Cinta Tanah Air: Sebuah Cerpen Tentang Keindahan dan Penghargaan Pada Tanah yang Memberi Kehidupan

Posted on

Pernah nggak sih kamu ngerasa, tanah tempat kamu berdiri itu lebih dari sekadar tempat tinggal? Kalau belum, coba deh baca cerita ini. Cerita tentang cinta tanah air yang bukan cuma soal bendera atau lagu kebangsaan, tapi soal bagaimana kita ngerti dan ngehargain apa yang udah tanah ini kasih ke kita. Gak cuma untuk kita sekarang, tapi juga untuk generasi yang bakal datang.

 

Cinta Tanah Air

Mencari Akar Tanah

Pagi itu, Guntur duduk di warung kopi kecil yang sudah biasa ia singgahi di sudut jalan. Udara Jakarta yang panas menyengat tak pernah bisa mengalahkan keramaian yang selalu ada di setiap jengkal kota. Suara klakson, mesin kendaraan yang meraung, dan orang-orang yang sibuk berlarian mengisi hari mereka—semuanya bersatu dalam sebuah simfoni kota besar. Namun, di tengah kekalutan itu, Guntur merasa jauh.

Kopi hitam yang baru ia pesan diletakkan di atas meja kayu, asapnya mengepul perlahan ke udara. Guntur memandang cangkir itu, sesekali meneguknya, namun pikirannya tak kunjung tenang. Beberapa hari terakhir, ia merasa seperti ada yang kurang. Ada sesuatu yang hilang, seperti ada ruang kosong dalam dirinya yang tak bisa ia isi dengan apa pun—walaupun kota ini menyajikan segalanya.

Ia menarik napas panjang, menghembuskannya perlahan. Tangan kanannya meraih ponsel di meja, membuka aplikasi catatan, dan mulai menulis.

“Cinta tanah air… itu kata yang sering aku dengar, tapi kenapa rasanya kosong?”

Guntur menghapus kalimat itu. Rasanya terlalu berat, tidak sesuai dengan perasaannya. Ia hanya ingin mengerti. Seperti kata Dewi dulu—tentang bagaimana cinta tanah air itu bisa begitu dekat, sederhana, dan bisa ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Itu bukanlah sekadar slogan atau kata-kata besar yang sering terdengar dalam pidato. Dewi… Ya, Dewi—gadis desa itu yang telah mengajarkan banyak hal tanpa pernah mengucapkan sebuah kalimat panjang.

Guntur kembali meneguk kopinya. Ia teringat saat pertama kali bertemu Dewi, beberapa bulan yang lalu. Desa itu, dengan keindahannya yang sederhana dan alamnya yang begitu murni, tampaknya menyimpan lebih banyak kisah ketimbang yang bisa ia duga. Dewi tidak pernah berbicara tentang mencintai tanah air dengan cara yang megah. Sebaliknya, ia menunjukkan lewat tindakan sehari-hari, seperti cara ia merawat kebun kecil milik keluarganya, atau bagaimana ia berbicara tentang tanah leluhurnya dengan penuh rasa hormat.

Ketika memikirkan hal itu, Guntur merasa gelisah. Sejak kembali dari perjalanan panjangnya di berbagai daerah, ia merasa belum cukup bisa menulis tentang tanah air. Ia ingin menulis sesuatu yang lebih nyata, sesuatu yang benar-benar menyentuh perasaan banyak orang. Artikel-artikel yang ia tulis selalu terkesan kering—berita, laporan, atau opini yang sudah biasa dibaca orang. Tapi bagaimana jika ia bisa membuat orang melihat tanah air dengan cara yang berbeda? Seperti apa yang dilakukan Dewi. Cara dia berbicara dengan tanah, merawatnya dengan penuh cinta, tanpa banyak kata-kata.

Seperti sudah menjadi takdir, tiba-tiba pintu warung kopi terbuka dan seorang gadis masuk dengan senyuman khas yang Guntur kenal betul. Dewi, yang kini sudah kembali ke Jakarta untuk beberapa urusan, muncul dengan gaya santainya yang selalu bisa menarik perhatian siapa saja.

“Guntur?” Dewi melangkah mendekat dan duduk di meja yang berada di depan Guntur. “Aku kira kamu bakal menghindar lagi, tapi ternyata enggak, ya?”

Guntur terkekeh pelan, mencoba menyembunyikan rasa rindu yang seketika muncul begitu saja. “Enggak lah, aku enggak kemana-mana. Cuma sibuk mikirin ini-itu aja.”

Dewi menyandarkan tas selempang di kursinya dan memesan kopi. “Apa yang kamu pikirin sampai kelihatan serius banget? Jangan bilang kamu lagi mikirin artikel tentang tanah air yang bertele-tele itu, ya?”

Guntur terkekeh, merasa seperti ada yang salah dengan dirinya. “Iya, gimana kamu tahu?”

Dewi melipat tangan di depan dada, matanya yang cerah menatap Guntur dengan ekspresi penuh perhatian. “Gini, Mas. Aku tahu kamu orang yang suka mikir dalam-dalam, tapi jangan sampe kamu malah kehilangan esensinya. Kamu pernah enggak mikirin kenapa orang-orang di desa itu bisa sangat mencintai tanah mereka? Mereka enggak bicara tentang tanah air dengan kata-kata besar, tapi tindakan mereka langsung menunjukkan itu.”

Guntur terdiam, meresapi kata-kata Dewi. “Aku… iya, aku sempat mikirin itu juga. Tapi menurutmu, gimana cara aku bisa nulis tentang itu? Enggak gampang kan?”

Dewi tersenyum tipis. “Kenapa harus ribet? Cinta tanah air itu bisa datang dari hal-hal kecil. Kaya petani yang bangun pagi-pagi buat merawat ladangnya. Mereka enggak bicara tentang bendera atau lagu kebangsaan, tapi mereka berjuang setiap hari untuk tanah itu.”

“Jadi, cinta tanah air itu bukan cuma tentang ngomongin kebanggaan, ya?” Guntur bertanya lagi.

Dewi mengangguk. “Iya, bukan hanya tentang kebanggaan yang keluar dari mulut. Tapi dari apa yang kita lakukan untuk tanah itu. Kalau kita enggak menghargai apa yang kita punya, ya sama aja bohong.”

Guntur memutar kopinya, menatap ke dalam cangkir yang masih setengah penuh. “Aku coba deh mikirkan lagi. Mungkin selama ini aku terlalu fokus sama teori, sementara yang perlu aku lakukan itu justru lebih sederhana, kan?”

“Betul,” jawab Dewi, sambil menyeruput kopinya perlahan. “Kadang kita lupa bahwa tanah air itu enggak cuma benda mati yang perlu dipuja, tapi tempat hidup yang penuh makna.”

Ada keheningan sejenak antara mereka. Suara hiruk-pikuk di luar seakan meredup seiring perbincangan mereka. Guntur merasa, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Dewi bukan hanya berbicara tentang cinta tanah air. Dia memberinya wawasan baru, cara yang lebih sederhana, tapi terasa lebih mendalam. Itu bukan lagi soal kata-kata besar, tetapi soal kesadaran bahwa setiap hal kecil yang kita lakukan di tanah ini, adalah bentuk nyata dari rasa cinta.

Guntur menatap Dewi yang sedang menyandarkan punggungnya ke kursi, wajahnya terlihat tenang, seolah-olah dia sudah tahu apa yang harus dilakukan. “Aku akan menulis sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bisa bikin orang merasa apa yang aku rasain, bukan cuma baca laporan biasa.”

“Jadi, kamu siap keluar dari zona nyaman kamu, ya?” Dewi tersenyum lebar.

“Aku rasa iya,” jawab Guntur mantap. “Aku ingin mengajak orang-orang untuk melihat tanah air dengan cara yang berbeda. Bukan hanya dari bendera dan lagu, tapi dari setiap langkah kecil yang kita ambil untuk menjaganya.”

Dewi menatap Guntur, seolah memeriksa kembali apa yang baru saja ia dengar. “Bagus. Kalau kamu serius, aku yakin orang-orang akan bisa merasakannya.”

Guntur tersenyum, ada semangat baru dalam dirinya. Ia merasa, Dewi sudah memberinya petunjuk yang tepat. Tidak ada lagi alasan untuk ragu. Ia akan menulis tentang tanah air ini, tetapi kali ini dengan cara yang berbeda—cara yang lebih sederhana namun penuh makna.

Dan dengan itu, mereka menghabiskan waktu di warung kopi kecil itu, berbicara tentang banyak hal—tentang desa, tentang alam, dan tentang perjalanan yang tak hanya untuk mencari cerita, tapi untuk menemukan akar dari cinta tanah air yang sesungguhnya.

Namun, perjalanan Guntur baru saja dimulai. Di luar sana, ada lebih banyak hal yang perlu ia pahami, lebih banyak kisah yang perlu ia tuliskan. Dan di dalam hatinya, ia tahu, cinta tanah air bukan hanya sebuah topik artikel. Itu adalah sesuatu yang harus ia jalani dengan setiap langkah hidupnya.

 

Dewi dan Desa yang Terlupakan

Pagi itu, Guntur memutuskan untuk kembali ke desa tempat ia pertama kali bertemu dengan Dewi. Ia merasa, jika ingin menulis tentang cinta tanah air yang sejati, tidak ada cara lain selain kembali ke sumbernya. Tidak cukup hanya dengan teori dan kata-kata yang ia dengar di kota. Ia ingin merasakan langsung, melihat dengan mata kepalanya, dan berbicara dengan orang-orang yang benar-benar hidup dengan tanah mereka.

Perjalanan menuju desa itu memakan waktu cukup lama. Seiring berjalannya waktu, pemandangan kota Jakarta yang ramai perlahan digantikan dengan suasana pedesaan yang lebih tenang. Jalanan berdebu, rumah-rumah kecil berdiri rapi, dan sawah hijau yang terbentang luas mulai terlihat dari kejauhan. Guntur merasa seperti memasuki dunia yang jauh berbeda, dunia yang ia lupa untuk hargai.

Saat ia tiba di desa, suasana masih sama seperti yang ia ingat—tenang dan damai. Jalanan sempit yang dihiasi pepohonan besar, udara yang segar, dan pemandangan alam yang tak tertandingi oleh kebisingan kota. Ia berjalan melewati rumah-rumah penduduk yang sederhana, menyapa beberapa orang yang tampaknya sudah cukup akrab dengan kehadirannya. Namun, Guntur tahu, desa ini menyimpan banyak cerita yang belum ia ketahui.

Setelah beberapa menit berjalan, ia akhirnya tiba di rumah Dewi. Rumah itu masih sama, meskipun ada sedikit perubahan kecil di halaman yang kini tampak lebih rapi dengan beberapa tanaman baru. Guntur mengetuk pintu, dan tak lama kemudian Dewi muncul, tersenyum lebar begitu melihatnya.

“Eh, ternyata beneran datang!” Dewi berkata sambil membuka pintu lebih lebar. “Aku kira kamu cuma bilang mau datang, tapi akhirnya benar-benar muncul. Ada apa nih?”

Guntur tersenyum, sedikit canggung, “Aku rasa, aku perlu belajar lebih banyak lagi tentang desa ini, Dewi. Tentang cinta tanah air yang menurutmu bisa datang dari hal-hal kecil. Aku ingin mengerti lebih dalam.”

Dewi mengangguk, mempersilakan Guntur masuk ke dalam rumah. “Ayo masuk, kita ngobrol sambil minum teh. Aku tahu kamu pasti punya banyak pertanyaan.”

Mereka duduk di teras rumah, menikmati teh manis yang hangat. Angin sore yang sejuk berhembus pelan, menambah kenyamanan suasana. Guntur menatap Dewi dengan serius, ingin menggali lebih banyak. “Aku merasa, apa yang kamu ajarkan itu seperti sebuah rahasia yang selama ini tidak pernah aku pahami. Aku ingin tahu lebih banyak tentang bagaimana orang-orang di desa ini bisa hidup dengan cinta yang begitu besar untuk tanah mereka.”

Dewi tersenyum, menatap ke kejauhan seolah mengingat masa lalu. “Kamu tahu, Guntur, di desa ini orang-orang bekerja keras untuk tanah mereka. Mereka nggak pernah mengeluh, meskipun hidup mereka nggak mudah. Mereka bangun pagi, merawat ladang, dan mereka merasa bangga dengan apa yang mereka hasilkan. Cinta tanah air mereka bukan karena pahlawan atau bendera, tapi karena mereka merasa tanah ini adalah bagian dari hidup mereka.”

Guntur mengangguk, mencoba memahami. “Jadi, itu yang membuat mereka mencintai tanah ini? Bukan hanya tanah yang mereka tinggali, tapi juga kerja keras yang mereka lakukan setiap hari?”

“Betul,” jawab Dewi sambil mengangguk pelan. “Mereka tahu bahwa hidup mereka bergantung pada tanah ini. Mereka mencintai tanah karena mereka memberinya kehidupan, dan tanah itu memberikan kehidupan bagi mereka. Mereka tahu, jika mereka tidak merawat tanah ini, maka mereka tidak akan bisa bertahan hidup.”

Guntur terdiam sejenak, meresapi kata-kata Dewi. Dalam benaknya, sebuah pemahaman mulai tumbuh. Cinta tanah air itu bukanlah sesuatu yang bisa diajarkan dengan teori atau pidato. Itu adalah sesuatu yang dibentuk oleh pengalaman, oleh interaksi langsung dengan tanah itu sendiri, dengan kehidupan yang ada di dalamnya.

“Jadi, cinta tanah air itu bisa muncul dalam setiap tindakan kecil, ya?” tanya Guntur, mulai mengerti arah pembicaraan mereka.

“Betul sekali,” jawab Dewi. “Cinta itu tidak harus selalu besar atau megah. Terkadang, itu datang dalam bentuk yang paling sederhana, seperti merawat tanaman atau menjaga kebersihan lingkungan sekitar. Orang-orang di desa ini sudah terbiasa dengan hal itu, karena mereka tahu, setiap langkah kecil itu berdampak besar.”

Guntur merasa ada sesuatu yang baru dalam dirinya. Ia tidak hanya belajar tentang cinta tanah air, tetapi juga tentang bagaimana hidup dalam harmoni dengan alam dan lingkungan sekitar. Ia berpikir, jika saja orang-orang di kota besar bisa merasakan dan mengerti hal ini, mungkin mereka akan lebih menghargai tanah mereka, bukan hanya sebagai tempat tinggal, tetapi sebagai bagian dari diri mereka sendiri.

Beberapa hari berlalu, dan Guntur mulai semakin dekat dengan penduduk desa. Ia menghabiskan waktu bersama mereka, belajar bagaimana mereka mengolah tanah, merawat tanaman, dan menjaga kebersihan lingkungan. Guntur juga melihat bagaimana mereka saling membantu satu sama lain, meskipun hidup mereka jauh dari kemewahan. Di sini, kebersamaan dan gotong royong adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi.

Suatu sore, Guntur duduk bersama seorang petani tua di pinggir sawah, menyaksikan matahari terbenam yang memancarkan cahaya keemasan di atas tanah yang subur. Petani itu, meskipun usianya sudah lanjut, masih terlihat sangat kuat dan penuh semangat. Guntur bertanya, “Pak, kenapa Bapak begitu cinta dengan tanah ini? Padahal, hidup di desa ini bisa dibilang tidak mudah.”

Petani tua itu tersenyum, memandang Guntur dengan bijak. “Anak muda, tanah ini adalah kehidupan kami. Kami lahir di sini, besar di sini, dan tanah ini yang memberi kami makan. Cinta kami pada tanah ini bukan karena kemewahan, tapi karena tanah ini memberi kami segalanya. Kami tahu, kalau kami merawat tanah ini dengan baik, tanah ini juga akan memberi kami hasil yang baik. Cinta kami datang dari rasa syukur.”

Guntur terdiam, meresapi jawaban petani tua itu. Tiba-tiba ia merasa begitu kecil, melihat betapa besar rasa syukur yang dimiliki orang-orang ini terhadap tanah mereka. Rasa syukur yang mengalir begitu alami, tanpa ada pamrih atau harapan akan imbalan yang besar.

Dewi, yang sebelumnya berada di dekatnya, datang membawa sekeranjang buah dari kebun. “Lihat, Guntur,” katanya sambil tersenyum. “Ini semua hasil kerja keras orang-orang di desa. Tidak ada yang lebih memuaskan dari melihat hasil dari kerja keras yang penuh cinta.”

Guntur hanya bisa tersenyum, hati terasa penuh. Ia merasa, selama ini ia telah begitu jauh dari tanah yang sebenarnya memberinya kehidupan. Ia telah terlarut dalam dunia yang penuh ambisi dan kesibukan, hingga lupa untuk menghargai apa yang ada di sekitarnya.

Dan di desa itu, ia akhirnya menemukan jawabannya. Cinta tanah air bukan hanya tentang apa yang bisa kita dapatkan, tetapi tentang apa yang kita beri. Cinta itu tumbuh dalam setiap usaha kecil yang kita lakukan untuk menjaga tanah yang kita pijak.

Dewi menatap Guntur, seolah mengerti apa yang ada di pikirannya. “Sekarang kamu paham, kan?”

Guntur hanya mengangguk, merasa begitu banyak yang harus ia pelajari. “Iya, Dewi. Aku akhirnya paham.”

Dan dengan itu, petualangan Guntur untuk menulis cinta tanah air yang sejati baru saja dimulai—bukan dengan kata-kata besar, tetapi dengan pengalaman langsung yang ia rasakan di setiap langkahnya di tanah yang penuh cinta ini.

 

Cinta Tanah Air yang Terlupakan

Kembali ke Jakarta, Guntur merasa dunia sekitarnya sudah berubah. Kota yang sibuk dan penuh hiruk-pikuk, seakan semakin terasa asing. Suara klakson mobil, gedung-gedung pencakar langit, dan wajah-wajah yang buru-buru—semua itu seperti menjadi latar belakang bagi perasaan baru yang ia bawa pulang dari desa. Guntur merasa jauh lebih sadar tentang betapa terpisahnya kehidupan di kota besar dengan tanah yang telah memberikan kehidupan pada orang-orang di desa.

Namun, ketika ia duduk di depan laptopnya, mencoba menulis cerita tentang cinta tanah air, kata-kata itu terasa kosong. Ia tidak bisa menulis hanya dengan teori atau konsep. Ia tahu, tulisan yang baik datang dari hati, dan hatinya kini terikat pada tanah yang begitu jauh—tanah yang ia pelajari bukan hanya lewat buku sejarah, tetapi melalui pengalaman dan perasaan yang baru saja ia temukan. Tapi bagaimana cara menyampaikan perasaan itu pada dunia yang sudah terlalu sibuk dengan rutinitas mereka?

Pagi itu, Guntur memilih untuk mengunjungi sebuah kafe favoritnya di tengah kota. Tempat itu tidak jauh dari apartemennya dan sering menjadi tempatnya mencari inspirasi. Di sana, ia berharap bisa menyusun kata-kata yang tepat untuk menggambarkan cinta yang ia rasakan pada tanah yang tak terlihat, namun begitu mendalam.

Setelah memesan secangkir kopi hitam, Guntur mulai mengetik. Setiap jari yang menari di atas keyboard terasa canggung, seolah kata-kata yang keluar tidak cukup. Sesekali ia menatap layar, lalu menghapusnya. Tidak ada yang benar-benar mewakili apa yang ingin ia sampaikan.

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Dewi.

“Kamu udah mulai menulis?”

Guntur tersenyum kecil. Dewi memang selalu tahu cara mendorongnya. Dia seperti batu karang yang kokoh, yang selalu mengingatkan Guntur pada hal-hal yang lebih penting daripada dunia kota yang sibuk ini. Ia membalas pesan itu dengan cepat.

“Masih belum. Aku nggak bisa menemukan kata-kata yang tepat.”

Tak lama kemudian, Dewi membalas.

“Ingat, Guntur. Cinta itu nggak perlu kata-kata yang besar. Cinta itu datang dari apa yang kita lakukan, bukan apa yang kita katakan. Cobalah menulis seperti kamu sedang berbicara dengan tanah itu, dengan hati yang bersyukur.”

Pesan itu membuat Guntur berhenti sejenak. Ia menatap layar ponselnya, mencerna kata-kata Dewi. Cinta tidak perlu kata-kata besar. Mungkin itu yang selama ini ia lewatkan. Ia terlalu sibuk mencari frasa yang sempurna, padahal yang ia butuhkan hanyalah kejujuran. Kejujuran dari hatinya yang merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar bumi yang dipijaknya. Ia ingin menulis bukan untuk membuat orang terkesan, tetapi untuk mengajak mereka merasakan apa yang ia rasakan.

Guntur menyesap kopinya, merasa aroma kopi hitam yang pahit ini seolah menyatu dengan pikiran-pikirannya. Perlahan, ia mulai mengetik lagi. Tidak lagi mencoba mencari kata yang indah, tetapi kata yang jujur.

“Tanah ini, meski tak terlihat, memberikan kita segalanya. Tanah yang kami pijak ini memberi kehidupan, memberi harapan, dan memberi kami kekuatan untuk bertahan. Tanpa tanah ini, kami hanyalah makhluk yang terombang-ambing, hilang arah. Kami merawatnya, bukan karena kewajiban, tapi karena rasa cinta yang tumbuh dari dalam hati kami, yang merasa tanah ini adalah bagian dari kami.”

Guntur terhenti sejenak. Itu dia. Kata-kata itu mengalir begitu saja, seperti menemukan aliran sungai yang selama ini terhalang oleh batu-batu besar. Ia melanjutkan menulis, kali ini tanpa beban, menulis apa adanya, menulis dengan perasaan yang ia bawa dari desa itu.

“Kami tidak menunggu penghargaan atau pujian. Kami tahu, meskipun dunia di luar sana terus bergerak, tanah ini akan tetap ada, memberi kehidupan. Dan kami, akan selalu ada di sini, menjaga dan merawatnya dengan segala daya kami. Kami mencintainya dengan cara kami yang sederhana, dengan bekerja keras dan bersyukur.”

Tulisan itu semakin mengalir. Guntur merasa ada semacam kedamaian yang datang dalam dirinya. Ia menatap layar, membaca apa yang baru saja ia tulis. Mungkin inilah yang ia cari. Cinta tanah air bukanlah tentang bendera atau lagu kebangsaan. Cinta itu adalah tindakan nyata, sesuatu yang kita lakukan setiap hari tanpa perlu diungkapkan dengan kata-kata.

Namun, meski Guntur merasa sudah menemukan kata-kata yang tepat, ada satu hal yang masih mengganjal di benaknya—Dewi. Ia merasa, meskipun ia sudah menulis dengan hati, tulisan itu belum sepenuhnya mewakili perasaan Dewi dan penduduk desa. Ia perlu menunjukkan pada Dewi bahwa ia benar-benar memahami apa yang dimaksud dengan “cinta tanah air” yang sejati.

Akhirnya, Guntur memutuskan untuk kembali ke desa itu, bukan hanya untuk mencari tahu lebih banyak, tetapi untuk memberi jawaban yang sesuai dengan apa yang telah ia pelajari. Ia ingin Dewi tahu bahwa ia tidak hanya mengerti, tetapi ia juga siap untuk berbagi apa yang ia rasakan. Cinta tanah air yang selama ini ia cari, kini ia temukan. Tapi itu bukan hanya tentang menulis, melainkan juga tentang bagaimana kita menghargai dan merawat apa yang telah diberikan pada kita.

Keesokan harinya, Guntur mengemas barang-barangnya dan membeli tiket bus menuju desa itu. Pikirannya bergejolak, penuh dengan perasaan yang ingin ia bagikan. Ia tahu, kali ini ia akan kembali dengan sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Ia akan membawa semangat untuk menularkan apa yang ia pelajari kepada orang-orang di kota—bahwa cinta tanah air adalah sebuah tindakan, bukan hanya ucapan.

 

Menghargai Cinta Tanah Air

Di tengah perjalanan bus yang membawanya menuju desa, Guntur merenung. Udara di luar terasa segar, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Semakin mendekat ke desa, semakin terasa bahwa ia membawa lebih dari sekadar tulisan atau perasaan. Ia membawa sebuah pemahaman yang baru, sesuatu yang lebih mendalam tentang cinta tanah air. Ia ingin sekali berbagi itu, namun ia juga tahu, tidak semua orang akan langsung memahaminya.

Setibanya di desa, Guntur langsung menuju rumah Dewi. Ia tahu Dewi akan berada di sana, membantu ibunya di kebun. Di perjalanan menuju rumah Dewi, Guntur melewati jalan yang familiar—jalan yang sering ia lewati waktu kecil. Namun, kali ini terasa berbeda. Ia melihat desa ini dengan mata yang lebih jernih, lebih penuh rasa hormat. Setiap tanaman, setiap rumah, bahkan setiap wajah penduduk desa, seakan mengajarinya untuk lebih menghargai apa yang telah diberikan oleh tanah ini.

Dewi sedang duduk di bawah pohon beringin besar di depan rumahnya. Dia tersenyum saat melihat Guntur mendekat, namun ada sesuatu yang berbeda kali ini. Mungkin ini adalah perasaan yang sama, tapi dibalut dengan kesadaran yang lebih dalam.

“Jadi, bagaimana? Sudah menemukan jawabannya?” Dewi bertanya, suaranya penuh harap.

Guntur duduk di sebelah Dewi, tanpa berkata apa-apa untuk beberapa saat. Ia menatap wajah Dewi yang penuh keceriaan, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, kata-kata itu tiba-tiba datang begitu saja, tanpa dipaksakan.

“Aku datang ke sini bukan hanya untuk mencari jawabanku sendiri, Dewi,” ujar Guntur perlahan. “Tapi untuk berbagi apa yang aku temukan. Cinta tanah air bukan hanya tentang kita mengibarkan bendera atau bernyanyi di hari kemerdekaan. Itu hanya simbol. Cinta itu tentang bagaimana kita merawat dan menghargai tanah yang memberi kita kehidupan—tanpa perlu menunggu penghargaan atau balasan.”

Dewi diam, seolah menunggu lanjutannya. Guntur melanjutkan, “Aku menyadari bahwa selama ini aku hanya melihat tanah ini sebagai tempat tinggal, bukan sebagai bagian dari diri kita. Tanah ini memberi kita kekuatan, memberi kita harapan. Kita hidup di sini, bukan karena kebetulan, tapi karena tanah ini telah merawat kita dengan caranya sendiri. Dan kita—kita harus merawatnya dengan cara kita.”

Dewi tersenyum, kali ini senyum yang tulus, seolah menyadari bahwa Guntur telah benar-benar memahami apa yang ia rasakan. “Jadi kamu akhirnya paham, ya?” Dewi bertanya dengan nada bercanda.

Guntur tertawa kecil. “Aku rasa aku sudah mulai paham, Dewi. Dan ini bukan hanya tentang aku yang menulis cerita. Ini tentang kita semua, yang berhubungan dengan tanah ini. Kita harus menjaga dan merawatnya dengan segala daya kita.”

Mereka berdua duduk lama di bawah pohon beringin itu, mengamati desa yang tenang. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah yang basah setelah hujan semalam. Guntur merasa, inilah cinta tanah air yang sejati. Bukan hanya dalam kata-kata, tetapi dalam setiap tindakan, dalam setiap langkah kita untuk menjaga dan melestarikan apa yang telah diberikan kepada kita.

Hari itu, Guntur merasa seperti mendapatkan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Ia telah menemukan jawabannya. Cinta tanah air bukanlah sesuatu yang bisa ditulis hanya dengan kata-kata. Cinta tanah air adalah sesuatu yang kita rasakan dalam setiap napas, dalam setiap langkah yang kita ambil di tanah yang memberi kita hidup.

Ketika senja mulai turun, Guntur dan Dewi berjalan menuju kebun, tempat mereka sering bercengkerama. Mereka tidak berbicara banyak, tapi ada sebuah kedamaian yang menyelimuti mereka. Cinta tanah air, seperti yang Guntur pelajari, adalah tentang hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, tentang menghargai apa yang kita miliki, tentang tidak pernah lupa bahwa kita adalah bagian dari bumi ini.

Di kejauhan, tampak langit yang mulai berubah warna. Senja yang indah mengingatkan Guntur akan satu hal yang paling penting—cinta tanah air adalah tentang keberlanjutan. Tentang menjaga dan melestarikan untuk generasi berikutnya. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk mereka yang akan datang setelah kita.

Dan dengan hati yang penuh, Guntur tahu bahwa ia telah menemukan cinta yang lebih besar daripada sekadar kata-kata. Ia telah menemukan cinta yang nyata, cinta yang datang dari tanah yang telah memberikan segalanya, tanpa pernah meminta apapun kembali.

 

Jadi, sekarang kamu paham kan? Cinta tanah air itu bukan cuma soal bendera yang dikibarkan atau kata-kata yang kita ucapkan saat upacara. Itu lebih dari itu.

Cinta tanah air adalah tentang apa yang kita lakukan setiap hari untuk merawat tanah ini, menjaga apa yang sudah kita miliki, dan menghargai segalanya yang memberi kita hidup. Karena pada akhirnya, tanah ini bukan cuma tempat kita berdiri, tapi tempat kita tumbuh.

Leave a Reply