Daftar Isi
Kadang, cinta itu nggak selalu tentang mengungkapkan apa yang kita rasakan. Kadang, yang kita simpan malah jadi beban yang nggak terucap. Cinta yang terlambat diakui, penyesalan yang nggak bisa dibalik, dan akhirnya, kita cuma bisa lihat orang yang kita sayang bahagia dengan orang lain.
Kalau kamu pernah ngerasain itu, berarti kamu tahu betul rasanya. Gimana rasanya jadi orang yang nyimpen perasaan, tapi nggak pernah sempat bilang aku suka. Yup, cerpen ini tentang itu—cinta yang terpendam dan akhirnya pergi begitu aja.
Cinta Tak Terucap
Kata-kata yang Tertahan
Aku ingat hari pertama bertemu Tessa seperti itu terjadi kemarin. Waktu itu hujan deras, dan aku hanya ingin menyendiri di sudut kafe kecil yang jarang orang kunjungi. Kafe yang terasa seperti dunia lain—hanya aku dan secangkir kopi hitam yang menemaniku. Aku bukan orang yang banyak berbicara, dan sejujurnya, aku lebih suka berada di tempat yang jauh dari keramaian. Di situlah aku melihatnya untuk pertama kali.
Dia duduk sendirian di meja dekat jendela, matanya menatap kosong ke luar, seolah-olah mencari sesuatu yang tak pernah ditemukan. Rambutnya yang panjang tergerai sempurna, dan ada sesuatu dalam cara dia duduk, yang entah kenapa membuatku merasa dia bukan orang yang datang ke kafe untuk sekadar minum kopi. Dia datang untuk melarikan diri—atau setidaknya, itulah yang aku pikirkan.
“Eh, ada kursi kosong di sini,” kataku, setengah ragu, tapi cukup untuk memecah kesunyian.
Tessa menoleh, lalu tersenyum pelan, seolah tak ada beban sedikit pun di wajahnya. “Oh, iya, silakan,” jawabnya dengan suara yang lembut, hampir tidak terdengar. Seperti angin yang berbisik, begitu tenang.
Aku duduk, menyesap kopi yang baru saja aku pesan, tapi entah kenapa, rasa kopi itu terasa hambar. Setiap kata yang keluar dari mulut Tessa seakan membuat dunia di sekitar kami menjadi sepi. Hanya ada suara hujan yang deras di luar dan percakapan ringan yang kami mulai. Mungkin aku terlalu cepat merasa nyaman, atau mungkin aku hanya merasa terhubung dengan cara dia yang tidak terburu-buru.
“Aku suka tempat ini,” Tessa berkata sambil menatap pemandangan luar yang basah. “Jarang ada orang yang tahu kalau tempat ini enak banget buat santai, kan?”
Aku mengangguk. “Iya, benar. Aku juga lebih suka tempat yang enggak ramai, lebih tenang gitu.”
Dia tersenyum lagi, lebih lebar kali ini. “Iya, kan? Kadang, kalau tempatnya terlalu ramai, malah jadi enggak nyaman.”
Kami berbicara tentang banyak hal—tentang cuaca, tentang tempat makan favorit, tentang segala hal yang tidak terlalu penting, tapi terasa begitu nyaman. Tessa memang berbeda dari yang lain. Dia punya cara berbicara yang tidak memaksa, seperti tidak ingin membuat orang lain merasa tertekan. Ada sesuatu yang membuatku ingin terus mendengarkan, walaupun aku bukan tipe orang yang mudah membuka diri.
Namun, aku tidak pernah bisa mengungkapkan apa yang benar-benar ada di pikiranku saat itu. Entah kenapa, rasa itu datang begitu saja, seperti sebuah aliran yang sulit dihentikan. Aku suka dia. Tessa. Aku menyukainya lebih dari sekadar teman. Tapi aku tidak pernah bisa mengatakannya. Setiap kali aku melihat matanya yang penuh rasa penasaran, setiap kali aku mendengar suaranya yang lembut, hatiku terasa semakin berat. Ada sesuatu yang harus aku katakan, tapi kata-kata itu tak pernah bisa keluar.
Beberapa minggu berlalu setelah pertemuan pertama itu. Aku semakin sering menghabiskan waktu dengannya, mengobrol tentang segala hal, kadang tanpa tujuan. Dia selalu bisa membuat suasana menjadi ringan, bahkan saat aku merasa paling gelisah sekalipun. Namun, semakin lama aku merasa, ada sesuatu yang semakin sulit aku terima. Rasa itu—perasaan yang semakin kuat namun selalu terpendam.
Hingga suatu hari, aku mendengar kabar itu. Darel. Seorang pria yang tak pernah aku kenal sebelumnya, tapi sepertinya dia adalah segala yang Tessa butuhkan. Darel adalah pengusaha muda yang tampaknya sangat sukses. Tampaknya sangat sempurna untuk Tessa—segala yang aku bukan.
Aku tidak tahu bagaimana caranya, tapi sepertinya dia mampu membuat Tessa tertarik. Semua orang di sekitar kami sudah mulai berbicara tentang kedekatan mereka. Tessa selalu tersenyum setiap kali membicarakan Darel, dan aku mulai merasakan perasaan yang tak pernah aku ingin rasakan. Cemburu.
Aku berusaha untuk tetap biasa saja, meski sebenarnya hatiku hancur perlahan. Tapi aku tidak bisa, aku tidak tahu bagaimana cara mengungkapkan semuanya tanpa merusak hubungan yang sudah kami bangun. Sejak saat itu, setiap kali melihat mereka berdua bersama, rasanya seperti ada sesuatu yang terkoyak di dalam hatiku.
Aku tidak pernah mengatakannya padanya. Aku tidak pernah mengatakan kalau aku mencintainya. Aku terlalu takut, terlalu ragu. Aku selalu berpikir, ada waktu yang tepat, ada saat yang sempurna untuk mengungkapkan semuanya. Tapi ternyata, waktu itu tidak pernah datang. Waktu itu tak pernah ada, dan kini, semuanya terlambat. Tessa sudah mulai menghabiskan waktunya bersama Darel, dan aku hanya bisa menjadi penonton dalam hidupnya.
Saat kami berada di kafe yang sama lagi, aku duduk di tempat yang sama, hanya berbeda waktu. Tessa datang bersama Darel, dan aku duduk di sudut, mengamati mereka dengan rasa sakit yang menyesakkan. Tessa tertawa bahagia, sementara aku… aku hanya bisa menunduk, berusaha menahan semua perasaan yang ingin meledak. Aku ingin berteriak, ingin berlari menghampiri mereka dan mengatakan bahwa aku mencintainya, bahwa aku selalu ada untuknya. Tapi aku tidak bisa.
Kami bertemu pandang beberapa detik, dan dalam tatapannya, aku merasa ada sesuatu yang tak terucapkan. Mungkin Tessa sudah tahu. Mungkin dia sudah tahu sejak lama, bahwa aku mencintainya, tapi tak pernah bisa mengungkapkannya.
“Aku selalu tahu kamu akan ada di sini, Viko,” katanya pelan, seolah tidak ingin ada yang mendengarnya selain aku.
Aku ingin menjawab, tapi kata-kata itu terlalu berat untuk keluar. Aku hanya bisa tersenyum, meskipun itu bukan senyum yang datang dari hati.
Tessa tersenyum kembali, namun kali ini, senyumnya terasa berbeda. Senyum yang seolah menyiratkan bahwa dia sudah tahu segalanya.
Aku tahu, saat itu, semua sudah berakhir. Cinta yang tak terucap ini tidak akan pernah terwujud. Tessa sudah menemukan jalannya sendiri, dan aku hanya bisa menjadi bagian dari kenangan yang tak bisa diulang.
Aku memandang mereka yang semakin jauh, dan aku menyadari satu hal—aku telah terlambat.
Di Balik Senyum Tessa
Aku duduk di meja yang sama, dengan cangkir kopi yang sudah lama dingin. Sudah beberapa hari sejak aku melihat Tessa dan Darel bersama di kafe itu, dan entah kenapa, perasaan yang aku rasakan tidak pernah hilang. Setiap sudut kota, setiap tempat yang kami lewati, selalu mengingatkanku pada Tessa. Seperti ada bayangan dia di mana-mana—dalam langkah, dalam senyuman, dalam tawa kecil yang terdengar di setiap sudut. Namun, semakin lama aku merasa semakin jauh.
Aku tahu aku harus move on, tapi kenyataannya, itu lebih mudah dikatakan daripada dilakukan. Aku ingin menganggap semuanya biasa saja, seperti hubungan pertemanan yang sudah biasa aku jalani, tapi ini bukan soal biasa. Ini soal Tessa—perempuan yang sejak pertama kali aku mengenalnya, berhasil membuat duniaku berubah. Hanya saja, dunia itu sekarang bukan milikku lagi.
Hari itu, aku melangkah menuju kantor seperti biasa. Pekerjaan adalah hal yang bisa aku andalkan untuk mengalihkan pikiranku, meskipun tak selalu berhasil. Pagi itu, aku merasa sedikit lebih berat melangkah. Seperti ada yang mengikat hatiku, menghalangi setiap gerakan yang aku buat. Aku berhenti sejenak di depan pintu kantor, mencoba meresapi semua perasaan yang datang begitu cepat.
Tessa. Kenapa dia masih ada di pikiranku? Kenapa aku tidak bisa melupakan semua momen yang kami habiskan bersama, walaupun aku tahu dia kini bahagia dengan orang lain?
Pekerjaan menumpuk, tapi aku lebih banyak melamun. Aku membuka layar komputer dan mencoba fokus, namun bayangan Tessa masih mengganggu. Aku ingin tahu bagaimana dia hari ini, apa yang dia lakukan, apakah dia sedang tertawa, atau bahkan mungkin, memikirkan Darel. Semua hal itu tidak bisa aku hindari. Kenangan yang datang tiba-tiba, memaksa aku untuk mengenang setiap momen yang pernah ada, setiap kalimat yang pernah keluar dari bibirnya.
Aku menghapus layar ponselku yang penuh dengan notifikasi, meskipun tak ada pesan baru dari Tessa. Sejak pertemuan kami terakhir di kafe, aku tidak lagi berbicara dengannya. Dia sibuk dengan Darel, dan aku… aku hanya berusaha bertahan, meskipun hatiku terasa semakin hancur setiap kali aku melihat mereka berdua bersama. Aku menunduk, berusaha menghindari keramaian di kantor, tapi sepertinya itu tidak bisa lagi kuhindari.
Tessa muncul di depan pintu kantor, bersama Darel. Mereka datang bersama-sama, dan meskipun aku tidak ingin mengakui, aku merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Tessa memandangku. Mungkin dia tahu. Mungkin dia sudah tahu bahwa aku sedang berjuang dengan perasaan yang tidak pernah terucap.
“Tessa… Darel,” sapaku datar, berusaha menjaga jarak.
Tessa tersenyum, meskipun senyumnya kali ini terasa lebih pudar, seperti ada yang hilang. “Viko, kamu baik-baik saja?” tanyanya lembut, tanpa ekspresi yang biasa.
Aku mengangguk pelan, berusaha menjaga penampilanku tetap tenang. Tapi dalam hati, aku merasa seperti ada yang mengikis. Darel memandangku dengan tatapan biasa, seolah-olah tak ada yang berbeda, tapi aku tahu. Aku tahu dia tidak melihat dunia yang sama denganku.
“Sudah lama ya nggak ngobrol? Kamu kenapa, kelihatan sedikit lesu,” Tessa menambahkan, kali ini dengan nada yang lebih khawatir, seperti dia benar-benar ingin tahu.
Aku tidak tahu bagaimana harus menjawabnya. Aku tidak bisa menceritakan yang sebenarnya. Bagaimana aku bisa bilang kalau hatiku sedang sakit? Bagaimana aku bisa bilang kalau setiap kali aku melihatnya, aku merasa hancur?
Aku hanya mengalihkan pandangan, mencari sesuatu di layar komputer yang sepertinya tak ada habisnya. “Aku baik-baik saja,” jawabku singkat, tanpa menatap mata mereka.
Darel yang tampaknya tidak terlalu peduli, segera berbicara. “Ayo, Tessa, kita harus pergi sekarang. Ada beberapa hal yang perlu aku urus.”
Tessa menatapku satu detik lebih lama, seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi akhirnya dia hanya tersenyum kecil. Senyuman yang terasa begitu dingin dan jauh. “Baiklah, Viko. Semoga hari-harimu menyenankan,” katanya, seolah itu adalah kata-kata yang harus dia katakan.
Mereka pergi begitu saja, dan aku hanya bisa menatap mereka, merasa terpisah oleh jurang yang semakin lebar. Aku ingin berlari menghampiri Tessa, memegang tangannya, dan berkata, “Aku mencintaimu,” tapi kata-kata itu tetap terperangkap di tenggorokanku, tak bisa keluar. Semakin lama, semakin terasa berat. Aku hanya bisa merasakan betapa bodohnya aku. Kenapa aku tidak pernah mengatakannya lebih dulu? Kenapa aku memilih diam, menunggu waktu yang entah kapan datangnya?
Pekerjaanku menjadi semakin terbengkalai setelah mereka pergi. Otakku tak bisa fokus pada hal lain selain Tessa. Waktu berlalu begitu cepat, namun aku merasa seperti terperangkap dalam lingkaran yang sama—kehilangan kesempatan, merasakan penyesalan yang semakin dalam.
Aku tahu, aku sudah terlambat. Aku sudah salah langkah, dan kini, aku hanya bisa menjadi bagian dari kenangan yang dia bawa bersama Darel.
Sebuah Keputusan yang Tak Terucap
Hari-hariku berlalu tanpa perubahan. Aku kembali menjalani rutinitas yang sama, dengan pikiran yang tak pernah benar-benar bebas dari bayangan Tessa. Beberapa kali, aku berusaha mencari cara untuk mengalihkan perhatianku—lebih banyak bekerja, menonton film, bergaul dengan teman-teman, tapi semuanya terasa sia-sia. Tidak ada yang bisa menggantikan Tessa, tidak ada yang bisa menenangkan pikiranku seperti dia.
Beberapa hari setelah pertemuan itu, aku melihat foto-foto Tessa di media sosial. Dia dan Darel tampak sangat bahagia. Ada potret mereka berdua di sebuah taman, Tessa tertawa lebar dengan Darel yang memeluknya dari belakang. Melihat itu, aku merasa seolah-olah ada yang meninju dadaku dengan keras. Kenapa aku tidak bisa menghindari perasaan ini? Kenapa aku harus merasakan sakit hati setiap kali melihat mereka bersama? Aku mengusap wajahku, berusaha mengusir perasaan itu, tapi itu sia-sia. Semua kenangan tentang kami, semuanya kembali muncul.
Tessa sudah punya Darel. Mereka terlihat begitu sempurna bersama. Dan aku? Aku cuma Viko—pria yang diam-diam mencintainya, tanpa pernah berani mengungkapkan apa-apa. Aku tak bisa lagi berpura-pura bahwa aku tidak merasa terluka.
Malam itu, aku duduk di balkon apartemenku, memandangi langit malam yang gelap. Angin sepoi-sepoi terasa dingin di kulit, dan aku hanya duduk di sana, terjebak dalam pikiran yang berputar-putar. Tessa. Darel. Aku merasa seperti bayanganku semakin memudar dari hidup mereka, dan itu membuatku merasa sangat kecil.
Ponselku bergetar, dan aku melihat ada pesan masuk dari Tessa. Aku terkejut, hampir tidak percaya. Sudah lama sejak terakhir kali dia menghubungiku. Aku membuka pesan itu dengan tangan yang gemetar.
Tessa: Viko, ada yang ingin aku bicarakan dengan kamu. Bisakah kita bertemu?
Hatiku berdegup kencang. Ada banyak perasaan yang bercampur. Aku takut. Takut dia ingin memberitahuku sesuatu yang aku tak ingin dengar. Takut kalau dia datang hanya untuk memberitahuku bahwa dia bahagia dengan Darel dan bahwa aku hanya bagian dari masa lalu. Tapi, di sisi lain, aku juga ingin bertemu dengannya. Aku ingin tahu apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan tentang semua yang terjadi.
Aku tidak langsung membalas pesan itu. Aku menatap layar ponselku, mencari kata-kata yang tepat untuk merespon. Tapi akhirnya, aku hanya mengirimkan balasan singkat.
Viko: Kapan?
Tak lama kemudian, Tessa membalas dengan cepat.
Tessa: Besok sore, di kafe yang biasa. Aku tunggu ya.
Aku menatap pesan itu beberapa saat. Besok sore. Aku tahu, ini kesempatan yang mungkin tak akan datang lagi. Aku harus bertemu dengannya. Aku harus tahu apa yang dia inginkan dariku, bahkan jika itu berarti aku harus menghadapi kenyataan pahit.
Keesokan harinya, aku merasa seperti ada batu besar yang menekan dadaku. Semua persiapanku untuk pertemuan ini rasanya sia-sia. Aku ingin berbicara dengan Tessa, tapi aku tak tahu apa yang harus dikatakan. Apa yang bisa aku katakan setelah semua yang telah terjadi?
Setibanya di kafe, aku sudah melihat Tessa duduk di pojok dekat jendela, matanya memandang keluar, seolah-olah dia sedang menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu mendekatinya.
Saat Tessa melihatku, senyumannya tampak lebih lebar dari biasanya. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Senyum itu tidak terlihat sepenuh hati. Senyum itu terasa terpaksa.
“Hai,” sapaku dengan suara rendah.
Tessa mengangguk pelan, menutup buku yang ada di hadapannya. “Hai, Viko. Terima kasih sudah datang.”
Aku duduk di hadapannya, memandang wajahnya yang kini tampak lebih matang. Ada kesan yang berbeda dari Tessa—lebih dewasa, lebih serius, seperti dia telah melewati banyak hal yang aku tidak tahu.
Aku terdiam sejenak, mencoba merangkai kata-kata. “Kamu… baik-baik saja?” tanyaku akhirnya, meskipun aku tahu itu bukan pertanyaan yang tepat.
Tessa menghela napas panjang. “Aku ingin mengatakan sesuatu yang sudah lama ingin aku sampaikan,” katanya, suaranya sedikit bergetar.
Aku mengerutkan kening, menatapnya penuh perhatian. Apa yang akan dia katakan? Apa yang dia ingin bicarakan?
“Aku…” Tessa terdiam sejenak, seolah-olah kata-kata itu sulit keluar. “Aku merasa… sudah saatnya aku memberikan penjelasan tentang apa yang terjadi antara kita.”
Aku menunduk, mengerutkan dahi. “Apa maksudmu?”
Tessa menatapku, matanya berkaca-kaca. “Viko, aku tahu kamu tahu. Aku tahu kamu selalu ada untukku. Dan aku juga tahu kamu mungkin merasa terluka karena aku tidak pernah membalas perasaanmu. Aku ingin kamu tahu, aku sangat menghargai semuanya yang telah kamu lakukan untukku. Tapi…”
Tapi, aku sudah tahu kemana arah pembicaraan ini. Aku sudah tahu apa yang akan dia katakan. Hatiku seperti berhenti sejenak.
“Tessa, kalau itu tentang Darel… aku sudah tahu. Aku sudah melihat kalian bersama. Aku hanya ingin kamu bahagia,” kataku, mencoba terdengar tegar meskipun dadaku terasa sesak.
Tessa menangis, pelan. “Aku minta maaf, Viko. Aku tidak bisa memilih kamu. Aku tidak bisa memilih untuk mencintaimu seperti yang kamu inginkan. Itu bukan salahmu, itu masalahku. Aku tak bisa memaksakan perasaan yang tidak ada.”
Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa. Tessa benar. Dia tidak bisa memaksakan perasaannya. Dan aku juga tidak bisa memaksakan cintaku. Tapi kenapa rasanya tetap begitu sakit?
Akhirnya, Tessa mengulurkan tangannya, menggenggam tanganku dengan lembut. “Viko, aku benar-benar minta maaf. Aku hanya ingin kita tetap menjadi teman. Aku tidak ingin kamu merasa terluka lagi.”
Aku menatapnya, merasa kosong. “Aku akan mencoba, Tessa. Aku akan mencoba,” jawabku, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah sama lagi.
Tessa tersenyum, tapi senyuman itu seperti mengiris hatiku lebih dalam. Sebuah perasaan yang aku tahu tidak akan pernah terbalas, namun aku masih harus belajar untuk menerima kenyataan.
Kami duduk diam di kafe itu, seolah waktu berhenti sejenak. Tapi aku tahu, setelah percakapan ini, semuanya akan berubah selamanya. Tessa sudah memilih jalannya, dan aku hanya bisa belajar untuk merelakan.
Sebuah Kepergian yang Tak Terucap
Waktu berjalan begitu cepat setelah pertemuan itu. Tessa dan aku tetap berhubungan, meski tidak seperti dulu. Kami masih berbicara, terkadang berbagi cerita tentang hal-hal kecil dalam hidup kami, tapi ada jarak yang tak terucapkan. Sesuatu yang sudah berubah, meski kami tidak pernah benar-benar membicarakannya lagi. Ada sesuatu yang hampa setiap kali aku mendengar suaranya, sesuatu yang terasa begitu berat.
Aku masih sering melihat foto-foto mereka berdua di media sosial, Tessa dan Darel. Senyum mereka selalu tampak begitu alami, begitu sempurna. Aku tahu, aku harus berhenti mengikutinya, berhenti memantau mereka dari jauh. Tapi setiap kali aku mencoba melupakan, bayangannya tetap menghantui aku, begitu kuat, begitu dalam.
Pagi itu, aku menerima undangan pernikahan Tessa. Tangan kananku gemetar saat membuka amplop berwarna putih itu. Kartu undangan dengan tulisan yang elegan dan penuh kebahagiaan.
Dengan penuh sukacita,
Tessa & Darel
mengundang Anda untuk merayakan pernikahan kami,
yang akan diselenggarakan pada:
Sabtu, 20 November 2024
di Gereja St. Anna, pukul 10.00 WIB
Aku terpaku lama di depan kartu undangan itu, seakan semuanya berhenti bergerak. Ini dia. Ini saat yang selama ini aku takutkan, saat di mana Tessa akan benar-benar melangkah ke dalam kehidupan yang baru bersama Darel, dan aku? Aku hanya menjadi kenangan yang perlahan memudar.
Aku menghela napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tak ada yang salah dengan itu, bukan? Tessa berhak bahagia, berhak memilih siapa yang dia inginkan. Aku selalu tahu bahwa perasaanku hanya akan menjadi satu bagian dari kisah hidupnya yang tidak pernah dia pilih. Aku sudah siap, atau setidaknya aku harus siap.
Hari pernikahan itu datang lebih cepat dari yang aku kira. Aku berdiri di depan gereja, menatap gedung megah itu dengan perasaan yang campur aduk. Aku ingin pergi, ingin menghindari momen ini. Tapi ada satu hal yang selalu menghantui pikiranku—aku tidak ingin kehilangan dia begitu saja tanpa memberi ucapan selamat terakhir.
Aku memasuki gereja, duduk di bagian belakang, menyembunyikan diriku dari sorotan mata tamu lainnya. Acara sudah dimulai, dan aku melihat Tessa berjalan dengan anggun di antara barisan kursi. Wajahnya bersinar, senyum itu lebih indah dari yang pernah aku lihat. Di sisi pengantin pria, Darel menunggu dengan tatapan penuh cinta. Mereka begitu serasi. Tidak ada yang bisa meragukan kebahagiaan mereka.
Hatiku terasa seperti terhimpit. Aku tahu, aku sudah tidak lagi menjadi bagian dari hidupnya. Dan mungkin, itu adalah hal yang terbaik. Tapi mengapa rasanya begitu sulit untuk merelakan? Mengapa perasaan ini tidak pernah benar-benar bisa hilang, meskipun aku tahu itu tidak akan pernah terjadi?
Ketika upacara pernikahan hampir selesai, aku berdiri dan mengarah ke luar gereja. Aku tidak bisa lagi menahan diri. Aku ingin pergi, tidak ingin berada di tempat itu lebih lama lagi. Namun, saat aku keluar, aku melihat Tessa berdiri di luar, menunggu. Seperti dia sudah tahu aku akan datang.
“Viko…” Suaranya terdengar lembut, begitu familiar, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Ada keheningan di antara kami, sesuatu yang tidak perlu diucapkan, tapi bisa dirasakan oleh kami berdua.
Aku menatapnya, berusaha menahan air mata yang sudah hampir menetes. “Aku… aku ingin kamu bahagia, Tessa,” kataku, suaraku sedikit tercekat. “Aku tahu kamu sudah membuat keputusan yang tepat.”
Tessa tersenyum, senyum yang penuh rasa haru. “Terima kasih, Viko. Kamu selalu tahu apa yang harus aku dengar. Aku tahu ini tidak mudah buat kamu, tapi aku yakin kamu akan menemukan kebahagiaanmu sendiri. Kamu pantas mendapatkannya.”
Aku mengangguk pelan, meski hatiku terasa begitu berat. “Aku akan baik-baik saja,” jawabku, meskipun aku tahu itu hanya kata-kata. “Kamu sudah memilih jalanmu, dan aku… aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu mendukungmu, meski aku harus belajar untuk melepaskan.”
Tessa mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku… aku tidak ingin kita kehilangan satu sama lain, Viko. Mungkin tidak sebagai apa yang kita inginkan, tapi aku tetap ingin kita menjadi bagian dari hidup satu sama lain.”
Aku menghela napas, merasa begitu rumit, begitu penuh penyesalan. “Aku tahu, Tessa. Aku akan selalu ada untukmu. Hanya saja, mungkin tidak dengan cara yang kita bayangkan dulu.”
Kami saling menatap, sejenak, seperti menunggu waktu untuk berbicara lebih banyak, tapi pada akhirnya tidak ada yang bisa diucapkan lagi. Kami sudah sampai di titik yang tak bisa diputar kembali.
Tessa berbalik, kembali ke pelukan Darel yang menunggu di depan pintu gereja. Aku menatapnya, perasaan dalam hatiku seperti retakan yang tidak akan pernah sembuh. Aku berdiri di sana, menyaksikan dia berjalan menjauh, menuju kehidupan baru yang akan segera dimulai.
Aku berbalik, meninggalkan gereja itu dengan langkah yang terasa begitu berat. Aku tahu aku tidak akan pernah benar-benar melupakan Tessa. Namun, aku juga tahu, mungkin ini saatnya untuk benar-benar melepaskan.
Aku berharap, di satu titik nanti, aku akan menemukan cara untuk merelakan, dan bahwa ada kebahagiaan lain yang menanti—meskipun itu tidak lagi bersama Tessa.
Pada akhirnya, cinta yang tak terucap memang harus dibiarkan pergi. Walau hati masih menahan, kenyataan harus diterima—bahwa terkadang, melepaskan adalah satu-satunya cara untuk melangkah maju.
Waktu akan menyembuhkan luka, dan meski perasaan itu tak pernah benar-benar hilang, ada harapan baru yang menanti di depan. Mungkin tak bersama orang yang diinginkan, tapi hidup terus berjalan, dan siapa tahu, di masa depan ada cinta yang datang dengan cara yang lebih baik.