bisa dia percayai. Meskipun dia merasa ada yang tidak sepenuhnya jujur, dia memilih untuk tetap terbuka terhadap Mila, berharap bahwa pada akhirnya, mereka bisa menjadi lebih dekat.

Sementara itu, Mila mulai mempersiapkan langkah-langkah berikutnya dalam rencananya. Dia tahu bahwa Kian akan segera pindah ke luar negeri bersama keluarganya, dan dia merasa bahwa waktu untuk menyelesaikan misinya semakin mendekat. Mila semakin fokus pada strategi untuk memanfaatkan setiap kesempatan yang ada untuk mendapatkan keuntungan dari Kian.

 

Kisah di Balik Senyum

Mila telah merencanakan langkah-langkahnya dengan hati-hati. Dia mulai mengaitkan lebih banyak momen intim dengan Kian, berusaha memperkuat rasa kedekatan mereka. Dengan setiap hari yang berlalu, Mila semakin fasih dalam perannya sebagai perawat dan sahabat yang peduli, sambil tetap fokus pada tujuan utamanya—mengamankan keuntungan dari kekayaan Kian.

Pada suatu pagi, Mila memutuskan untuk melakukan hal yang sedikit berbeda dari rutinitas biasa. Dia mempersiapkan sarapan istimewa dan membawanya ke ruang tamu, tempat di mana Kian biasanya menghabiskan waktu paginya.

“Kian, aku punya kejutan pagi ini,” kata Mila dengan semangat, sambil meletakkan nampan berisi sarapan di meja di samping Kian. “Aku membuatkan kamu sarapan favoritmu.”

Kian menoleh dan melihat hidangan yang sudah siap. “Wah, terima kasih, Mila. Aku sangat menghargai ini. Sarapan terlihat enak.”

Mila tersenyum puas. “Aku senang kamu menyukainya. Aku selalu ingin memastikan kamu merasa nyaman dan bahagia.”

Saat mereka duduk bersama untuk sarapan, Mila mulai berbicara tentang masa depan dan impian. “Kian, aku pernah mendengar bahwa kamu akan pindah ke luar negeri sebentar lagi. Apa yang kamu harapkan dari pengalaman itu?”

Kian mengunyah makanannya sebelum menjawab. “Sebenarnya, aku belum banyak memikirkan apa yang akan terjadi di luar negeri. Aku lebih fokus pada hari-hari sekarang dan bagaimana aku bisa menyesuaikan diri.”

Mila mengangguk dengan penuh perhatian. “Itu wajar. Kadang-kadang, fokus pada momen saat ini bisa membantu kita menghadapi masa depan dengan lebih baik. Aku percaya, apa pun yang terjadi, kamu akan dapat menanganinya dengan baik.”

Namun, di dalam pikirannya, Mila merencanakan langkah selanjutnya. Dia mulai mencoba untuk lebih mendekatkan diri kepada Kian, menunjukkan perhatian yang lebih dalam dan lebih personal. Mila tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu yang lebih agar bisa mendapatkan apa yang dia inginkan.

Suatu malam, setelah makan malam, Mila mengundang Kian untuk berbicara di teras. Suasana malam yang tenang dengan bintang-bintang yang bersinar membuat suasana terasa lebih intim.

“Kian, aku tahu kita sudah berbicara banyak tentang berbagai hal, tapi aku ingin tahu lebih banyak tentang apa yang kamu rasakan. Kadang-kadang, rasanya seperti ada sesuatu yang kamu sembunyikan,” ucap Mila, mengamati wajah Kian dengan penuh perhatian.

Kian menatap Mila dengan tatapan serius. “Sebenarnya, aku merasa nyaman berbicara denganmu. Tapi ada banyak hal yang sulit aku ungkapkan. Aku khawatir kamu mungkin tidak akan mengerti.”

Mila mencoba menunjukkan kepedulian. “Aku benar-benar ingin memahami perasaanmu, Kian. Aku di sini untuk mendengarkan dan membantu jika kamu membutuhkannya.”

Kian merasa terharu oleh perhatian Mila, meskipun dia masih merasakan ketidakpastian. “Terima kasih, Mila. Aku akan mencoba berbicara lebih banyak tentang perasaanku, meskipun kadang-kadang sulit.”

Di sisi lain, Mila merasa bahwa pendekatannya mulai membuahkan hasil. Dia mulai merasa lebih dekat dengan Kian dan melihat bahwa dia semakin terbuka. Mila terus menerapkan rencana-rencananya dengan hati-hati, sambil terus memainkan perannya sebagai sahabat yang penuh perhatian.

Mila juga mulai menunjukkan sikap yang lebih manja dan cenderung memanipulasi situasi untuk keuntungan pribadinya. Dia sering meminta hal-hal kecil dari Kian, seperti bantuan untuk membeli barang-barang pribadi atau mengajaknya melakukan aktivitas yang tampaknya bermanfaat untuk kedekatan mereka.

Suatu hari, Mila meminta Kian untuk membantunya memilih beberapa barang untuk rumahnya yang baru. “Kian, aku baru saja pindah ke apartemen baru. Aku sangat ingin mendapatkan pendapatmu tentang beberapa barang yang aku rencanakan untuk beli. Bisa bantu aku?”

Kian mengangguk. “Tentu, Mila. Aku senang bisa membantu.”

Saat mereka berbelanja bersama, Mila dengan cermat memilih barang-barang yang mahal dan mewah. Dia berusaha untuk menunjukkan rasa terima kasih yang tulus, sambil terus mengarahkan Kian untuk membayar barang-barang tersebut. Kian, yang merasa bahwa Mila benar-benar membutuhkan bantuannya, dengan senang hati memenuhi permintaannya.

Namun, di balik senyum Mila, dia merasa bahwa dia semakin mendekati tujuannya. Dia terus memanipulasi situasi untuk mendapatkan keuntungan dari Kian, sambil berpura-pura menjadi sahabat yang setia dan penuh perhatian. Kian, meskipun merasa ada yang tidak sepenuhnya jujur, tetap mengikuti permainan ini karena dia mulai merasakan perasaan yang mendalam terhadap Mila.

 

Cinta yang Tersembunyi di Balik Topeng

Waktu terus berjalan, dan hari keberangkatan Kian ke luar negeri semakin dekat. Mila merasa semakin puas dengan hasil dari permainannya. Kian telah menjadi pria yang menurutnya bisa dikendalikan dengan mudah. Dia telah mendapatkan berbagai keuntungan dari Kian—barang-barang mewah, hadiah mahal, bahkan sejumlah uang yang secara halus diminta tanpa Kian menyadarinya. Semua berjalan sesuai rencana.

Namun, di balik setiap senyuman Mila, ada sesuatu yang tidak terucapkan. Di dalam hatinya, dia tahu bahwa ini adalah akhir dari segalanya. Kian akan segera pergi, dan permainan ini harus diakhiri. Tidak ada gunanya lagi terus bertahan. Dengan rencana keberangkatan Kian yang semakin dekat, Mila memutuskan untuk mengundurkan diri sebagai perawat.

Suatu sore yang tenang, Mila mendekati Kian, yang sedang duduk di teras, menikmati matahari sore yang mulai meredup.

“Kian, aku ingin bicara tentang sesuatu,” ucap Mila dengan nada yang lebih serius dari biasanya.

Kian menoleh dengan tatapan lembutnya. “Tentu, Mila. Ada apa?”

Mila menarik napas panjang, berusaha menyusun kata-kata yang tepat. “Aku merasa ini waktu yang tepat untuk aku pamit. Kamu akan segera pergi ke luar negeri, dan aku rasa pekerjaanku sebagai perawat di sini sudah cukup. Kamu sudah kuat dan mandiri. Lagipula, aku juga punya rencana untuk diriku sendiri.”

Kian diam sejenak, matanya menatap dalam ke arah Mila. Meskipun ia tampak tenang, ada sesuatu yang tak biasa dalam tatapannya—sebuah kesedihan yang terpendam.

“Kamu ingin pergi?” Kian akhirnya bertanya dengan suara lembut. “Setelah semua yang kita lalui bersama?”

Mila, meskipun merasa sedikit tersentuh oleh pertanyaan itu, tetap memainkan perannya dengan sempurna. “Ya, Kian. Ini keputusan terbaik untuk kita berdua. Kamu akan memiliki kehidupan baru di luar negeri, dan aku akan memulai hidupku sendiri.”

Namun, Kian tidak berkata apa-apa untuk beberapa saat, hanya menatap ke depan. Mila merasa aneh dengan keheningan itu, tetapi dia tetap tenang. Dia berpikir bahwa Kian akan menerimanya dengan lapang dada, seperti biasanya. Bagaimanapun, selama ini Kian adalah pria yang polos dan mudah dibohongi.

Namun, tiba-tiba, Kian berbicara lagi, kali ini dengan nada yang lebih dalam dan penuh makna. “Aku tahu dari awal, Mila.”

Kata-kata itu menggantung di udara, membuat Mila tertegun. “Maksudmu?” tanya Mila, bingung.

Kian tersenyum tipis, tatapannya masih terfokus ke arah langit yang mulai berubah jingga. “Aku tahu dari awal kalau kamu hanya berpura-pura. Semua perhatianmu, kebaikanmu, bahkan senyummu… aku tahu itu bukan karena kamu benar-benar menyukaiku. Aku tahu, Mila, bahwa kamu hanya mengincar hartaku.”

Mila merasa jantungnya berdetak lebih cepat, tapi dia tetap mencoba menjaga ketenangannya. “Kian, aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan.”

Kian menoleh dan menatap Mila dengan mata yang penuh kebijaksanaan, jauh lebih dalam dari yang pernah Mila lihat sebelumnya. “Kamu tidak perlu berbohong lagi. Aku tahu sejak lama. Tapi aku memilih diam, karena meskipun kamu berpura-pura, aku tetap merasa bahagia. Mungkin terdengar bodoh, tapi aku benar-benar mencintaimu, Mila. Bukan karena kamu cantik atau manis, tapi karena aku tahu di balik semua kebohonganmu, kamu masih manusia. Dan aku ingin percaya bahwa di suatu titik, mungkin… mungkin kamu bisa merasakan hal yang sama.”

Kata-kata Kian membuat Mila terdiam. Dia tidak pernah menduga bahwa Kian selama ini mengetahui rencana liciknya. Dia merasa tertampar oleh kejujuran yang menyakitkan namun tulus itu.

Mila tertawa kecil, lebih karena kebingungan daripada kegembiraan. “Jadi, kamu tahu semua ini, dan kamu tetap membiarkanku melakukan apa yang aku inginkan?”

Kian mengangguk pelan. “Ya. Karena bagiku, waktu yang aku habiskan bersamamu lebih berharga daripada semua uang yang kamu ambil. Karena cinta, Mila, bukan tentang apa yang bisa aku dapatkan. Itu tentang apa yang bisa aku berikan. Dan aku ingin memberimu perasaan bahwa, meski kamu berbohong, ada seseorang yang benar-benar tulus kepadamu.”

Mila merasa hatinya tenggelam. Selama ini, dia berpikir bahwa dia yang memegang kendali, bahwa Kian hanyalah boneka dalam rencana liciknya. Namun, pada akhirnya, Kian yang lebih kuat. Bukan secara materi, tapi secara emosional. Kian telah memenangi permainan ini tanpa pernah benar-benar ikut bermain.

Mila menunduk, perasaan bersalah mulai merayap dalam dirinya. “Aku… Aku tidak tahu harus berkata apa, Kian. Aku…”

Kian tersenyum lembut. “Kamu tidak perlu berkata apa-apa. Ini bukan tentang penyesalan atau permintaan maaf. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mencintaimu, meskipun kamu tidak merasakan hal yang sama. Dan itu cukup bagiku.”

Keheningan menyelimuti mereka. Mila menatap Kian, mencoba memahami perasaan yang campur aduk dalam hatinya. Selama ini, dia berpikir bahwa cintanya hanyalah bagian dari sandiwara. Tapi kini, dia tidak bisa lagi membohongi dirinya sendiri. Ada sesuatu yang berbeda.

“Aku akan pergi sekarang,” kata Mila pelan. “Terima kasih… untuk semuanya.”

Kian mengangguk, tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya melihatnya pergi, dengan perasaan yang campur aduk antara cinta dan kesedihan. Namun, dia tahu bahwa keputusannya sudah tepat. Dia telah memberi Mila kebebasan yang dia inginkan, meskipun hatinya akan terluka.

Mila berjalan keluar dari rumah itu dengan perasaan yang berat. Untuk pertama kalinya, dia merasa rencananya bukanlah kemenangan yang manis seperti yang dia bayangkan. Ada kekalahan yang tak terucapkan di dalam dirinya, sebuah kekalahan yang tak bisa diukur dengan uang atau materi.

Mila pergi, tapi Kian tetap ada di dalam hatinya. Dan meskipun mereka berpisah, cinta yang tulus dari Kian akan selalu menjadi bagian dari hidupnya—cinta yang tidak meminta balasan, dan tidak pernah menuntut lebih dari apa yang bisa diberikan.

Kian tersenyum samar, menatap langit yang semakin gelap. Dia tahu, meskipun cintanya tidak terbalas, dia telah memenangkan sesuatu yang lebih berharga daripada harta—ketulusan dalam mencintai, meskipun cinta itu tidak sempurna.

 

Kadang, cinta nggak harus selalu dibalas, dan nggak selalu datang dari tempat yang kita harapkan. Kian tahu itu dari awal, tapi dia memilih mencintai dengan caranya sendiri. Jadi, siapa bilang si polos selalu kalah? Kadang, yang kelihatan paling lemah justru yang paling kuat. Karena dalam permainan ini, yang menang adalah mereka yang mencintai tanpa syarat.

Leave a Reply