Cinta Tak Terduga: Cerita Jatuh Cinta dengan Bias Idola yang Mustahil

Posted on

Siapa sih yang nggak pernah ngerasain jatuh cinta sama idola? Kamu tahu, yang sering ngebayangin gimana kalau bisa ketemu mereka, ngobrol, atau bahkan… ya, cuma bareng sebentar aja. Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dunia di mana mimpi itu nggak seberat yang kita kira.

Kadang, hal yang kita anggap mustahil bisa jadi kenyataan—terutama kalau soal jatuh cinta. Jadi, siap-siap deh, cerita ini bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri, karena siapa tahu, mungkin kisah ini nggak jauh beda sama yang pernah kamu impikan!

 

Cinta Tak Terduga

Mimpi yang Terjauh

Hari itu cuaca cerah, langit biru dengan awan yang seolah tersenyum menatap dunia. Di dalam kamarnya, Celia duduk di meja belajar, menatap layar laptop yang terbuka lebar. Di depan mata, muncul sebuah poster digital berwarna-warni dengan wajah tampan Orion, idola yang sudah lama ia kagumi. Ia menekan tuts keyboard dengan jari-jarinya yang sedikit gemetar, seolah-olah sedang menulis surat untuk bintang yang hanya ada dalam mimpinya.

“Kenapa sih aku bisa jadi gila begini?” gumamnya sambil menatap tulisan yang sudah hampir selesai. “Apa aku terlalu berharap?”

Sejak pertama kali mendengar suara Orion di sebuah lagu yang diputar di radio beberapa tahun lalu, Celia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada semacam ikatan tak terucap yang membuat hatinya selalu berdebar setiap kali mendengar lagu-lagu milik pria itu. Bagi sebagian orang, Orion hanyalah seorang penyanyi, seorang bintang yang tak mungkin bisa dijangkau. Namun bagi Celia, dia lebih dari itu. Orion adalah pelipur lara, teman tanpa wajah yang ada di setiap momen kesepiannya.

“Duh, ini gila banget,” lanjut Celia, tertawa getir pada dirinya sendiri. “Mana ada sih orang bisa menang kontes cuma buat nulis surat? Bahkan cuma ketemu aja, kayaknya mustahil.”

Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang menolak untuk menyerah. Setiap malam, ia membaca ulang setiap kata dalam surat itu, membayangkan seolah-olah Orion sedang duduk di depannya, mendengarkan ceritanya. Surat itu bukan sekadar tulisan tentang kagumnya pada Orion. Itu adalah pengakuan hati, tentang bagaimana lagu-lagunya seolah menjadi teman terbaiknya di saat-saat paling sulit dalam hidup. Betapa ia merasa seperti terhubung dengan pria itu, meski Orion tak tahu siapa dirinya.

Tiba-tiba, suara dari luar kamarnya membuatnya terjaga dari lamunannya. Ibunya, Linda, yang masuk tanpa mengetuk pintu.

“Eh, kamu lagi nulis surat buat siapa?” tanya Linda sambil melangkah ke dalam, membawa secangkir teh hangat.

“Eh, nggak… nggak buat siapa-siapa, kok,” jawab Celia cepat, matanya kembali ke layar laptop, mencoba menyembunyikan gugupnya.

Linda duduk di kursi yang ada di dekat meja belajar Celia, memandang dengan tatapan penuh selidik. “Ayo, jangan bohong. Surat panjang kayak gitu pasti buat seseorang. Jangan bilang buat tugas sekolah, ya.”

Celia menghela napas panjang. Ia tahu ibunya tak akan berhenti bertanya sampai ia menjelaskan semuanya. “Sebenarnya, ini untuk kontes. Ada hadiah tiket VIP buat konser Orion, dan aku cuma… mau coba aja.”

Linda mengangkat alisnya, terkejut. “Orion? Penyanyi itu yang kamu suka banget?”

Celia mengangguk pelan. “Iya, dia tuh—ah, pokoknya kamu nggak ngerti deh. Dia tuh… beda.”

“Beda? Hah, jadi kamu percaya kalau kamu bakal menang?” tanya Linda sambil tertawa pelan. “Aku sih nggak nyangka. Tapi ya udah, kalau kamu yakin, coba aja. Paling nggak kamu bisa bilang sudah coba.”

Celia tersenyum tipis. “Aku tahu sih, kayaknya nggak bakal menang. Tapi… ada perasaan yang bilang kalau aku harus coba. Kalau nggak, aku bakal menyesal.”

Ibunya memandang Celia dengan ekspresi yang lebih lembut. “Kamu tahu kan, kalau mimpi itu penting. Jangan takut mencoba, asalkan nggak mengganggu hidupmu.”

Celia mengangguk tanpa berkata apa-apa. Kalimat-kalimat ibunya seperti mantra yang menenangkan hatinya yang gelisah. Tak lama kemudian, Linda bangkit dan meninggalkan kamar, meninggalkan Celia yang kembali terpaku pada layar laptop.

“Ya ampun, aku terlalu gila,” kata Celia pada dirinya sendiri, tapi ada semangat yang tak bisa dijelaskan yang muncul dari dalam dirinya. Satu klik lagi, dan surat itu terkirim.

Celia menatap tanggal di pojok layar. Hanya seminggu lagi sebelum pengumuman pemenang. Setiap malam setelah itu, dia tidak bisa tidur dengan tenang. Sebuah harapan kecil tumbuh dalam dirinya, meskipun dia tahu itu sangat tidak mungkin.

Selama beberapa hari, Celia menghabiskan waktunya dengan berbagai pekerjaan sampingan. Ia mencari uang untuk membeli tiket konser yang kabarnya akan dijual dalam beberapa hari lagi. Meskipun ia tidak yakin bisa mendapatkan tiket VIP, ia merasa sedikit lebih dekat dengan Orion, setidaknya dengan hadir di konsernya.

Pada suatu pagi yang mendung, saat Celia baru saja selesai bekerja paruh waktu di sebuah kafe, handphone-nya berbunyi. Suara notifikasi yang tak asing lagi muncul, dan hati Celia langsung berdebar kencang. Dengan tangan gemetar, ia membuka ponselnya dan melihat nama pengirim: Orion Fan Club.

“Enggak… jangan-jangan…” gumam Celia, matanya membesar. Ia membuka email itu dengan cepat, dan sebuah kalimat membuat jantungnya berhenti sejenak:

Selamat, kamu terpilih sebagai pemenang kontes surat paling kreatif dan berhak mendapat tiket VIP untuk konser Orion minggu depan!

Celia tidak bisa mempercayai matanya. “Aku… menang?” ucapnya dengan suara yang hampir tak terdengar. “Aku benar-benar menang?”

Celia duduk terdiam, matanya memandang email yang tampak seperti mimpi. Semua upaya, semua harapan yang ia tanamkan dalam surat itu akhirnya membuahkan hasil. Dengan napas yang masih berat, ia mencoba menenangkan diri.

Tapi entah kenapa, semakin ia membayangkan bertemu dengan Orion, semakin ada perasaan aneh dalam dirinya. Bagaimana jika itu benar-benar terjadi? Bagaimana jika saat itu tiba, semua yang ia bayangkan selama ini tak sesuai dengan kenyataan?

Tapi pada saat itu, satu hal yang pasti—mimpinya baru saja dimulai.

 

Surat yang Mengubah Segalanya

Keesokan harinya, Celia terbangun dengan perasaan campur aduk. Jantungnya masih berdebar kencang saat mengingat email yang baru saja ia terima. Tiket VIP konser Orion—sesuatu yang dulunya hanya sebuah angan-angan, kini ada di genggamannya. Celia berdiri di depan cermin, menatap refleksinya dengan bingung. “Apa aku benar-benar siap untuk ini?” pikirnya, merapikan rambut yang masih acak-acakan.

Tapi meskipun ada sedikit ketegangan di dadanya, semangatnya tak terbendung. Beberapa hari kemudian, ia mendapat konfirmasi untuk bertemu langsung dengan Orion setelah konser. Perasaan gembira bercampur rasa takut mulai menghantui pikirannya. Bayangan wajah Orion, senyum manisnya, suaranya yang lembut—semua itu seperti mimpi yang akan segera menjadi kenyataan.

Pagi itu, Celia mengenakan gaun biru muda yang ia beli beberapa minggu lalu. Tidak terlalu mewah, tetapi cukup elegan. Ia ingin terlihat baik, bukan hanya bagi Orion, tetapi juga untuk dirinya sendiri. Sesekali, ia melirik kalung kecil berbentuk bintang yang kini tergantung di lehernya—hadiah dari Orion yang dikirimkan lewat fanclub, sebuah simbol kecil dari perjalanan panjang yang baru saja dimulai.

“Celia, sudah siap?” tanya ibunya, memecah lamunan Celia yang terbenam dalam kegelisahan.

Celia mengangguk, meskipun masih ada sedikit rasa ragu yang menggelayuti hatinya. “Iya, Ma. Cuma… nggak percaya aja kalau aku bakal ketemu dia.”

Linda tersenyum, tahu betul perasaan anaknya. “Kamu harus percaya, Celia. Ini kesempatan yang nggak datang dua kali. Nikmatin aja, dan jangan lupa, jadi dirimu sendiri.”

Kata-kata ibunya membangkitkan sedikit kepercayaan diri dalam diri Celia. “Iya, Ma. Makasih,” jawab Celia, mengingatkan dirinya untuk menikmati momen itu tanpa beban.

Setelah berjanji pada ibunya untuk menjaga diri, Celia berjalan menuju lokasi konser dengan hati yang penuh semangat dan ketegangan. Saat ia sampai di venue, kerumunan sudah sangat ramai, dan suasana terasa lebih hidup dari yang ia bayangkan. Begitu banyak orang yang datang hanya untuk melihat Orion, dan untuk pertama kalinya, Celia merasa seperti bagian dari dunia yang sangat berbeda—sebuah dunia yang penuh dengan orang-orang yang juga mengagumi pria yang ia cintai tanpa mengenalnya.

Pintu masuk dibuka, dan Celia bersama ribuan penggemar lainnya memasuki arena konser. Suasana di dalam venue terasa begitu memukau—lampu yang berkilau, layar besar yang menampilkan wajah Orion, dan suara musik yang menggema. Setiap detik yang berlalu membawa Celia semakin dekat pada mimpinya.

Ketika konser dimulai, Celia hampir tidak bisa menahan diri. Setiap lagu yang Orion nyanyikan terasa seperti ucapan langsung dari hati, seolah-olah setiap kata dalam lirik itu ditujukan khusus untuknya. Ketika Orion menyapa penggemarnya dengan senyum lebar dan suara merdu, Celia merasa seolah-olah dunia berhenti berputar—hanya ada dia dan Orion di sana.

Tapi di tengah keramaian, tiba-tiba, suara yang familiar memecah konsentrasi Celia.

“Celia, kamu di sini?”

Celia menoleh, dan matanya langsung terfokus pada sosok pria yang muncul di sampingnya—seorang pria dengan rambut gelap dan senyum yang sangat akrab.

“Alvin?” Celia terkesiap, terkejut sekaligus bingung. Alvin adalah teman dekatnya sejak kecil, dan meskipun mereka sudah lama tidak saling berkomunikasi, wajahnya masih bisa dikenali dengan mudah.

Alvin tertawa kecil melihat ekspresi Celia. “Hei, jangan kaget gitu dong. Aku juga nggak nyangka bisa nemuin kamu di sini. Ternyata kamu penggemar berat Orion juga ya?”

Celia terdiam sejenak. “Iya, gimana bisa nggak? Dia tuh—”

“Ya ya, aku tahu. Sampai kamu ikut kontes itu kan?” Alvin memotong, lalu duduk di sampingnya. “Aku sih, cuma suka dengerin lagu-lagu dia. Tapi, untuk kamu yang sampai nulis surat panjang-panjang, bisa dibilang kamu agak… fanatik, ya?”

Celia merasa sedikit canggung. “Aku nggak fanatik kok, cuma… ya, dia itu, kamu tahu, bukan cuma idola. Musiknya itu bisa jadi tempat pelarian, ngerti kan?”

Alvin mengangguk, seolah-olah baru saja mendapat pencerahan. “Iya, ngerti. Jadi, kamu yakin nggak ada apa-apa di balik itu semua? Maksudnya, kayak, ada harapan untuk ketemu dan…”

Celia memotongnya dengan tertawa kecil, meskipun ada sedikit keraguan dalam dirinya. “Ah, nggak usah dibahas, Alvin. Itu cuma mimpi kok. Kamu tahu kan, mana mungkin dia peduli sama aku.”

Alvin mengangkat bahu, masih tersenyum lebar. “Ya, namanya juga mimpi, kan? Yang penting kamu happy. Lagian, kamu punya tiket VIP, nggak banyak orang yang beruntung gitu.”

Celia hanya bisa tersenyum kecut. “Iya, mungkin.”

Malam itu, konser berlangsung luar biasa. Setiap detik di sana seolah memberikan Celia energi baru. Namun, meskipun ia berteriak dan ikut bernyanyi bersama penggemar lainnya, hatinya tetap tidak bisa menepis kenyataan bahwa, di balik semua sorakan dan kegembiraan itu, ada ketegangan yang terus mengganggu pikirannya. Akankah momen itu benar-benar terjadi? Akankah dia benar-benar bisa bertemu dengan Orion seperti yang ia impikan selama ini?

Ketika konser hampir berakhir, pengumuman itu datang.

“Untuk semua pemenang kontes surat yang hadir malam ini,” kata suara di atas panggung, “kami akan mengundang kalian untuk bergabung di belakang panggung untuk bertemu langsung dengan Orion.”

Celia merasa seperti dunia berhenti berputar. Pemandangan di sekitar mulai kabur, hanya ada satu tujuan—menuju ke belakang panggung. Seperti mimpi yang terlalu indah untuk dipercaya, ia melangkah dengan hati yang penuh semangat dan kegelisahan. Ini adalah saat yang ditunggu-tunggu. Begitu dekat. Begitu nyata.

Namun, ketika ia memasuki ruangan di belakang panggung, sebuah suara lembut yang familiar menyapa, dan tubuhnya membeku sejenak.

“Celia, senang akhirnya bisa bertemu denganmu,” kata Orion, sambil tersenyum hangat.

Dan di saat itulah, segala hal yang Celia impikan selama ini terasa seperti sesuatu yang lebih dari sekadar kenyataan.

 

Senyuman yang Menggugah Dunia

Celia berdiri di sana, terpaku. Wajah Orion, idola yang selama ini hanya ada di layar ponselnya, kini berada tepat di depannya. Semua perasaan campur aduk yang tadi berputar di dadanya seolah meluruh begitu saja, tergantikan oleh ketegangan yang hampir tak tertahankan. Dunia seakan berhenti berputar. Hanya ada dia dan Orion, dua dunia yang seolah bertemu dalam satu ruang, satu momen.

Orion tersenyum padanya, senyum yang hangat dan tulus. “Kamu yang kirim surat itu, kan?” tanyanya dengan nada lembut, membuat Celia merasa seolah-olah dia benar-benar diperhatikan.

Celia mengangguk dengan canggung, wajahnya memerah. “Iya… itu aku,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar karena saking gugupnya.

Orion tertawa pelan, mengalihkan pandangannya ke samping sejenak, seolah menenangkan diri sebelum kembali fokus pada Celia. “Aku harus bilang, surat kamu bener-bener beda dari yang lain. Kamu punya cara yang unik untuk menyampaikan perasaanmu.”

Celia hanya bisa tersenyum lemah, merasa tak percaya bahwa kalimat yang baru saja keluar dari mulut Orion benar-benar ditujukan padanya. “Aku cuma menulis apa yang aku rasakan…” jawabnya, berusaha menyembunyikan rasa gugupnya yang semakin menggelora.

Orion mengangguk. “Dan aku menghargainya. Sangat menghargainya.”

Celia merasa seperti ada seribu kupu-kupu yang terbang di dalam dadanya, berusaha menahan diri untuk tidak melompat kegirangan. Semua yang selama ini ia bayangkan, tentang bagaimana rasanya bertemu dengan Orion, kini terasa begitu nyata.

Sebuah suara lain memecah keheningan di antara mereka. “Oke, guys, waktunya kita mulai sesi foto bareng! Semua pemenang, silakan maju ke depan.”

Celia menatap Orion sejenak, dan dalam sekejap, keduanya bergerak mengikuti arahan kru. Ia merasa seperti dalam mimpi, hampir tak percaya bahwa kini ia akan berada di sana, di antara penggemar lainnya, di samping pria yang telah lama ia idolakan.

Selama sesi foto, Celia berusaha mengendalikan diri, walaupun jantungnya terus berdebar kencang. Setiap kali pandangannya bertemu dengan Orion, dia merasa seperti dikelilingi oleh cahaya. Sungguh, ia tak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya. Bukan hanya kegembiraan, tapi ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuatnya merasa seperti dunia ini hanya miliknya dan Orion.

Foto-foto selesai, dan suasana menjadi lebih santai. Beberapa penggemar mulai berbicara dengan Orion, namun Celia merasa seperti ia berada di ruang sendiri, hanya ada dia dan Orion yang terpisah dari keramaian.

Orion kemudian melihat Celia dan tersenyum. “Kamu pasti capek, kan? Kalau begitu, ayo duduk sebentar.” Tanpa menunggu jawabannya, Orion melangkah ke area samping panggung yang lebih sepi, tempat di mana mereka bisa berbicara dengan lebih tenang.

Celia merasa jantungnya hampir berhenti berdetak. Apakah ini benar-benar terjadi? Mereka duduk di sebuah bangku panjang, jauh dari keramaian. Hanya ada Orion dan dirinya, dua orang yang entah kenapa kini merasa seperti dunia milik mereka sendiri.

“Jadi, apa yang membuat kamu begitu terobsesi dengan musikku?” tanya Orion, suaranya lembut namun penuh rasa ingin tahu. “Aku benar-benar penasaran. Biasanya orang-orang lebih tertarik sama penampilanku di atas panggung, tapi kamu… kamu menulis tentang musikku, tentang perasaanmu.”

Celia terdiam sejenak, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. “Sebenarnya… musikmu itu lebih dari sekedar hiburan buat aku. Waktu aku lagi down, lagu-lagumu selalu jadi tempat buat aku lari, buat ngerasa lebih baik. Dan surat itu, ya… itu cara aku untuk mengungkapkan semua yang nggak bisa aku bilang langsung.”

Orion mendengarkan dengan seksama, matanya yang tajam penuh perhatian. “Aku senang bisa memberikan sesuatu yang berarti untuk kamu. Musik adalah bahasa universal, kan? Bisa menyentuh orang yang bahkan nggak kita kenal. Aku bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalananmu.”

Celia merasa tersentuh mendengar kalimat itu, hatinya semakin terhanyut dalam perasaan yang tak terlukiskan. Mereka berbicara lebih lama, mengenai lagu-lagu yang membuat mereka merasa hidup, tentang impian dan harapan, tentang dunia yang terkadang terasa berat. Celia merasa seperti berbicara dengan seorang teman lama yang benar-benar mengerti dirinya.

Tapi tak lama kemudian, seorang kru konser mendekati mereka dengan wajah cemas. “Maaf, Orion. Waktunya hampir habis. Kamu harus kembali ke panggung.”

Orion menatap Celia sejenak, lalu berdiri. “Tentu. Aku harus kembali, tapi…” Ia menoleh dan tersenyum padanya. “Aku berharap kita bisa bicara lagi, nanti. Mungkin lebih lama.”

Celia merasa dunia berhenti lagi sejenak. “Tentu, aku juga berharap begitu,” jawabnya, berusaha menahan diri agar tidak terlalu terlihat canggung.

Orion memberi senyuman hangat yang membuat hati Celia berdebar lebih kencang. “Terima kasih sudah datang, Celia. Kamu luar biasa.”

Ketika Orion kembali ke panggung, Celia tetap di sana, terdiam. Semua yang baru saja terjadi terasa begitu cepat, seperti angin yang berlalu. Ia menyadari bahwa ini bukan hanya tentang bertemu idola. Ini lebih dari itu. Ini tentang bagaimana hidup bisa memberikan kejutan-kejutan yang tak pernah kita duga.

Celia berjalan keluar dari ruang belakang panggung dengan langkah ringan, meskipun hatinya masih penuh dengan kegembiraan yang tak bisa dia ungkapkan. Ketika ia keluar, ia melihat langit malam yang penuh bintang, dan seolah-olah Orion adalah salah satu bintang di sana, menatapnya dari jauh.

“Celia,” suara itu memanggilnya lagi.

Dia menoleh dan melihat Alvin yang berdiri beberapa langkah di depannya, dengan ekspresi wajah yang sedikit bingung.

“Gimana? Kamu ngobrol sama Orion? Kenapa nggak ajak aku sih?” Alvin terkekeh, seolah menggodanya.

Celia hanya tersenyum lebar, senyumnya tak bisa disembunyikan lagi. “Kamu nggak ngerti, Alvin. Ini lebih dari sekadar ngobrol.”

Alvin menatapnya dengan penasaran. “Aku nggak ngerti apa yang kamu rasain, Cel. Tapi aku bisa lihat kamu bahagia banget. Dan itu yang penting, kan?”

Celia hanya mengangguk, sambil menatap langit malam dengan senyum yang masih terpasang di wajahnya.

“Ya, Alvin… aku bahagia,” gumamnya, hampir seperti berbisik pada diri sendiri.

Dan di balik langit yang penuh bintang, mimpinya sepertinya sudah mulai menjadi kenyataan.

 

Akhir yang Baru Dimulai

Hari-hari setelah konser itu berlalu dengan kecepatan yang hampir tak terasa. Celia kembali ke rutinitasnya—kuliah, tugas, dan segala hal yang biasa dia jalani. Namun, ada sesuatu yang berbeda sekarang. Setiap kali dia mendengar lagu-lagu Orion, ada perasaan hangat yang mengalir di dalam dirinya. Seolah ada koneksi yang lebih dalam, meskipun itu hanya sekadar perasaan yang mungkin tak akan pernah terbalas.

Namun, itu tak mengurangi keindahan dari setiap momen yang mereka bagikan, bahkan hanya dalam percakapan singkat. Orion bukan hanya seorang idola bagi Celia lagi. Dia sudah menjadi bagian dari dunia yang selama ini terasa begitu jauh.

Pagi itu, setelah seminggu berlalu sejak pertemuan mereka, Celia duduk di kafe kampus sambil mengerjakan tugas. Ponselnya bergetar di atas meja, dan saat melihat layar, hatinya langsung berdebar. Itu pesan dari Orion.

“Celia, aku ingin mengucapkan terima kasih lagi untuk semua dukungan yang kamu beri. Mungkin kita bisa bicara lagi, kali ini bukan tentang musik saja. Aku benar-benar ingin mengenalmu lebih jauh.”

Pesan itu sederhana, namun kata-kata itu membuat dunia Celia kembali berputar. Ingin mengenalnya lebih jauh? Perasaan itu kembali tumbuh, semakin dalam. Meski mereka hanya sempat berbicara beberapa kali, ada sesuatu yang membuat Celia yakin bahwa ini lebih dari sekadar kebetulan. Ada ikatan yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Celia melirik ke luar jendela, ke arah jalanan kampus yang sibuk, dan menghela napas panjang. Apakah ini benar-benar mungkin? Inilah saat yang ditunggu-tunggu, saat di mana sebuah hubungan—yang selama ini hanya ada di dunia maya dan impian—akan jadi lebih nyata.

Dia mengetik balasan dengan hati yang berdebar.

“Aku juga ingin lebih banyak mengenalmu, Orion. Kalau ada kesempatan, aku pasti akan sangat senang.”

Kirim.

Tak lama setelah itu, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, pesan dari Orion yang datang begitu cepat.

“Aku akan ada di kota minggu depan untuk konser lain. Kalau kamu ada waktu, aku ingin ajak kamu ketemu di luar sana, hanya berdua.”

Celia merasa seperti tidak bisa bernapas sejenak. Mengajak bertemu? Berdua? Semuanya terasa seperti impian, dan Celia hampir tidak percaya. Tapi kemudian, dia teringat pesan Orion yang sebelumnya—tentang bagaimana ia ingin mengenalnya lebih jauh. Apakah ini benar-benar terjadi?

Dengan tangan yang gemetar, Celia mengetikkan balasan, kali ini dengan lebih percaya diri, meskipun hatinya berdebar.

“Aku akan datang. Itu pasti.”

Saat mengirim pesan itu, Celia menyadari sesuatu yang penting: Cinta itu bukan tentang seberapa besar harapan kita pada seseorang, tapi tentang seberapa kita siap membuka hati dan memberi kesempatan pada hal-hal yang tidak terduga. Seperti dirinya yang sekarang, yang tak pernah membayangkan bahwa ia akan bertemu langsung dengan Orion, apalagi sampai bisa berbicara lebih banyak dan kini diberi kesempatan untuk mengenalnya lebih dalam.

Minggu depan tiba dengan cepat. Celia melangkah ke tempat yang sudah ditentukan, dengan hati penuh campur aduk. Ada rasa gugup, namun juga harapan yang membuncah. Ketika dia sampai, Orion sudah menunggunya di luar sebuah kafe kecil yang tidak terlalu ramai.

Celia melihat ke arahnya dan detak jantungnya meningkat pesat. “Orion,” gumamnya pelan.

Orion menoleh dan tersenyum. Senyum yang selalu membuat hati Celia berdebar. “Celia,” jawabnya dengan lembut, suara penuh kehangatan. “Aku senang kamu datang.”

Mereka duduk di meja kecil di pojok kafe itu, jauh dari keramaian. Percakapan mengalir begitu alami, seperti mereka sudah lama saling mengenal. Tak ada lagi rasa canggung yang mengganjal, hanya dua orang yang berbicara tentang hidup, mimpi, dan segala hal yang ingin mereka capai.

Waktu berlalu begitu cepat. Rasanya seperti baru beberapa menit, padahal sudah berjam-jam. Saat mereka berdua berdiri untuk berpisah, Orion menatap Celia dengan mata penuh makna.

“Aku senang kita bisa bicara lebih lama,” kata Orion dengan serius. “Aku merasa ada sesuatu yang… lebih. Kamu bukan hanya penggemarku, Celia. Kamu lebih dari itu.”

Celia merasa hati dan pikirannya bergetar mendengar kalimat itu. “Aku juga merasa begitu, Orion.”

Saat itu, Orion melangkah mendekat, dan tanpa berkata apa-apa, ia menatap Celia sejenak. Ada keheningan yang mengisi ruang di antara mereka, keheningan yang penuh makna. Lalu, tanpa kata, ia memberi senyum tipis yang sangat berarti.

“Ini baru permulaan, Celia,” katanya pelan. “Aku ingin lebih banyak waktu denganmu.”

Celia merasa seluruh dunia terhenti sejenak. Dia hanya bisa tersenyum, merasa seperti segala sesuatu yang dia impikan telah mulai terwujud.

Dunia ini, dengan segala keajaiban dan kemungkinan yang tak terduga, membawa mereka ke sini. Pada akhirnya, semua ini bukan hanya tentang idola dan penggemar. Ini tentang dua hati yang, meskipun tak sempurna, bersedia untuk memulai perjalanan bersama.

Dan Celia tahu, perjalanan mereka baru saja dimulai.

 

Dan siapa yang tahu, mungkin kamu juga punya cerita serupa—tentang jatuh cinta pada seseorang yang seolah jauh banget, tapi ternyata dekat banget di hati. Cinta itu nggak selalu soal kenyataan, tapi soal bagaimana kita bisa menikmati perjalanan dan setiap momennya.

Jadi, meski kamu cuma bisa ngelihatnya dari jauh, nggak ada salahnya buat terus bermimpi. Karena, siapa tahu, suatu hari nanti mimpi itu bisa jadi kenyataan. Terus percaya, dan jangan takut buat jatuh cinta, bahkan kalau itu pada bias idola sekalipun!

Leave a Reply