Cinta Tanah Air: Perjuangan Mempertahankan Desa yang Terlupakan

Posted on

Jadi gini, ada cerita tentang dua orang yang nggak cuma cinta tanah air, tapi juga rela berjuang habis-habisan demi desa mereka. Gak kayak cerita cinta biasa, ini lebih ke perjuangan yang bikin hati kamu berbunga-bunga, tapi juga bisa bikin hati kamu sesak.

Siapa sangka, di tengah kesulitan, ternyata cinta tanah air bisa jadi alasan untuk bangkit dan berubah. Yuk, baca sampai habis dan temuin sendiri gimana perjuangan mereka!

 

Cinta Tanah Air

Jejak Langkah di Tanah yang Sama

Matahari mulai tenggelam di balik barisan pegunungan yang membentang jauh di depan, menggambarkan keindahan senja yang selalu hadir di desa ini. Desa tempat aku dilahirkan, tempat yang masih menyimpan banyak cerita—cerita tentang orang-orang yang bekerja keras di tanah yang sama, tempat yang seakan tak berubah meski waktu terus berjalan. Tanah Papua, dengan segala kekayaan alam yang tiada habisnya, menjadi bagian dari jiwaku.

Aku berjalan menyusuri jalan setapak yang berbatu, tangan meraih sebatang kayu kecil untuk membantu langkah. Udara sore itu terasa sejuk, meskipun tubuhku sudah terbiasa dengan panasnya matahari yang membakar sepanjang hari. Angin yang berhembus pelan dari arah timur membawa aroma tanah basah, sebuah aroma yang selalu mengingatkanku pada rumah.

Di depan, aku melihat seorang gadis sedang duduk di atas batu besar, wajahnya menghadap ke arah laut yang tak jauh dari desa. Malika. Gadis itu selalu menjadi bagian dari hari-hariku, sejak kami kecil. Kami tumbuh bersama, meski jalan hidup kami tak selalu searah. Dia lebih cepat beranjak, sementara aku selalu terjebak dalam mimpi besar tentang tanah ini—tentang Indonesia.

“Ayo, Kaito. Jangan cuma diam aja, sini!” Malika memanggil, suaranya memecah kesunyian sore itu. Aku mengangguk, perlahan mendekati tempat dia duduk.

“Tunggu dulu, aku cuma mau lihat laut sebentar,” kataku sambil menyandarkan diri pada batu besar di sampingnya. Laut itu selalu punya cara untuk menenangkan pikiranku. Meskipun perairan itu luas, seolah tak ada ujungnya, tapi aku merasa rumahku ada di sana. Di ujung sana, di bawah langit Merah Putih.

“Kenapa, Kaito? Kamu ada masalah?” Malika bertanya, menyadari bahwa aku sedang tidak seperti biasanya. Dia menatapku dengan matanya yang tajam, seakan bisa membaca pikiranku. Seperti biasa, aku hanya menggelengkan kepala.

“Aku cuma… mikirin masa depan, Mal.” Aku akhirnya mengatakannya. Berat rasanya mengungkapkan ketakutanku—bahwa aku mungkin tidak cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang.

Malika mendesah, lalu berdiri. “Kita semua mikirin itu, Kaito. Gak cuma kamu.” Dia berjalan ke arahku, meletakkan tangan di bahuku, seolah memberi kekuatan.

“Apa menurutmu kita bisa terus bertahan kayak gini? Desa ini, tanah ini—semua bakal tetap sama, apa kalau kita gak ngelakuin sesuatu?” Malika bertanya, suara tingginya mengandung ketegasan. Aku tahu apa yang dia maksud.

Aku menghela napas panjang. “Aku gak mau desa ini berubah, Mal. Aku gak mau lihat tanah kita dijual, hutan kita ditebang hanya demi keuntungan mereka yang datang dengan tawaran manis. Kalau itu terjadi, kita gak akan punya apa-apa lagi.”

Malika terdiam sejenak, lalu melangkah mendekat, lebih serius dari biasanya. “Aku tahu, Kaito. Aku juga gak mau itu terjadi. Tapi kita gak bisa terus diam. Kita harus berbuat sesuatu.”

Aku menatapnya, tahu apa yang dia maksud. Perjuangan ini tidak mudah. Malika baru saja kembali dari kota setelah bertahun-tahun menuntut ilmu di sana. Dia memiliki ide-ide besar tentang bagaimana kita bisa memanfaatkan teknologi dan pengetahuan baru untuk membawa desa ini maju, tanpa harus mengorbankan alam dan budaya kita. Sementara aku, lebih fokus pada cara-cara yang sudah ada, cara-cara yang telah lama diajarkan oleh orang tua kami. Kami berbeda, tapi itu bukan halangan.

“Kita harus mulai dengan mengubah cara pandang orang-orang, Mal. Mungkin gak banyak yang setuju dengan kita, tapi kita gak bisa berhenti di sini,” kataku, suara aku mulai terdengar lebih yakin.

“Betul,” jawabnya singkat, namun ada semangat yang tak terucap dalam suaranya. Malika memang selalu begitu, selalu bisa menyulut api semangat dalam diriku, meskipun aku sering kali ragu dengan langkah-langkah yang harus diambil.

Lalu, kami terdiam. Laut di depan kami bergelombang pelan, seolah memberi waktu untuk kami berpikir. Aku tahu, apapun yang terjadi, kami harus menghadapi kenyataan yang tak bisa ditunda lagi. Desa ini akan menghadapi ujian besar dalam waktu dekat. Perusahaan besar itu, yang katanya akan membawa kemajuan, sudah mulai mengincar tanah kami. Tawaran mereka sangat menggiurkan—dana besar untuk pembangunan, fasilitas modern, dan peningkatan kesejahteraan. Tapi di balik semua itu, ada harga yang harus dibayar. Tanah kami, yang sudah menjadi bagian dari hidup kami, akan berpindah tangan.

Malika memecah keheningan. “Aku yakin, Kaito. Kita bisa buat perubahan. Aku tahu kita bisa cari jalan lain selain jual tanah ini.”

Aku menatapnya, agak terkejut. “Kamu yakin bisa ngubah orang-orang di desa ini? Mereka udah terbiasa dengan cara lama.”

“Tentu saja bisa,” jawabnya dengan penuh keyakinan. “Kita bisa ajarin mereka teknik bertani yang lebih baik. Kita gak perlu lagi bergantung sama perusahaan. Ada cara lain. Teknologi yang aku pelajari bisa diterapkan di sini. Ini bukan cuma tentang bertahan, Kaito. Ini tentang bangkit, tentang menunjukkan bahwa kita bisa maju tanpa harus mengorbankan yang kita cintai.”

Aku tersenyum, meskipun sedikit ragu. “Kamu yakin bisa ngajarin mereka, Mal? Mereka gak gampang terpengaruh dengan ide-ide baru.”

“Tentu aja. Semua butuh waktu. Aku gak bilang ini gampang. Tapi kita gak bisa terus begini. Tanah ini milik kita. Ini hak kita. Kita harus berjuang untuk itu,” jawabnya, menatapku dengan penuh tekad.

Aku mengangguk pelan, walau masih ada keraguan yang terpendam. Tapi entah kenapa, ada semangat baru yang tumbuh dalam diriku. Mungkin ini saatnya untuk berubah. Mungkin ini saatnya untuk berjuang, demi desa ini, demi tanah air ini.

“Kalau kamu yakin, aku ikut.” Aku berkata pelan, tapi dalam hati, aku tahu ini bukan sekadar ikut-ikutan. Ini adalah janji. Janji untuk tanah yang telah memberi kami segalanya. Janji untuk masa depan yang kami impikan bersama.

Malam mulai merayap, dan kami berdua duduk di sana, di bawah langit Papua yang dipenuhi bintang, dengan tekad baru untuk menghadapi apa yang akan datang. Apa pun yang terjadi, kami akan berjuang untuk tanah ini—untuk tanah air yang kami cintai.

 

Mimpi yang Tertantang

Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti desa saat aku terbangun dari tidur yang penuh pikiran. Tak ada suara riuh seperti biasa, hanya desiran angin dan gemerisik dedaunan yang menambah kesunyian pagi. Aku melangkah keluar rumah, menatap hamparan sawah yang terbentang luas di depan. Tanah ini, yang telah menghidupi keluarga kami turun-temurun, kini sedang berada dalam ancaman.

Malam sebelumnya, perbincanganku dengan Malika terus berputar di kepala. Ide-idenya yang besar, semangatnya yang tak kenal lelah, serta keyakinannya yang begitu kuat membuatku merasa terinspirasi. Tapi juga, takut. Kami memang bisa bermimpi, tapi kenyataannya tak semudah itu untuk mengubah cara hidup orang-orang di desa yang telah lama terikat dengan tradisi dan cara-cara lama.

Saat aku sedang termenung di depan rumah, Malika datang menghampiriku. Dia terlihat lebih segar, seolah semalam tak ada masalah yang menghantuinya. Tangan kirinya memegang sebuah buku kecil, mungkin catatan atau rencana yang dia susun untuk masa depan desa kami.

“Kita harus mulai bergerak, Kaito,” katanya dengan nada yang lebih serius, tapi penuh semangat.

Aku mengangguk, sedikit ragu. “Aku tahu, Mal, tapi… apakah semua orang di desa siap menerima perubahan? Mereka sudah lama terikat dengan cara lama. Gimana kalau mereka nggak setuju?”

Malika menatapku, matanya memancarkan keyakinan yang mendalam. “Pasti ada yang sulit, Kaito. Tapi ini soal masa depan. Kalau kita nggak mulai sekarang, kita bisa kehilangan segalanya.”

Aku diam sejenak, merenungkan kata-katanya. Aku tahu dia benar. Kami tidak bisa terus-menerus terjebak dalam ketakutan. Namun, untuk bergerak maju, kami membutuhkan lebih dari sekadar mimpi. Kami butuh dukungan. Dan untuk mendapatkannya, kami harus mulai berbicara dengan orang-orang di desa.

“Berarti kita harus mulai dari mana?” tanyaku akhirnya, suara ku terdengar ragu, tapi ada sedikit semangat yang tumbuh di dalamnya.

Malika tersenyum, dan untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih tenang. “Kita mulai dengan yang paling dasar. Kita harus bicara dengan para kepala keluarga, terutama yang lebih tua. Mereka yang mengerti nilai-nilai tanah ini. Kalau mereka bisa kita yakinkan, yang lain pasti ikut.”

Pagi itu, kami berjalan menyusuri jalan setapak menuju rumah kepala desa. Rumahnya terletak di ujung jalan, agak jauh dari keramaian desa. Di sana, kehidupan yang lebih tenang dan penuh pertimbangan sering kali menjadi tempat untuk mengambil keputusan besar.

Ketika sampai, kami disambut dengan ramah oleh Pak Agus, kepala desa yang sudah menua. Wajahnya yang penuh keriput menunjukkan tanda-tanda kelelahan hidup, tapi matanya tetap tajam, penuh pengalaman. Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan cara bicara Pak Agus yang tenang, tapi terkadang penuh makna.

“Kaito, Malika, ada apa pagi-pagi sudah datang ke rumahku?” Suaranya terdengar lembut, meski berat dengan usia yang sudah hampir mencapai tujuh puluh.

“Pak Agus, kami ingin berbicara tentang masa depan desa ini,” jawab Malika dengan tegas, tak ada rasa gentar sedikit pun. “Tentang bagaimana kita bisa menjaga tanah ini tetap bertahan, tanpa harus menyerah pada tawaran besar yang datang dari perusahaan itu.”

Pak Agus mengernyitkan dahinya, seperti biasa, memberi tanda bahwa dia sedang memproses informasi. Malika melanjutkan, menjelaskan dengan hati-hati rencana kami, tentang bagaimana teknologi pertanian bisa meningkatkan hasil tanah tanpa merusak alam, bagaimana desa ini bisa berkembang tanpa harus mengorbankan nilai-nilai yang telah diajarkan nenek moyang kami.

Pak Agus mendengarkan dengan seksama, sesekali mengangguk, tapi raut wajahnya tetap datar. Ketika Malika selesai menjelaskan, Pak Agus akhirnya membuka mulut.

“Malika, Kaito,” katanya, “ini bukan hal yang mudah. Desa ini sudah lama bergantung pada cara lama. Orang-orang di sini sudah terbiasa hidup dengan tanah dan cara bertani yang mereka kenal. Untuk mengubah semua itu, kita butuh lebih dari sekadar rencana. Kita butuh waktu, keyakinan, dan—yang lebih penting—dukungan.”

“Pak Agus, saya tahu ini tidak akan mudah,” jawab Malika dengan penuh semangat. “Tapi kalau kita tidak mulai, kapan lagi? Ini saatnya untuk kita menunjukkan bahwa kita bisa maju tanpa harus kehilangan jati diri.”

Pak Agus terdiam, kemudian menatapku. “Kaito, kamu setuju dengan rencana ini?”

Aku menarik napas dalam-dalam, menatap Malika yang penuh keyakinan, lalu menatap Pak Agus yang penuh pertimbangan. Aku tahu keputusan ini tidak hanya akan memengaruhi hidup kami berdua, tetapi juga hidup orang-orang di desa ini.

Aku mengangguk perlahan. “Saya setuju, Pak. Kami akan berjuang untuk tanah ini. Kami akan mencari cara agar desa ini tetap hidup tanpa harus mengorbankan semuanya.”

Pak Agus terdiam lama, kemudian tersenyum tipis. “Baiklah. Kalau begitu, mari kita mulai. Tapi ingat, perjalanan ini tidak akan mudah. Kita harus bekerja keras dan berjuang bersama.”

Pagi itu, sesuatu mulai terasa berbeda. Sebuah langkah kecil menuju perubahan telah dimulai. Kami tahu bahwa jalan yang kami pilih penuh dengan tantangan, tetapi bersama-sama, kami akan menghadapinya.

Setelah pertemuan itu, aku dan Malika keluar dari rumah Pak Agus dengan langkah lebih ringan, meski masih ada beban besar yang harus kami pikul. Kami tahu ini bukan akhir, melainkan awal dari perjuangan panjang yang penuh liku.

Kami berjalan kembali ke rumah, angin yang semula sejuk kini berubah menjadi sedikit lebih hangat, seolah memberi semangat pada kami yang kini memulai langkah pertama menuju masa depan yang tak pasti. Namun, di hati kami, ada keyakinan bahwa tidak ada yang tak mungkin, selama kami tetap berjalan bersama, demi tanah yang kami cintai ini.

 

Menghadapi Gelombang

Matahari sudah mulai condong ke barat ketika aku dan Malika sampai di tepi sungai yang membelah desa. Di sini, di bawah rindangnya pohon beringin, kami sering menghabiskan waktu bersama saat kecil. Tempat ini adalah simbol bagi kami, sebuah kenangan yang tak pernah pudar, meskipun dunia di luar sana terus berubah.

Hari itu, Malika lebih banyak diam. Matanya tertuju pada aliran sungai yang bergerak pelan, seolah mengikuti ritme hidup yang tenang. Aku tahu dia sedang berpikir, sama seperti aku. Ada begitu banyak hal yang harus kami persiapkan, dan waktu kami semakin sempit. Para kepala keluarga sudah mulai berkumpul di balai desa, dan besok kami akan mempresentasikan rencana kami. Tetapi, aku bisa merasakan kekhawatiran di hati Malika. Ini adalah ujian pertama kami, dan hasilnya bisa menentukan segalanya.

“Kalau besok para kepala keluarga nggak setuju, kita mau bagaimana?” tanyaku, mencoba membuka percakapan.

Malika menghela napas panjang. “Aku nggak tahu, Kaito. Tapi kita harus berusaha. Kalau nggak, kita akan kehilangan kesempatan ini. Desa ini… tanah ini… sudah lama terlupakan. Kita harus beri mereka alasan untuk percaya lagi.”

Aku mengangguk pelan, merasakan beban yang sama. Kami tahu, bukan hanya rencana yang harus kami persiapkan dengan matang, tetapi juga hati orang-orang yang selama ini hidup dengan cara lama. Mereka sudah terikat pada tradisi, pada kehidupan yang tak terpisahkan dari tanah ini. Perubahan bukan hal yang mudah diterima.

“Mereka mungkin nggak siap,” lanjut Malika, suaranya rendah. “Aku sudah kenal beberapa dari mereka sejak kecil. Mereka lebih memilih cara yang aman, yang sudah mereka kenal. Mengubah itu butuh waktu. Aku hanya berharap mereka bisa melihat apa yang kita lihat, Kaito.”

Aku menatapnya. Terkadang, aku merasa Malika memiliki pandangan yang jauh lebih luas daripada aku. Mungkin karena dia yang lebih banyak belajar di luar desa, yang lebih mengenal dunia di luar batas-batas tanah ini. Namun, aku tahu, ada satu hal yang membuatku percaya pada apa yang dia perjuangkan. Semangatnya yang tidak pernah pudar, yang bahkan bisa membuatku bertahan di tengah keraguan.

“Kalau mereka menolak, apa kita harus menyerah?” tanyaku, menantang. Rasanya seperti ada api yang menyala dalam diriku, berusaha mengusir rasa takut yang mulai merayap masuk.

Malika menatapku dengan tatapan tajam, seolah membaca pikiranku. “Kita nggak akan menyerah, Kaito. Meskipun mereka menolak, kita akan terus berjuang. Kita sudah melihat potensi tanah ini, kita sudah merasakannya. Dan aku yakin, kalau kita benar-benar bekerja keras, desa ini akan bisa bangkit.”

Aku mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Terkadang, kata-kata Malika memberi kekuatan yang tak terduga. Kami berjalan kembali menuju balai desa, namun kali ini, langkah kami terasa lebih pasti. Meskipun kami tahu akan ada banyak rintangan di depan, kami juga tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang harus kami pertahankan.

Sore itu, suasana balai desa terasa lebih panas daripada biasanya. Orang-orang sudah berkumpul, duduk berjajar di kursi-kursi kayu yang sudah usang. Wajah-wajah yang datang adalah mereka yang sudah lama bertahan dengan cara hidup yang konvensional, yang lebih memilih kedamaian daripada berhadapan dengan perubahan. Namun, di balik wajah-wajah itu, aku bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.

Pak Agus berdiri di depan, membuka pertemuan dengan kata-kata yang bijaksana, seperti biasa. Namun, kali ini, aku tahu, ini adalah pertemuan yang berbeda. Ini adalah titik balik. Tak hanya bagi kami, tapi juga bagi seluruh desa.

“Bapak, Ibu, kita berkumpul di sini untuk mendengarkan rencana dari Kaito dan Malika tentang bagaimana kita bisa mempertahankan tanah kita dan memajukan desa ini tanpa harus tergantung pada perusahaan besar,” kata Pak Agus, suaranya penuh kehati-hatian.

Malika berdiri, memegang buku catatannya yang kini menjadi panduan hidup kami. Aku berdiri di sampingnya, siap untuk mendukungnya dalam setiap kata yang keluar dari mulutnya. Tanpa basa-basi, Malika mulai berbicara, jelas dan tegas.

“Seperti yang Pak Agus katakan, kami ingin menunjukkan bahwa kita bisa bertahan tanpa harus merusak apa yang sudah ada. Kami ingin mempertahankan tradisi kita, tetapi juga mengadaptasi teknologi yang akan membantu kita meningkatkan hasil pertanian tanpa merusak lingkungan.”

Beberapa orang mengangguk pelan, namun sebagian lainnya menunjukkan wajah skeptis. Wajar, aku tahu. Ide ini belum pernah ada sebelumnya di desa kami. Ini adalah hal yang baru dan asing bagi mereka.

Seorang lelaki paruh baya yang duduk di depan, Pak Hadi, menanggapi dengan suara berat. “Tapi, Malika, kalau kita nggak terima tawaran perusahaan itu, kita nggak akan bisa berkembang. Kita akan ketinggalan zaman. Desa ini sudah lama tertinggal. Kita harus berpikir praktis. Apa yang kamu tawarkan lebih banyak janji daripada kenyataan.”

Suasana menjadi tegang. Aku melihat Malika menatap Pak Hadi dengan tenang. “Kami tidak menawarkan janji, Pak Hadi. Kami menawarkan kesempatan untuk berkembang bersama. Kami punya rencana untuk meningkatkan hasil pertanian, membuka pasar baru, dan yang terpenting, menjaga agar tanah ini tetap milik kita. Kalau kita terima tawaran itu, kita akan kehilangan semuanya.”

Pak Hadi tidak menjawab langsung, namun aku bisa merasakan keraguan di matanya. Begitu banyak yang harus dipertimbangkan. Mereka yang hadir di sini sudah begitu terbiasa dengan cara lama, sulit bagi mereka untuk melihat apa yang kami lihat.

Sepertinya, pertemuan ini tidak akan mudah. Namun, satu hal yang pasti, kami tidak bisa mundur. Kami akan berjuang, apapun hasilnya. Kalau kami benar-benar ingin mempertahankan tanah ini, kami harus siap menghadapi segala risiko.

Aku menatap Malika, dan dalam diam kami saling berbagi keyakinan. Jika kami terus berdiri bersama, tidak ada yang bisa menghalangi kami.

 

Akhir yang Baru

Pagi itu, udara terasa lebih dingin dari biasanya. Hembusan angin yang datang dari arah barat membawa kabar tak menentu. Kami sudah duduk di bangku depan balai desa, menunggu keputusan final dari para kepala keluarga. Rasa cemas merayapi setiap detik yang berlalu. Semua yang telah kami perjuangkan, semua yang telah kami siapkan, kini bergantung pada momen ini.

Suasana balai desa lebih sunyi dari yang aku bayangkan. Semua orang tampak terdiam, tak ada yang bersuara. Hanya dentingan jam yang terdengar jelas. Aku menatap Malika, dan meski matanya tampak tenang, aku tahu dia juga merasakan beban yang sama.

“Kenapa hati gue berat banget ya?” ucapku pelan, setengah bergumam, sambil memandang ke arah pintu utama. “Semua ini terasa seperti ujian yang nggak ada akhirnya.”

Malika hanya tersenyum tipis, lalu meraih tanganku dengan lembut. “Kadang, kita memang perlu melalui ujian yang berat untuk bisa melangkah lebih jauh, Kaito. Jangan takut. Kalau kita sudah berusaha sebaik mungkin, hasilnya adalah hal terakhir yang perlu kita pikirkan.”

Aku menatapnya, mencoba menelan kata-kata itu. Malika selalu bisa membuatku merasa lebih tenang, walau aku tahu, tidak ada jaminan pasti. Semua usaha kami, semua pengorbanan, semuanya bergantung pada satu keputusan.

Tiba-tiba, pintu balai desa terbuka, dan Pak Agus masuk dengan wajah yang lebih serius dari biasanya. Di belakangnya, ada beberapa kepala keluarga yang mengikuti, wajah-wajah mereka penuh kerutan, seolah mereka baru saja membuat keputusan besar. Mereka berhenti sejenak di depan kami, dan Pak Agus membuka mulutnya.

“Kami sudah berdiskusi panjang,” katanya, suaranya tegas namun terdengar berat. “Dan meskipun ada perbedaan pendapat, kami akhirnya sepakat untuk memberi kesempatan pada rencana kalian. Tapi ada satu syarat penting.”

Aku dan Malika saling pandang, tak percaya. Rencana kami—yang kami anggap sebagai perjuangan hidup mati ini—ternyata diterima. Namun, syarat itu apa?

“Syaratnya adalah,” lanjut Pak Agus, “kalian harus memimpin proyek ini sendiri. Kami akan memberikan dukungan penuh, tapi kalian berdua yang harus memikul tanggung jawab terbesar. Kami tidak bisa ikut serta jika kalian gagal. Ini adalah keputusan terakhir kami.”

Setiap kata yang keluar dari mulut Pak Agus seolah membekukan waktu. Aku merasa seluruh tubuhku kaku sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja didengar. Tanggung jawab besar? Itu lebih dari yang kami bayangkan. Namun, kami tidak punya pilihan lain selain menerima tantangan itu.

Malika menyimpannya dengan tenang, meskipun aku tahu hatinya berdebar kencang. “Kami siap, Pak Agus,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang mantap. “Kami akan melakukan yang terbaik untuk desa ini. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan.”

Wajah Pak Agus sedikit melunak. “Kami berharap kalian benar-benar bisa membawa perubahan, Malika, Kaito. Tanah ini, desa ini, tidak bisa hanya dipertahankan dengan kata-kata. Kami ingin melihat tindakan nyata.”

Mereka berlalu setelah itu, meninggalkan kami berdua di depan balai desa. Waktu terasa berhenti sejenak saat kami berdua berdiri di sana, mencerna keputusan yang baru saja diterima. Kami akhirnya mendapatkan kesempatan untuk mewujudkan impian kami, tetapi jalan di depan tentu tidak akan mudah.

Aku menatap Malika dengan tatapan yang penuh arti, sebuah pengertian tanpa kata. Kami tahu bahwa ini baru awal dari sebuah perjalanan panjang. Perjalanan yang tidak hanya tentang kami, tetapi juga tentang masa depan desa ini. Kami berdua adalah bagian dari tanah ini—yang harus terus dipelihara, dibangun, dan dilestarikan.

“Jadi, gimana kalau kita mulai merencanakan langkah pertama, Malika?” tanyaku dengan senyum tipis yang akhirnya muncul setelah beberapa lama.

Malika mengangguk, matanya berbinar penuh semangat. “Langkah pertama adalah menjaga tanah ini tetap hidup, Kaito. Dengan setiap tanaman yang tumbuh, dengan setiap hasil yang kami panen. Ini bukan sekadar pekerjaan, ini adalah bagian dari jiwa kita.”

Kami berdua berjalan menjauh dari balai desa, seiring matahari yang mulai terbenam di cakrawala. Meskipun jalan kami masih panjang, kami tahu bahwa kami tidak akan berhenti berjuang. Ini adalah awal dari perubahan besar, bukan hanya untuk desa ini, tapi untuk segala sesuatu yang kami cintai dan perjuangkan.

Dalam keheningan sore itu, kami berdua menyadari satu hal yang tak pernah kami lupakan: tanah ini bukan sekadar tempat kami tinggal. Tanah ini adalah bagian dari identitas kami. Kami berjanji, akan menjaga dan melestarikannya, dengan sepenuh hati.

Dan di saat itu, aku tahu, tidak ada yang lebih besar dari cinta pada tanah air ini.

 

Jadi, kalau kamu pernah merasa kecil atau nggak bisa ngapa-ngapain buat tanah air, coba deh lihat dari sudut pandang mereka. Cinta tanah air itu bukan cuma soal kata-kata, tapi tentang tindakan nyata. Kalau mereka bisa, kenapa kita nggak?

Semoga cerita ini bisa bikin kamu berpikir, gimana kita bisa berkontribusi lebih buat negeri ini, meski dengan cara yang kecil sekalipun. Karena sesungguhnya, setiap langkah kita untuk tanah air, punya makna besar. Sampai ketemu di cerita selanjutnya!

Leave a Reply