Daftar Isi
Hai, pernah nggak sih, kamu ngerasa ada cinta yang nggak sempat diungkapin, tapi terus jadi bayang-bayang di hidup kamu? Nayla sih iya, dan kadang, cinta yang terpendam itu malah jadi lebih sakit daripada yang kelihatan.
Kisah ini bakal ngebawa kamu ke dunia di mana perasaan nggak pernah sempat keluar, dan akhirnya… semuanya berakhir dengan cara yang paling nggak kamu harapin. Jadi, siap-siap aja ngerasain apa yang Nayla rasain dalam cerita ini. Ini bukan kisah cinta yang gampang, tapi lebih ke perasaan yang nggak pernah bisa dijadiin nyata.
Cinta Tak Terucap
Di Balik Hujan yang Sama
Malam itu, hujan turun deras tanpa tanda-tanda akan berhenti. Langit kota dihiasi kelam pekat, tak ada bulan, tak ada bintang—hanya gemuruh yang kadang menyela, berbaur dengan aroma tanah basah yang tertiup angin. Aku berdiri di bawah kanopi kafe kecil di ujung jalan, menatap butiran hujan yang jatuh tanpa henti. Jaketku mulai lembap, rambutku sedikit berantakan, tapi aku terlalu larut dalam pikiran, seolah-olah hujan ini sedang bicara padaku, seolah-olah ia tahu apa yang kuhadapi malam ini.
Lalu, suara langkah mendekat, samar, teredam oleh gemericik air. Aku mengangkat kepala, dan di sanalah dia. Raka.
Aku terpaku. Duniaku mendadak berhenti berputar. Raka berdiri beberapa meter dariku, sama-sama terjebak di bawah kanopi, dengan mata yang tak lagi memancarkan cahaya seperti dulu. Dia tampak lebih dewasa, lebih tenang, tapi ada sesuatu yang kosong dalam tatapannya. Mungkin sama kosongnya dengan diriku, yang selama bertahun-tahun menyimpan sesuatu yang tak pernah bisa kuucapkan.
Dia melihatku, dan sejenak, aku melihat sekilas kehangatan yang sempat hilang itu muncul di matanya.
“Nayla?” suaranya pelan, nyaris tenggelam dalam derasnya hujan.
Aku tersenyum kecil, berusaha menahan segala emosi yang tiba-tiba menyerbu, lalu mengangguk. “Kamu masih ingat aku, ya?”
Raka mengangguk, ada senyum kecil di bibirnya, tapi senyum itu tak sepenuhnya sampai ke matanya. “Gimana bisa lupa? Kamu masih sama seperti dulu.”
Aku tertawa pelan, meski sebenarnya, hatiku mulai sakit. “Tapi kamu beda,” kataku, nyaris tanpa berpikir.
Senyumnya makin menghilang. “Waktu, Nay. Mungkin itu yang bikin kita jadi berbeda sekarang.”
Aku mengangguk pelan, menunduk menatap jalan yang basah. Kami sama-sama tahu apa maksudnya, tapi tak ada yang berani mengatakannya. Seperti ada jarak tak terlihat yang terbentang di antara kami, jarak yang sebenarnya lebih dari sekadar waktu atau ruang.
“Jadi, kamu udah lama di kota ini?” tanyaku akhirnya, mencoba mengalihkan pembicaraan.
Dia menghela napas, mengangkat bahu. “Cukup lama. Kerja di sini beberapa tahun terakhir.”
“Oh…” gumamku, kehabisan kata. Entah kenapa, semua yang ingin kukatakan selama bertahun-tahun mendadak tersangkut di tenggorokan. Aku hanya bisa melihat wajahnya, wajah yang selama ini menjadi bayangan di pikiranku, tapi kini nyata, di hadapanku, hanya beberapa meter dari jangkauanku. Tapi rasanya, dia jauh. Terlalu jauh.
“Kamu sendiri, Nay? Gimana kabar kamu?” tanyanya pelan.
Aku menelan ludah, berusaha menyembunyikan gemetar di suaraku. “Aku baik-baik aja… aku…” Aku terdiam, entah kenapa susah sekali mengeluarkan kata-kata itu.
“Benarkah?” tanyanya, dengan nada yang lebih dalam. Mata kami bertemu, dan seketika aku tahu bahwa dia tahu. Aku tak baik-baik saja. Selama ini aku hanya berpura-pura, menutupi semuanya dengan senyum dan tawa yang kupaksakan.
“Raka, kamu ingat… dulu kita selalu duduk di taman belakang sekolah kalau hujan turun?” tanyaku tiba-tiba. Aku sendiri tidak tahu kenapa menanyakannya, mungkin hanya ingin mengembalikan rasa nyaman yang pernah kami miliki dulu.
Dia tersenyum, kali ini senyumnya tulus, meski samar. “Ingat banget. Kamu suka bilang kalau hujan itu seperti pelukan, kan? Pelukan dari langit.”
Aku mengangguk, ikut tersenyum meski dalam hatiku ingin menangis. “Iya… hujan selalu bikin aku merasa tenang. Seperti sekarang ini.”
Raka terdiam, memandang hujan dengan mata yang tampak mengingat masa lalu. “Dulu aku pikir, hujan itu cuma air yang jatuh tanpa tujuan. Tapi kamu bilang kalau hujan datang buat menghapus apa yang seharusnya pergi.”
Aku menatapnya, tak bisa menahan diri lagi untuk tidak bertanya. “Raka, kenapa kamu nggak pernah bilang… perasaanmu dulu?”
Dia terdiam, wajahnya memaling ke arah lain, seolah mencari sesuatu di balik hujan yang deras. Lalu, ia menghela napas panjang, senyum getir menghiasi bibirnya.
“Karena aku pengecut, Nay. Karena aku takut kehilangan kamu… bahkan sebagai teman sekalipun,” jawabnya, suaranya hampir tenggelam dalam gemuruh hujan.
Aku merasakan hatiku bergetar, perasaan yang dulu kupikir sudah hilang sekarang kembali, menghantamku bertubi-tubi. “Tapi aku juga nunggu kamu, Raka,” lirihku, setengah berbisik.
Raka hanya diam, dan saat itu, aku tahu bahwa kami telah terlambat. Terlalu banyak waktu berlalu tanpa kata-kata yang terucap. Cinta yang hanya dipendam, tanpa pernah diberikan ruang untuk tumbuh atau berkembang. Aku menyesal. Teramat menyesal.
“Kadang, kita perlu berhenti menunggu, Nay. Mungkin… mungkin seharusnya kita berhenti menunggu sejak dulu,” katanya dengan suara pelan, namun pasti.
Aku ingin memeluknya, ingin menyampaikan semua perasaan yang selama ini kusimpan sendiri, tapi langkahku tetap tertahan. Hujan terus menetes deras, menyembunyikan air mata yang mulai mengalir di pipiku. Entah kenapa, aku merasa hujan ini adalah tangis kami yang tertahan, yang selama ini tak pernah bisa dikeluarkan.
“Kamu udah bahagia sekarang?” tanyaku, meski sebenarnya takut mendengar jawabannya.
Dia mengangguk perlahan, namun tatapannya kosong. “Aku baik-baik saja, Nay. Hanya… kadang merasa ada yang kurang.”
“Kurang apa?” tanyaku dengan suara yang hampir hilang.
Dia menatapku dalam-dalam, dan senyum pahit itu kembali terlukis di wajahnya. “Kurang kamu.”
Jawabannya membuat hatiku sesak, seolah seluruh kenangan, seluruh rasa yang pernah ada di antara kami menumpuk begitu saja, memenuhi ruang dadaku. Aku ingin menjerit, ingin mengatakan bahwa aku juga merasa sama, tapi semuanya sudah tak ada gunanya.
Akhirnya, kami berdiri di sana, dalam diam, hanya memandang hujan yang jatuh tanpa henti. Aku tahu, pertemuan ini mungkin akan menjadi akhir dari semua harapan yang pernah kumiliki. Cinta yang tak pernah bisa kuraih, harapan yang tak pernah bisa kutemukan.
Dan di bawah hujan malam itu, aku dan Raka akhirnya hanya bisa berbisik dalam hati, dengan kata-kata yang tidak pernah akan terucapkan, cinta yang akan tetap terpendam, selamanya.
Rasa yang Tak Terucap
Hujan berhenti sekitar satu jam setelah pertemuan itu, menyisakan genangan air di sepanjang jalan. Setelah mengucapkan selamat tinggal, aku berjalan pulang dengan langkah pelan, membiarkan setiap kenangan yang dibangkitkan oleh pertemuan tadi menghantuiku. Jalanan kota tampak lengang, hanya beberapa kendaraan yang lewat sesekali. Langkahku terasa berat, seperti ada beban yang menahan setiap gerakanku.
Aku sampai di apartemen dan duduk di tepi ranjang sambil menatap ponselku. Sejujurnya, aku tak berharap apa-apa, tapi entah kenapa aku berharap ada pesan darinya. Setelah bertahun-tahun, masih ada rasa yang menuntut untuk diperhatikan, untuk didengarkan.
Dan benar saja, di layar ponselku ada pesan dari Raka.
“Kamu masih suka kopi hitam tanpa gula?”
Aku tersenyum kecil membaca pesannya. Pertanyaan sederhana yang terasa begitu akrab. Aku tak bisa menahan diri untuk membalas.
“Masih. Kamu sendiri masih suka teh manis panas?”
Pesanku terkirim, dan tak butuh waktu lama untuknya membalas.
“Masih. Selalu.”
Percakapan sederhana, tetapi justru itulah yang membuatku merasa hangat. Seolah-olah ada sepotong kecil dari masa lalu yang kembali mengisi kekosongan di hatiku. Namun, aku tahu, kami hanya berbicara di pinggiran perasaan, menyentuh hal-hal ringan tanpa pernah berani menyelami apa yang sebenarnya ingin kami katakan.
Keesokan harinya, aku mencoba menjalani hari seperti biasa. Kembali bekerja, mencoba tenggelam dalam tumpukan dokumen dan laporan yang seakan tak ada habisnya. Namun, pikiranku tak bisa berhenti memutar ulang percakapan semalam. Aku mencoba bertanya pada diri sendiri, apa yang sebenarnya aku inginkan dari Raka? Apa yang selama ini membuatku begitu sulit melepaskan?
Sore itu, aku memutuskan untuk duduk di kedai kopi yang biasa aku kunjungi selepas kerja. Aroma kopi memenuhi ruangan, suara mesin espresso yang berdengung, dan suara langkah kaki para pelanggan yang berlalu-lalang—semuanya membuatku merasa tenang. Aku duduk di sudut, tempat yang selalu kusuka, dan memesan kopi hitam tanpa gula.
Tak lama kemudian, aku mendengar langkah yang familier mendekat. Aku menoleh, dan di sanalah dia—Raka, membawa dua cangkir kopi. Salah satunya jelas teh manis panas. Dia tersenyum kecil, dan tanpa mengatakan apa-apa, dia duduk di hadapanku. Ternyata, pesan kami semalam bukan hanya sekadar pesan.
“Kamu tahu, kan, aku gak akan menolak kopi hitam kalau kamu yang ajak,” katanya, menyandarkan punggung ke kursi.
Aku tertawa pelan, mencoba bersikap biasa. “Jadi, masih hafal semua kebiasaan aku ya?”
Raka tersenyum sambil menatap cangkir di depannya. “Kayaknya, beberapa hal gak pernah benar-benar hilang dari ingatan. Termasuk kamu.”
Suasana hening sejenak. Kami hanya saling memandang, seolah-olah ada banyak hal yang ingin kami sampaikan, tapi tak ada satu pun yang mampu keluar. Aku tahu, dia merasa sama. Ada rasa yang seharusnya terucap, tapi selalu tertahan.
“Nayla, kamu pernah menyesal gak?” Tiba-tiba, pertanyaan itu terlontar darinya, membuatku terdiam.
“Menyesal?” tanyaku, mencoba memastikan maksudnya.
Dia mengangguk, matanya menyelidik ke dalam mataku, seolah-olah mencari jawaban yang selama ini tersembunyi. “Menyesal… karena kita gak pernah berani bicara tentang apa yang kita rasain dulu.”
Aku menunduk, mencoba mencari kata-kata yang tepat. “Kalau kamu nanya sekarang… aku akan bilang iya,” jawabku pelan. “Aku menyesal, Raka. Karena mungkin… kalau dulu kita berani jujur, ceritanya gak akan jadi begini.”
Raka menghela napas panjang. “Aku juga, Nay. Aku menyesal. Selama ini, aku berpikir kalau kita hanya perlu diam, biar perasaan itu hilang sendiri. Tapi ternyata… enggak segampang itu.”
“Kenapa kamu gak pernah bilang?” tanyaku, suaraku sedikit bergetar.
Dia terdiam, mengangkat bahu. “Mungkin karena aku takut. Aku takut kalau aku bilang, kamu malah pergi. Atau mungkin… aku takut mendengar jawaban yang enggak sesuai harapanku.”
Aku mengangguk, merasakan sakit yang dulu tertahan kini semakin terasa menyakitkan. “Lucu, ya. Kita berdua takut, dan malah akhirnya kita kehilangan satu sama lain.”
Raka menatapku dalam-dalam. “Tapi sekarang kita bertemu lagi. Mungkin… mungkin kita bisa memperbaiki sesuatu yang dulu kita tinggalkan, Nay.”
Pernyataan itu membuat hatiku tersentak. Di satu sisi, aku bahagia mendengarnya, tapi di sisi lain, aku tahu bahwa kami tak lagi sama seperti dulu. Waktu telah mengubah banyak hal, dan aku tidak yakin bahwa perasaan yang dulu tertahan bisa kembali seperti semula.
“Raka… aku gak tahu apakah perasaan itu masih sama,” jawabku jujur. “Mungkin kita sudah terlalu lama menunggu, dan perasaan itu… perasaan itu sudah berubah menjadi kenangan.”
Dia mengangguk pelan, lalu tersenyum dengan senyum getir yang selalu aku ingat. “Mungkin kamu benar. Mungkin yang kita cintai sebenarnya bukan diri kita yang sekarang, tapi diri kita yang dulu.”
Kata-katanya menghantamku keras, membuatku terdiam. Aku tahu apa yang dia maksud. Kami mencintai versi satu sama lain yang ada di masa lalu—saat semua masih sederhana, saat dunia masih penuh harapan dan impian yang belum tercemar oleh kenyataan hidup. Kami mencintai kenangan itu, bukan realita yang ada di hadapan kami sekarang.
“Aku senang kita ketemu lagi, Raka,” kataku, suaraku serak.
Dia mengangguk, menatapku penuh haru. “Aku juga, Nay. Walaupun semuanya mungkin sudah berubah, setidaknya aku bisa bicara sama kamu lagi.”
Kami menghabiskan sore itu dalam keheningan yang nyaman. Tak ada janji untuk masa depan, tak ada ucapan manis tentang kesempatan kedua. Yang ada hanyalah dua orang yang pernah saling mencintai, duduk berdua, berbagi rasa yang terlambat diucapkan.
Ketika matahari mulai tenggelam, aku tahu bahwa pertemuan ini mungkin adalah awal sekaligus akhir. Bahwa mungkin, tak ada lagi perasaan yang perlu ditahan atau kata-kata yang harus disembunyikan.
Saat kami berpisah di depan kafe, Raka hanya berkata, “Hati-hati, Nay.” Kata-kata yang sederhana, tapi sarat makna.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Kamu juga, Raka.”
Dia menatapku sejenak, lalu berjalan menjauh. Aku berdiri di sana, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di keramaian kota, menyadari bahwa takdir kami mungkin sudah tertulis, tapi tetap tak bisa diubah.
Di tengah keramaian yang melingkupi kami, aku tahu bahwa perasaan kami akan tetap terpendam di tempatnya, seperti bunga yang tumbuh namun tak pernah mekar. Kami berdua sadar, mungkin cinta yang ada di antara kami akan tetap menjadi misteri yang tak terselesaikan.
Dan malam itu, aku pulang dengan hati yang penuh sesak, namun sekaligus merasa lega—karena setidaknya, kami sudah berani jujur pada diri kami sendiri.
Sisa Rasa yang Tak Pernah Padam
Malam setelah pertemuan itu, aku duduk di balkon apartemen, menatap langit yang tampak sunyi. Bintang-bintang seperti berlomba-lomba menampilkan sinarnya, tapi seberapa terang pun, rasanya tak ada yang mampu mengisi kekosongan di hatiku. Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri, tapi yang kurasakan justru adalah perasaan kehilangan yang mendalam. Kehilangan sesuatu yang tak pernah kumiliki—sesuatu yang hanya jadi bayang-bayang dalam hidupku.
Di dalam kamar, ponselku bergetar pelan, dan layar menampilkan pesan singkat dari Raka.
“Terima kasih untuk hari ini, Nay. Mungkin kita terlambat, tapi aku akan selalu menghargai setiap momen kita.”
Aku hanya menatap pesan itu, jari-jariku ragu untuk mengetikkan balasan. Sejujurnya, aku ingin membalas dengan kata-kata yang dapat memberinya harapan, tapi aku tahu bahwa kami berada di persimpangan yang berbeda. Di lubuk hatiku, ada bagian yang ingin memperjuangkan dia, memperjuangkan semua yang pernah ada di antara kami. Namun, bagian lain dari diriku sadar, bahwa mungkin yang terbaik adalah melepaskan.
Satu jam berlalu tanpa balasan dari pihakku, dan akhirnya aku mengetik singkat:
“Terima kasih juga, Raka. Semua ini akan selalu jadi bagian penting dalam hidupku.”
Hari-hari berlalu tanpa pesan lain dari Raka. Meskipun kami sudah saling jujur, aku tahu bahwa hubungan kami tak bisa kembali seperti semula. Dia terlalu penting untuk dijadikan sekadar kenangan, tetapi terlalu sulit untuk diperjuangkan di masa kini. Rasa itu ada, tapi entah mengapa, hanya bisa bertahan sebagai perasaan terpendam.
Beberapa minggu kemudian, saat aku sedang merapikan meja kerjaku, aku menemukan sebuah buku catatan tua yang sudah kusimpan sejak lama. Aku membuka halaman-halamannya, dan menemukan tulisan-tulisanku tentang Raka—tentang perasaanku padanya saat dulu kami masih sering bertemu, saat dunia terasa lebih sederhana.
Di halaman itu, ada puisi pendek yang kutulis saat perasaanku terhadap Raka mulai tumbuh:
“Jika engkau adalah hujan yang jatuh di tengah malam,
aku adalah tanah yang diam-diam merindukan kehadiranmu,
menyerap tiap tetes yang kau tinggalkan,
meski kutahu keesokan harinya, kau tak lagi ada di sana.”
Aku tersenyum pahit, menyadari betapa dalam rasa yang kupendam selama ini. Selalu ada keinginan untuk memilikinya, namun rasa takut dan ragu tak pernah benar-benar memberi kami ruang untuk melangkah bersama. Sekarang, saat kami sudah dewasa dan jalan hidup membawa kami ke arah yang berbeda, aku hanya bisa merasakan penyesalan yang mendalam. Penyesalan yang terlambat—karena mungkin, kami tak pernah berani cukup untuk mengungkapkan semua ini lebih awal.
Hari Sabtu itu, aku menerima undangan reuni dari teman-teman sekolah kami dulu. Biasanya aku malas untuk menghadiri acara semacam ini, tetapi entah mengapa, kali ini aku merasa perlu datang. Mungkin karena aku merasa akan ada kepastian yang kudapatkan, atau mungkin hanya sekadar untuk melihat Raka sekali lagi, dalam keramaian yang pernah menyatukan kami bertahun-tahun lalu.
Saat tiba di tempat acara, aku segera mengenali beberapa wajah teman lama yang masih kuingat. Mereka menyapaku, bercanda, dan mengenang masa-masa SMA yang penuh kenangan. Suasana reuni menghangat, dan aku hampir merasa seperti kembali ke masa remaja—masa di mana aku pertama kali mengenal Raka.
Di tengah keramaian, mataku mencari sosok yang paling ingin kulihat. Dan tak lama kemudian, aku menemukannya. Raka berdiri di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya, tapi kali ini dia bersama seorang wanita yang menggandeng lengannya erat. Wanita itu tersenyum hangat padanya, dan mereka tampak begitu dekat. Hati kecilku merasakan kepedihan yang dalam—seakan-akan aku melihat kenyataan yang selama ini kutakutkan.
Aku memberanikan diri mendekati mereka, menahan gemetar di tangan dan senyum yang sekuat mungkin kusembunyikan dari kegelisahan. Raka melihatku, dan dia tersenyum hangat.
“Nayla, ini Vina… tunanganku,” katanya memperkenalkan. Suaranya lembut, tapi setiap kata terasa seperti pisau yang menggores hatiku.
Aku berusaha untuk tetap tenang, mengulurkan tangan dan tersenyum pada Vina. “Senang bertemu denganmu, Vina.”
Vina menyambut tanganku dengan ramah. “Senang bertemu juga, Kak Nayla. Raka sering cerita tentang Kakak. Katanya, kalian teman lama yang sangat dekat,” ucapnya dengan senyum tulus yang membuatku merasa bersalah pada perasaan yang tak pernah kuungkapkan.
“Oh, iya, kami memang teman lama,” jawabku, mencoba menyembunyikan rasa sesak yang semakin menghimpit.
Raka hanya tersenyum, tapi di matanya, aku bisa melihat sesuatu yang tak terucap—rasa yang masih tersisa, meskipun semuanya sudah terlambat. Aku bisa merasakan bahwa dia pun sama sepertiku, masih membawa perasaan itu, tapi sudah memilih untuk merelakannya.
Kami berbincang sejenak, tentang hal-hal ringan dan kenangan lama. Namun, setiap kata terasa berat, setiap tawa terasa palsu. Aku tahu, ini adalah perpisahan yang sesungguhnya. Tidak ada lagi yang perlu diucapkan, karena semuanya sudah tertinggal di masa lalu.
Saat acara hampir selesai, aku berpamitan lebih dulu. Raka mengantarku sampai di luar, meninggalkan Vina sejenak di dalam ruangan. Hening mengisi udara di antara kami, hanya suara riuh dari dalam gedung yang terdengar samar-samar.
“Nayla…” dia memanggil pelan. Suaranya bergetar, dan aku tahu bahwa ada banyak hal yang ingin dia katakan.
Aku menatapnya, berusaha menahan air mata yang hampir tumpah. “Raka, aku tahu… kita sudah memilih jalan kita masing-masing. Mungkin ini yang terbaik.”
Dia menunduk, kemudian menatapku lagi dengan mata yang dipenuhi rasa kehilangan. “Andai saja kita berani jujur dulu, mungkin ceritanya bisa lain.”
Aku tersenyum pahit. “Tapi kita enggak pernah berani, Raka. Dan mungkin, kita memang ditakdirkan untuk menyimpan semua ini sendiri.”
Dia mengangguk, dan di saat itu, aku tahu bahwa inilah akhirnya. Tak ada lagi yang bisa kupegang, tak ada lagi yang bisa kuharap. Dia adalah kisah yang tak pernah selesai, bagian dari diriku yang akan selalu kosong.
Kami berdiri di sana, membiarkan detik-detik berlalu tanpa kata. Akhirnya, aku yang melangkah pergi lebih dulu, tanpa menoleh lagi. Rasanya seolah-olah aku meninggalkan sebagian dari diriku di sana—bersamanya, di tengah malam yang dingin.
Aku pulang dengan hati yang remuk, tapi entah mengapa, ada rasa lega yang perlahan muncul. Raka akan selalu menjadi bagian dari hidupku yang tak pernah selesai, bagian yang tak pernah kuselesaikan. Namun, aku tahu, kisah ini adalah pelajaran bagiku untuk melepaskan.
Di dalam kamar, aku duduk sambil menatap cermin. Wajahku masih memancarkan kesedihan, tapi dalam kesedihan itu, aku mulai melihat diriku yang baru. Diriku yang belajar merelakan, belajar menerima bahwa cinta yang terpendam mungkin tak akan pernah mencapai tujuan, tapi bisa tetap menjadi kenangan yang berharga.
Raka dan aku, kami adalah dua orang yang dipersatukan oleh perasaan, namun dipisahkan oleh keraguan. Dan malam ini, aku tahu bahwa meskipun cinta itu tak pernah terucap, aku akan selalu mengenangnya sebagai cinta yang pernah ada, cinta yang mengajarkanku untuk tetap tegar, meski dalam kesunyian.
Dengan itu, aku menutup buku harian lamaku, menyimpan semua kenangan tentang Raka di dalamnya, dan untuk pertama kalinya, aku benar-benar siap untuk melepaskannya.
Perpisahan yang Tak Terucap
Malam itu, aku kembali berdiri di tepi jendela, menatap ke luar dengan pikiran yang kosong. Tak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan, tak ada lagi yang harus diperjuangkan. Aku sudah cukup lelah dengan perasaan ini—perasaan yang hanya menyisakan sisa-sisa kenangan yang tak bisa diubah. Seperti langit yang tak bisa dikembalikan ke masa lalu, aku tahu bahwa ada banyak hal yang sudah berubah, dan itu adalah kenyataan yang harus kuterima.
Beberapa minggu berlalu setelah reuni itu, dan aku mencoba untuk kembali menjalani hidup dengan cara yang baru. Semua terasa berbeda, lebih hampa, namun aku tahu, aku harus terus berjalan. Raka, dengan semua kenangan dan rasa yang tak sempat terucap, kini menjadi bagian dari masa lalu yang perlahan memudar. Aku menyadari bahwa hidup tidak berhenti hanya karena satu cerita tidak pernah selesai.
Suatu pagi yang cerah, saat aku sedang memeriksa email, aku melihat sebuah pesan dari Raka. Aku membuka pesan itu dengan perasaan campur aduk—rasa penasaran, harapan yang mungkin masih ada, dan ketakutan akan apa yang akan kutemukan di sana.
“Nayla, aku ingin mengucapkan terima kasih untuk semua yang pernah kita jalani bersama. Meskipun kita tidak pernah sempat menyelesaikan apa yang ada di antara kita, aku akan selalu menghargai setiap detiknya. Aku sudah menemukan jalanku sekarang, dan aku harap kamu juga menemukan kebahagiaanmu. Kita berdua sudah cukup lama terjebak dalam kenangan, dan sekarang, saatnya untuk melangkah maju.”
Pesan itu singkat, namun setiap kata yang tertulis di sana terasa seperti luka yang perlahan mengering. Aku menatap layar ponselku, tidak tahu apa yang harus kulakukan dengan semua perasaan yang tiba-tiba muncul. Aku tersenyum, bukan karena bahagia, tetapi karena aku tahu ini adalah akhir dari perjalanan kami.
Aku mengetik balasan singkat: “Terima kasih, Raka. Aku akan selalu mengingat kita, meskipun kita tak pernah cukup berani.”
Pesan itu aku kirimkan, lalu menutup ponselku. Ada rasa yang sulit dijelaskan—entah itu kebahagiaan atau kesedihan, mungkin keduanya, mungkin juga keduanya saling melengkapi. Tetapi yang jelas, aku tahu aku tak bisa kembali. Tak bisa kembali ke masa lalu. Dan tak bisa lagi mengharapkan sesuatu yang tidak bisa kami miliki.
Hari demi hari berlalu, dan aku mulai menemukan kedamaian. Tidak ada lagi bayang-bayang Raka yang mengganggu tidurku. Tidak ada lagi kerinduan yang menyiksa. Aku mulai berjalan dengan kakiku sendiri, menghadap masa depan yang tidak lagi didominasi oleh kenangan akan dia. Aku mulai membuka lembaran baru dalam hidupku, dengan segala kebaikan dan kebahagiaan yang datang dengan sendirinya.
Namun, dalam setiap perjalanan baru, aku tahu akan selalu ada jejak-jejak masa lalu yang tertinggal. Cinta yang tak terucap, rasa yang terpendam, semuanya masih ada di dalam diriku, tetapi kali ini aku bisa melangkah tanpa beban. Aku bisa menerima bahwa tidak semua kisah memiliki akhir yang bahagia, dan kadang, kebahagiaan datang dari keberanian untuk melepaskan.
Aku menatap cermin di kamar, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tersenyum dengan tulus. Mungkin, perpisahan itu adalah hal terbaik yang bisa kami lakukan—untuk masing-masing kami, untuk hidup kami yang baru. Mungkin cinta kami tak pernah cukup untuk bertahan, tetapi kenangan itu akan selalu ada, sebagai bagian dari perjalanan hidup yang membentuk siapa aku sekarang.
Malam itu, aku berdiri di jendela yang sama, menatap ke luar. Bulan menyinari langit dengan lembut, dan aku tahu, meskipun segala sesuatu telah berubah, perasaan itu akan tetap ada di dalam hati. Tapi kini, aku tidak lagi berharap.
Aku menutup mataku dan menghirup udara malam yang segar. Aku siap untuk melangkah ke depan, tanpa menoleh ke belakang. Karena, meskipun cinta itu terpendam dan terlambat, aku tahu bahwa perjalanan hidupku masih panjang. Dan, entah bagaimana, aku merasa bahwa akhirnya aku akan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya.
Jadi, kadang kita harus belajar bahwa nggak semua cinta harus berakhir bahagia. Ada yang memang harus terpendam, karena waktu dan kesempatan nggak selalu datang sesuai keinginan kita.
Tapi, meskipun akhirnya cuma kenangan yang bisa kita genggam, percayalah, cinta yang nggak terucap itu tetap ada—dan itu akan selalu jadi bagian dari cerita kita. Nayla nggak tahu apakah ini adalah akhir yang sempurna, tapi satu hal yang Nayla tahu: perasaan itu nggak pernah benar-benar hilang, cuma belajar buat hidup dengan cara yang berbeda.