Daftar Isi
Gengs, siapa yang sangka kalau jodoh itu bisa datang dari musuh bebuyutan? Di dunia SMA yang penuh drama, cinta dan benci sering kali bertukar tempat, dan Aira sama Bima jadi buktinya! Dari perjodohan orang tua yang bikin kaget, hingga momen-momen lucu yang bikin kita ngakak, siap-siap deh ikut nyaksin perjalanan mereka mencari cinta di balik semua kebencian!
Cinta Tak Terduga
Perjodohan yang Tak Terduga
Di sebuah kota kecil yang dipenuhi warna-warni kehidupan remaja, di mana suara tawa dan teriakan bersenang-senang selalu terdengar dari halaman sekolah, Aira tengah berdiri di depan papan pengumuman. Dia baru saja menyelesaikan tugas sebagai ketua OSIS untuk acara hari jadi sekolah. Aira menggerakkan kacamata bulatnya, berusaha fokus pada informasi yang tertempel. Semua terlihat berjalan normal hingga sebuah pengumuman tiba-tiba menarik perhatiannya.
“Hah? Apa ini?” gumam Aira sambil mengernyitkan dahi. Dia mengedipkan matanya dan membaca ulang. “Perjodohan? Siapa yang gila membuat keputusan seperti ini?”
Tak jauh darinya, Bima, si pemuda nakal dengan senyum menggoda dan tingkah laku yang selalu bikin kepala Aira pusing, muncul dengan langkah santai.
“Eh, Aira! Ngapain kamu melototin papan pengumuman kayak gitu? Mikirin aku ya?” Bima melontarkan leluconnya dengan nada menggoda, sambil menepuk-nepuk bahu Aira.
“Jangan sok akrab! Ini serius!” Aira menjawab dengan suara tegas, meski hatinya sedikit bergetar melihat Bima. “Kamu baca ini nggak? Orang tua kita udah mengatur pernikahan buat kita!”
Bima tersenyum lebar, seolah ini adalah kabar baik. “Wow, sepertinya ini bakal jadi pernikahan paling konyol di dunia! Kita bakal jadi pasangan paling dibicarakan, Aira!”
Aira menatap Bima seolah dia baru saja mengatakan sesuatu yang paling bodoh. “Kamu ini nggak ada otaknya ya? Kita kan musuh! Gimana bisa kita menikah? Ini bukan film komedi!”
“Mungkin ini film komedi yang sebenarnya! Kita berdua saling benci, terus tiba-tiba menikah. Klise, tapi menarik!” Bima mengangkat alisnya, berusaha membujuk Aira dengan senyumnya yang khas.
Aira merasakan dorongan untuk marah, tetapi dia tahu semua ini terasa sangat konyol. “Kamu tahu, ini bisa merusak reputasiku sebagai ketua OSIS! Kita nggak cocok, Bima. Jelas sekali!”
“Jadi kamu mau melakukan apa? Menolak keputusan orang tua kita?” Bima bersikap santai. “Coba pikirkan baik-baik, Aira. Ini bisa jadi momen paling seru dalam hidup kita!”
“Seru? Atau gila? Kamu sudah gila!” Aira berusaha menahan senyumnya. “Tapi, serius, kita perlu cari cara untuk menghentikan ini.”
Mereka berdua duduk di bangku taman yang terletak di belakang sekolah. Suara bising siswa yang bersenang-senang tidak mengurangi kegelisahan yang menghinggapi Aira. Dia meremas-remas buku catatannya, merenungkan apa yang bisa mereka lakukan.
“Jadi, gimana kalau kita berpura-pura jadi pasangan yang tidak cocok?” Bima mengusulkan, tampak penuh semangat. “Kita bisa bikin semua orang di sekitar kita pusing dan membuat orang tua kita menyadari bahwa ini bukan ide yang bagus!”
Aira menggelengkan kepala. “Itu cuma bikin semua ini jadi lebih rumit. Lagipula, orang tua kita udah terlanjur merencanakan semuanya. Mereka pasti udah jauh lebih siap daripada kita.”
“Tapi kita harus coba, kan? Kalau kita bisa membuktikan betapa buruknya kita berdua sebagai pasangan, mungkin mereka akan membatalkannya!” Bima berkata, semangatnya menular. “Ayo, kita bikin daftar kekurangan masing-masing!”
“Baiklah,” Aira akhirnya setuju, meski dia masih merasa ragu. “Tapi ini bukan untuk kesenangan, ya? Ini demi masa depan kita!”
Bima tertawa, menampilkan senyum nakalnya yang membuat Aira ingin menjitak kepalanya. “Tentunya! Siapa yang tidak ingin menikah dengan musuh? Kita akan menciptakan sejarah.”
“Sekarang, mulai dari kamu. Apa kekuranganmu?” Aira mengeluarkan pensil dan membuka buku catatannya, bersiap menulis.
Bima menggaruk kepalanya, berpura-pura berpikir. “Hmm, aku suka menggoda dan suka bikin masalah di kelas. Tapi aku juga, eh, menyenangkan, kan?”
Aira mengangguk dengan sinis. “Satu dari banyak kekuranganmu. Oke, catat! Suka menggoda, suka bikin masalah. Dan jangan lupa, banyak yang nggak suka sama kamu!”
“Lalu, giliranmu,” Bima menyandarkan punggung di bangku, menatap Aira dengan mata penuh tantangan. “Apa saja kekuranganmu yang bikin aku pengen melempar buku ke kepala kamu?”
Aira mengerutkan dahi, merasa terpojok. “Aku terlalu serius, terlalu ambisius, dan kadang bikin orang-orang di sekitarku ngeri.” Dia berhenti sejenak, berpikir. “Tapi bukan berarti aku tidak bisa bersenang-senang, ya!”
Bima mengangguk, mencoba menahan tawanya. “Oke, Aira! Kita punya cukup bahan untuk menyakiti satu sama lain.”
Setelah beberapa jam berkutat dengan daftar kekurangan, keduanya malah tidak bisa menahan tawa. Momen-momen konyol mulai muncul dalam pikiran mereka, mengingatkan betapa absurdnya situasi ini.
Ketika hari mulai gelap dan lampu taman menyala, Bima mengangkat tangan ke udara seolah sedang mengumumkan sesuatu yang penting. “Jadi, kita harus merayakan kesepakatan ini! Kita akan menjalani pernikahan paling lucu dan bikin semua orang terkejut!”
“Aku merasa ini akan jadi bencana!” Aira menggelengkan kepala, tapi senyum di wajahnya tak bisa dia sembunyikan. “Tapi, kalau kita harus melakukannya, mari kita buat itu seru!”
Dengan semangat yang baru, mereka berdua merencanakan strategi dan tawa masih terus menghiasi percakapan mereka. Siapa sangka, di balik semua kebencian dan perselisihan, ada benih-benih cinta yang mulai tumbuh, meski mereka tidak menyadarinya.
Satu hal yang pasti, perjalanan menuju pernikahan ini tidak akan membosankan.
Rencana Gila Menuju Kebencian
Hari-hari berlalu, dan semua rencana Aira dan Bima mulai terwujud. Setiap pagi sebelum pelajaran dimulai, mereka akan bertemu di sudut taman sekolah, merencanakan langkah-langkah strategis untuk menunjukkan kepada orang tua mereka bahwa pernikahan ini adalah ide terburuk yang pernah ada.
Pagi itu, Aira sedang menunggu Bima dengan perasaan campur aduk. Ia merapikan rambutnya dan mengenakan baju favoritnya, berharap penampilan bisa sedikit mengubah suasana hati yang sedang cemas. Saat Bima datang, tampak ceria dengan sepatu kets berwarna cerah dan kaus oblong yang sedikit kedodoran, senyum nakalnya menghiasi wajahnya.
“Selamat pagi, Aira! Siap untuk beraksi?” Bima berseru, bersemangat.
“Selamat pagi. Siap, tapi jangan berharap terlalu banyak!” jawab Aira, menggelengkan kepala.
Mereka memutuskan untuk memulai rencana mereka dengan membuat kesan buruk di depan teman-teman dan orang-orang di sekitar mereka. “Kita perlu tampil seolah-olah kita tidak bisa saling bertahan,” kata Aira sambil menggigit pensilnya. “Kita harus bikin drama!”
Bima mengangguk, menatap Aira dengan penuh semangat. “Oke, bagaimana kalau kita mulai dengan perdebatan sengit di kelas?”
“Maksudmu, pura-pura bertengkar?” tanya Aira, merasa antusias.
“Betul! Kita bisa mulai dengan membahas soal tugas yang ada. Dan pastinya, kita harus menjadikan itu lebih dramatis. Kita butuh penonton!” Bima berkata sambil mengacungkan telunjuknya seolah dia seorang sutradara.
Selama jam pelajaran matematika, mereka melaksanakan rencana tersebut. Aira, dengan nada suara yang tinggi, berteriak, “Bima! Kamu selalu mengerjakan tugas sembarangan! Kenapa sih kamu nggak bisa serius sedikit?”
Bima menjawab dengan nada menantang, “Oh, maaf, Aira! Tidak semua orang seambisius dirimu. Kamu pikir semua orang mau kayak kamu?”
Siswa-siswa di kelas mulai memperhatikan, beberapa mengeluarkan bisikan-bisikan geli. Aira dan Bima saling tatap, berusaha menahan tawa. Melihat ekspresi teman-teman mereka, situasi ini memang sangat lucu dan penuh dramatisasi.
“Saya pikir, jika kamu terus seperti ini, kita tidak akan bisa menyelesaikan tugas kelompok dengan baik!” Aira berteriak, melebihi batas.
“Bagaimana kalau kita tidak bekerja sama lagi?” Bima menambahkan dengan nada menantang.
Mendengar perdebatan tersebut, guru matematika mereka, Bu Siti, menengahi dengan seriosa, “Aira, Bima! Cukup! Kalian berdua sepertinya butuh bimbingan dalam bekerja sama. Jangan biarkan ego kalian merusak kerja kelompok!”
Kelas pun meledak dengan tawa. Begitu mereka selesai, Aira dan Bima saling berpandangan, terbahak-bahak, menahan diri agar tidak tertawa lebih keras.
“Wah, kita jagoan, ya! Ini lebih seru daripada yang aku bayangkan,” ujar Bima, terengah-engah.
Setelah pelajaran selesai, mereka berkumpul di kafe sekolah untuk merencanakan langkah berikutnya. “Kita perlu menciptakan momen-momen tidak menyenangkan lainnya. Mungkin bisa dengan pergi ke acara sekolah bareng dan berpura-pura tidak akur?” Aira mengusulkan.
“Setuju! Kita juga bisa membuat acara pameran seni, dan kamu harus berteriak saat melihat karyaku yang jelek,” Bima menambahkan dengan ekspresi konyol.
Keduanya menghabiskan waktu berjam-jam merencanakan aksi selanjutnya. Tanpa disadari, kedekatan mereka makin terasa. Setiap tawa dan canda, meskipun ada benang kebencian yang terjalin, tidak bisa menutup fakta bahwa mereka mulai menikmati kebersamaan itu.
Suatu sore, saat mereka sedang menikmati es krim di taman, Bima tiba-tiba mengalihkan perhatian Aira dengan sebuah pertanyaan yang tidak terduga. “Kira-kira, bagaimana ya rasanya menikah? Kamu sudah pernah membayangkan?”
Aira terdiam sejenak, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan itu dari Bima. “Aku… belum pernah benar-benar memikirkannya. Ini semua sangat mendadak dan aku nggak merasa siap. Bagaimana dengan kamu?”
Bima tersenyum sinis. “Aku rasa menikah dengan musuh kayak kamu bakal jadi pengalaman paling aneh dalam hidupku. Tapi, siapa tahu? Mungkin ada hal menarik di balik semua ini.”
Aira mengangkat alis, menatap Bima. “Jadi, kamu berani menghadapinya?”
“Mau nggak mau, kan? Lagipula, aku sudah terjebak dalam semua ini. Mungkin kita bisa jadi pasangan yang bikin semua orang geleng-geleng kepala,” jawab Bima, tersenyum nakal.
“Mungkin, atau kita malah bikin mereka marah,” Aira menjawab sambil tertawa. “Tapi untuk saat ini, mari kita buat orang-orang bingung dengan apa yang kita lakukan.”
Hari-hari berlalu dan setiap aksi yang mereka lakukan semakin memperkuat kebersamaan mereka. Saling menggoda, menciptakan drama, dan tawa yang hadir membuat keduanya semakin sulit untuk berpura-pura tidak ada rasa. Di balik semua itu, benih-benih cinta mungkin mulai tumbuh meski mereka masih terjebak dalam kebencian yang diciptakan.
Ketika Aira dan Bima pulang dari sekolah, tidak ada yang tahu seberapa dekat mereka sekarang. Setiap pertikaian dan lelucon semakin mengaburkan batas antara musuh dan kekasih. Tapi satu hal pasti: perjalanan menuju pernikahan ini sudah dimulai, dan tidak ada yang tahu ke mana akhirnya.
Kebingungan di Balik Pesta
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan Aira serta Bima semakin terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri. Meskipun rencana untuk mempermalukan satu sama lain tampak berjalan dengan baik, di balik itu semua, mereka mulai merasa nyaman dengan keberadaan satu sama lain. Hari itu, mereka sedang bersiap untuk menghadiri sebuah pesta yang diadakan oleh teman sekelas mereka, Dira.
“Pesta ini adalah kesempatan sempurna untuk menunjukkan betapa tidak cocoknya kita,” kata Aira sambil menata gaunnya di depan cermin. Ia memilih gaun berwarna merah marun yang memberikan kesan anggun dan percaya diri.
Bima berdiri di depan pintu kamarnya, berjuang memilih kemeja yang cocok. “Aira, kamu yakin kita bisa berpura-pura tidak saling suka di tengah pesta? Aku rasa semua orang sudah mulai curiga,” ujarnya sambil melirik ke arah Aira.
Aira tertawa, “Sini, aku bantu. Yang penting, kita harus terlihat tidak saling menyukai. Dan kita harus saling berpura-pura.”
Setelah beberapa saat, Bima akhirnya memilih kemeja putih dan celana jeans gelap yang membuatnya terlihat lebih santai. “Oke, siap untuk tampil buruk di depan semua orang?” dia bertanya, senyum nakal di wajahnya.
Di lokasi pesta, suasana sudah sangat meriah. Musik berdentum keras, lampu berkelap-kelip, dan semua teman sekelas mereka berkumpul, tertawa, dan menari. Begitu Aira dan Bima memasuki ruangan, pandangan semua orang langsung tertuju pada mereka.
“Eh, lihat! Pasangan musuh itu datang!” seru Roni, teman sekelas yang dikenal suka menggoda.
“Musuh? Lebih tepatnya, pasangan terpaksa!” Bima menjawab sambil melirik Aira dengan senyum penuh sindiran.
Aira memutar matanya, tetapi tidak bisa menahan tawa. “Kita bukan pasangan, Roni! Ini semua hanya drama!”
Tapi, di dalam hati, Aira merasakan kegugupan yang aneh. Melihat Bima berdiri di sampingnya dengan penuh percaya diri membuatnya meragukan semua rencananya.
Mereka mulai berjalan mengelilingi ruangan, pura-pura tidak peduli satu sama lain. Namun, ketika seorang teman mendekati mereka dan mulai menggoda, rencana itu terancam hancur.
“Coba lihat! Kalian berdua tidak saling cocok, tapi ternyata malah datang bareng!” Dira berseru. “Aira, Bima, kenapa kalian tidak dance bareng? Cobalah, kita ingin melihat seberapa tidak cocok kalian!”
“Tidak, terima kasih. Kami lebih suka mengamati dari sini,” Bima menjawab cepat.
“Benar! Kami sangat tidak ingin mengganggu suasana pesta ini,” Aira menambahkan dengan nada bercanda, berusaha tetap tenang.
Tapi Dira tetap mendesak. “Yuk, kalian berdua! Satu lagu saja, untuk kesenangan!”
Mendengar itu, Aira dan Bima saling berpandangan. Dalam sekejap, mereka merasakan ketegangan. “Baiklah, satu lagu!” Bima mengalah, dan Aira terpaksa setuju, merasa bahwa ini adalah cara terbaik untuk kembali ke rencana awal mereka.
Ketika lagu mulai diputar, Aira dan Bima berusaha sekuat tenaga untuk berpura-pura benci. Namun, saat musik mengalun, perasaan yang sulit dipahami mulai merayap di antara mereka. Bima mengambil tangan Aira, dan meskipun itu hanya untuk menjaga jarak, sentuhan itu memberikan sensasi yang tidak biasa.
“Coba jangan menari terlalu dekat, aku bisa merasakan bencimu,” Aira berujar dengan nada bercanda, tetapi wajahnya menunjukkan sesuatu yang lain.
“Tapi justru dekat adalah cara terbaik untuk menunjukkan kebencian, kan?” jawab Bima, tanpa melepaskan tangan Aira.
Selama lagu itu, keduanya tidak bisa berhenti tersenyum, meskipun mereka masih berusaha memainkan peran mereka. Gerakan mereka menjadi semakin serasi, dan saat lagu mencapai klimaksnya, Bima menggenggam tangan Aira lebih erat.
Ketika lagu selesai, suasana menjadi riuh rendah. Semua teman sekelas mereka bertepuk tangan, dan sorakan mulai mengalir. “Bagus! Kalian luar biasa!” Roni berteriak, masih tergelak.
Aira dan Bima tersipu, merasakan jantung mereka berdebar-debar. “Kita harus kembali ke rencana semula. Jangan biarkan semua ini membuat kita nyaman,” bisik Aira, berusaha untuk menenangkan dirinya sendiri.
Namun, saat mereka beranjak, seorang gadis bernama Cika mendekati mereka. “Aira, Bima, kalau kalian benar-benar benci satu sama lain, kenapa kalian tidak beradu argumen lagi? Itu sangat lucu!” dia berkata dengan antusias.
“Eh, tidak perlu, kan? Kami sudah bosen berpura-pura,” jawab Bima, namun ada senyum yang tidak bisa ia sembunyikan.
“Bosan? Atau justru merasa nyaman?” Cika menyeringai.
Mendengar itu, Aira dan Bima terkejut. “Tidak mungkin!” Aira berteriak, berusaha menutupi rasa malu yang mulai muncul.
Setelah itu, mereka kembali ke sisi ruangan, merasakan ketegangan yang aneh. “Apa ini?” Bima bertanya, bingung.
“Apa yang kamu maksud?” Aira menjawab dengan cepat.
“Tadi, saat kita berdansa… Apakah kamu merasakan sesuatu?” Bima bertanya pelan, seolah-olah menantang jawaban Aira.
Aira terdiam, terjebak dalam kebingungan antara kebencian yang telah mereka bangun dan perasaan baru yang muncul. “Mungkin kita harus berhenti sebelum semua ini jadi semakin rumit.”
“Kalau gitu, bagaimana kita bisa melanjutkan rencana kita?” Bima bertanya, masih tersenyum meski ada keraguan dalam suaranya.
Di tengah semua keributan dan kegembiraan, Aira dan Bima menyadari satu hal: mereka mungkin sudah terlalu jauh terjebak dalam permainan ini, dan entah bagaimana, semuanya mulai terasa lebih nyata daripada sekadar perjodohan yang mereka cemoohkan.
Malam itu, saat mereka berpisah di depan sekolah, mereka merasakan ketegangan yang baru. Dengan semua rencana dan kebencian yang diciptakan, apakah mereka benar-benar bisa kembali ke kebencian yang semula? Keduanya tahu bahwa perjalanan ini belum berakhir, dan rasa penasaran itu hanya akan membawa mereka lebih dalam ke dalam perasaan yang tidak terduga.
Menemukan Cinta di Balik Kebencian
Hari-hari setelah pesta itu terasa berbeda bagi Aira dan Bima. Meski mereka berusaha kembali ke rutinitas semula, ada sesuatu yang mengganggu pikiran mereka. Ketika Aira melangkah ke sekolah, dia tak bisa menahan ingatan tentang momen saat mereka berdansa, sentuhan tangan Bima yang hangat, dan cara dia melihatnya dengan ketulusan yang aneh.
Di sisi lain, Bima merasakan hal yang sama. Setiap kali melihat Aira, hatinya berdebar-debar, dan semua perasaan benci yang pernah ada tampak surut di belakang. Dia mulai mempertanyakan apakah semua ini hanya sekadar permainan atau ada sesuatu yang lebih dalam.
Suatu siang, saat istirahat, Aira duduk sendiri di taman sekolah, merenung. Bima yang melihatnya merasa ada sesuatu yang harus dilakukan. Dengan langkah mantap, dia menghampiri Aira.
“Aira, bisa kita bicara?” tanyanya, berusaha terlihat tenang meskipun hatinya berdebar.
“Bicara tentang apa? Tentang betapa kita tidak cocok?” jawab Aira dengan nada sedikit sinis, tetapi di matanya tersimpan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan.
“Jangan sok puitis, Aira. Kita harus jujur sama diri sendiri,” Bima berkata, menarik napas dalam. “Tentang apa yang terjadi di pesta kemarin.”
“Sepertinya kita sudah sepakat untuk tidak membahas itu,” Aira mencoba berkilah, namun suaranya kurang meyakinkan.
“Kenapa kita harus berpura-pura?” Bima melanjutkan, “Sejak kita menikah, semua yang kita lakukan terasa… berbeda. Kita berdua tahu bahwa semua ini tidak bisa terus berlanjut seperti ini.”
Aira terdiam, merasa terjepit antara kebencian yang dia bangun dan kenyataan baru yang muncul. “Jadi, apa yang kamu mau?”
“Saya ingin kita jujur. Jika kita harus berpura-pura, mari kita lakukan dengan baik. Tapi jika ada sesuatu yang lebih, kenapa kita tidak membicarakannya?”
Kata-kata Bima membuat Aira terhenyak. Dia mengingat semua saat-saat di mana mereka saling menggoda, menciptakan perdebatan kecil yang kadang lucu, kadang menjengkelkan. Seolah-olah ada benang merah yang tak kasat mata menghubungkan mereka, dan dia tidak bisa mengabaikannya.
“Aku… aku tidak tahu,” Aira akhirnya mengakui. “Rasa benci itu mungkin sudah tidak ada lagi, tapi kita tidak bisa melanjutkan ini begitu saja. Kita harus berhenti menikah jika ini semua hanya sebuah kebetulan.”
“Jadi, kita sepakat untuk tidak melanjutkan semua ini?” Bima bertanya, nada suaranya sedikit merendah.
Aira menggelengkan kepala. “Aku tidak tahu. Aku hanya… bingung.”
Melihat kebingungan di wajah Aira, Bima merasa ada harapan. “Apa kalau kita memberi kesempatan pada diri kita untuk mengenal satu sama lain lebih baik? Kita bisa mulai dengan cara yang sederhana. Misalnya, pergi berdua ke kafe setelah sekolah.”
“Apa itu tidak akan tampak aneh?” Aira bertanya, keraguan masih tersisa di matanya.
“Tidak! Kita bisa pura-pura hanya berteman. Siapa yang peduli apa kata mereka?” Bima bersikeras.
Aira menatap Bima, melihat ketulusan di matanya. “Baiklah, kita coba. Tapi jika semua ini menjadi aneh, aku akan menuntut untuk kembali ke ‘perjodohan’ yang sebelumnya!”
Tawa kecil terdengar dari keduanya, dan seolah-olah semua ketegangan yang ada seketika sirna. Mereka sepakat untuk memberi kesempatan pada diri mereka dan menjelajahi hubungan yang tidak terduga ini.
Hari-hari berikutnya diisi dengan obrolan, canda tawa, dan moment-moment kecil yang membuat Aira dan Bima semakin dekat. Dari kafe ke taman, mereka menemukan kesenangan dalam kebersamaan.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman, Bima menatap Aira dan berkata, “Kamu tahu, mungkin kita tidak saling membenci setelah semua ini. Mungkin… kita mulai saling menyukai.”
Aira merasakan getaran di dadanya. “Mungkin benar. Mungkin semua ini adalah bagian dari jalan kita untuk menemukan diri kita.”
Sejak saat itu, hubungan mereka berubah. Kebencian yang dulunya ada perlahan-lahan hilang dan digantikan oleh rasa saling pengertian dan perhatian.
Di sekolah, semua orang mulai memperhatikan perubahan ini. Roni, yang selalu menjadi penggoda, bahkan berkata, “Kalian berdua tidak seperti dulu. Kalian lebih… cocok sekarang.”
Kenyataan itu menambah keyakinan bagi Aira dan Bima. Dalam perjalanan yang tidak terduga ini, mereka menemukan cinta yang tumbuh di balik kebencian. Mereka telah melalui perjalanan yang unik, dan kini, dengan semua kejujuran dan pengertian, mereka siap untuk menjalani kehidupan baru bersama.
Mereka tersenyum satu sama lain, menyadari bahwa cinta tidak selalu dimulai dengan romansa; kadang-kadang, ia tumbuh dari kebencian yang diubah menjadi keakraban. Dan di dalam hati mereka, mereka tahu, ini baru awal dari sebuah kisah cinta yang tak terduga.
Jadi, siapa bilang perjodohan itu selalu berakhir buruk? Aira dan Bima berhasil membuktikan bahwa cinta bisa tumbuh dari tempat yang paling tak terduga.
Dari musuh menjadi pasangan, mereka menunjukkan bahwa cinta sejati bisa dimulai dari kebencian yang disulap menjadi keakraban. Nah, sekarang giliran kamu! Siapa tahu, jodohmu juga sedang menantimu di balik kebencian yang belum terungkap. Keep your heart open, gengs!