Daftar Isi
Jadi, kamu pernah ngerasain nggak, ketika cinta datang tiba-tiba dan bikin hidup kamu berasa kayak film misteri? Nah, ini dia kisah Aira dan Darian, yang awalnya cuman temenan biasa, eh, tiba-tiba terjebak dalam drama cinta yang penuh teka-teki. Siapa sangka, rahasia masa lalu bisa bikin semuanya berbalik 180 derajat? Yuk, ikutin perjalanan mereka yang penuh kejutan dan momen-momen bikin baper ini!
Cinta Tak Terduga
Bayang-Bayang di Taman Malam
Angin malam terasa dingin menyentuh kulit, menyusup masuk ke sela-sela jaket yang Aira kenakan. Langkah kakinya pelan, hampir tak terdengar di atas jalan setapak yang ditutupi dedaunan kering. Lampu jalan di taman ini sudah lama tak diperbaiki, hanya satu atau dua yang masih berfungsi, memberikan sedikit penerangan dalam gelap.
Taman ini kecil, terletak di sudut kota yang hampir terlupakan. Tidak banyak orang yang datang ke sini lagi, terutama di malam hari. Tempat ini lebih sering kosong, hanya dihuni oleh suara gemerisik angin dan serangga malam yang tak pernah tidur. Namun malam ini, ada sesuatu yang berbeda.
Aira memegang erat surat di tangannya. Tulisan di kertas itu hanya beberapa baris, tapi cukup untuk membuat hatinya resah sepanjang hari. Tidak ada nama pengirim, tidak ada tanda siapa yang mengirimkan, hanya pesan yang singkat dan penuh misteri: “Temui aku di taman. Ada sesuatu yang harus kau ketahui.”
Dia menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. Kenapa dia harus datang? Logikanya bilang untuk mengabaikannya, tapi rasa penasaran menariknya lebih kuat. Ada sesuatu tentang tempat ini, tentang kata-kata dalam surat itu, yang seakan memanggilnya.
Semakin dekat dia ke bangku kayu di ujung taman, semakin tajam perasaannya. Gelap malam yang melingkupi taman ini seperti tirai yang menyembunyikan rahasia di baliknya. Dan di sanalah dia, pria dengan jaket hitam yang tudungnya menutupi sebagian wajahnya, duduk diam di bangku tua itu.
Aira berhenti beberapa meter darinya. “Kamu yang kirim surat itu?”
Pria itu menoleh perlahan, tapi tidak langsung menjawab. Tatapannya dingin, namun ada sesuatu di balik matanya, seolah-olah dia tahu lebih banyak dari yang Aira bisa bayangkan. “Ya,” suaranya pelan, hampir berbisik, tapi jelas.
“Aku nggak kenal kamu.” Aira mencoba menahan kegugupan yang mulai merayap. Tangan kanannya bergetar sedikit, tapi dia memaksakan dirinya untuk tetap tenang.
“Kamu nggak kenal aku sekarang,” jawab pria itu, suaranya tetap tenang. “Tapi aku kenal kamu. Lebih dari yang kamu kira.”
Aira mengernyit, mencoba mencerna kata-kata itu. “Dari mana kamu tahu namaku?”
Pria itu mengangkat bahu seolah-olah pertanyaan itu tak penting. “Nama nggak susah didapat. Yang lebih penting adalah kenangan.”
“Kenangan?” Aira melangkah setengah langkah maju, sekarang berdiri lebih dekat dengannya. “Apa maksudnya?”
Pria itu berdiri, perlahan, tapi tetap menjaga jarak. Dia tampak tinggi, lebih tinggi dari yang Aira perkirakan, dan aura misterius di sekelilingnya semakin kuat. “Kamu mungkin lupa,” katanya, dengan nada yang lebih dalam, “tapi aku nggak pernah lupa.”
Aira merasa napasnya tercekat sejenak. Ada sesuatu dalam suaranya, dalam cara dia berbicara, yang membangkitkan sesuatu di dalam ingatannya. Tapi, sekeras apapun dia mencoba mengingat, wajah pria ini tetap asing. Siapa dia? Apa yang dia inginkan?
“Kita pernah ketemu?” tanya Aira, meskipun nalurinya sudah tahu jawaban itu.
Pria itu tidak langsung menjawab. Dia hanya menatap lurus ke arah Aira, matanya seolah menembus ke dalam jiwanya. “Sepuluh tahun lalu. Di tempat ini.”
Taman ini? Sepuluh tahun yang lalu? Aira mencoba mengingat kembali masa lalunya. Memori samar muncul di pikirannya—taman ini, bangku tua itu, dan dirinya yang masih kecil, selalu datang ke sini dengan buku di tangannya. Tapi, tidak ada yang lebih dari itu. Hanya kenangan sederhana masa kecil yang seharusnya tidak berarti apa-apa.
“Kamu… ingat?” suara pria itu lebih lembut sekarang, seolah dia sedang menunggu sesuatu yang lebih dari Aira.
“Aku… nggak tahu,” jawab Aira, bingung. “Apa maksudnya sepuluh tahun lalu?”
Pria itu tertawa kecil, tapi tidak ada kegembiraan di matanya. “Aku anak laki-laki yang selalu memperhatikan kamu dari jauh. Yang ingin mendekat, tapi nggak pernah bisa.”
Kata-katanya menghantam Aira seperti gelombang. Ingatan tentang bocah itu, yang selalu duduk di ujung taman, jauh darinya, perlahan-lahan kembali ke benaknya. Dia memang sering melihatnya, tapi bocah itu tidak pernah mendekat, tidak pernah berbicara. Dan sekarang, dia berdiri di hadapannya, dengan wajah yang telah dewasa namun menyimpan bayangan masa lalu.
“Kamu… bocah itu?” suara Aira hampir hilang dalam malam.
Pria itu mengangguk. “Aku nggak pernah punya cukup keberanian dulu. Tapi sekarang aku di sini, karena aku nggak mau menunggu lagi.”
Aira merasa tubuhnya melemas. Semua ini begitu tiba-tiba, begitu tak terduga. Orang yang dia pikir telah lama terlupakan, kembali muncul di hadapannya dengan sebuah pengakuan yang dia sendiri tak tahu bagaimana harus merespons.
“Kenapa sekarang?” tanya Aira, mencoba memahami logika di balik semua ini. “Kenapa kamu nunggu selama ini?”
Pria itu menatapnya, dan untuk pertama kalinya, Aira melihat kelembutan di balik tatapan tajamnya. “Karena aku terlalu takut sebelumnya. Takut kalau kamu nggak ingat, atau mungkin lebih buruk lagi, kamu nggak peduli.”
Aira tak bisa membalas. Dia memang tak pernah berpikir tentang bocah itu setelah bertahun-tahun berlalu. Baginya, masa kecil hanyalah bagian dari kenangan yang terlewat, bukan sesuatu yang terus terikat dengan masa kini.
“Tapi aku tetap di sini,” lanjut pria itu, suaranya lebih dalam. “Karena meski aku nggak berani waktu itu, aku tahu kalau ini adalah sesuatu yang nggak bisa aku abaikan. Ini lebih dari sekadar kenangan, Aira. Ini… perasaan yang udah lama aku simpan.”
Aira terdiam. Dia tak tahu apa yang harus dia katakan. Seluruh situasi ini begitu membingungkan, tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang perlahan mulai terbuka. Sebuah perasaan yang ia tak tahu bagaimana cara menjelaskannya—sebuah koneksi yang tak terduga.
“Aku nggak tahu harus bilang apa,” gumam Aira, jujur.
Pria itu tersenyum kecil. “Kamu nggak perlu bilang apa-apa. Aku nggak datang untuk memaksakan sesuatu. Aku cuma… pengen kamu tahu.”
Angin berhembus kembali, menggoyangkan daun-daun yang berjatuhan di sekeliling mereka. Malam yang dingin terasa sedikit lebih hangat dengan kehadiran pria ini. Di bawah langit malam yang gelap, di taman yang hampir terlupakan, ada sesuatu yang perlahan-lahan kembali muncul di antara mereka.
Dan Aira tahu, meskipun ia belum sepenuhnya mengerti, malam ini bukan akhir dari cerita ini. Sesuatu baru saja dimulai—sesuatu yang tak pernah dia duga.
Sepuluh Tahun yang Hilang
Diam-diam, Aira menyadari bahwa malam itu hanya permulaan dari sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang belum pernah ia bayangkan sebelumnya. Setelah pertemuan pertama di taman, pikirannya tidak bisa lepas dari pria misterius itu—dari kata-katanya, dari tatapan yang terasa begitu akrab namun asing.
Sepuluh tahun. Waktu yang hilang begitu saja tanpa petunjuk, namun entah kenapa, perasaan itu tidak terasa seasing yang seharusnya. Aira tidak ingat banyak tentang bocah itu, tapi ada sesuatu yang aneh, seolah-olah kenangan masa kecil mereka lebih dari sekadar momen singkat di taman.
Hari-hari berikutnya berlalu dengan cepat, tetapi pikiran Aira selalu kembali ke taman itu. Apa maksud dari semua ini? Kenapa dia menunggu selama sepuluh tahun? Dan yang paling mengganggu—kenapa sekarang?
Sore itu, ponselnya bergetar di meja. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal, tapi dia tahu betul dari siapa itu.
“Kamu mau ketemu lagi?”
Aira menatap layar ponselnya. Ada rasa ragu yang muncul di benaknya, tapi juga rasa penasaran yang tak terbendung. Tanpa banyak berpikir, jarinya bergerak mengetik jawaban, “Di mana?”
Tak butuh waktu lama, balasannya tiba.
“Tempat yang sama. 8 malam.”
Aira menghela napas panjang, menenangkan diri. Dia memandangi jam di dinding kamarnya—masih ada waktu beberapa jam sebelum pertemuan itu, tapi perasaan gelisah mulai merayap. Apa yang sebenarnya pria itu inginkan? Dan kenapa ia begitu tertarik untuk tahu?
Ketika Aira tiba di taman, matahari sudah sepenuhnya tenggelam, meninggalkan langit yang mulai gelap. Seperti malam sebelumnya, taman ini lengang, hanya terdengar suara angin yang berbisik di antara pepohonan. Lampu jalan yang temaram menciptakan bayangan aneh di sekelilingnya, membuat suasana semakin menegangkan.
Dan di sana, di bangku kayu tua yang sama, pria itu duduk lagi. Hanya saja kali ini, dia menurunkan tudung jaketnya, menampilkan wajahnya yang lebih jelas dalam keremangan. Wajahnya tampak familiar, tapi tetap saja, Aira tak bisa menghubungkannya dengan memori yang utuh.
“Kamu datang,” ucap pria itu pelan saat Aira mendekat.
Aira mengangguk tanpa berkata-kata, lalu duduk di sampingnya, merasa canggung untuk pertama kalinya. Diam di antara mereka terasa begitu tebal, hingga Aira memutuskan untuk memecahkannya.
“Kenapa sepuluh tahun?” tanyanya tiba-tiba, matanya menatap lurus ke depan, menghindari tatapan pria di sampingnya. “Kenapa baru sekarang kamu muncul?”
Pria itu diam sejenak sebelum menjawab. “Aku nggak punya pilihan. Sepuluh tahun lalu, sesuatu terjadi, sesuatu yang membuatku harus pergi. Dan aku nggak bisa kembali, sampai sekarang.”
Aira mengernyit. “Pergi? Pergi ke mana?”
“Jauh,” jawabnya singkat, hampir seperti berbisik, seolah kata itu membawa beban yang berat. “Ada hal-hal yang… harus aku lakukan. Sesuatu yang nggak bisa aku jelaskan dengan mudah.”
Aira menoleh, mencoba menangkap sorot matanya. Tapi yang dia temukan hanya kilatan kesedihan dalam tatapan pria itu. “Jadi kamu pergi tanpa sepatah kata pun? Kenapa nggak bilang apa-apa waktu itu? Kalau aku memang penting seperti yang kamu bilang, kenapa harus menunggu selama ini?”
Pria itu menunduk, tangannya mengepal di pangkuannya. “Kalau aku bilang, kamu nggak akan mengerti. Dan mungkin malah akan lebih buruk kalau kamu tahu.”
Aira merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata yang dia ucapkan. Ada misteri yang lebih dalam, sesuatu yang tak bisa dipecahkan hanya dengan percakapan biasa. Tapi dia tahu, dia tidak bisa memaksa jawaban itu keluar. Pria ini, meskipun terasa dekat, masih menyimpan begitu banyak rahasia.
“Dengar,” lanjut pria itu, nada suaranya berubah lebih lembut. “Aku tahu ini semua aneh. Aku tahu kamu mungkin merasa aku egois, muncul begitu saja setelah sekian lama. Tapi aku nggak punya pilihan lain. Waktu kita dulu—itu adalah hal terpenting yang pernah aku alami. Tapi ada sesuatu yang terjadi… sesuatu yang membuatku harus pergi.”
“Sesederhana itu?” tanya Aira, nada suaranya penuh dengan ironi. “Kamu pergi begitu saja, selama sepuluh tahun, dan sekarang kamu ingin aku memahami semua ini tanpa penjelasan?”
Pria itu menggigit bibir bawahnya, terlihat ragu. “Aku nggak bisa memberi semua jawaban sekarang. Tapi aku janji, kalau kamu percaya sama aku, aku akan menjelaskan semuanya. Sedikit demi sedikit.”
Aira menghela napas, merasa frustasi. “Kamu tahu kan, ini semua nggak masuk akal? Aku bahkan nggak ingat sepenuhnya siapa kamu dulu. Tapi sekarang kamu muncul, dengan semua misteri ini, dan aku harus percaya begitu saja?”
Pria itu menatapnya dalam, kali ini tidak ada lagi rasa ragu di matanya. “Aku nggak meminta kamu untuk langsung percaya. Aku hanya minta satu kesempatan. Satu kesempatan untuk menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi, dan kenapa ini semua penting.”
Aira terdiam lagi. Ada bagian dari dirinya yang ingin pergi, yang ingin melepaskan semua ini, karena semakin lama, semuanya terasa semakin membingungkan. Tapi ada juga bagian lain yang membuatnya tetap duduk di sana, di samping pria ini, mendengarkan setiap kata yang diucapkannya. Bagian itu, meskipun kecil, percaya bahwa apa pun yang sedang terjadi, ada sesuatu yang lebih besar di balik semua ini.
“Kamu bilang aku nggak akan mengerti,” gumam Aira, mencoba merangkai benang merah yang belum terlihat jelas. “Tapi mungkin aku bisa. Kalau kamu kasih tahu semuanya.”
Pria itu terdiam lama, sebelum akhirnya berbicara lagi. “Ada sesuatu yang harus kamu ingat. Sesuatu yang mungkin terkubur dalam ingatanmu.”
Aira mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Sepuluh tahun lalu… kita bukan cuma dua anak yang saling melihat dari kejauhan di taman ini. Ada sesuatu yang lebih dari itu. Tapi kamu lupa—atau mungkin sengaja melupakannya. Dan aku, aku di sini untuk membantumu mengingat.”
Aira merasa tubuhnya dingin. Apa yang dia maksud? Apakah ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kenangan samar tentang masa kecil? Sesuatu yang dia lupakan, atau sengaja lupakan?
“Kamu bilang aku lupa,” suara Aira hampir berbisik. “Tapi apa yang sebenarnya aku lupakan?”
Pria itu menghela napas panjang. “Kamu lupakan aku. Dan kamu lupakan… cinta kita.”
Cinta? Kata itu seperti petir yang tiba-tiba menyambar di tengah malam. Aira tak bisa mempercayai apa yang baru saja dia dengar. Cinta? Antara mereka? Sepuluh tahun yang lalu? Tidak mungkin.
“Tapi aku nggak pernah—” kata-kata Aira terhenti di tenggorokan. Ada sesuatu yang aneh terjadi. Ingatannya, yang tadinya kosong, tiba-tiba dipenuhi dengan kilasan-kilasan yang tak jelas. Taman ini, bangku itu, bocah laki-laki yang selalu ada di ujung taman… dan dirinya, yang selalu menunggu. Menunggu sesuatu, atau mungkin seseorang.
“Kamu mulai ingat, kan?” tanya pria itu, matanya tak lepas dari wajah Aira. “Sedikit demi sedikit, kamu akan mengingatnya.”
Aira menelan ludah, mencoba meredakan ketegangan yang mulai merayap di dadanya. “Apa yang sebenarnya terjadi sepuluh tahun lalu?”
Pria itu berdiri, langkahnya pelan menuju arah pohon besar di dekat mereka. Dia menyentuh batang pohon itu dengan lembut, seperti sedang mengingat sesuatu yang berharga. “Semua akan terungkap pada waktunya, Aira. Ini baru permulaan.”
Aira hanya bisa menatapnya dari jauh, merasakan perasaan asing yang terus tumbuh di dalam dirinya.
Kilasan Masa Lalu
Malam itu, Aira kembali ke rumah dengan pikiran yang berputar-putar. Semua yang dikatakan pria misterius itu membuatnya merasa seperti dia sedang terjebak dalam permainan puzzle yang rumit. Cinta? Kenangan yang terlupakan? Ia tak yakin apa yang harus dipikirkan. Namun, di sudut hatinya, ada dorongan kuat untuk mencari tahu lebih dalam.
Keesokan harinya, Aira memutuskan untuk kembali ke taman. Tempat itu sekarang terasa lebih hidup, seolah menyimpan rahasia yang menunggu untuk diungkapkan. Pikirannya terus melayang kembali pada sosok pria itu—Dia, yang menyebut dirinya Darian.
Setelah sekolah, Aira menghabiskan waktu di perpustakaan, mencoba mencari tahu lebih banyak tentang dirinya sendiri, tentang masa kecilnya, tentang kenangan yang mungkin pernah ada. Dia memeriksa album foto tua yang disimpan ibunya, berharap menemukan petunjuk. Namun, setiap halaman yang dia buka hanya menambah kebingungan.
“Aira, ada apa?” suara seorang teman memecah konsentrasi. Itu Mira, sahabatnya sejak kecil.
“Ah, nggak ada apa-apa,” jawab Aira cepat, mencoba menyembunyikan rasa gelisahnya.
Mira duduk di sampingnya, menyipitkan mata dengan curiga. “Kamu kelihatan bingung. Apa kamu memikirkan dia lagi?”
“Siapa?” tanya Aira, berusaha menjaga wajahnya tetap tenang.
“Darian. Kamu kan baru saja bertemu dengannya lagi.”
Aira menelan ludah. “Kamu tahu soal itu?”
Mira mengangguk. “Dengar, Aira. Banyak yang bilang dia pergi karena alasan tertentu. Keluarganya terlibat dalam masalah yang sangat besar, dan dia harus pergi jauh. Tapi aku nggak tahu detailnya.”
Aira terdiam, mencerna informasi baru itu. Ada banyak hal yang belum dia ketahui tentang Darian. “Maksudmu, dia pergi karena keluarganya?”
Mira mengangkat bahu. “Itu yang kudengar. Tapi ini semua rumor. Kenapa? Apa kamu merasa ada yang aneh?”
“Aku… aku merasa dia tahu sesuatu yang aku tidak ingat,” jawab Aira pelan. “Dia bilang aku melupakan banyak hal. Aku ingin tahu kenapa.”
Mira mengerutkan kening. “Kadang-kadang, kita lebih baik tidak tahu. Rahasia itu bisa menyakitkan.”
Aira menatap sahabatnya, merasakan kegelisahan di dadanya. “Tapi aku butuh tahu. Jika ada sesuatu yang hilang dari hidupku, aku ingin mengingatnya.”
Mira menghela napas. “Baiklah. Tapi hati-hati, Aira. Cinta bisa menjadi senjata bermata dua.”
Malam itu, saat Aira bersiap untuk pergi ke taman lagi, dia merasakan kombinasi rasa berani dan ketakutan. Apa yang akan dia temukan? Semakin dia berpikir tentang Darian, semakin banyak perasaan yang membanjiri dirinya. Bagaimana mungkin cinta yang terlupakan bisa terasa begitu nyata?
Setelah tiba di taman, Aira mencari sosok Darian. Hatinya berdegup kencang saat dia melihatnya duduk di bangku yang sama. Darian terlihat lebih serius malam ini, wajahnya dipenuhi ketegangan.
“Kamu datang,” ucapnya saat melihat Aira.
“Ya, aku datang,” jawab Aira, berusaha tidak menunjukkan kegelisahan di hatinya. “Aku merasa harus kembali.”
Darian mengangguk, lalu mempersilakan Aira duduk. “Aku tahu kamu punya banyak pertanyaan. Mari kita bicarakan semuanya.”
“Baiklah. Apa yang terjadi sepuluh tahun lalu?” tanya Aira langsung, tak ingin menunggu lagi.
Darian menunduk, menatap tanah seolah mencari kata-kata. “Keluargaku terlibat dalam situasi berbahaya. Kami harus pergi, dan aku harus meninggalkan segalanya, termasuk kamu.”
Aira merasakan sakit di dadanya. “Dan aku tidak tahu apa pun?”
“Tidak, Aira. Itu bukan salahmu. Kami harus menjaga keselamatanmu. Dan aku tidak ingin kamu terlibat dalam masalah yang lebih besar.”
“Masalah apa?” Aira merasa marah dan bingung sekaligus. “Kamu menyebutkan cinta kita, tapi sepertinya kamu juga menginginkanku untuk melupakan semuanya. Apa yang sebenarnya terjadi?”
Darian menarik napas dalam-dalam. “Ada lebih banyak hal yang harus kamu tahu, dan aku ingin memberitahumu. Tapi itu bisa berbahaya, dan aku tidak ingin melibatkanmu dalam itu.”
“Jadi, kamu berencana untuk pergi lagi?” Aira bertanya, suara mendesak.
“Tidak,” jawabnya tegas. “Aku di sini untuk tinggal. Tapi ada yang harus kita selesaikan dulu. Ada orang-orang yang ingin menghentikan kita. Kita harus menemukan cara untuk melindungi diri kita sendiri.”
Aira merasa terjebak di antara rasa takut dan rasa ingin tahunya yang mendalam. “Siapa mereka? Apa yang mereka inginkan darimu?”
Darian mengalihkan tatapannya, dan Aira bisa melihat keraguan di matanya. “Mereka adalah orang-orang dari masa lalu yang tidak ingin rahasia ini terungkap. Mereka akan melakukan apa saja untuk menjaga agar semuanya tetap tersembunyi.”
Aira merasa gelisah. “Tapi aku tidak mau hidup dalam ketakutan. Aku ingin tahu kebenarannya.”
Darian menatapnya, matanya berkilau dalam cahaya bulan. “Kamu berani. Itu salah satu alasan aku kembali. Tapi kamu harus berhati-hati. Setiap langkah yang kita ambil bisa membawa konsekuensi besar.”
Aira mengangguk, tetapi dalam hati dia merasa semakin penasaran. Apa yang bisa begitu berbahaya? Apa rahasia yang mengikat mereka? Dia ingin tahu lebih banyak, ingin memahami alasan di balik semua ini.
“Jadi, apa rencana kita?” tanya Aira, menguatkan diri untuk tetap fokus.
“Pertama, kita perlu menggali informasi lebih dalam. Aku ingin kamu pergi ke tempat yang ada hubungannya dengan masa lalu kita—tempat di mana semuanya dimulai. Ada orang di sana yang mungkin tahu lebih banyak,” ujar Darian.
“Apa tempat itu?” Aira bertanya.
“Sekolah lama kita,” jawab Darian. “Tempat di mana kita bertemu pertama kali.”
Aira merasakan kilatan kenangan, tetapi itu sangat samar. “Sekolah? Kita bisa ke sana?”
Darian mengangguk. “Ya, kita bisa pergi bersama. Tapi kita harus sangat berhati-hati. Jangan biarkan siapapun mengetahui apa yang kita rencanakan.”
Dengan semangat yang baru, Aira merasa seolah-olah dia sedang berdiri di ambang sesuatu yang luar biasa. Mungkin inilah saatnya untuk mengungkap kebenaran yang telah lama terpendam.
“Baiklah. Aku siap,” Aira menjawab, bertekad. “Apa pun yang terjadi, aku akan menghadapinya.”
Darian tersenyum, tetapi ada kegelapan yang mengintai di matanya. “Kita harus berangkat besok pagi. Jangan katakan pada siapa pun tentang ini.”
Aira mengangguk, tetapi rasa ingin tahunya semakin besar. Apa yang mereka akan temui di sekolah itu? Dan bagaimana masa lalu mereka akan memengaruhi masa kini? Semuanya terasa seperti jalan yang penuh rintangan, tetapi Aira bertekad untuk menemukan jawabannya, apapun risikonya.
Kebenaran yang Terungkap
Pagi itu, Aira terbangun dengan perasaan campur aduk. Semangat untuk menemukan jawaban berbaur dengan ketakutan akan apa yang mungkin mereka hadapi. Dia menyisihkan keraguan dan bertekad untuk menghadapi apa pun yang akan terjadi. Setelah bersiap-siap, Aira pergi ke taman untuk menemui Darian.
Ketika Aira tiba, Darian sudah menunggu di bangku favorit mereka. “Kamu siap?” tanyanya, ekspresi serius menghiasi wajahnya.
“Siap,” jawab Aira, berusaha terdengar percaya diri meskipun hatinya berdegup kencang. “Ke sekolah, kan?”
“Ya, kita perlu berbicara dengan seseorang yang dulu sangat dekat dengan kita,” jelas Darian. “Dia mungkin tahu lebih banyak tentang apa yang terjadi.”
Perjalanan menuju sekolah lama mereka dipenuhi kesunyian yang mencekam. Ketika mereka tiba, Aira merasakan gelombang nostalgia dan ketegangan. Bangunan tua itu tampak sama seperti yang dia ingat, tetapi suasana di sekitarnya terasa berat, seolah menyimpan banyak rahasia.
Darian mengarahkan Aira menuju ruang guru. “Kita akan menemui Pak Surya. Dia adalah orang yang paling mengetahui apa yang terjadi di antara kita saat itu.”
Mereka mengetuk pintu, dan setelah beberapa saat, Pak Surya muncul dengan wajah yang terkejut. “Aira? Darian? Apa yang kalian lakukan di sini?”
Aira merasa jantungnya berdebar mendengar namanya diucapkan oleh seseorang yang sangat mengenalnya. “Kami… kami ingin bertanya tentang masa lalu. Tentang apa yang terjadi sebelum Darian pergi.”
Pak Surya mengerutkan kening, menimbang kata-katanya. “Itu bukanlah waktu yang mudah untuk dibicarakan, kalian tahu.”
“Kami berhak tahu, Pak,” tegas Darian. “Ini tentang hidup kami.”
Pak Surya menghela napas dalam-dalam. “Baiklah, duduklah.” Mereka berdua duduk di kursi di depan meja guru. “Keluarga Darian terlibat dalam masalah besar. Mereka terancam bahaya karena terlibat dengan orang-orang yang tidak seharusnya. Aku tidak bisa memberitahu kalian semua detailnya, tetapi…”
“Tetapi apa?” potong Aira, merasakan ketegangan di udara.
“Seorang anggota keluarganya berkhianat. Itu adalah alasan mengapa Darian harus pergi,” Pak Surya menjelaskan. “Dia melakukan apa pun untuk melindungi kamu, Aira. Mungkin kamu tidak ingat, tetapi saat itu, kamu adalah satu-satunya hal yang dia jaga.”
Aira terdiam, mengingat saat-saat manis yang mereka habiskan bersama, semua tawa dan kesedihan. “Tapi kenapa tidak ada yang memberitahuku? Kenapa aku diabaikan?”
“Karena itu akan melindungimu. Darian tidak ingin kamu terlibat dalam situasi berbahaya. Dia memutuskan untuk menjauh agar kamu aman,” jelas Pak Surya.
“Jadi, semua yang terjadi adalah demi aku?” Aira merasa emosional, hatinya bergetar antara rasa sakit dan pengertian.
“Dia mencintaimu,” lanjut Pak Surya. “Itu adalah cinta yang tulus, meskipun terhalang oleh semua yang terjadi.”
Mendengar kata-kata itu, Aira berbalik menatap Darian. “Kamu mencintaiku?” tanya Aira dengan suara bergetar.
Darian menatapnya dengan intensitas yang dalam. “Selalu, Aira. Tidak ada satu hari pun aku tidak memikirkanmu.”
Air mata mulai menggenang di mata Aira. “Tapi kenapa semua ini tidak pernah diceritakan padaku?”
“Karena aku harus melindungimu,” jawab Darian tegas. “Dan aku masih harus melindungimu. Kita harus berhati-hati. Mereka mungkin masih mengawasi kita.”
“Siapa?” tanya Aira, semakin tidak sabar.
“Orang-orang dari masa lalu yang berusaha menjaga agar semua ini tetap tersembunyi. Mereka akan melakukan apa saja untuk menghentikan kita,” jelas Pak Surya. “Tapi, jika kamu bersedia, ada cara untuk melawan mereka.”
“Apa maksudmu?” Aira merasa terpicu oleh harapan.
“Jika kita bisa mengumpulkan bukti tentang apa yang sebenarnya terjadi, kita bisa membongkar semuanya. Tapi itu tidak akan mudah. Kita harus bekerja sama,” jelas Pak Surya.
Aira menatap Darian, merasakan ikatan yang semakin kuat antara mereka. “Aku mau. Apa pun yang perlu kita lakukan, aku siap.”
Darian mengangguk, semangat baru menyala di dalam hatinya. “Kita harus mencari tahu siapa yang terlibat dan apa yang mereka inginkan. Bersama, kita bisa menghadapinya.”
Setelah berbincang lebih jauh dengan Pak Surya, mereka berdua meninggalkan sekolah dengan rencana yang jelas di depan mereka. Aira merasa berani dan lebih kuat dari sebelumnya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, dia merasa memiliki kendali atas hidupnya.
Di tengah perjalanan pulang, Aira berbisik, “Kita bisa melewati ini, kan?”
Darian tersenyum, meraih tangannya. “Kita pasti bisa. Kita sudah sampai sejauh ini, dan aku tidak akan membiarkan apa pun memisahkan kita lagi.”
Saat mereka berjalan berdua, Aira merasakan harapan baru yang tumbuh di dalam dirinya. Cinta mereka mungkin telah terhalang oleh misteri dan bahaya, tetapi mereka kini memiliki tujuan yang sama. Bersama, mereka akan melawan apa pun yang menghadang mereka.
Kisah mereka belum berakhir; ini baru awal dari petualangan baru yang menanti, dan Aira yakin bahwa cinta yang tak terduga ini akan membawa mereka ke arah yang lebih baik—menuju masa depan yang penuh harapan dan kejelasan.
So, di tengah semua drama dan misteri yang bikin deg-degan, Aira dan Darian akhirnya sadar: cinta itu memang bisa datang kapan saja, bahkan ketika kamu nggak nyangka.
Dengan segala kerumitan dan rahasia yang mereka hadapi, satu hal pasti—mereka siap menghadapi masa depan bareng. Siapa tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai. Nah, buat kamu yang lagi nunggu cinta datang, sabar ya! Kadang yang terbaik itu datang dengan cara yang paling nggak terduga.