Cinta Terakhir Fadla: Ketulusan di Tengah Derita Kekasih yang Sakit

Posted on

Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya ada nggak nih diantara kalian yang penasaran sama cerita cerpen kali ini? Kehilangan seseorang yang kita cintai adalah salah satu rasa yang paling sulit dihadapi. Cerpen “Cinta yang Tak Pernah Mati” menceritakan kisah penuh emosi antara Fadla, seorang gadis SMA yang aktif dan penuh semangat, dengan Arga, kekasihnya yang sedang berjuang melawan sakit.

Dalam cerita ini, kita diajak merasakan perjalanan cinta yang penuh dengan perjuangan, harapan, dan perpisahan yang tak terelakkan. Melalui kisah ini, kita belajar tentang arti sejati dari cinta, keberanian, dan kekuatan dalam menghadapi kenyataan yang pahit. Yuk, simak cerita lengkapnya dan rasakan emosi yang akan membuatmu merenung tentang hidup, cinta, dan kehilangan.

 

Ketulusan di Tengah Derita Kekasih yang Sakit

Cinta yang Bermula di Sekolah

Hari itu adalah hari biasa yang cerah di SMA kami. Suasana di sekolah penuh dengan tawa dan semangat, seperti biasanya. Semua teman-temanku berkumpul di kantin, membicarakan berbagai hal sepele, mulai dari gossip terbaru hingga hal-hal lucu yang terjadi di kelas. Aku, Fadla, adalah salah satu dari mereka anak yang selalu ceria, penuh energi, dan nggak pernah kehabisan bahan obrolan. Teman-temanku mengenalku sebagai anak yang nggak pernah sepi, selalu punya cara untuk membuat suasana jadi hidup.

Tapi, hari itu sedikit berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku nggak tahu kenapa, tapi ada semacam perasaan aneh yang membuat hatiku sedikit gelisah. Mungkin karena sebentar lagi ada ulangan tengah semester, atau bisa juga karena aku merasa ada sesuatu yang akan berubah dalam hidupku. Dan benar saja, hari itu hidupku berubah—hanya dengan bertemu Arga.

Arga bukanlah orang baru di sekolah kami. Dia sudah ada di kelas yang sama dengan aku sejak awal tahun ajaran, tapi kami belum pernah benar-benar berbicara banyak. Arga itu anak yang pendiam, nggak banyak bicara, dan lebih suka bergaul dengan teman-teman dekatnya. Tapi ada sesuatu yang membuatku tertarik padanya, mungkin senyum kecilnya atau cara dia selalu tampak tenang meskipun dunia sekelilingnya sibuk. Rasanya, aku ingin tahu lebih banyak tentang dia.

Hari itu, aku duduk di kantin dengan teman-teman, ketika tiba-tiba aku mendengar suara seseorang yang memanggilku. “Fadla, bisa bantu aku sebentar?” suara itu terdengar cukup familiar. Aku menoleh dan melihat Arga berdiri di depan meja kami.

Aku sedikit terkejut, karena dia jarang sekali mengajakku berbicara langsung. “Eh, tentu. Ada apa?” jawabku sambil tersenyum, sedikit gugup, meskipun aku berusaha terlihat santai.

Arga tersenyum kecil. “Aku lupa bawa tugas Matematika. Bisa pinjam catatanmu?” katanya pelan, seolah tidak ingin mengganggu.

Aku mengangguk tanpa berpikir panjang dan langsung membuka tas, mencari catatan Matematika yang kusempatkan tadi malam. Kami duduk bersebelahan, dan aku merasa ada kedekatan yang aneh saat kami berbicara. Mungkin karena aku jarang berbicara langsung dengannya, tapi sekarang rasanya seperti ada kenyamanan di antara kami yang mulai tumbuh. Kami ngobrol sedikit tentang pelajaran, dan kemudian beralih ke hal-hal yang lebih ringan. Ternyata, Arga cukup humoris. Di balik kesan pendiamnya, dia punya banyak cerita lucu yang bisa membuatku tertawa terbahak-bahak.

Sejak saat itu, kami mulai sering berbicara lebih banyak. Setiap kali ada kesempatan, Arga dan aku duduk bersama, bertukar cerita. Tidak hanya tentang sekolah, tapi juga tentang kehidupan kami masing-masing. Arga ternyata seorang yang penyayang, suka mendengarkan musik, dan punya banyak mimpi yang ingin diwujudkan. Aku merasa sangat nyaman berada di dekatnya. Kami mulai saling bertukar cerita tentang masa kecil, tentang keluarga, dan tentang apa yang kami harap untuk masa depan.

Satu hal yang membuat aku semakin jatuh hati pada Arga adalah cara dia selalu memperhatikan setiap hal kecil yang aku lakukan. Suatu hari, saat aku sedang mengerjakan tugas di perpustakaan, Arga datang dan dengan santainya berkata, “Fadla, kamu nggak perlu terlalu keras kerja. Kamu butuh istirahat juga, kan?”

Aku tertawa kecil, merasa sedikit malu. “Nggak kok, Arga. Aku biasa aja,” jawabku sambil tersenyum, mencoba menyembunyikan rasa gundah yang tiba-tiba muncul.

“Tapi, aku nggak suka kalau kamu terlalu capek. Kamu harus jaga kesehatan, Fadla,” katanya dengan suara lembut, yang membuat hatiku berdebar-debar tanpa alasan.

Malam itu, setelah sekolah selesai, kami berjalan bersama menuju halte bus. Arga menggenggam tanganku dengan perlahan, dan tanpa aku duga, dia berkata, “Fadla, aku suka sama kamu. Aku nggak tahu kenapa, tapi rasanya ada sesuatu yang beda.”

Hatiku berdebar kencang. Aku menatap matanya, dan aku bisa melihat kejujuran di sana. “Aku juga suka sama kamu, Arga,” jawabku, suara hampir tak terdengar.

Sejak saat itu, hubungan kami semakin dekat. Kami menjadi pasangan yang bahagia, penuh tawa, dan tak jarang saling berbagi cerita hingga larut malam. Kami menikmati setiap momen bersama, merencanakan masa depan, dan membuat kenangan indah yang aku simpan rapat-rapat di hatiku.

Namun, saat itu, aku tidak tahu bahwa kebahagiaan kami sedang berada di ujung jurang. Meskipun kami bahagia, hidup tidak selalu bisa diprediksi. Arga mulai sering merasa tidak enak badan, lelah, dan terkadang demam. Aku menganggap itu hanya kelelahan akibat ujian, sampai akhirnya, di suatu hari yang tak terduga, Arga pingsan saat kami sedang berbicara di sekolah.

Kejadian itu membuat hatiku terhenti sejenak. Semua hal yang terasa begitu sempurna mendadak berubah. Aku membawa Arga ke rumah sakit, dan sejak itu, dunia kami mulai terasa gelap. Setelah serangkaian pemeriksaan, dokter mengonfirmasi bahwa Arga mengidap penyakit yang sangat serius. Penyakit yang tidak bisa disembuhkan, dan waktunya hanya tinggal sedikit.

Malam itu, saat aku duduk di ruang rumah sakit, memegang tangannya yang mulai terasa dingin, aku hanya bisa berdoa dalam hati. “Tolong, jangan ambil dia dari aku. Aku masih ingin bersama dia. Aku masih ingin melihat senyumnya.”

Aku menyadari, betapa berharganya setiap detik yang kami habiskan bersama. Namun, di sisi lain, aku takut—takut kehilangan semuanya. Takut kehilangan Arga.

“Fadla, kamu kuat. Aku nggak mau lihat kamu sedih,” kata Arga dengan suara lemah, membuka matanya yang mulai sayu.

Aku mengangguk, mencoba tersenyum meski hatiku hancur. “Aku akan kuat, Arga. Aku janji.”

Itulah awal dari perjalanan berat kami. Sebuah perjalanan yang penuh dengan harapan, perjuangan, dan cinta yang tak bisa dipisahkan meskipun kami harus melalui ujian hidup yang tak terduga.

 

Ketika Senyuman Mulai Pudar

Aku masih ingat dengan jelas bagaimana rasanya ketika Arga pertama kali pingsan di sekolah. Semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tidak pernah ingin aku alami. Waktu itu aku merasa dunia seperti berhenti berputar sejenak, hanya suara detak jantungku yang terdengar begitu keras. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, hanya bisa menatap Arga yang terjatuh di depanku, tubuhnya lemah, seperti tidak berdaya. Aku merasa panik dan ketakutan, dunia yang tadinya cerah dan penuh dengan kebahagiaan tiba-tiba gelap. Semua hal yang terasa biasa, kini menjadi sangat berharga.

Aku tidak peduli dengan apa yang ada di sekelilingku. Semua orang yang berkumpul, suara guru yang panik, dan teman-teman yang bingung hanya menjadi latar belakang dari rasa cemas yang memenuhi hatiku. Yang aku pikirkan hanya Arga. Wajahnya yang tampak pucat, napasnya yang terengah-engah, dan tubuhnya yang kaku. Aku tahu, sesuatu yang buruk sedang terjadi.

Setelah dibawa ke rumah sakit, kami mendapat kabar yang aku tak ingin dengar. Arga mengidap penyakit yang sangat serius penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Aku ingat betul, bagaimana dokter itu menatap kami dengan tatapan penuh belas kasihan. “Ini adalah penyakit yang sulit, dan kami akan melakukan yang terbaik, tapi…” kata-kata itu tergantung di udara, meninggalkan ruang kosong yang tak terisi.

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan setelah mendengar kata-kata itu. Aku merasa seperti dunia sedang berusaha merenggut Arga dariku. Waktu itu, rasanya seperti aku sedang terjatuh dalam kegelapan yang pekat, tak tahu apa yang bisa kupegang. Satu-satunya yang ada di pikiranku adalah Arga. Arga yang selalu ada di setiap senja, Arga yang selalu bisa membuatku tertawa dengan cerita-ceritanya yang aneh, Arga yang dulu begitu kuat, begitu penuh dengan harapan.

Hari-hari setelahnya begitu berat. Arga terbaring lemah di rumah sakit, dan aku selalu berada di sisinya. Aku ingin menjadi kekuatan untuknya, aku ingin dia tahu kalau aku tidak akan pergi, tidak akan meninggalkannya dalam kondisi seperti ini. Tapi, semakin lama, aku merasa semakin lemah. Melihatnya yang semakin rapuh setiap hari, aku merasa seolah-olah kekuatanku mulai memudar. Aku tidak bisa menahan air mata yang akan terus mengalir saat aku sedang melihatnya tertidur dengan tubuh yang dipenuhi alat-alat medis.

Aku selalu mencoba tersenyum, bahkan jika itu terasa sangat berat. Setiap kali Arga membuka matanya, aku ingin menunjukkan padanya bahwa aku masih di sini, bahwa aku masih ada untuknya. Tapi semakin lama aku merasa semakin sulit untuk bisa bertahan. Arga yang dulu begitu ceria, yang selalu punya rencana besar untuk masa depan, kini hanya terbaring lemah, tidak bisa melakukan apa-apa. Aku merasa seperti kehilangan sebagian dari diriku sendiri.

Suatu sore, aku duduk di samping tempat tidur Arga, memegangi tangannya yang mulai terasa dingin. Wajahnya tampak semakin pucat, dan senyumnya, yang dulu selalu hadir di setiap obrolan kami, kini semakin jarang terlihat. Aku merasa hampa. Betapa pun aku berusaha, ada perasaan tak terucapkan yang mengganggu pikiranku aku takut. Takut akan kehilangan dia, takut akan kehilangan senyum itu, takut kalau aku tak bisa melakukan apa-apa untuk membuatnya kembali seperti dulu.

Tiba-tiba Arga membuka matanya, dan aku bisa melihat tatapan lemah yang penuh dengan keputusasaan. “Fadla, kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak mau lihat kamu sedih terus,” katanya dengan suara lemah, hampir tak terdengar.

Aku menatapnya dengan air mata yang semakin sulit kutahan. “Tapi, Arga… aku nggak bisa bayangin hidup tanpa kamu,” jawabku dengan suara serak. Rasanya seperti ada sesuatu yang mematahkan hatiku. Setiap kata yang keluar dari mulutku terasa seperti berat, seperti ada beban yang tak bisa kubawa lagi.

Arga tersenyum kecil, meskipun wajahnya tampak begitu lelah. “Kamu harus kuat, Fadla. Kamu harus tetap berjalan. Aku nggak mau jadi alasan kamu berhenti mengejar mimpi-mimpi kamu,” katanya, dan aku bisa melihat betapa berat kata-kata itu bagi dia.

Aku tahu dia berusaha memberi semangat padaku, tapi aku merasa semakin terjatuh. Bagaimana mungkin aku bisa melanjutkan hidup dengan semua kenangan ini, dengan semua perasaan yang mengikatku padanya? Aku ingin sekali menjerit, berteriak kepada dunia bahwa ini tidak adil, bahwa aku tidak siap untuk kehilangan dia.

Namun, meskipun hati ini terasa begitu sakit, aku tahu aku harus tetap kuat. Bukan hanya untuk diriku, tapi juga untuk Arga. Jika dia bisa berjuang untuk bertahan hidup, maka aku juga harus berjuang untuknya untuk menjaga senyumnya, untuk menjaga semangatnya. Aku harus menunjukkan padanya bahwa meskipun semuanya terasa begitu berat, aku tidak akan pergi, tidak akan menyerah.

Hari demi hari berlalu, dan aku mulai merasakan betapa sulitnya menjalani hari-hari tanpa melihat Arga kembali seperti dulu. Terkadang, aku hanya duduk diam di samping tempat tidurnya, memegangi tangannya yang semakin lemah. Aku merasa tidak berdaya, tetapi aku tahu, meskipun rasa sakit ini sangat dalam, aku tidak bisa berhenti berharap. Aku berharap ada keajaiban yang datang, berharap Arga bisa sembuh, berharap agar senyumnya kembali bersinar.

Tapi yang aku tahu sekarang adalah, aku tidak akan pernah berhenti berjuang. Berjuang untuk Arga, berjuang untuk cinta kami, dan berjuang untuk masa depan yang masih mungkin ada di antara kami. Aku tahu, meskipun semuanya terasa gelap, aku harus tetap melangkah karena itu adalah satu-satunya cara agar aku bisa membuat Arga tahu bahwa aku tidak akan pernah meninggalkannya.

 

Cinta yang Tertunda

Hari-hari berlalu seperti angin yang cepat sekali berlalu, membawa keheningan dan ketakutan. Arga masih terbaring lemah di rumah sakit, namun ada sedikit perubahan pada dirinya. Walaupun tubuhnya semakin kurus, meski wajahnya semakin pucat, ada sesuatu dalam tatapannya yang berkata, “Aku masih di sini.” Aku tidak tahu apakah itu semangat, harapan, atau hanya keinginan untuk membuatku tidak merasa khawatir. Tetapi aku tahu satu hal: aku tidak akan meninggalkannya.

Setiap pagi, aku datang ke rumah sakit dengan semangat yang terpaksa kutumbuhkan. Aku membawa sarapan, berharap dapat membuatnya sedikit lebih bahagia. Arga terkadang akan tertawa pelan melihat usaha aku, meski tawa itu tak secerah dulu. Tetapi aku tidak peduli. Bagiku, setiap tawa Arga adalah kemenangan kecil. Itu artinya dia masih ada. Itu artinya dia masih berjuang.

Aku selalu duduk di samping tempat tidurnya, menggenggam tangannya yang semakin lemah, dan berbicara kepadanya dengan suara yang terdengar ceria, walaupun hatiku sendiri hancur. Aku mencoba menjadi kuat untuknya, berusaha menyembunyikan semua ketakutanku. Setiap kali Arga menatapku, aku tidak ingin dia melihat kesedihan dalam mataku. Aku ingin dia merasa kalau dia punya seseorang yang selalu ada untuknya, meskipun dalam keadaan seperti ini.

Suatu pagi, aku datang dengan wajah sedikit lebih cerah, mencoba untuk menunjukkan semangat yang baru. Aku memegang tangan Arga dengan penuh harap. “Arga, kamu harus semangat, ya. Aku bawa makanan kesukaan kamu nih,” kataku sambil tersenyum, meskipun dalam hati aku sedang merasa sesak. Arga hanya menatapku dengan mata yang lemah dan sedikit tertutup. Aku tahu dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tubuhnya terlalu lelah untuk berbicara.

“Fadla…” suara Arga yang pelan itu terdengar sangat rapuh. Aku mendekatkan wajahku padanya, mendengarkan setiap kata yang akan dia ucapkan.

“Aku… aku nggak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan,” katanya, dan suaranya begitu lemah sehingga hampir tidak terdengar. “Tapi… aku ingin kamu tahu satu hal.”

Aku menatapnya, sambil mencoba menahan air mata yang mulai menggenang. “Apa itu, Arga? Kamu bisa bilang apa saja. Aku di sini untuk kamu,” jawabku dengan nada suara yang sedikit bergetar.

Arga menarik napas panjang, matanya yang lelah menatapku penuh arti. “Aku mencintaimu, Fadla. Dan aku ingin kamu bahagia, meskipun aku nggak ada nanti. Aku nggak ingin kamu terus menunggu aku kalau aku sudah nggak ada.”

Aku terdiam. Kata-kata itu menusuk hatiku, membuat dadaku sesak. Aku ingin berteriak, berontak, menginginkan segalanya kembali seperti dulu, ketika kami masih bisa berjalan bersama, tertawa bersama, tanpa memikirkan apa yang ada di depan. Tapi kenyataannya, sekarang aku hanya bisa memegangi tangan Arga, merasakan betapa lemahnya tubuhnya, dan melihat senyum yang semakin langka.

“Apa kamu yakin dengan itu, Arga? Kamu nggak mau kita terus bersama?” tanyaku dengan suara penuh harap. “Aku… aku nggak mau kehilangan kamu. Aku nggak tahu hidup aku tanpa kamu.”

Arga menatapku dengan tatapan yang penuh cinta, meskipun matanya penuh dengan keputusasaan. “Aku nggak mau kamu terluka, Fadla. Aku tahu aku nggak bisa memberi kamu semua yang kamu inginkan. Tapi kamu berhak untuk bahagia, berhak untuk hidup penuh, tanpa harus menunggu aku.”

Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Kata-kata Arga benar-benar membuatku terdiam, seperti terjebak dalam kenyataan yang terlalu sulit untuk kuterima. Dia benar. Aku tahu aku tidak bisa terus hidup dengan harapan yang terlalu tinggi, berharap bahwa segalanya akan kembali seperti dulu. Tetapi, bagaimana aku bisa melepaskan seseorang yang begitu aku cintai? Bagaimana aku bisa melupakan semua kenangan indah kami bersama?

Air mata mulai menetes, meski aku berusaha untuk tidak menunjukkannya. “Aku nggak tahu bagaimana caranya, Arga. Tapi aku janji, aku akan tetap di sini. Aku nggak akan pergi, meskipun kamu bilang seperti itu,” jawabku dengan suara serak.

Arga tersenyum lemah, menahan sakit yang jelas terlihat di wajahnya. “Kamu… kamu terlalu baik, Fadla,” katanya sambil memegangi tanganku lebih erat. “Aku… aku akan berjuang, tapi aku nggak bisa janji untuk terus ada. Kamu harus siap untuk itu. Kamu harus siap… kalau nanti aku nggak ada.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa. Hanya bisa merasakan sakit yang semakin dalam. Namun, di dalam hati, aku tahu satu hal aku akan selalu ada untuk Arga, apapun yang terjadi. Aku tidak bisa mengingkari janji yang sudah kupasang di hati, untuk selalu mendukungnya, untuk selalu berada di sisinya, meskipun rasa sakit itu begitu besar.

Hari-hari setelah percakapan itu semakin sulit. Arga semakin lemah. Tubuhnya semakin kurus, dan wajahnya semakin pucat. Aku hanya bisa berdoa dalam hati, berharap ada keajaiban yang datang dan mengembalikannya seperti dulu. Tetapi di setiap langkahku, aku mulai merasakan perasaan yang berat. Aku harus siap untuk kehilangan dia, meskipun itu adalah hal yang paling aku takuti.

Aku tahu, cinta kami tidak bisa terhenti begitu saja. Meskipun Arga merasa bahwa dia tidak bisa memberi aku masa depan yang layak, aku tetap berusaha untuk menjaga kenangan indah itu. Aku akan menjaga setiap detik yang kami habiskan bersama. Cinta kami bukan hanya tentang kebahagiaan sekarang, tapi tentang perjuangan dan pengorbanan. Aku tidak akan menyerah. Aku akan terus berjuang, meskipun akhir dari cerita kami masih belum bisa kutulis.

Mungkin aku tidak bisa mengubah kenyataan, tapi aku bisa memilih untuk bertahan. Untuk Arga.

 

Langkah Terakhir

Hari demi hari berlalu dengan begitu lambat, seperti waktu yang sengaja memperlambat detik-detiknya agar aku merasakannya lebih lama. Setiap kali aku menatap Arga, tubuhnya yang semakin lemah, aku merasa seperti ada yang merobek jantungku. Sudah beberapa minggu sejak percakapan itu, dan meskipun aku berjanji akan bertahan, aku merasakan keputusasaan yang semakin mendalam. Aku terus datang setiap hari, membawa semangat yang semakin rapuh. Aku ingin dia tahu bahwa aku ada, bahwa aku tidak akan pergi walau dunia seakan berusaha memisahkan kami.

Di suatu sore yang mendung, aku duduk di samping tempat tidur Arga, menggenggam tangannya yang semakin dingin. Dia terlihat terbaring sangat lemah, matanya hampir tak terbuka sepenuhnya. Satu hal yang bisa kulakukan hanyalah berbicara padanya, menyemangatinya, meskipun aku tahu dia terlalu lelah untuk menanggapi. Aku berbicara tentang hal-hal kecil—seperti bagaimana teman-teman kami merindukannya, atau bagaimana aku tetap mengingat janji kami untuk pergi ke pantai lagi suatu hari nanti. Aku ingin dia tahu bahwa aku masih berusaha untuk menjaga harapan, meskipun perasaan itu semakin pudar.

“Aku janji, Arga… Suatu hari nanti kita akan pergi lagi ke pantai itu. Kita akan tertawa, seperti dulu,” kataku dengan suara serak, mencoba menenangkan diri. “Kamu nggak boleh menyerah, ya? Kamu harus semangat. Aku butuh kamu.”

Aku merasa Arga meremas tanganku dengan sedikit lebih kuat, meskipun tubuhnya semakin lemah. Mungkin itu adalah caranya untuk memberiku kekuatan, meskipun dia sudah hampir kehilangan segala yang ada di dirinya. Aku tidak tahu seberapa lama lagi dia bisa bertahan, tetapi aku merasa seperti waktu kami semakin habis. Setiap detik bersamanya semakin berharga, namun semakin terasa perih.

Tiba-tiba, Arga membuka matanya yang buram dan menatapku dengan pandangan yang begitu dalam. Aku tahu dia ingin mengucapkan sesuatu, jadi aku menundukkan wajahku, menunggu dengan sabar. Nafasnya terengah-engah, dan aku bisa melihat betapa keras dia berjuang untuk berbicara.

“Fadla,” suara Arga hampir terdengar seperti bisikan. Aku hampir tidak bisa mendengar kata-katanya, tetapi aku merasa setiap kata itu menusuk hatiku. “Aku… aku sayang kamu. Aku… minta maaf.”

Aku menunduk, tidak tahu harus berkata apa. Air mata mulai mengalir deras, mengaburkan pandanganku. Aku merasa seperti ada yang membekukan dadaku. Aku tahu dia ingin mengatakan lebih banyak, tetapi tubuhnya yang sudah sangat lemah tidak mampu mengungkapkan semuanya.

“Arga, jangan minta maaf… Kamu nggak perlu minta maaf,” kataku, berusaha menahan isakan. “Kamu nggak salah apa-apa. Kamu sudah berjuang dengan sangat keras, lebih keras dari siapapun. Aku… aku cuma nggak tahu bagaimana hidup tanpa kamu.”

Aku merasakan Arga menarik napas panjang, lalu matanya mulai tertutup perlahan. Aku tahu dia semakin lelah. “Fadla…” Katanya lagi dengan suara yang lebih pelan. “Aku nggak ingin kamu sedih… Jangan… jangan menangis. Kamu… kamu harus kuat.”

Kata-katanya membuat dadaku semakin sesak. Aku ingin berteriak, ingin memohon agar dia jangan pergi. Tetapi aku tahu, tidak ada yang bisa kuperbuat lagi. Aku tahu, dalam hatinya, Arga ingin meyakinkan aku bahwa dia akan baik-baik saja, meskipun tubuhnya sudah tak mampu lagi mendukungnya.

Beberapa jam kemudian, Arga tertidur dalam keheningan. Setiap kali aku melihatnya terlelap, aku berharap ini hanya mimpi buruk. Aku berharap ini hanya sementara, dan ketika aku bangun, aku akan menemukan Arga seperti dulu, tersenyum dan bercerita tentang masa depan kami. Tetapi kenyataan selalu datang dengan begitu keras. Aku tahu waktunya sudah dekat.

Pada malam itu, aku kembali ke rumah sakit untuk yang kesekian kalinya, duduk di samping tempat tidur Arga, menggenggam tangannya dengan lembut. Tidak ada kata-kata yang bisa kututurkan lagi. Aku hanya bisa menatapnya, merasakan setiap detik yang berlalu begitu berat. Rasanya seperti waktu itu melawan aku, menunggu dengan kejam untuk menghentikan semuanya.

Arga mengerahkan sisa tenaganya untuk membuka matanya sekali lagi. “Fadla, aku… aku nggak bisa lagi,” katanya pelan, dan matanya menatapku dengan penuh rasa cinta. “Aku… minta maaf, kalau aku nggak bisa jadi yang terbaik buat kamu.”

Aku menangis lebih keras lagi, hampir tidak bisa menahan rasa sakit itu. “Kamu sudah yang terbaik, Arga. Kamu sudah berjuang lebih dari cukup,” jawabku, hampir tidak bisa menahan isakan. “Aku nggak akan pernah lupa semua yang kita lewati bersama. Aku mencintaimu, dan itu tidak akan berubah, apapun yang terjadi.”

Di saat itu, Arga tersenyum. Senyum itu bukan senyum yang penuh kebahagiaan seperti dulu, tapi senyum yang penuh dengan pengertian dan kedamaian. Dan saat itu juga, napasnya yang terengah-engah berhenti. Aku menatapnya, masih memegang tangannya yang semakin dingin, dan meskipun aku tahu dia telah pergi, aku tidak bisa melepaskan dirinya. Rasanya seperti dunia berhenti berputar sejenak, meninggalkan aku dengan kenangan yang begitu dalam.

Aku tetap duduk di sana, di samping tempat tidur Arga, meskipun semuanya terasa begitu hampa. Aku tahu, ini adalah bagian dari hidup, bagian yang harus aku terima. Cinta yang kami miliki, perjuangan yang kami lewati, tidak akan pernah hilang. Arga mungkin sudah pergi, tapi dia akan selalu ada dalam hatiku, selamanya.

Aku merasa satu hal yang pasti: meskipun dia telah meninggalkan dunia ini, cinta kami akan terus hidup, dan aku akan terus mengingatnya, hingga akhir hidupku. Dan jika ada satu hal yang bisa kuperjuangkan, itu adalah kenangan kami.

 

Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Cerita Fadla dan Arga mengajarkan kita tentang kekuatan cinta yang tidak mengenal batas, bahkan ketika perpisahan sudah di depan mata. Dalam kisah penuh perjuangan ini, kita diingatkan untuk menghargai setiap momen yang ada, serta menemukan kekuatan dalam keikhlasan dan cinta yang tulus. Jika kamu merasa terhubung dengan cerita ini, jangan ragu untuk membagikan kisah Fadla dan Arga agar orang lain juga bisa merasakan keindahan cinta yang abadi. Semoga kita semua bisa belajar untuk tetap tegar menghadapi setiap ujian dalam hidup, dan selalu mengenang orang yang kita cintai dengan penuh cinta dan kasih sayang.

Leave a Reply