Cinta Tak Terduga: Dari Musuh Jadi Cinta di Kampus

Posted on

Hai, guys! Siapa bilang musuh enggak bisa jadi cinta? Di kampus yang penuh drama dan tawa ini, ada dua orang yang awalnya saling tuduh dan ribut, tapi tiba-tiba jadi tim super dalam mengatasi segala tantangan. Ikutin kisah seru mereka yang penuh baper dan kejutan manis ini!

 

Cinta Tak Terduga

Pertemuan yang Salah, Musuh yang Tepat

Universitas Asteria punya banyak aturan tak tertulis. Salah satunya: jangan berurusan dengan Azka Rivandra atau Kaira Elvaretta kalau tidak mau terjebak dalam perang dingin berkepanjangan.

Kedua mahasiswa itu punya reputasi yang cukup mencolok—dengan cara yang berbeda. Azka, mahasiswa Teknik Informatika dengan sikap dingin, sarkastik, dan punya standar yang nyaris tidak manusiawi. Sementara Kaira, mahasiswi Desain Komunikasi Visual, terkenal karena lidahnya yang tajam dan kepribadiannya yang meledak-ledak.

Mereka bisa saja hidup di dunia masing-masing tanpa perlu bertabrakan. Sayangnya, takdir selalu punya selera humor yang buruk.

Semua bermula di kelas umum “Creative Problem Solving” yang diikuti mahasiswa dari berbagai jurusan. Kelas yang seharusnya hanya berisi materi dan diskusi santai malah berubah menjadi ajang perang intelektual yang panas.

Hari itu, Kaira maju untuk presentasi. Dengan penuh percaya diri, ia menjelaskan idenya tentang konsep pemasaran digital berbasis visual interaktif. Slide demi slide ditampilkan, penuh warna, animasi yang menarik, dan infografis yang memanjakan mata.

Saat presentasi selesai, dosen mengangguk puas. “Baik, ada yang ingin memberikan feedback?”

Hening sejenak, sampai sebuah suara berat terdengar dari sudut kelas.

“Ini presentasi atau acara stand-up comedy?”

Seluruh mata beralih ke Azka, yang duduk santai dengan tangan terlipat di dada.

Dahi Kaira langsung berkerut. “Maksud kamu apa?”

Azka menghela napas pendek sebelum berbicara. “Kamu pakai terlalu banyak animasi yang sebenarnya enggak perlu. Informasinya bagus, tapi orang bisa terdistraksi sama elemen visual yang berlebihan.”

Kaira menatapnya seolah baru saja disuguhi makanan basi. “Dan menurut kamu, itu cukup untuk bilang presentasi aku kayak stand-up comedy?”

Azka mengangkat bahu. “Ya, karena orang lebih fokus menikmati visualnya daripada memperhatikan isi materinya.”

Beberapa mahasiswa mulai menahan tawa, sementara Kaira mengepalkan tangan di samping tubuhnya.

“Kamu tahu enggak,” ujar Kaira dengan nada berapi-api, “enggak semua orang suka presentasi yang kaku kayak makalah berjalan. Kreativitas itu penting, dan kalau kamu enggak bisa menikmatinya, mungkin kamu yang perlu belajar lebih banyak.”

Azka mengangkat satu alis. “Kreativitas bagus, tapi kalau enggak efektif, ya percuma. Kamu bikin presentasi buat menjelaskan ide, bukan buat pamer skill desain.”

“Dan kamu pikir semua harus seserius kertas penelitian?”

“Enggak, tapi harus tetap ada keseimbangan.”

Dosen tampaknya merasa perlu turun tangan sebelum terjadi perang yang lebih besar. “Baik, cukup. Kritik dan tanggapannya bisa didiskusikan lebih lanjut di luar kelas, ya. Sekarang kita lanjut ke presentasi berikutnya.”

Tapi pada titik itu, sudah jelas: Kaira dan Azka resmi jadi musuh.

Perseteruan mereka tidak berhenti di kelas. Setiap kali ada diskusi, keduanya selalu mengambil posisi berlawanan. Kaira selalu menganggap Azka terlalu perfeksionis dan sok pintar, sementara Azka merasa Kaira terlalu banyak bicara dan sulit diajak berpikir logis.

Di kantin, kalau Kaira melihat Azka di satu meja, dia langsung mencari tempat lain. Sebaliknya, kalau Azka melihat Kaira, dia pura-pura sibuk dengan laptopnya agar tidak perlu berurusan dengannya.

Tapi bagaimanapun mereka berusaha menghindari satu sama lain, dunia tampaknya punya rencana lain.

Saat kampus mengumumkan lomba inovasi kreatif tahunan, dosen memilih Azka dan Kaira sebagai perwakilan terbaik dari jurusan masing-masing untuk membentuk satu tim.

Ketika nama mereka disebutkan bersama di papan pengumuman, Kaira hampir menjatuhkan minumannya.

“Apa-apaan ini?!”

Azka, yang berdiri di sampingnya, membaca pengumuman dengan ekspresi malas. “Percaya deh, aku juga enggak lebih senang dari kamu.”

Kaira menghela napas panjang, berusaha menahan emosi. “Oke. Aku bakal bilang ke dosen kalau aku enggak bisa kerja sama sama kamu.”

“Silakan,” jawab Azka santai. “Tapi kalau kamu mundur, kamu tahu dosen bakal anggap kamu enggak profesional, kan?”

Kaira mengerang frustasi. “Aku beneran apes banget hari ini!”

Azka memasukkan tangannya ke saku jaketnya dan menatap Kaira sekilas. “Yah, kalau kita gagal, setidaknya kita gagal bersama. Mungkin ini satu-satunya hal yang bisa kita sepakati.”

Kaira menatapnya tajam. “Jangan mimpi. Aku enggak akan kalah dalam kompetisi ini, apalagi gara-gara kamu.”

Azka menyeringai kecil. “Bagus. Aku juga enggak berencana kalah.”

Dan begitulah, dua musuh bebuyutan yang tak bisa bertahan dalam satu ruangan tanpa berdebat dipaksa untuk bekerja sama dalam satu tim.

Takdir memang punya selera humor yang buruk.

 

Duo Paling Sial di Kampus

Hari pertama bekerja sama dan Azka sudah merasa seperti berada di ujung batas kesabaran manusia.

“Aku enggak setuju sama konsep ini,” ujar Azka sambil menyilangkan tangan di dadanya.

Kaira, yang sedang menggambar sketsa di tabletnya, langsung menoleh dengan tatapan membunuh. “Lagi? Ini sudah ide keempat yang aku ajukan, Azka. Kamu mau nolak semua sampai kiamat?”

Azka menghela napas panjang. Mereka sedang duduk di ruang diskusi perpustakaan, mencoba merancang konsep inovasi untuk kompetisi kampus. Seharusnya ini jadi sesi brainstorming yang produktif. Nyatanya? Mereka belum maju ke mana-mana karena setiap ide yang satu ajukan, yang lain pasti menolak.

“Aku cuma mau sesuatu yang masuk akal,” ujar Azka. “Kita ini bukan bikin film fiksi ilmiah, Kaira.”

“Oh, maaf, Profesor Teknologi Serba Logis,” balas Kaira sinis. “Kita ini di kompetisi inovasi kreatif. Kreatif, ngerti, kan? Bukan sekadar main aman dengan kode-kodean kamu yang membosankan itu.”

Azka mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berusaha menahan diri. “Dengar, kalau kita mau menang, kita harus punya konsep yang kuat. Kreatif itu bagus, tapi kalau enggak bisa diterapkan di dunia nyata, buat apa?”

Kaira memutar matanya. “Lalu, ide kamu apa? Sesuatu yang datar dan membosankan?”

Azka menatapnya tajam. “Setidaknya sesuatu yang bisa diwujudkan. Aku enggak mau buang waktu buat hal yang mustahil.”

“Dan aku enggak mau buang waktu kerja sama sama orang yang pikirannya cuma hitam putih!”

Hening sejenak. Beberapa mahasiswa di meja sekitar mereka mulai melirik dengan waspada, mungkin takut meja diskusi itu berubah jadi arena perkelahian.

Akhirnya, Azka menyandarkan punggungnya ke kursi, mengembuskan napas panjang. “Oke. Gimana kalau kita coba cari titik tengah?”

Kaira masih menatapnya dengan tatapan tak percaya. “Oh? Sekarang kamu mulai kompromi?”

Azka mengangkat bahu. “Kalau enggak, kita bakal terus begini sampai kiamat, kan?”

Setelah hampir dua jam perang dingin, akhirnya mereka menemukan ide yang bisa diterima keduanya: sebuah aplikasi berbasis augmented reality (AR) untuk edukasi interaktif bagi mahasiswa desain dan teknik.

Kaira bertanggung jawab untuk tampilan dan pengalaman pengguna, sementara Azka menangani bagian teknis. Itu terdengar seperti pembagian tugas yang masuk akal—sampai mereka benar-benar mulai mengerjakannya.

“Azka, bisa enggak kamu bikin warna interface-nya lebih dinamis?”

“Ini bukan game, Kaira. Tujuannya edukasi, bukan buat bikin orang pusing.”

“Kamu pikir interface enggak penting?!”

“Kamu pikir kestabilan sistem enggak penting?!”

Dan begitu terus setiap hari.

Hingga suatu malam, di ruang kerja kelompok yang sudah hampir kosong, hanya tinggal mereka berdua. Kaira masih sibuk di laptopnya, sementara Azka mengutak-atik kodingan.

“Kamu bisa berhenti ngetik sekeras itu?” gerutu Kaira.

Azka bahkan tidak menoleh. “Kamu bisa berhenti bernapas kalau mau lebih tenang.”

Kaira mendelik. “Sialan.”

Lalu tiba-tiba, lampu ruangan berkedip dua kali sebelum mati total.

Kaira refleks menjerit kecil. “A-Apa-apaan ini?!”

Azka mengangkat kepala, tampak kesal. “Tenang. Mungkin cuma pemadaman sementara.”

Kaira meraba-raba di dalam tasnya. “Mana HP aku…”

Azka sudah lebih dulu menyalakan senter dari ponselnya dan mengarahkannya ke wajah Kaira.

“KAMU NGAPAIN?!” Kaira refleks mendorong wajahnya menjauh.

Azka terkekeh. “Kamu yang panik duluan.”

Kaira merengut. “Ya maaf, aku enggak terbiasa terjebak dalam kegelapan sama musuh aku.”

Azka menurunkan ponselnya dan bersandar ke kursinya. “Jadi, kamu takut gelap?”

“Enggak,” sangkal Kaira cepat.

“Jadi kamu takut sendirian dalam gelap?”

“Enggak juga.”

“Jadi kamu takut sama aku?”

“YA ENGGAK, BODOH!”

Azka menahan tawa, lalu menawarkan ponselnya ke Kaira. “Pakai ini aja kalau butuh cahaya.”

Kaira terdiam sejenak sebelum menerimanya dengan sedikit enggan. “Thanks.”

Mereka berdua duduk dalam diam, hanya suara detak jam dan samar-samar suara mahasiswa di luar ruangan. Untuk pertama kalinya sejak proyek ini dimulai, mereka tidak bertengkar.

Mungkin, untuk pertama kalinya juga, mereka menyadari kalau meski mereka selalu berselisih… mereka tetap ada di sisi satu sama lain.

 

Antara Benci dan (Mungkin) Suka

Hari-hari setelah insiden pemadaman listrik itu terasa… aneh.

Bukan aneh yang bikin gelisah atau bikin pengin kabur ke ujung dunia, tapi lebih ke arah kenapa-gua-gak-bisa-berantem-seleluasa-dulu-sama-dia?

Azka dan Kaira masih sering ribut, tentu saja. Mereka tetap dua orang dengan ego sebesar kapal pesiar dan mulut yang selalu siap menembakkan sarkasme. Tapi, di sela-sela perdebatan itu, ada sesuatu yang berubah.

Kadang-kadang Azka menangkap Kaira meliriknya sedikit lebih lama dari biasanya. Kadang-kadang, Kaira menyadari kalau Azka nggak lagi membantah semua ide desainnya mentah-mentah. Kadang-kadang, mereka bisa duduk bersebelahan selama beberapa jam tanpa ada yang kelepasan ngelempar pulpen ke kepala satu sama lain.

Aneh, kan?

Dan puncaknya terjadi di suatu sore di kafe kampus.

“Kaira, aku butuh kamu buat revisi UI ini.”

Kaira, yang sedang menyeruput es kopi, menatap Azka dengan malas. “Aku lagi istirahat.”

“Kamu udah istirahat dari tadi.”

“Azka, ngerti nggak sih konsep ‘me time’?”

Azka menghela napas. “Ya udah. Aku pesenin kopi lagi buat kamu, tapi revisi dulu.”

Kaira mengerutkan dahi. “Hah? Kamu yang bayarin?”

Azka mengangguk.

Kaira menatapnya penuh kecurigaan. “Oke, siapa kamu dan di mana Azka yang asli?”

“Lucu,” balas Azka datar. “Cepetan revisi.”

Kaira mengangkat bahu dan mulai membuka laptopnya. Tapi baru beberapa detik kemudian, dia berhenti. Matanya menyipit, seolah baru menyadari sesuatu.

“Kamu hafal kopi kesukaan aku?” tanyanya pelan.

Azka, yang baru mau berdiri untuk memesan minuman, langsung membeku.

Sial.

Dia keceplosan.

“Kok diem?” Kaira menaikkan satu alis.

“Enggak penting,” elak Azka sambil cepat-cepat melangkah ke kasir.

Kaira tidak mengejarnya, tapi dia tersenyum kecil sambil kembali mengetik.

Ada sesuatu di balik pertengkaran mereka yang dulu nggak pernah ada. Sesuatu yang samar, tapi cukup nyata untuk mulai dirasakan.

Beberapa hari kemudian, universitas mengadakan festival tahunan. Stand makanan, booth komunitas, hingga panggung musik tersebar di seluruh area kampus. Kaira dan Azka, yang awalnya sama-sama nggak tertarik datang, akhirnya terpaksa hadir karena tim mereka harus mempresentasikan proyek di salah satu booth.

Malamnya, setelah presentasi selesai, Kaira menyeret Azka ke area permainan.

“Kita naik bianglala,” ujar Kaira.

Azka menatapnya dengan malas. “Kenapa aku harus?”

Kaira menatapnya dengan ekspresi penuh tantangan. “Takut ketinggian?”

Azka mendengus. “Bodo amat.”

Tanpa banyak protes lagi, dia pun naik.

Di dalam gondola, mereka duduk berhadapan. Kaira tampak santai, sementara Azka hanya menatap pemandangan kota dari atas.

Hening beberapa saat, lalu Kaira tiba-tiba bertanya, “Menurut kamu, kita masih musuhan?”

Azka menoleh. “Apa?”

“Kita ini masih musuh atau bukan?” ulang Kaira, kali ini dengan nada lebih pelan.

Azka tidak langsung menjawab.

Dulu, jawabannya pasti iya tanpa pikir panjang. Dulu, dia mungkin nggak akan pernah mau duduk berdua di tempat seperti ini sama Kaira.

Tapi sekarang?

Azka mengalihkan pandangannya ke Kaira.

Gadis itu sedang menatapnya dengan ekspresi yang sedikit berbeda dari biasanya—bukan sinis, bukan menyebalkan, bukan sombong. Kali ini, ada sesuatu di matanya yang… lebih lembut.

Sial.

“Enggak tahu,” jawab Azka akhirnya. “Mungkin kita masih musuh, tapi nggak separah dulu.”

Kaira terkekeh pelan. “Atau mungkin… kita sebenarnya suka berantem karena kita nggak sadar kalau kita udah terbiasa sama satu sama lain?”

Azka terdiam.

Suka berantem… karena terbiasa?

Bisa jadi.

Atau… bisa juga lebih dari itu.

 

Awal Baru yang Manis

Festival kampus mereda seiring malam yang semakin gelap. Suasana ramai kini perlahan-lahan berganti hening. Azka dan Kaira turun dari bianglala dengan perasaan campur aduk.

Setelah perbincangan di atas, Azka merasa ada angin baru yang berhembus di antara mereka. Mungkin, perang dingin yang mereka jalani selama ini mulai mencair, tapi dia belum sepenuhnya siap untuk itu.

Mereka berjalan beriringan, hingga Kaira tiba-tiba menghentikan langkahnya.

“Aku pengin ke booth makanan,” ujarnya dengan nada penuh semangat. “Makan takoyaki!”

Azka tersenyum. “Oke, kita ke sana.”

Di booth, mereka berdua duduk di bangku kayu. Kaira dengan semangatnya mulai melahap takoyaki, sementara Azka hanya memandangi.

“Tunggu, kamu enggak mau coba?” Kaira bertanya sambil mengangkat satu tusuk takoyaki ke arah Azka.

“Enggak, aku udah makan tadi,” jawabnya.

Kaira menggoda. “Jangan bilang kamu lagi diet!”

Azka mencibir. “Diet untuk apa? Biar lebih kurus buat siapa?”

Kaira mengedipkan mata, tampak sangat menggoda. “Bisa jadi, untuk aku.”

Seketika, Azka terdiam, terkejut dengan jawaban Kaira.

“Apa?” Dia menatap Kaira dengan serius.

Kaira tampak senang, seperti dia baru saja memenangkan sebuah pertarungan. “Kamu enggak salah denger. Aku bilang, kamu bisa kurus buat aku.”

Azka merasa wajahnya memanas. “Oke, itu sangat tidak beralasan.”

Tapi di dalam hatinya, dia merasakan getaran aneh.

Sebelum dia bisa merespons lebih lanjut, Kaira tiba-tiba mengeluarkan ponselnya dan mulai merekam. “Jadi, Azka, kamu berjanji kalau kita menang kompetisi ini, kamu bakal jadi partner aku di event tahun depan, kan?”

“Hah?” Azka mengernyitkan dahi. “Kenapa harus jadi partner?”

“Karena, ya… kita udah kerja bareng dengan baik sekarang, kan? Plus, kita sudah mengatasi banyak hal,” jawab Kaira sambil menggoda.

Dia melanjutkan merekam sambil tertawa kecil. “Azka, musuhku yang sangat mengesalkan!”

“Kenapa sih selalu begini?!” keluh Azka, berusaha menutupi rasa malunya.

Tapi Kaira tetap mengabaikannya. “Jadi, apa kamu mau?”

Azka terdiam sejenak, meresapi tawaran itu. Mungkin selama ini, mereka memang tidak hanya musuh, tapi juga teman yang saling melengkapi—meski tidak selalu dengan cara yang baik.

“Iya, aku mau,” jawab Azka akhirnya. “Tapi… kamu jangan menganggap aku partner yang baik kalau semua yang kita kerjakan tetap ribut.”

Kaira tertawa. “Sesuatu yang kita buat lebih dari sekadar keributan. Ini tentang kolaborasi!”

“Kalau kamu bisa menahan mulutmu sedikit,” balas Azka dengan nada penuh tantangan.

“Kalau kamu bisa lebih fleksibel,” sahut Kaira cepat.

Keduanya tertawa, dan dalam momen itu, Azka menyadari bahwa persahabatan yang terjalin dari permusuhan ini ternyata sangat manis.

Beberapa minggu kemudian, proyek mereka akhirnya memenangkan kompetisi. Sorak-sorai mahasiswa lainnya membanjiri mereka berdua. Kaira melompat kegirangan, sedangkan Azka hanya tersenyum, merasa bangga meskipun dia cenderung pendiam.

“Kita berhasil!” teriak Kaira sambil memeluk Azka.

Azka terkejut, tidak biasa dengan pelukan semangat dari Kaira. “Ya, kita berhasil,” jawabnya, mencoba terdengar santai.

Kaira melepaskan pelukannya dan tersenyum. “Aku tahu kamu bisa. Dan ingat, ini baru permulaan. Kita bakal kerja bareng lagi!”

Azka tersenyum tipis, merasa lega sekaligus bersemangat untuk apa yang akan datang. “Bukan hanya kerja bareng. Mungkin, kita juga bisa jadi… teman yang lebih baik.”

Kaira menatapnya dengan penuh rasa ingin tahu. “Teman yang lebih baik? Apa maksudnya?”

Azka menggelengkan kepala. “Kita lihat saja ke depannya. Selama kamu enggak terus-terusan menyebalkan.”

Kaira mencibir. “Ya, ya. Kamu ini bikin penasaran!”

Malam itu, ketika bintang-bintang bersinar di langit, Azka merasa bahwa permusuhan yang dulu hanya menjadi bagian dari perjalanan mereka. Kini, mereka berdiri di ambang sesuatu yang lebih indah—sebuah awal baru yang penuh harapan dan tawa.

Dan di dalam hati, Azka tahu bahwa mungkin, cinta itu memang datang tak terduga, dari seseorang yang dulunya dianggap sebagai musuh.

 

Nah, jadi gitu deh, guys! Dari musuh jadi teman, terus berlanjut ke cinta yang tak terduga. Siapa yang nyangka kan? Di balik semua ribut-ribut itu, ternyata ada benih cinta yang tumbuh subur. Semoga cerita ini bisa bikin kamu senyum-senyum sendiri dan ngebayangin betapa serunya menjalani kehidupan kampus! Sampai ketemu di cerita seru lainnya, ya!

Leave a Reply