Cinta Terhalang Jarak dan Waktu: Kisah Rindu yang Tak Pernah Padam

Posted on

Pernah nggak sih ngerasa kalau cinta itu kayak jalan yang nggak pernah lurus? Kayak ada aja halangan yang bikin kita bingung mau gimana. Dan kadang, yang paling berat itu bukan cuma soal perasaan, tapi juga soal waktu dan jarak yang selalu bikin kita ngerasa terpisah, walaupun hati nggak pernah bisa jauh.

Ini cerita tentang dua orang yang lagi berusaha keras untuk nggak nyerah, meskipun semuanya kayak nggak mendukung. Jadi, kalau kamu pernah ngerasain rindu yang nggak terucap atau cinta yang terhalang, kamu bakal ngerasain banget cerita ini.

 

Cinta Terhalang Jarak dan Waktu

Bayang-Bayang Kenangan

Faelan duduk di bangku taman yang sudah lama tidak ia datangi. Suasana malam itu cukup tenang, hanya terdengar suara angin yang berdesir di antara pepohonan yang rimbun. Lampu jalanan berkelip redup, menerangi trotoar yang sepi, sementara di kejauhan, suara mobil-mobil yang melintas terdengar samar. Di langit, bintang-bintang tampak jelas, seakan mengingatkannya pada malam-malam yang pernah ia habiskan bersama Marisya di tempat yang sama.

Sudah bertahun-tahun sejak Marisya pergi. Jarak yang memisahkan mereka tak hanya fisik, tetapi juga waktu yang terus bergerak maju tanpa memberi kesempatan untuk berhenti sejenak. Dan meskipun Faelan berusaha melanjutkan hidupnya, kenangan tentang Marisya tetap membekas kuat. Seperti bayangan yang terus mengikuti ke mana pun ia pergi.

Hujan yang turun semalam masih meninggalkan jejak-jejak basah di jalanan. Faelan menatap jalanan itu, teringat saat mereka berdua berjalan kaki pulang bersama setelah hujan reda. Marisya dengan gaun simpel yang selalu terlihat sempurna di tubuhnya, sementara Faelan menggenggam payung yang kini sudah tak lagi ada. Dulu, ia merasa dunia ini cukup kecil untuk mereka berdua. Tapi kini, segalanya terasa begitu luas dan kosong.

Ponsel di sakunya bergetar. Sebuah notifikasi muncul di layar, tapi Faelan tidak segera membukanya. Ia tahu siapa yang menghubunginya. Meskipun jarak dan waktu telah mengubah banyak hal, suara Marisya tetap bisa menembus batas itu. Setelah beberapa detik menimbang, akhirnya ia membuka pesan tersebut.

“Faelan… aku rindu.”

Hanya itu. Pesan singkat yang seperti mengalirkan begitu banyak emosi. Faelan menarik napas panjang. Tubuhnya terasa lemas, seakan beban yang lama terkumpul dalam dada akhirnya menggelora kembali. Rindu. Kata itu selalu membuatnya merasa seolah-olah waktu bisa diputar kembali.

Tangan Faelan gemetar sedikit saat mengetik balasan.

“Aku juga… Aku nggak pernah bisa berhenti berpikir tentang kamu. Setiap detik yang berlalu terasa lebih berat tanpa ada kamu di sini.”

Beberapa detik kemudian, balasan itu datang. Faelan membaca pesan Marisya yang baru saja masuk.

“Aku ingin kembali, Faelan. Tapi aku nggak tahu bagaimana… Semua sudah berbeda.”

Faelan meletakkan ponselnya di samping, menatap bintang-bintang yang seakan berkedip lebih terang malam itu. Bagaimana bisa segalanya berubah? Dulu, mereka selalu tahu apa yang diinginkan—mereka hanya ingin bersama, tanpa memikirkan hal lain. Namun, seiring berjalannya waktu, takdir membawa mereka ke arah yang tak bisa mereka prediksi. Marisya mengejar mimpinya, dan Faelan tetap tinggal di kota yang sama, dengan kenangan mereka yang tetap hidup.

Dia mengingat saat terakhir kali mereka bertemu di bandara, saat Marisya bersiap pergi untuk melanjutkan kuliahnya di luar negeri. Waktu itu, Faelan mencoba menahan perasaan, meskipun hatinya sudah hancur berkeping-keping.

“Aku nggak tahu apa yang akan terjadi setelah ini, Faelan. Tapi aku… aku harus pergi,” kata Marisya, dengan air mata yang hampir tumpah.

“Jangan pergi, Marisya. Aku akan menunggumu,” jawab Faelan, meskipun kata-kata itu terasa kosong. Ia tahu, di balik kalimat itu, ada perasaan yang lebih dalam, yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Marisya mengangguk pelan, memeluk Faelan untuk terakhir kalinya, dan meninggalkannya. Sejak saat itu, mereka tak pernah benar-benar kembali lagi, meskipun hubungan mereka tetap terjaga melalui pesan dan telepon.

Namun, semakin lama, semuanya mulai terasa jauh. Faelan merasa seperti sedang berjuang sendirian untuk mempertahankan kenangan itu. Di satu sisi, ia tahu Marisya mengejar impian yang besar, dan ia tidak ingin menghalanginya. Tapi di sisi lain, hatinya tak bisa berhenti bertanya—apakah mereka berdua bisa terus bertahan seperti ini?

Ponselnya bergetar lagi. Faelan mengambilnya, membaca pesan berikutnya.

“Faelan, aku ingin berbicara. Aku akan pulang minggu depan. Bisa nggak kita bertemu?”

Faelan menatap layar ponselnya, dan untuk beberapa saat, ia hanya terdiam. Pulang? Marisya akan kembali? Rasa rindu yang sejak lama terkubur di dalam dirinya tiba-tiba terbangun. Semua perasaan yang pernah ia coba pendam, kini kembali membanjiri hatinya. Ia ingin bertemu, ingin mendengar suara Marisya secara langsung, ingin merasakan kehadirannya di sampingnya lagi.

Dengan cepat, Faelan mengetik balasan.

“Aku akan menunggu kamu. Tidak ada yang lebih aku harapkan selain bertemu denganmu lagi.”

Setelah mengirimkan pesan itu, Faelan merasa seperti ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya, sesuatu yang telah lama terkunci. Mungkin ini bukan jawaban yang pasti, tapi ini adalah awal dari kemungkinan yang baru.

Dia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi satu hal yang pasti—rindu ini tidak akan pernah pergi. Dan mungkin, hanya waktu yang bisa menjawab apakah mereka berdua akan menemukan jalan kembali satu sama lain, atau tetap terjebak dalam kenangan yang tak bisa dipahami.

 

Jarak yang Menyakitkan

Minggu berikutnya, Faelan kembali mengunjungi taman yang sama, tempat di mana segala kenangan dengan Marisya terasa begitu hidup. Ia tiba lebih awal, berusaha menenangkan hati yang sudah penuh dengan kegelisahan. Rasa rindu yang semakin mendalam membuatnya tak bisa tidur nyenyak semalaman. Pikirannya terus melayang, membayangkan apa yang akan terjadi saat mereka bertemu nanti.

Banyak hal yang ia ingin katakan, tetapi sekaligus takut. Bagaimana bisa mereka melanjutkan semuanya setelah waktu yang begitu panjang dan jarak yang teramat jauh? Faelan tahu, ada banyak hal yang berubah. Marisya mungkin sudah menjadi orang yang berbeda, begitu pula dirinya. Tapi di sini, di taman ini, dengan langit yang biru dan angin yang berhembus lembut, ia merasa seolah-olah waktu bisa berhenti.

Langit sudah mulai memerah ketika Faelan mendengar langkah kaki yang familiar. Jantungnya berdegup kencang. Di kejauhan, sosok Marisya muncul, melangkah dengan hati-hati seolah sedang menimbang-nimbang apakah ini benar-benar waktu yang tepat untuk bertemu. Wajahnya tampak sedikit cemas, namun senyum tipis yang muncul saat melihat Faelan membuat hati Faelan berdegup lebih kencang lagi.

“Mari,” suara Faelan keluar hampir dengan terburu-buru, meskipun ia berusaha menahan diri. Nama itu, yang sudah lama tidak ia sebut, terasa begitu hangat saat diucapkan.

Marisya menghentikan langkahnya sejenak, lalu mendekat dengan pelan. Matanya bertemu dengan mata Faelan, dan dalam sekejap, semua yang mereka rasakan seakan mengalir tanpa kata-kata. Marisya duduk di bangku di samping Faelan. Ada jarak fisik di antara mereka, tetapi tak bisa menutupi rasa yang sudah terkubur dalam hati.

“Fae, aku… aku nggak tahu harus mulai dari mana,” suara Marisya terdengar lirih, seperti ada kekhawatiran yang terpendam.

“Aku juga,” jawab Faelan pelan. Ia merasa canggung, lebih canggung daripada yang ia kira. Terkadang, rasa rindu itu datang begitu kuat, namun di saat bersamaan, ia juga merasa terjebak dalam kebisuan yang menyakitkan.

Beberapa detik berlalu, dan akhirnya Marisya menghela napas panjang, mencoba membuka pembicaraan lebih dalam.

“Kamu baik-baik saja?” tanya Marisya, suara lembutnya menggema di udara sore yang tenang.

Faelan mengangguk, meskipun dalam hatinya masih ada perasaan campur aduk yang sulit diungkapkan. “Baik-baik aja. Tapi, aku nggak bisa berhenti berpikir tentang kamu. Setiap hari, entah kenapa, aku cuma merasa kosong.”

Marisya menundukkan kepala, seolah merenung dengan dalam. “Aku merasa begitu juga, Fae. Setiap langkah yang aku ambil, rasanya seperti nggak ada arah yang jelas. Dulu, kamu adalah arahku. Tapi semakin jauh aku pergi, semakin aku merasa kehilangan.”

Faelan merasa perasaan yang sudah lama terkunci dalam dirinya perlahan meledak. Ia ingin berkata lebih banyak, ingin menyuarakan perasaan yang selama ini terpendam, tetapi ia merasa seakan ada yang menghalangi. Ada kekhawatiran, takut jika kata-kata itu akan membuat semuanya semakin rumit.

“Aku masih mencintaimu, Marisya,” akhirnya Faelan mengungkapkan, suara itu penuh dengan kejujuran. “Aku nggak bisa melupakan kamu. Tidak bisa, walaupun berusaha sekeras apapun.”

Marisya menatap Faelan dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. “Aku juga, Faelan. Aku selalu mencintaimu. Tapi… aku takut.”

“Tapi apa?” Faelan mendekat sedikit, hatinya berdebar kencang. Ia ingin tahu lebih banyak, lebih jauh, tentang apa yang sedang dipikirkan Marisya. Mungkin perasaan yang sama, yang sudah lama mereka rasakan, bisa kembali hidup. Mungkin, mereka masih bisa menemukan jalan bersama meskipun jalan itu tampaknya penuh dengan rintangan.

“Aku takut jika aku kembali, kita cuma akan saling menyakiti,” jawab Marisya, suaranya bergetar. “Aku nggak ingin membuatmu berharap lagi kalau pada akhirnya aku akan pergi lagi. Dan aku nggak tahu apakah kita bisa kembali seperti dulu.”

“Jangan katakan itu,” Faelan berbisik. “Aku nggak bisa hidup dengan rasa penyesalan. Kalau kita masih punya kesempatan, aku nggak mau sia-siakan itu.”

Marisya terdiam sejenak, menatap jauh ke depan, seolah mencari jawaban di luar kata-kata. Angin berhembus lebih kencang, menggoyangkan daun-daun di sekeliling mereka. Sesaat, keduanya hanya terdiam, tenggelam dalam pikiran dan perasaan yang saling bertabrakan.

“Fae, aku… aku ingin mencoba lagi,” kata Marisya akhirnya, suaranya lebih lembut. “Tapi aku nggak bisa janji. Aku nggak bisa janji kalau aku akan selalu di sini. Aku hanya ingin kita sama-sama berusaha.”

Faelan menghela napas panjang, hatinya terasa lebih ringan meskipun tetap dipenuhi keraguan. “Aku nggak akan pernah berhenti berusaha, Marisya. Aku akan menunggu, apapun itu.”

Mereka saling menatap, dan untuk sekejap, dunia di sekitar mereka seperti berhenti. Jarak antara keduanya mungkin belum sepenuhnya hilang, tapi ada sedikit kehangatan yang mengalir, membalut keduanya dalam kenangan dan harapan yang mungkin, hanya mungkin, bisa terwujud.

Di dalam hati Faelan, ada satu harapan yang tidak bisa ia ungkapkan, harapan bahwa mereka berdua bisa kembali bersama, tanpa ada lagi jarak dan waktu yang memisahkan. Namun, dia juga tahu, semua itu akan membutuhkan waktu dan perjuangan yang tidak mudah.

“Tapi bagaimana kita akan melakukannya?” Marisya bertanya dengan suara pelan, seakan ragu-ragu.

Faelan tersenyum tipis, matanya penuh dengan keyakinan. “Pelan-pelan. Kita akan berjalan bersama, sedikit demi sedikit.”

Dan di sana, di bawah langit senja yang perlahan memudar, keduanya tahu, perjalanan mereka masih panjang.

 

Jejak yang Tak Pernah Pudar

Beberapa minggu telah berlalu sejak pertemuan pertama mereka di taman itu. Marisya dan Faelan mulai saling berbicara lagi, meskipun dengan hati-hati. Mereka memulai semuanya dengan perlahan, berbagi cerita tentang kehidupan mereka yang sudah berjalan tanpa satu sama lain. Namun, ada hal-hal yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Rindu itu tetap mengalir di antara mereka, namun perasaan itu juga terasa seperti dua dunia yang terpisah oleh dinding kaca tebal.

Mereka bertemu di kafe kecil yang sudah menjadi tempat favorit mereka saat dulu. Aroma kopi yang khas dan suara tawa teman-teman yang sedang menikmati kebersamaan membuat Faelan merasa seolah-olah ia terjebak di antara kenyataan dan kenangan. Tidak ada yang berubah di sini, namun semuanya terasa begitu asing.

Faelan duduk di meja yang biasa mereka tempati. Dengan secangkir kopi di depannya, ia menatap sekitar, menunggu Marisya datang. Detak jantungnya semakin cepat saat melihat sosok itu berjalan masuk. Marisya mengenakan gaun panjang yang sederhana, namun tetap memancarkan pesona yang sama seperti dulu. Wajahnya tampak sedikit lelah, tetapi senyum tipis yang ia tunjukkan pada Faelan membuat hati Faelan berdegup lebih kencang.

“Fae,” sapanya pelan, duduk di hadapannya. “Maaf kalau aku telat.”

“Enggak masalah,” jawab Faelan dengan senyum tipis, meskipun ada sedikit ketegangan yang mengendap di dalam dirinya. Pertemuan kali ini terasa lebih berat, lebih penuh dengan harapan yang tak terucap.

Mereka terdiam sejenak, hanya saling menatap dengan tatapan yang penuh arti. Tak ada kata-kata yang keluar dulu, hanya keduanya yang merasakan kenangan itu kembali hidup, kembali mencabik-cabik hati yang sudah sempat membeku.

“Fae, aku nggak tahu harus ngomong apa. Semua yang kita rasakan, aku merasa kita kayak berjalan di jalur yang sama tapi arah yang berbeda. Apakah kita bisa kembali lagi?” tanya Marisya akhirnya, suaranya lembut, tetapi penuh dengan keraguan.

Faelan menarik napas dalam-dalam. Rasanya, setiap kata yang keluar dari bibir Marisya seperti menusuk hatinya. Dia sudah mencoba untuk menahan segala keraguan itu, mencoba untuk percaya bahwa mereka bisa kembali, tetapi semakin banyak yang ia pikirkan, semakin banyak pula yang menghalanginya.

“Aku nggak tahu, Mari,” jawab Faelan dengan jujur. “Aku ingin kita bisa kembali seperti dulu. Aku nggak pernah berhenti berharap. Tapi…” Faelan menghentikan kalimatnya, kata-kata itu terasa semakin berat di lidahnya. “Tapi aku juga takut, Mari. Takut kalau kita terjebak dalam harapan yang nggak akan pernah bisa kita raih.”

Marisya menunduk, lalu menghela napas. Ia tahu bahwa perasaan Faelan sama beratnya dengan apa yang ia rasakan. Mereka berdua saling mencintai, namun waktu dan jarak sudah merubah banyak hal. Kenapa rasanya, meskipun mereka duduk berhadapan, seperti ada ruang kosong yang memisahkan mereka?

“Aku tahu, Fae,” jawab Marisya pelan. “Aku juga merasa begitu. Rasanya, jarak ini… bahkan bukan hanya jarak fisik, tapi perasaan yang ada di antara kita. Rasanya, kita sudah berjalan terlalu jauh.”

Faelan memandang Marisya, ada rintik-rintik air mata di sudut matanya yang coba ia sembunyikan. Tangan Faelan gemetar saat ia mengambil cangkir kopi di depannya, mencoba menenangkan diri. “Aku nggak bisa lupa, Mari. Aku nggak bisa lupakan semuanya yang kita punya. Tapi aku juga takut kalau aku terlalu berharap, nanti malah sakit lagi.”

“Aku nggak mau sakit, Fae,” Marisya mengangguk perlahan, suaranya bergetar. “Aku nggak ingin kembali ke masa itu kalau akhirnya kita cuma akan saling menyakiti lagi.”

Suasana di sekitar mereka semakin terasa sunyi, meskipun kafe itu penuh dengan suara tawa dan percakapan. Faelan merasa terjebak dalam kegelisahan yang dalam. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia ingin menyerah, tetapi hatinya terlalu mencintai Marisya untuk bisa melepaskannya begitu saja.

“Mari, aku nggak ingin kehilangan kamu lagi. Tapi aku juga nggak bisa memaksakanmu untuk tetap di sini jika kamu nggak yakin,” kata Faelan dengan penuh ketulusan, berusaha menjaga perasaan Marisya agar tak semakin terluka.

Marisya menatap Faelan dengan mata yang semakin berkaca-kaca. Ia meraih tangan Faelan, menggenggamnya erat, seolah mencari kekuatan dalam sentuhan itu. “Aku juga nggak ingin kehilanganmu, Fae. Tapi aku takut, aku takut kita sudah terlalu jauh. Aku takut kita sudah berubah terlalu banyak.”

Faelan menggenggam tangan Marisya lebih erat. “Kita mungkin sudah berubah, Mari. Tapi aku yakin, masih ada tempat di hatiku untuk kamu. Dan aku akan terus berjuang untuk itu. Aku nggak akan pernah menyerah.”

Marisya tersenyum tipis, meskipun ada kesedihan di balik senyumnya. “Aku nggak tahu, Fae. Aku nggak tahu apakah aku bisa kembali seperti dulu. Tapi aku akan mencoba, walaupun aku nggak bisa janji.”

Faelan menunduk, berusaha menyembunyikan rasa sakit yang semakin mendalam. “Aku nggak butuh janji, Mari. Aku hanya butuh kamu ada di sini, bersama aku, walau sebentar.”

Beberapa detik berlalu, keduanya hanya saling menatap, mencoba mencari jalan tengah di antara perasaan yang tak terucapkan. Tidak ada kata-kata yang bisa menjelaskan bagaimana perasaan mereka saat ini. Namun, satu hal yang Faelan tahu pasti: meskipun cinta mereka terhalang jarak dan waktu, ia tak akan pernah menyerah untuk mencoba. Meskipun tak ada jaminan apa pun, ia tahu bahwa Marisya adalah satu-satunya yang ia inginkan.

“Fae…” Marisya memulai, suaranya penuh dengan keraguan. “Apa kamu yakin?”

“Aku yakin, Mari. Aku yakin kita bisa menemukan jalan bersama. Kita hanya perlu waktu. Kita hanya perlu terus berusaha.”

Dan dengan kata-kata itu, mereka berdua tahu bahwa perjalanan mereka masih jauh, penuh dengan rintangan dan ketidakpastian. Namun, ada satu hal yang pasti: mereka tidak akan pernah berhenti berusaha, meskipun dunia mereka terhalang jarak dan waktu.

 

Di Bawah Langit yang Sama

Waktu berlalu, dan meskipun jarak dan waktu masih menjadi tembok pemisah antara Faelan dan Marisya, ada satu hal yang tak bisa diubah: perasaan mereka yang tetap hidup, meskipun terkadang terhalang oleh banyak hal. Mereka belajar untuk saling memberi ruang, namun tak pernah benar-benar melepaskan.

Suatu sore, Faelan duduk di taman yang dulu sering mereka kunjungi bersama. Angin berhembus pelan, membawa aroma bunga yang khas. Di bangku taman yang sama, ia pernah merasakan canda tawa Marisya, seringkali disertai dengan perdebatan kecil yang malah membuat keduanya semakin dekat. Sekarang, semua itu tinggal kenangan, namun kenangan itu tak pernah memudar. Ia memandangi langit senja yang mulai berubah warna, menunggu seseorang yang sudah tak asing lagi.

Beberapa menit kemudian, Marisya datang. Langkahnya terasa pelan namun penuh keyakinan, seperti ada perubahan yang terlihat jelas. Tidak banyak yang bisa mereka ucapkan, tetapi ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan mata mereka. Sebuah kehangatan, dan juga kekhawatiran yang tak pernah pergi.

“Fae…” Suara Marisya lembut, tetapi cukup untuk membuat hati Faelan berdebar.

Faelan tersenyum, menatap Marisya dengan penuh harap. “Mari,” jawabnya, mengajak Marisya duduk di sampingnya.

Mereka duduk di sana, hanya berdua, mengamati langit yang semakin gelap. Beberapa bulan yang lalu, mereka akan tertawa bersama, berbicara tentang masa depan yang penuh impian. Sekarang, mereka hanya diam, terjebak dalam hening yang penuh makna. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa menjelaskan perasaan mereka. Semua yang mereka alami sudah cukup membuat mereka paham. Meskipun tidak ada kepastian, mereka sudah cukup merasa.

“Aku masih sering berpikir tentang kita, Fae,” Marisya berkata perlahan, menunduk, seolah-olah takut dengan kata-katanya sendiri. “Tentang apakah ini akan berhasil, tentang apakah kita bisa kembali.”

Faelan meraih tangan Marisya, menggenggamnya erat. “Aku juga. Aku nggak pernah berhenti berpikir tentang kita. Tapi aku sudah tahu jawabannya. Kita bisa melakukannya, Mari. Kita bisa melakukannya bersama.”

Marisya menatap Faelan dengan mata yang mulai berkaca-kaca. “Aku takut, Fae. Takut kalau kita gagal lagi.”

“Jangan takut, Mari. Kita sudah melewati banyak hal, dan aku percaya kita bisa melewati ini juga. Ini bukan tentang bagaimana kita memulai, tapi bagaimana kita terus berjuang, meskipun semuanya terasa sulit.”

Suasana di sekitar mereka semakin sepi, hanya ada suara angin yang berdesir dan suara detak jam yang terdengar jelas di kejauhan. Marisya menyandarkan kepalanya di bahu Faelan, merasakan kenyamanan yang sudah lama hilang. Faelan menoleh, memandang wajah Marisya dengan lembut. Meskipun banyak hal yang belum mereka selesaikan, ada satu hal yang pasti: mereka berdua adalah bagian yang tak terpisahkan.

“Fae… Aku mau mencoba. Mencoba untuk kembali lagi, meskipun aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Tapi aku mau kita berjalan bersama, walaupun jalan kita nggak mudah,” kata Marisya dengan suara pelan, tetapi penuh keyakinan.

Faelan tersenyum, mengusap lembut rambut Marisya. “Itu sudah cukup, Mari. Cukup untuk aku tahu kalau kita bisa melakukannya. Aku akan selalu ada di sini. Kita akan coba.”

Malam semakin larut, tetapi keduanya tak berniat untuk beranjak. Mereka tahu bahwa perjalanan mereka belum selesai, dan meskipun tak ada jaminan, mereka memilih untuk terus berusaha. Faelan dan Marisya duduk di sana, berdampingan, dalam hening yang nyaman, berbagi kenangan dan harapan yang tak pernah padam.

Di bawah langit yang sama, mereka menyadari satu hal yang lebih penting dari apa pun: mereka masih saling membutuhkan. Meskipun jarak dan waktu tak pernah bisa sepenuhnya dipahami, mereka tahu bahwa cinta itu lebih kuat dari apapun. Mungkin tak ada akhir yang pasti untuk kisah mereka, tapi yang pasti, mereka akan terus berjalan bersama, walaupun jalan itu penuh dengan ketidakpastian.

Dan dengan itu, mereka melangkah ke depan, bersama-sama, tanpa ragu, walau dunia di sekitar mereka terasa terus berubah.

 

Jadi begitulah… meskipun nggak semua hal berjalan sesuai harapan, mereka tetap milih buat bertahan, saling percaya, dan percaya sama rasa yang mereka punya. Kadang, cinta itu nggak perlu selalu berakhir dengan kepastian yang kelihatan, cukup tahu kalau ada hati yang tetap terhubung, meskipun jarak dan waktu terus memisahkan. Dan siapa tahu, mungkin di suatu tempat, di bawah langit yang sama, mereka masih saling nunggu… dan masih saling cinta. Ya, mungkin itu yang disebut takdir.

Leave a Reply