Cinta Terpendam: Perjalanan Selia Menyatakan Perasaan

Posted on

Hai, kamu pernah ngerasain suka sama orang tapi diem-diem aja? Kayak, nunggu waktu yang pas buat bilang, tapi juga takut kalau semuanya bakal jadi awkward.

Nah, cerpen ini bercerita tentang Selia, secret admirernya Dylan seseorang yang selalu bisa bikin jantungnya berdegup kencang! Yuk, ikuti perjalanan Selia yang berani ngungkapin perasaannya dan lihat bagaimana cinta terpendam ini bisa jadi kisah yang manis dan bikin baper! Let’s go…

 

Cinta Terpendam

Jejak di Antara Kita

Sekolah menengah atas itu dipenuhi oleh kebisingan suara tawa dan riuhnya anak-anak muda yang saling bercengkerama. Di salah satu sudut kelas, seorang gadis bernama Selia duduk di bangkunya, matanya tertuju pada jendela. Dia melihat ke luar, memperhatikan hujan rintik-rintik yang jatuh dari langit, seolah-olah mencerminkan perasaannya yang bergejolak. Dalam hatinya, terbersit sebuah rasa yang tak terungkapkan, rasa cinta yang dalam kepada seorang cowok pendiam di kelasnya, Dylan.

Selia sering kali memandangi Dylan dari jauh. Dia tahu Dylan adalah sosok yang tak banyak bicara, namun ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Dengan wajah tampan dan aura tenang yang dimilikinya, Dylan seperti magnet yang membuat Selia tak bisa berpaling. Rasa penasaran itu semakin tumbuh ketika dia melihat Dylan membantu teman-teman sekelasnya dengan penuh kesabaran, senyumnya yang tulus selalu membuat suasana di sekelilingnya menjadi lebih cerah.

“Gimana, Sel? Kamu mau ikut diskusi tentang tugas seni nanti?” tanya Mira, sahabat Selia, yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Hmm, mungkin,” jawab Selia sambil tetap memperhatikan Dylan yang sedang berbincang dengan teman-teman di seberang ruangan.

Mira melihat ke arah yang sama, lalu tersenyum nakal. “Kamu masih memikirkan dia, ya? Dylan, si cowok misterius itu?”

“Siapa bilang? Aku cuma… penasaran,” balas Selia, mencoba menutupi rasa malunya.

Mira tertawa. “Coba aja kamu berani bicara sama dia. Mungkin dia bukan se-misterius yang kamu pikirkan!”

Selia menggigit bibirnya. Dia ingin sekali, tetapi kata-kata selalu terjebak di tenggorokannya. Setiap kali dia berusaha untuk mendekati Dylan, rasanya seperti ada dinding yang menghalanginya. Namun, ide untuk mengekspresikan perasaannya lewat karya seni terlintas di benaknya.

Sepulang sekolah, Selia memutuskan untuk menggambar potret Dylan. Dia mengambil pensil dan kertas, kemudian mulai menggambar. Dengan setiap goresan, dia berusaha menangkap setiap detail wajahnya—dari garis rahang yang tegas hingga senyum lembutnya yang selalu membuat hati Selia bergetar. Dia menghabiskan berjam-jam, terhanyut dalam pikirannya sendiri, membayangkan bagaimana rasanya bisa berbicara dengan Dylan tanpa rasa canggung.

“Sel, kamu udah makan belum?” tanya ibunya, yang tiba-tiba muncul di ambang pintu kamar.

“Belum, Ma. Lagi asyik gambar,” jawab Selia tanpa mengalihkan pandangannya dari kertas.

Ibunya mendekat, melihat gambar yang dikerjakan Selia. “Wah, kamu menggambar siapa?”

Selia tersipu. “Cuma gambar teman sekolah,” ujarnya, berusaha terlihat santai.

“Hmm, ada apa dengan teman ini? Kenapa dia sangat spesial buat kamu?” tanya ibunya dengan nada teasing.

“Enggak, Ma. Cuma teman biasa,” Selia menjawab cepat, berusaha menutupi rasa malunya.

Malam itu, Selia menyelesaikan gambar potret Dylan. Dia merasa puas, tetapi keraguan masih menggerogoti hatinya. “Apa dia akan menyukainya? Atau bahkan memperhatikanku?” pikirnya.

Setelah beberapa hari bertahan dengan rasa penasaran, Selia memutuskan untuk meninggalkan gambar potret Dylan di mejanya. Dia menggulung gambar itu rapi dan menuliskan di amplop putih, “Untuk Kamu.” Rasa takut dan gugup menyelimutinya, tetapi dia tahu ini adalah kesempatan yang mungkin tidak akan datang lagi.

Pagi hari berikutnya, Selia datang lebih awal ke sekolah. Dia mencari kesempatan untuk menaruh amplop itu di meja Dylan tanpa terlihat oleh teman-teman sekelasnya. Setelah memastikan keadaan aman, Selia meletakkan amplop itu di meja Dylan dan segera bersembunyi di balik lemari.

Jantungnya berdebar ketika dia melihat Dylan masuk ke kelas. Selia merasakan getaran yang tidak biasa. Ketika Dylan duduk dan membuka amplop, dia tidak bisa menahan diri untuk memperhatikan. Wajah Dylan menunjukkan ekspresi bingung, tetapi kemudian berubah menjadi senyum.

“Siapa yang meninggalkan ini?” bisik Dylan pada diri sendiri, membuat Selia bergetar di balik lemari.

Setelah pelajaran selesai, Selia berusaha untuk tetap tenang, tetapi rasa ingin tahunya membuatnya hampir tidak bisa menunggu. Dia melihat Dylan memperlihatkan gambar itu kepada teman-temannya, dan semua orang terkesan. Hatinya berdebar. Apakah ini berarti dia diperhatikan?

“Sel, kenapa kamu terlihat gelisah?” tanya Mira, yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Aku cuma… merasa tidak enak,” Selia menjawab, berusaha menyembunyikan perasaannya yang sebenarnya.

“Apa kamu merasa cemburu? Atau justru senang?” tanya Mira, menggoda.

Selia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum sambil mengalihkan pandangannya kembali ke Dylan. Dia tidak bisa mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan. Cinta yang tersembunyi ini membuatnya bingung dan bersemangat sekaligus.

Selama beberapa minggu berikutnya, Selia terus meninggalkan catatan kecil dan gambar untuk Dylan. Setiap kali dia melihat senyumnya, rasa cinta dan harapan itu semakin tumbuh. Meskipun mereka belum pernah berbicara secara langsung, Selia merasa seolah-olah ada koneksi yang kuat di antara mereka.

Tapi saat momen itu semakin mendekat, Selia menyadari bahwa dia harus mengambil langkah berani. Mungkin saatnya untuk mengungkapkan siapa dirinya dan apa yang dia rasakan. Dia tidak ingin selamanya menjadi pengagum rahasia.

Suatu hari, saat kegiatan ekstrakurikuler akan diadakan, Selia bersiap-siap untuk mengambil langkah besar. Dia tahu inilah saat yang tepat untuk menunjukkan dirinya kepada Dylan dan menghadapi rasa takutnya. Dengan tekad bulat dan hati yang berdebar, dia pergi ke sekolah dengan harapan bahwa mungkin, justru hari itu bisa mengubah segalanya.

Namun, apakah dia berani untuk mengungkapkan perasaannya? Atau apakah dia akan tetap menjadi secret admirer selamanya?

 

Momen Tak Terduga

Hari kegiatan ekstrakurikuler akhirnya tiba. Selia merasa campur aduk antara rasa bersemangat dan cemas. Dia telah merencanakan segala sesuatunya dengan matang—membawa catatan yang ingin dia sampaikan dan bertekad untuk bertemu Dylan dalam suasana yang lebih santai. Suara langkah kaki dan hiruk-pikuk teman-temannya membuatnya semakin bersemangat.

Ketika dia memasuki aula, dia melihat Dylan duduk bersama beberapa teman di pojok ruangan. Dia tampak tenang, tertawa bersama mereka, dan itu membuat hati Selia berdebar. “Ayo, Sel. Ini kesempatan kamu!” pikirnya.

Selia mengambil napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar. Dia tahu, inilah saatnya. Dia melangkah perlahan, mendekati kelompok tempat Dylan duduk. Teman-teman Dylan tampak asyik bercanda, tetapi Selia bisa merasakan aura kedamaian yang terpancar dari Dylan.

“Eh, Sel! Kenapa kamu di sini?” sapa Mira, yang tiba-tiba muncul di sampingnya.

“Aku… mau ngobrol sama Dylan,” jawab Selia, berusaha tampil percaya diri meski rasa gugupnya mulai kembali.

“Baiklah, aku akan pergi dulu. Semoga beruntung!” Mira memberi dorongan, lalu melangkah pergi, meninggalkan Selia sendirian.

Selia merasa seolah-olah semua mata tertuju padanya saat dia mendekati Dylan. Saat dia hampir sampai, langkahnya terhenti. Semua yang dia rencanakan seolah menguap begitu saja. “Kenapa harus sesulit ini?” gumamnya dalam hati.

“Selia! Kamu datang!” seru Dylan dengan senyuman yang membuat hati Selia bergetar. “Kamu mau ikut? Kami sedang berdiskusi tentang projek seni.”

“Iya, aku dengar,” Selia menjawab, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang. “Sebenarnya, aku mau… membahas tentang gambar yang aku buat beberapa waktu lalu.”

Dylan mengangkat alisnya. “Oh, gambar itu? Teman-teman bilang itu keren, lho! Kamu pasti jago menggambar.”

“Terima kasih,” Selia tersenyum, merasa senangnya tak tertahankan. “Aku… senang bisa menggambar. Apakah kamu ingin melihatnya?”

Dylan mengangguk, terlihat tertarik. Selia mengambil ponselnya dan membuka gambar potret Dylan yang telah dia simpan. Dengan sedikit gugup, dia menyerahkan ponselnya kepada Dylan. “Ini dia,” katanya sambil menahan napas.

Dylan melihat gambar itu dengan seksama. Selia bisa merasakan perasaannya campur aduk—antara harapan dan ketakutan. “Wow, ini aku?” Dylan bertanya, seolah tidak percaya.

“Iya, itu kamu. Aku mencoba menangkap senyummu yang selalu bikin suasana jadi ceria,” jawab Selia dengan tulus.

Dylan tersenyum lebar, terlihat senang dengan pujian tersebut. “Aku tidak pernah tahu kalau kamu bisa menggambar sebaik ini. Ini luar biasa, Sel!”

Mendengar pujian itu, Selia merasa seolah beban yang mengganjal di dadanya sedikit terangkat. “Makasih, Dylan. Aku… senang kamu suka.”

Pembicaraan mereka berlanjut, dan Selia merasa nyaman berada di samping Dylan. Dia mulai menceritakan proses menggambar dan ide-ide di balik karya seni itu. Dalam suasana yang hangat, mereka berbagi tawa dan cerita, seolah tidak ada yang menghalangi di antara mereka.

Namun, saat suasana mulai akrab, Dylan tiba-tiba terdiam dan menatap Selia dengan serius. “Sel, aku ingin tahu, siapa sebenarnya yang menggambar potret ini? Siapa pengagum rahasiaku itu?”

Jantung Selia berdegup kencang. Dia terjebak antara kejujuran dan rasa malu. “Sebenarnya… aku tidak tahu siapa dia,” ujarnya, berusaha bersikap santai meskipun hatinya bergetar. “Tapi, aku yakin dia orang yang baik.”

Dylan mengangguk, seolah mempertimbangkan jawaban Selia. “Menarik. Aku penasaran siapa dia. Mungkin, aku harus mencari tahu lebih lanjut.”

Selia ingin sekali mengungkapkan perasaannya, tetapi kata-kata itu tampak tersangkut di tenggorokannya. Dia tidak ingin mengacaukan momen indah ini dengan ketidakpastian. “Mungkin kamu bisa mencoba bertanya langsung kepada si pengagum rahasiamu,” ujarnya sambil tersenyum, berusaha menutupi rasa cemasnya.

Dylan tertawa kecil. “Mungkin, ya. Tapi aku tidak ingin membuat orang itu merasa tidak nyaman. Mungkin lebih baik kalau aku menunggu dia untuk mengungkapkan perasaannya sendiri.”

Selia hanya bisa mengangguk, merasakan harapannya sedikit menguap. Mereka melanjutkan percakapan dengan penuh keceriaan, berbagi minat dan hobi masing-masing. Waktu seakan melambat saat mereka berbincang. Selia merasa seolah-olah dunia di sekitar mereka menghilang, meninggalkan hanya mereka berdua dalam kehangatan kebersamaan.

Setelah beberapa saat, Mira kembali menghampiri mereka, “Hei, kalian berdua! Kami sudah siap untuk memulai kegiatan! Ayo!”

Selia dan Dylan berdiri, siap untuk bergabung dengan teman-teman mereka. Momen indah itu masih terbayang dalam pikiran Selia. Saat mereka bergabung dengan kelompok lain, dia merasa senang, tetapi rasa cemas akan identitas pengagum rahasianya tetap ada.

Di tengah kegiatan yang berlangsung, Selia mencuri pandang ke arah Dylan yang tampak asyik berbincang dengan teman-teman. Dia merasa bersemangat dan sekaligus tertekan. “Apa aku harus mengungkapkan perasaanku? Atau tetap menjadi secret admirer?” pikirnya.

Hari itu berakhir dengan senyuman, tetapi di dalam hati Selia, gelombang perasaan yang dalam belum mereda. Dia tahu, jika ingin mengubah statusnya dari pengagum rahasia menjadi sesuatu yang lebih, dia harus mengambil langkah berani.

Malamnya, saat berbaring di tempat tidurnya, Selia merenungkan hari itu. Dia berusaha membayangkan bagaimana rasanya bisa menjadi lebih dekat dengan Dylan, bisa saling mengungkapkan perasaan tanpa rasa takut. Saat tidurnya mulai menghampiri, satu pertanyaan mengusik pikirannya: “Kapan aku akan berani mengambil langkah itu?”

 

Menemukan Keberanian

Minggu berlalu dan suasana di sekolah semakin ramai dengan persiapan untuk festival seni tahunan. Selia merasa bersemangat sekaligus gugup. Kegiatan ini menjadi ajang pamer karya-karya seni, dan dia bertekad untuk menampilkan gambar potret Dylan sebagai ungkapan perasaannya yang terpendam. “Ini saatnya,” pikirnya. “Aku harus berani!”

Pada hari H festival, aula sekolah dipenuhi warna-warni hiasan, suara tawa, dan semangat para siswa. Selia mengenakan gaun sederhana berwarna biru, yang membuatnya merasa percaya diri. Saat dia tiba, aroma makanan dan suara musik ceria mengisi udara. Jantungnya berdebar saat matanya mencari sosok Dylan di antara kerumunan.

Ketika melihat Dylan di dekat stan seni, hatinya bergetar. Dia sedang berbincang dengan beberapa teman sambil tersenyum, dan Senyumnya memancarkan cahaya yang membuat Selia semakin bersemangat. “Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini,” pikirnya.

Setelah menghampiri stan tempat dia memamerkan karyanya, Selia melihat karyanya diiringi pujian dari teman-temannya. “Wow, Sel! Ini keren banget!” sapa Rina, sahabatnya. “Aku sangat bangga!”

“Terima kasih, Rina! Aku berharap Dylan juga suka,” jawab Selia sambil sedikit gugup.

Tak lama kemudian, dia melihat Dylan mendekat. Dia tampak terpesona oleh semua karya yang dipamerkan. Selia berusaha menjaga sikap tenang, tetapi dalam hati, dia berdoa agar semua berjalan lancar. “Hey, Sel! Keren sekali gambar-gambarmu! Apakah kamu juga menggambar yang ini?” Dylan menunjuk ke salah satu karya lain.

“Iya! Itu gambar taman yang aku buat saat liburan. Tapi yang paling aku banggakan adalah gambar ini,” Selia menjawab sambil menunjukkan potret yang dia buat untuk Dylan.

Dylan tertegun sejenak saat melihat gambar itu. “Sel, ini luar biasa! Kamu benar-benar menangkap esensi senyumku!” serunya, mata penuh kekaguman. Selia merasa hangat di dadanya mendengar pujian tersebut.

“Terima kasih! Aku… sebenarnya menggambar ini karena terinspirasi oleh kamu,” Selia mengungkapkan, meskipun hatinya bergetar. Dia tidak bisa mempercayai kata-kata yang keluar dari mulutnya.

“Oh, serius?” Dylan bertanya, tidak bisa menyembunyikan rasa ingin tahunya. “Kenapa aku?”

Selia menelan ludah, merasakan keraguan merayapi pikirannya. “Karena… kamu punya cara unik untuk membuat orang di sekitarmu merasa nyaman. Dan, yah, senyummu itu…” Selia mengerahkan semua keberanian yang dia miliki. “Aku ingin menggambarkan itu.”

Dylan tersenyum, tampak sangat terkesan. “Kamu tahu, itu membuatku merasa spesial. Terima kasih, Sel!”

Selia merasa semangatnya bangkit. “Jadi, apa kamu mau menemaniku ke stan lainnya? Aku juga mau lihat karya-karya teman-teman,” ajak Selia, berharap bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya.

“Boleh, ayo!” jawab Dylan dengan antusias.

Selia dan Dylan berkeliling, melihat karya seni lainnya, sambil berbagi cerita dan tawa. Setiap kali mereka berinteraksi, Selia merasa lebih dekat dengan Dylan. Dia melihat sisi lain dari Dylan—sisi yang lucu dan menghibur. Saat mereka sampai di stan yang menampilkan foto-foto, Dylan mengagumi hasil jepretan teman-temannya.

“Wah, foto-foto ini keren-keren ya! Aku penasaran siapa yang jepret ini,” kata Dylan sambil meneliti setiap foto.

“Tanya saja! Mungkin kita bisa dapat tips,” balas Selia sambil mengelus rambutnya yang sedikit berantakan.

Saat mereka berdiri di sana, Dylan berbalik dan bertanya, “Sel, kenapa kamu tidak pernah memberitahuku tentang bakat menggambarmu? Ini luar biasa!”

Selia tersenyum, merasa senang sekaligus gugup. “Aku… merasa belum siap untuk berbagi. Tapi sekarang aku merasa lebih percaya diri.”

Dylan menatapnya dalam-dalam, seolah mencoba memahami apa yang dia rasakan. “Jadi, kamu mau lebih banyak berbagi, ya? Terutama tentang hal-hal yang kamu suka?”

Selia mengangguk, merasa bahwa ini adalah peluang yang tepat. “Iya, aku ingin! Mungkin… aku bisa mulai berbagi lebih banyak tentang perasaanku juga.”

“Perasaan? Oh, itu menarik,” Dylan menjawab, senyumnya tetap hangat. “Aku ingin tahu lebih banyak, Sel.”

Selia merasakan ketegangan di udara, seolah ada sesuatu yang menggantung di antara mereka. Namun, sebelum dia bisa melanjutkan, teman-teman mereka mendekat dan mengalihkan perhatian. Selia merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu, mungkin ini adalah langkah pertama untuk membuka diri.

Setelah seharian menikmati festival, saat matahari mulai terbenam, Selia dan Dylan berdiri di tepi taman, menikmati suasana. Warna-warni langit menambah keindahan momen itu. Selia merasa tenang saat melihat Dylan.

“Dylan, aku…,” Selia berusaha mengucapkan kata-kata yang sudah lama ingin dia sampaikan. Tapi kata-kata itu terasa sulit untuk diungkapkan.

“Tunggu, Sel. Sebelum kamu lanjut, aku punya sesuatu untukmu,” Dylan mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaketnya dan memberikannya kepada Selia. “Aku ingin kamu menyimpan ini.”

Selia menerima kotak itu dengan hati berdebar. Dia membukanya perlahan dan menemukan gelang cantik dengan ukiran kecil yang tertulis, “Setiap seni memiliki cerita.” “Dylan, ini indah!” serunya terkejut.

“Aku ingin kamu tahu, kamu memiliki cerita yang luar biasa. Kamu harus terus berbagi dengan dunia, Sel,” Dylan tersenyum. Selia merasa hangat mendengar kata-kata itu.

“Terima kasih, Dylan. Ini sangat berarti bagiku,” jawab Selia, merasa bersemangat untuk melanjutkan perasaannya.

Namun, sebelum dia bisa berkata lebih jauh, suara riuh teman-teman mereka kembali mengganggu suasana. “Ayo, Sel! Kita mau foto bareng!” seru Mira.

Selia dan Dylan ikut bergabung dengan kerumunan. Di tengah kebisingan dan tawa, Selia merasa harapannya untuk membuka perasaan kepada Dylan semakin mendekati kenyataan.

Selama perjalanan pulang, Selia merenungkan kata-kata Dylan. “Aku harus lebih berani,” tekadnya dalam hati. “Aku akan membuat langkah berikutnya untuk mengungkapkan perasaanku pada Dylan.”

 

Mengungkapkan Perasaan

Hari-hari setelah festival seni berlalu dengan cepat. Selia merasa jiwanya bersemangat, berkat pujian dan perhatian dari Dylan. Gelang yang dia terima menjadi pengingat untuk terus berani dan mengungkapkan perasaannya. Setiap kali dia melihat gelang itu, dia teringat pada saat-saat indah bersama Dylan, dan semangatnya untuk melangkah maju semakin besar.

Saat pelajaran berlangsung, Selia tidak bisa fokus. Pikirannya terbayang-bayang wajah Dylan yang tersenyum, cara dia menatapnya dengan penuh perhatian, dan setiap tawa yang mereka bagi. Dia bertekad untuk menyampaikan apa yang dia rasakan sebelum semuanya terlambat.

Di saat istirahat, Selia menemukan keberanian untuk mengajak Dylan berbicara. “Dylan, mau nggak kita pergi ke kafe setelah sekolah? Aku ada sesuatu yang mau aku sampaikan,” katanya, berusaha terdengar santai meski hatinya berdebar.

Dylan mengangguk antusias. “Tentu! Aku selalu suka nongkrong bareng kamu.” Sederhana, tetapi itu membuat Selia merasa lebih baik. Dia berharap ini adalah langkah yang tepat.

Setelah jam terakhir sekolah berakhir, mereka berjalan menuju kafe favorit mereka, sebuah tempat kecil yang cozy dengan nuansa hangat. Selia merasa gugup, tetapi senyum Dylan membuatnya sedikit lebih tenang. “Apa kamu sering ke sini?” tanya Dylan, memecah keheningan.

“Sering, tapi lebih seru kalau ada kamu,” jawab Selia, merasakan aliran kepercayaan diri yang mulai tumbuh.

Begitu tiba di kafe, mereka memesan minuman dan duduk di pojok yang nyaman. Suasana di sekitar mereka ramai, tetapi Selia merasa seolah hanya ada mereka berdua di sana. “Dylan,” dia mulai, suara sedikit bergetar, “aku ingin memberitahumu sesuatu yang penting.”

“Ngomong aja, Sel. Aku di sini,” kata Dylan, matanya tetap menatapnya dengan penuh perhatian.

Selia mengumpulkan keberaniannya. “Selama ini, aku punya perasaan yang lebih dari sekadar teman terhadapmu. Dan setelah festival itu, aku merasa aku harus jujur sama kamu.”

Dylan terdiam sejenak, seolah mencerna kata-katanya. Jantung Selia berdebar kencang, takut jika dia salah mengartikan semuanya. “Aku… aku suka kamu, Dylan. Suka banget. Sejak lama,” ungkap Selia, perasaannya meluap seperti air yang tak bisa ditahan lagi.

Dylan tersenyum lebar, dan dalam hatinya, Selia merasa seolah beban berat terangkat. “Wow, Sel! Aku juga suka kamu. Tapi aku pikir kamu tidak akan merasa sama. Ini menyenangkan sekali,” jawab Dylan, wajahnya menunjukkan kebahagiaan yang jelas.

Selia merasa seolah semua yang ditakutkannya hancur seketika. “Jadi… kamu tidak keberatan?” tanyanya ragu-ragu, ingin memastikan semuanya nyata.

“Tidak sama sekali! Sel, aku selalu merasa ada koneksi khusus di antara kita. Setiap kali aku bersamamu, aku merasa nyaman dan bahagia,” Dylan menjelaskan, mengungkapkan perasaan yang selama ini terpendam.

Mendengar itu, Selia merasa seperti melayang. “Serius? Jadi, kita bisa… lebih dari sekadar teman?” tanya Selia, matanya berbinar penuh harap.

“Yap! Kita bisa mulai dari sini. Aku ingin mengenalmu lebih dalam, Sel,” jawab Dylan, bersemangat.

Mereka menghabiskan sisa waktu di kafe sambil berbagi cerita, tawa, dan impian. Selia merasa seolah semua dinding yang menghalangi antara mereka runtuh, dan dunia terasa lebih cerah. Setiap detik yang mereka habiskan bersama membuat ikatan di antara mereka semakin kuat.

Saat mereka beranjak untuk pulang, Dylan memegang tangan Selia dan menatap matanya. “Sel, terima kasih sudah berani jujur. Aku sudah lama menunggu saat ini,” katanya lembut. Selia merasa hatinya berbunga-bunga, dan seluruh dunia terasa sempurna.

“Sama-sama, Dylan. Ini awal baru untuk kita,” jawab Selia, bersemangat.

Mereka melangkah beriringan, dengan senyum lebar di wajah masing-masing. Selia menyadari bahwa dia telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar cinta—dia telah menemukan sahabat sejati yang selalu ada untuknya. Dan itu adalah awal dari perjalanan baru yang penuh warna dalam hidup mereka, dengan cinta yang tumbuh dan kenangan yang akan mereka buat bersama.

 

Jadi, itu dia kisah Selia dan Dylan! Kadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit keberanian untuk mengungkapkan perasaan, kan? Cinta itu memang manis, tapi bisa jadi pahit juga kalau kita terus menyimpannya sendiri.

Semoga cerita ini bikin kamu mikir tentang perasaan yang terpendam dan berani untuk mengungkapkannya. Siapa tahu, kisah cinta kamu selanjutnya bisa seindah Selia dan Dylan! Sampai jumpa di cerita-cerita selanjutnya!

Leave a Reply