Daftar Isi
Hai, siap-siap deh buat terjun ke dunia yang penuh tawa dan romansa! Ini kisah tentang Raka, cowok skateboard yang ceria, dan Zafira, ketua OSIS galak yang ternyata hatinya lembut. Siapa sangka, di balik wajah seriusnya, ada cinta yang manis menunggu untuk ditemukan. Yuk, ikuti perjalanan mereka yang seru dan penuh kejutan!
Cinta Tak Terduga
Pertemuan Pertama yang Tak Terduga
Hari itu cuaca di SMA Harapan Sejati tampak cerah, tetapi suasana di dalam kelas terasa tegang. Suara bel berbunyi nyaring, menandakan waktu pelajaran telah dimulai. Di sudut kelas, Zafira, ketua OSIS yang galak, tengah merapikan catatan. Dengan rambut ikalnya yang terikat rapi, dia tampak seperti pemimpin yang tak kenal kompromi. Semua siswa tahu betul bagaimana ketegasan Zafira. Ketika dia bicara, semua orang mendengarkan.
“Dengar, kita harus mempersiapkan acara tahunan dengan sebaik-baiknya! Siapa yang masih belum mengumpulkan proposal?” suaranya menggema di seluruh ruangan, membuat beberapa siswa terdiam dan menundukkan kepala.
Dari kursi belakang, Raka, siswa baru yang baru beberapa minggu bersekolah di sana, mengangkat tangannya. Dia tahu dia harus menyampaikan pendapat, meskipun Zafira memiliki reputasi sebagai ketua yang menakutkan.
“Eh, Kak Zafira. Maaf, aku belum sempat mengumpulkan proposalku. Boleh gak kalau aku kasih ke kamu besok?” tanya Raka dengan nada santai, berusaha menahan tawa melihat wajah Zafira yang mendongak ke arahnya.
Zafira melirik ke belakang, mengerutkan keningnya. “Raka, kamu tahu batas waktu itu penting, kan? Jangan sampai semua orang mengikuti jejakmu!” Dia berusaha tampil galak, tetapi ada nada keisengan dalam suaranya.
Raka hanya tersenyum lebar. “Tapi, Kak Zafira, kan aku baru di sini. Sedikit kelonggaran, yuk?” Dia menatap Zafira, berharap bisa meruntuhkan ketegangan.
Rasa kesal di wajah Zafira perlahan-lahan memudar. Dia tidak bisa menyangkal bahwa ada sesuatu yang menarik tentang Raka. Dia tidak biasa menghadapi siswa yang berani melawan arus. “Baiklah, tapi ini kesempatan terakhirmu. Pastikan kamu tidak mengulangi kesalahan yang sama!”
Setelah kelas berakhir, Zafira melangkah keluar sambil membawa tumpukan berkas acara. Raka yang masih tersisa di dalam kelas menghampirinya. “Kak Zafira, tunggu! Aku mau bicara.”
Zafira berhenti dan berbalik, mengangkat alisnya. “Ada apa lagi? Jangan bilang kamu mau meminta maaf karena belum mengumpulkan proposalmu!”
“Bukan itu. Aku hanya ingin tahu, bagaimana sih rasanya jadi ketua OSIS yang galak? Apakah itu menyenangkan?” Raka berkata sambil tersenyum lebar.
Zafira sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Menyenangkan? Tentu saja tidak! Ini tanggung jawab besar, dan semua orang berharap aku selalu bisa mengatur semuanya dengan baik.”
“Jadi, kamu tidak punya waktu untuk bersenang-senang?” tanya Raka sambil mengedipkan mata. “Ayo, kita bisa bersenang-senang bersama! Kan, sudah pasti kamu butuh hiburan!”
Zafira merasakan ada sesuatu yang aneh. Seharusnya dia merasa kesal dengan sikap Raka, tetapi sebaliknya, dia malah merasa terhibur. “Kamu ini lucu. Tapi jangan salah, aku tetap ketua OSIS, bukan penghibur!”
Raka tersenyum, seolah mendengar tantangan dalam nada Zafira. “Baiklah, ketua OSIS. Gimana kalau kita jalan bareng setelah sekolah? Mungkin kamu bisa menunjukkan padaku bagaimana cara bersenang-senang versi ketua OSIS.”
Zafira terdiam, mempertimbangkan tawaran yang tiba-tiba ini. Dia tidak terbiasa untuk meluangkan waktu bersenang-senang. Namun, ada sesuatu dalam diri Raka yang membuatnya ingin menerima tawaran itu. “Hmm… boleh juga. Tapi ingat, aku bukan tipe yang suka bercanda!”
“Tenang saja, Kak Zafira! Aku bisa mengatur suasana,” jawab Raka dengan semangat.
Setelah sekolah berakhir, mereka bertemu di depan gerbang. Zafira masih mengenakan seragamnya yang rapi, sementara Raka terlihat santai dengan kaos dan celana pendeknya. “Jadi, mau ke mana?” tanya Zafira sambil menatap Raka.
“Aku tahu tempat es krim yang enak! Kita bisa mulai di sana,” jawab Raka dengan senyum lebar, lalu melangkah lebih dulu.
Zafira mengikuti Raka dengan ragu. Perasaannya campur aduk; dia tidak biasa keluar bersama teman sekelas, terutama dengan siswa baru yang bisa dibilang terlalu percaya diri. Namun, keinginan untuk mengabaikan rutinitasnya dan merasakan kebebasan sedikit menggoda.
Setibanya di toko es krim, Raka langsung memesan es krim rasa cokelat. Zafira memilih rasa stroberi, yang selalu menjadi favoritnya. Saat mereka duduk di bangku taman, Raka mulai bercerita tentang kehidupannya sebelum pindah ke sana.
“Kamu tahu, sebelum pindah ke sini, aku punya banyak pengalaman konyol. Suatu kali, aku mencoba membuat robot dari kardus untuk presentasi sekolah, dan semua orang tertawa saat robot itu jatuh dan mengacaukan segalanya!” ceritanya sambil tertawa.
Zafira terkejut. “Robot dari kardus? Kenapa kamu tidak menciptakan sesuatu yang lebih… serius?”
“Karena aku percaya bahwa hidup ini seharusnya diisi dengan tawa! Siapa bilang seorang siswa harus selalu serius?” Raka menjawab dengan semangat.
Zafira tidak bisa menahan tawanya. “Oke, kamu mungkin ada benarnya. Mungkin aku juga bisa belajar sedikit dari cara berpikirmu.”
Setelah mereka selesai makan es krim, suasana semakin akrab. Zafira merasa lebih nyaman dan tidak terlalu tegang. Raka, dengan segala keunikan dan sikap santainya, membuatnya merasakan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
Saat langit mulai gelap dan bintang-bintang mulai bermunculan, Zafira menyadari bahwa pertemuan ini bukanlah kebetulan. Dia mulai merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Tetapi dia tahu, dengan posisinya sebagai ketua OSIS, hubungan ini bisa menjadi rumit.
“Jadi, Kak Zafira, apakah kamu akan membiarkan dirimu bersenang-senang lebih sering?” tanya Raka sambil menatapnya dengan penuh harap.
“Hmm, mungkin aku harus mulai mempertimbangkan itu,” jawab Zafira, tersenyum kecil.
Namun, Zafira tahu bahwa perjalanannya bersama Raka baru saja dimulai. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di antara mereka, tetapi satu hal yang pasti: hidupnya tidak akan sama lagi setelah hari itu.
Misi Menemukan Hobi Baru
Hari-hari setelah pertemuan pertama itu berlalu dengan cepat. Zafira mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya. Dia tidak lagi terfokus hanya pada tanggung jawabnya sebagai ketua OSIS; dia merindukan tawa dan kehadiran Raka. Setiap kali mereka bertemu, suasana hatinya terasa lebih ringan, dan dia jadi lebih bisa menikmati waktu di sekolah.
Suatu hari, saat istirahat, Raka muncul dengan semangat yang berapi-api. “Kak Zafira! Aku punya ide! Kita harus coba hobi baru!”
Zafira mengangkat alisnya, penasaran. “Hobi baru? Seperti apa?”
“Bagaimana kalau kita belajar skateboard? Aku dengar ada taman skate di dekat sekolah yang bisa kita coba!” Raka menjelaskan dengan antusias.
“Skateboard? Serius?” Zafira meragukan ide itu. “Kamu tahu kan, aku bukan tipe yang berani coba-coba dengan olahraga ekstrem.”
“Come on! Ini akan menyenangkan! Kita bisa jatuh, ketawa, dan bikin video konyol!” Raka menggoda, berusaha meyakinkan Zafira.
Zafira tertawa. “Kamu memang konyol, Raka. Tapi baiklah, kita bisa coba. Tapi aku tidak mau sakit!”
“Deal! Kita berangkat setelah sekolah!” Raka melompat kegirangan.
Ketika bel berbunyi, mereka bergegas menuju taman skate. Raka sudah memiliki skateboard dan mengeluarkannya dari tas. Zafira mengamatinya dengan cemas. “Oke, aku benar-benar tidak tahu apa yang aku lakukan.”
Raka menyandarkan skateboardnya ke dinding. “Tenang saja, aku akan ajari kamu dari langkah awal. Yang penting, jangan terlalu kaku!”
Setelah beberapa menit mengamati Raka meluncur dengan lincah, Zafira merasa sedikit terintimidasi. “Kamu terlihat terlalu mudah, Raka. Sementara aku… mungkin ini bukan untukku.”
“Jangan bilang gitu! Kamu pasti bisa! Ayo, coba dulu!” Raka mendorongnya, menunjukkan skateboardnya.
Zafira menghela napas dan melangkah mendekat. “Baiklah, biarkan aku mencoba. Tapi kalau aku jatuh, kamu harus menangkapku!”
Raka tertawa dan mengangguk. “Pasti! Aku siap!”
Zafira naik ke atas skateboard, merasakan ketegangan di perutnya. Dia mencoba meluncur perlahan. “Wow, ini agak menakutkan,” katanya sambil terhuyung-huyung.
“Pegang kendali! Jangan panik!” Raka berteriak, berusaha memberikan semangat.
Namun, saat Zafira mulai merasa percaya diri, kakinya kehilangan keseimbangan. “Raka! Aku—” Dia terjatuh, mendarat di rumput dengan suara “thump” yang keras.
Raka langsung berlari menghampiri. “Kamu baik-baik saja?” Dia membantu Zafira berdiri dan menepuk-nepuk debu di bajunya.
Zafira menahan tawa. “Ya ampun, aku rasa aku harus menyerah pada olahraga ini. Tidak cocok untukku!”
“Jangan menyerah! Coba lagi! Setiap orang pasti pernah jatuh!” Raka tersenyum lebar. “Kalau kamu jatuh lagi, kita bisa buat video lucu!”
Zafira menggelengkan kepala. “Kamu ini memang selalu bisa membuat segala sesuatunya jadi konyol, ya.”
Setelah beberapa kali jatuh dan bangkit lagi, Zafira mulai merasa lebih percaya diri. Dia berhasil meluncur sedikit lebih jauh. Raka melompat-lompat kegirangan. “Lihat! Kamu bisa! Satu langkah lagi!”
Namun, saat berusaha lebih keras, Zafira kembali jatuh, kali ini tepat di depan Raka. Dia meraih tangannya untuk mendapatkan dukungan. “Oke, ini benar-benar sulit!”
Raka tertawa, tetapi segera menenangkan. “Lihat, kamu berhasil melakukannya! Dan itu lebih baik dari sebelumnya! Kita bisa ambil video ini, loh!”
Zafira merasa wajahnya memerah. “Video? Aku tidak mau orang lain melihatku terjatuh!”
“Tenang, kita simpan untuk kita berdua saja. Kita buat jadi kenangan!” Raka meyakinkan, mengeluarkan ponselnya.
Setelah beberapa jam berlatih dan banyak tawa, mereka akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Zafira mengusap keringat dari dahinya. “Ternyata ini lebih menyenangkan daripada yang aku bayangkan.”
Raka tersenyum, terlihat bangga. “Jadi, hobi baru kamu skateboard sekarang?”
Zafira tertawa. “Mungkin, tapi aku butuh lebih banyak latihan dan beberapa pelindung. Atau aku bisa patah tulang!”
Mereka berdua tertawa, dan Zafira merasa ada kedekatan yang lebih dalam antara mereka. Saat matahari mulai terbenam, Zafira menatap Raka yang terlihat penuh semangat.
“Terima kasih sudah mengajakku. Ini adalah hari yang menyenangkan. Kadang aku lupa bahwa hidup itu bukan hanya tentang tanggung jawab,” Zafira berkata dengan tulus.
“Selalu siap membantu! Kita harus sering melakukan hal-hal konyol seperti ini,” Raka menjawab, senyumnya tak kunjung pudar.
Saat mereka berjalan pulang, Zafira merasa hatinya berdebar. Dia mulai memahami bahwa Raka bukan hanya teman biasa, tetapi mungkin, bisa lebih dari itu.
“Jadi, besok kita ke taman skate lagi?” Raka bertanya.
“Ya, tapi aku mau jadi lebih baik dulu!” Zafira menjawab, sambil tertawa.
Perasaan aneh ini mulai menyelimuti Zafira, seperti ada benang merah yang menghubungkan mereka berdua. Dia merasa lebih hidup, lebih berani, dan yang terpenting, lebih bahagia.
Ujian Cinta dan Keceriaan
Hari-hari berlalu, dan rutinitas latihan skateboard menjadi hal yang dinanti-nantikan oleh Zafira dan Raka. Setiap kali mereka bertemu, bukan hanya skateboard yang menjadi fokus utama, tetapi juga gelak tawa dan candaan yang membuat keduanya semakin akrab. Zafira merasakan betapa berartinya kehadiran Raka dalam hidupnya, bahkan lebih dari sekadar teman.
Suatu pagi, saat mereka berkumpul di kelas sebelum pelajaran dimulai, Zafira mendapati Raka sedang serius membahas sesuatu dengan teman-temannya. Dia mendekat, penasaran. “Apa yang kalian bicarakan?”
Raka menoleh dan tersenyum. “Kita lagi bahas tentang lomba OSIS minggu depan. Ada banyak tim yang ikut, dan kita butuh strategi untuk menang!”
“Strategi? Untuk apa?” Zafira bertanya, sedikit bingung.
“Lomba olahraga antar kelas! Kita harus mempersiapkan tim dengan baik agar bisa menang!” Raka menjelaskan dengan semangat.
Zafira merasa sedikit ragu. “Tapi, aku ini bukan tipe yang suka bersaing, Raka. Aku lebih suka menikmati kebersamaan.”
“Eh, jangan bilang gitu! Ini kesempatan buat kita semua. Kita bisa bersenang-senang dan berlatih bareng,” Raka membujuk, mencoba menarik semangat Zafira.
“Aku sih ok, tapi cuma kalau kamu yang jadi kaptennya,” Zafira tersenyum nakal.
“Deal!” Raka menjawab tanpa ragu. “Kalau begitu, kita butuh semua anggota untuk ikut berlatih.”
Setelah pelajaran selesai, mereka mengumpulkan teman-teman sekelas untuk membentuk tim. Zafira dan Raka berdiskusi tentang taktik permainan dan bagaimana cara bersenang-senang sambil berkompetisi.
“Jadi, apa strategi kita?” tanya salah satu teman.
Raka menggaruk kepalanya. “Kita harus fokus pada kerjasama. Setiap orang punya kekuatan masing-masing. Yang penting, kita semua harus saling mendukung.”
Zafira menambahkan, “Dan jangan lupa untuk menikmati setiap momen. Kita bukan hanya mau menang, tetapi juga mau bersenang-senang.”
Setelah diskusi yang penuh semangat, mereka pun sepakat untuk berlatih di taman skate setiap sore. Hari-hari itu dihabiskan dengan tawa dan persahabatan, tetapi di balik itu, Zafira mulai merasakan sesuatu yang lebih dalam terhadap Raka. Dia merasa canggung setiap kali berhadapan langsung dengan Raka, jantungnya berdebar lebih kencang, dan senyum Raka seolah menyimpan banyak rahasia.
Suatu malam, saat mereka berlatih skateboard di taman, Raka terjatuh dan mengalami sedikit luka. “Aduh! Itu sakit!” Raka berteriak sambil mengusap lututnya yang lecet.
Zafira berlari menghampiri. “Kamu baik-baik saja? Biarkan aku lihat!” Dia bersikap khawatir dan meraih Raka untuk memeriksa lukanya.
“Cuma lecet, kok. Nggak apa-apa,” Raka menjawab, tetapi Zafira tidak begitu yakin.
“Pakai plester ini. Kita harus jaga-jaga, kan?” Zafira mengeluarkan kotak plester dari tasnya dan mulai merawat lukanya.
Raka memperhatikan Zafira dengan tatapan hangat. “Kamu perhatian sekali, ya. Seharusnya aku yang merawatmu setelah jatuh, bukan sebaliknya.”
Zafira merasa wajahnya memerah. “Aku hanya ingin memastikan kamu baik-baik saja. Kita masih punya lomba OSIS yang harus diikuti.”
Raka tersenyum lebar. “Kamu memang hebat, Kak Zafira. Aku beruntung punya partner seperti kamu.”
Di tengah keasyikan mereka, tiba-tiba terdengar suara teman-teman sekelas yang berlari mendekat. “Eh, kalian di sini? Kita semua lagi nyari kalian!” salah satu teman berteriak.
Zafira berbalik, merasa sedikit malu. “Kami hanya latihan skateboard, kok.”
“Latihan? Ini namanya ngerawat luka!” teman lainnya menggoda. “Ayo, kita latihan bareng!”
Mereka pun semua berkumpul, dan suasana berubah menjadi penuh keceriaan. Setiap kali Zafira dan Raka berkolaborasi dalam latihan, energi di antara mereka semakin kuat. Meski ada banyak teman, Zafira merasa bahwa momen-momen kecil bersama Raka adalah hal terpenting dalam hidupnya saat ini.
Hari perlombaan pun tiba. Tim mereka datang dengan semangat yang membara. Raka memimpin dengan percaya diri, memberi semangat kepada semua anggota. “Ingat, yang terpenting adalah menikmati prosesnya! Apapun hasilnya, kita sudah melakukan yang terbaik!”
Zafira tersenyum, merasakan dukungan Raka membuatnya semakin bersemangat. “Ayo, kita buktikan kalau kita bisa!”
Lomba dimulai, dan Zafira merasakan adrenaline mengalir. Momen demi momen berlalu, dengan tawa, teriakan, dan semangat yang membara. Saat pertandingan berakhir, mereka mendapatkan posisi ketiga, dan meski tidak juara, semua merasa sangat bahagia.
“Yang penting kita bersenang-senang!” Raka berteriak, mengangkat tangan Zafira. Mereka tertawa lepas, merasa puas dengan usaha yang telah mereka lakukan.
Namun, saat semua teman-teman merayakan kemenangan kecil itu, Zafira melihat Raka berdiri terpisah, menatap jauh ke arah lapangan. Dia merasa ingin mendekatinya. “Raka, kenapa? Kenapa kamu tampak berpikir?”
Raka berbalik dan tersenyum, tetapi ada kerutan di dahi. “Aku cuma berpikir, betapa berartinya momen ini. Dan aku berharap bisa lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu.”
Zafira merasakan jantungnya berdegup kencang. “Maksudmu… seperti ini terus?”
“Ya, lebih banyak waktu berdua,” Raka mengangguk. “Aku ingin kita lebih dekat.”
Satu kalimat sederhana itu mengubah suasana. Zafira merasa bingung dan senang sekaligus. “Kita bisa, kok! Aku juga mau lebih dekat denganmu.”
Raka tersenyum. “Berarti kita harus bikin lebih banyak momen konyol dan menyenangkan!”
Zafira tertawa. “Iya, dan kalau perlu, kita harus bikin video setiap kali kita jatuh!”
Mereka berdua tertawa, saling bertukar pandang, dan Zafira merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan di antara mereka. Hari itu, saat senja menyelimuti, Zafira merasa dia tidak hanya menemukan hobi baru, tetapi juga seseorang yang membuat hidupnya lebih berwarna.
Cinta yang Tumbuh
Hari-hari setelah lomba OSIS menjadi lebih cerah bagi Zafira dan Raka. Setiap sore mereka berlatih skateboard di taman, tetapi kini ada nuansa baru yang mengisi setiap momen mereka. Raka tidak hanya menjadi partner latihan, tetapi juga teman dekat yang selalu bisa diandalkan.
Suatu sore, Zafira dan Raka duduk di bangku taman setelah berlatih. Raka menatap Zafira dengan serius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang penting. “Zafira, kamu tahu kan, aku suka sama kamu?” katanya tiba-tiba.
Zafira terkejut, wajahnya langsung memerah. “Eh, maksudmu? Kenapa tiba-tiba ngomong gitu?”
“Karena aku pikir ini penting,” Raka menjelaskan. “Setelah kita menghabiskan banyak waktu bareng, aku merasa kamu adalah orang yang tepat untukku. Aku senang bisa bersamamu.”
Zafira merasa jantungnya berdegup kencang. Dia tidak menyangka Raka akan mengungkapkan perasaannya. “Aku juga, Raka. Aku merasa kita bisa jadi lebih dari sekadar teman.”
Raka tersenyum lebar, senyum yang membuat Zafira merasakan hangat di dalam hatinya. “Jadi, bagaimana kalau kita mulai berkencan? Kita bisa lebih sering menghabiskan waktu berdua.”
Zafira mengangguk dengan bersemangat. “Iya, aku mau! Kita bisa coba banyak hal bareng, termasuk pergi ke tempat-tempat baru.”
“Deal!” Raka mengulurkan tangannya, dan Zafira menjabat tangannya dengan penuh kegembiraan.
Malam itu, Zafira pulang dengan senyum lebar. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Raka dan semua hal yang akan mereka lakukan bersama. Cinta mereka sudah mulai tumbuh, dan dia merasa siap untuk menjelajahi perasaan baru ini.
Beberapa minggu berlalu, dan hubungan mereka semakin akrab. Mereka menghabiskan waktu di kafe setelah sekolah, berbagi cerita, dan saling mengenal satu sama lain dengan lebih baik. Raka menjadi lebih perhatian, selalu mencari cara untuk membuat Zafira tersenyum. Begitu juga sebaliknya; Zafira seringkali menghibur Raka ketika dia sedang stres dengan tanggung jawab sebagai ketua OSIS.
Suatu hari, Raka mengajak Zafira untuk piknik di taman. “Ayo, kita bawa makanan dan nikmati suasana di luar!”
Zafira merasa sangat bersemangat. “Iya! Aku akan bawa kue favoritku!”
Di taman, mereka menemukan tempat yang sempurna di bawah pohon besar. Zafira mengeluarkan makanan yang telah disiapkannya, dan Raka membantu menyusun semuanya. Mereka mulai menikmati makanan sambil bercanda dan tertawa.
“Coba deh kue ini! Enak banget!” Zafira memberi Raka potongan kue yang dia buat.
Raka menggigitnya dan terkesan. “Wow, ini enak sekali! Kamu harus sering-sering bikin kue, Zafira.”
“Kalau kamu mau, aku bisa bikin kue setiap hari untuk kamu,” Zafira menjawab sambil tersenyum manis.
“Beneran? Itu membuatku sangat beruntung!” Raka membalas, menggoda.
Setelah puas makan, mereka berbaring di rumput, menatap langit yang berwarna biru cerah. “Lihat, awan itu mirip hati!” Zafira menunjuk ke arah awan yang bergerak.
Raka tertawa. “Kalau begitu, berarti ini adalah hari kita jatuh cinta di bawah awan hati!”
Zafira merasa bahagia. Dia berbalik menghadap Raka dan melihat matanya yang bersinar. “Terima kasih sudah membuat hari-hariku lebih berarti, Raka. Aku sangat beruntung bisa mengenalmu.”
“Dan aku beruntung bisa bersamamu, Zafira. Kita memang ditakdirkan untuk saling melengkapi,” jawab Raka, menggenggam tangan Zafira.
Mereka saling tersenyum, merasakan kehangatan di antara mereka. Zafira menyadari bahwa perasaan cinta ini tidak hanya tentang romansa, tetapi juga tentang persahabatan dan saling mendukung dalam segala hal.
Namun, ujian untuk hubungan mereka datang saat Raka mendapat tawaran untuk mengikuti kompetisi skateboard di luar kota. “Aku harus pergi, Zafira. Ini kesempatan besar untukku,” Raka mengungkapkan.
Zafira merasa sedikit kecewa, tetapi dia tahu bahwa ini adalah kesempatan yang tidak bisa Raka lewatkan. “Kamu harus pergi. Aku akan mendukungmu,” katanya, berusaha tegar.
“Jangan khawatir, aku akan kembali secepatnya. Dan aku akan bawa sesuatu yang spesial untukmu,” Raka berjanji.
Zafira tersenyum, meskipun hatinya sedikit berat. “Baiklah, tapi jangan lama-lama, ya.”
Ketika Raka pergi, Zafira merasakan kekosongan yang tidak biasa. Dia terus mendukung Raka dari jauh, mengirim pesan semangat dan selalu menunggu kabar dari Raka. Hari-harinya terasa lebih sepi, tetapi dia percaya bahwa cinta mereka akan bertahan.
Setelah beberapa hari, Raka kembali dengan semangat yang membara. “Zafira! Aku kembali!” teriaknya sambil melangkah cepat ke arah Zafira.
Zafira berlari menghampirinya, dan mereka berpelukan erat. “Kamu berhasil?” tanya Zafira penuh harap.
Raka mengangguk, mata penuh kebahagiaan. “Aku dapat juara kedua! Dan ini untukmu!” Dia mengeluarkan sebuah gantungan kunci berbentuk skateboard mini yang lucu.
“Wow, ini imut sekali! Terima kasih!” Zafira merasa sangat bahagia. “Aku bangga sama kamu!”
Momen itu semakin memperkuat ikatan antara mereka. Zafira merasa bahwa cinta mereka bukan hanya tentang kesenangan, tetapi juga tentang saling mendukung satu sama lain dalam setiap langkah.
Sejak saat itu, Zafira dan Raka terus menghabiskan waktu bersama, menghadapi setiap tantangan dengan senyuman. Mereka tahu bahwa perjalanan cinta ini masih panjang, tetapi mereka siap untuk melangkah bersama, menulis kisah cinta yang penuh warna dan keceriaan. Dan dengan setiap tawa, setiap pelukan, dan setiap petualangan, cinta mereka semakin tumbuh dan menguat.
Zafira menyadari, cinta bisa jadi lucu, menggemaskan, dan bahkan sedikit konyol—tetapi yang terpenting, cinta adalah tentang memiliki satu sama lain di sisi, tidak peduli seberapa sulitnya perjalanan yang harus dihadapi.
Jadi, itulah kisah Zafira dan Raka—dua jiwa yang awalnya tak terduga bisa saling menemukan di antara skateboard dan tanggung jawab OSIS. Mereka membuktikan bahwa cinta itu lucu, penuh warna, dan bisa muncul di tempat yang paling tidak terduga.
Siapa bilang ketua OSIS galak tidak bisa jatuh cinta? Kadang, cinta datang dengan cara yang paling sederhana, mengubah hidup kita selamanya. Jadi, tunggu apa lagi? Jangan ragu untuk mengejar cinta kalian sendiri, karena siapa tahu, cinta sejati bisa jadi hanya sejauh skateboard dari tempat kalian berdiri!