Cinta Tak Terbatas Waktu: Cerpen Romantis Tentang Perpisahan dan Keikhlasan

Posted on

Pernah nggak sih kamu merasa cinta itu seperti waktu yang nggak pernah berhenti, tapi kita malah harus berpisah? Kayak udah tahu kalau hubungan itu nggak bisa selamanya, tapi tetep aja berharap kalau itu bisa bertahan. Ya, cerpen ini bakal ngomongin tentang itu.

Tentang cinta yang tak terbatas waktu, tapi harus selesai di waktu yang nggak tepat. Dan mungkin, kamu bakal ngerti kenapa kadang perpisahan itu bukan tentang berakhir, tapi tentang melepaskan dengan ikhlas. Yuk, baca aja, siapa tahu ada bagian dari cerita ini yang nyentuh kamu.

 

Cinta Tak Terbatas Waktu

Perjumpaan di Ujung Jalan

Di sebuah kafe kecil yang terletak di ujung jalan yang selalu sepi di malam hari, suasana terasa lebih tenang dari biasanya. Lampu-lampu kuning yang redup menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya lembut yang memberi kesan hangat meskipun angin malam menyusup melalui celah-celah pintu. Aku duduk di sudut ruangan, sendirian, dengan secangkir kopi hitam yang hampir habis. Lalu, mataku tertuju pada seseorang yang baru saja masuk.

Dia duduk di meja sebelah. Aku tidak tahu siapa dia, dan sebenarnya, aku tidak peduli. Aku sudah terbiasa dengan kesendirian. Tetapi ada sesuatu yang membuatku tak bisa mengalihkan pandangan darinya. Cara dia duduk, cara dia mengamati sekeliling dengan tatapan kosong seolah sedang mencari sesuatu, membuatku merasa aneh.

Aku meneguk kopiku, berusaha untuk tidak terlihat terlalu tertarik. Tapi dia berbeda, sesuatu tentangnya terasa begitu… berbeda. Dari sudut mataku, aku bisa melihat senyum kecil yang sesekali muncul di wajahnya. Seperti seseorang yang tahu lebih banyak daripada yang dia tunjukkan. Aku merasa, sepertinya aku pernah melihatnya di suatu tempat, meskipun aku yakin ini pertama kalinya aku bertemu dengannya.

Lalu, tak sengaja mataku bertemu dengan matanya. Dia menatapku sejenak, tidak terkejut, hanya pandangan yang tenang, seperti sudah lama mengenaliku. Itu yang membuatku merasa canggung. Tanpa sadar, aku membuka mulut. “Kenapa kamu memandangi waktu?” tanyaku, suara ku terdengar lebih keras dari yang ku inginkan, dan langsung terasa bodoh. Aku tersentak, tidak tahu kenapa pertanyaan itu meluncur begitu saja.

Dia sedikit tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela, seolah sedang memikirkan jawabannya dengan hati-hati. “Karena waktu tidak pernah menunggu siapapun, dan kita sering lupa untuk memanfaatkannya,” jawabnya pelan, tanpa terburu-buru.

Kata-katanya terasa begitu dalam, seperti ada makna yang tersembunyi di baliknya. Aku tak bisa menjawab apa-apa. Terkadang, kata-kata yang terlalu berat hanya bisa diterima begitu saja tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut.

Dia menoleh lagi ke arahku, kali ini dengan tatapan yang lebih tajam, seolah melihat lebih dalam daripada sekedar fisikku. “Kamu… sedang menunggu sesuatu?” tanyanya, suaranya santai, tapi ada ketajaman yang sulit disembunyikan.

Aku tidak tahu bagaimana menjawabnya. Aku hanya tertawa kecil, merasa bodoh lagi. “Tidak, aku hanya menikmati malam,” jawabku sambil menatap kopi yang tinggal setengah, merasa seolah sedang berusaha membicarakan sesuatu yang tidak ada.

Dia diam sejenak, lalu menimpali, “Tapi kadang kita tak pernah tahu, kan, kalau kita sudah lewat di depan sesuatu yang benar-benar berarti hanya karena kita sibuk menunggu hal-hal yang lebih besar.”

Kalimat itu menyentuh sesuatu yang lebih dalam dalam diriku. Aku menyandarkan punggung ke kursi, memikirkan kata-katanya. Ada sesuatu yang aku rasakan, sebuah koneksi yang tak bisa dijelaskan. Mungkin karena aku sudah terlalu lama meragukan arti waktu, terlalu lama merasa semuanya hanya akan berakhir sia-sia. Aku merasakan dia seperti bisa melihat itu, melihat ketakutanku yang selalu aku sembunyikan.

Dia kembali mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap bintang-bintang di atas sana dengan ekspresi yang tidak bisa kutebak. “Kamu tahu, kadang aku merasa waktu hanya ada untuk menguji kita,” katanya lagi, seolah berbicara pada dirinya sendiri, bukan padaku. “Tapi aku memilih untuk tidak terlalu memikirkan waktu. Cukup menikmati saat-saat yang ada.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Mungkin aku terlalu takut untuk melangkah, terlalu khawatir pada apa yang akan terjadi di masa depan. Tapi dia, dia seolah tidak peduli dengan segala batasan yang ada. Aku bahkan tidak tahu mengapa aku merasa seperti ini. Ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meskipun aku juga takut bahwa itu hanya akan berakhir sama, seperti hal-hal lainnya.

“Kenapa kamu terlihat seperti sudah tahu apa yang akan terjadi?” tanyaku, lebih kepada diriku sendiri. “Seolah kamu tak takut apapun.”

Dia tertawa kecil, suara yang ringan dan lembut, membuatku merasa aneh. “Aku hanya mencoba untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri,” jawabnya. “Karena pada akhirnya, semua itu sia-sia jika kita terlalu terikat dengan masa depan. Yang terpenting adalah bagaimana kita menjalani sekarang.”

Kalimat itu kembali menusuk hatiku, seolah-olah setiap kata yang diucapkannya adalah cermin dari segala ketakutanku. Aku sudah terbiasa untuk merencanakan setiap langkah, memastikan bahwa tidak ada ruang untuk kesalahan. Tetapi, mendengarnya berkata seperti itu, rasanya seperti dia mengajak aku untuk melepaskan semua beban itu, meskipun aku tak tahu apakah aku siap melakukannya.

Kami berdua terdiam lama. Hanya suara angin dan deru mobil yang terdengar di luar kafe. Rasanya, ada sesuatu yang tak terungkapkan di antara kami, sebuah percakapan yang belum selesai, meskipun kata-kata sudah habis diucapkan.

Lalu, tanpa memberi banyak kata, dia berdiri dan berkata, “Aku harus pergi sekarang.” Senyumnya tipis, namun ada sesuatu yang hangat di sana. “Tapi aku senang bisa berbicara denganmu.”

Aku hanya mengangguk, tak bisa berkata-kata. Ketika dia pergi, ada rasa kosong yang aneh di dada, seolah-olah bagian dari diriku ikut pergi bersamanya. Aku menatap pintu kafe yang tertutup rapat di belakangnya, merasa seolah waktu telah menyisakan sesuatu yang tidak bisa aku tangkap. Tapi aku juga tahu, perasaan itu—perasaan yang begitu tidak terduga—akan tetap ada, entah sampai kapan.

 

Ketika Waktu Berbicara

Hari-hari berlalu tanpa perubahan yang berarti. Kafe kecil itu tetap ada, seperti biasa, di ujung jalan yang selalu sepi saat malam. Aku tetap duduk di sudut yang sama, dengan secangkir kopi yang semakin sering kuhabiskan tanpa banyak berpikir. Namun, ada satu hal yang berbeda sekarang—aku tak bisa menghapus bayangannya begitu saja dari pikiranku. Yara. Namanya masih bergema dalam benakku setiap kali aku berjalan melewati jalan itu, dan setiap kali aku menyesap kopi yang sudah terasa tak lagi hangat.

Aku tahu bahwa tak ada yang benar-benar berubah. Tapi kenapa rasanya aku merasa seperti waktu itu terus menggantung di atas kepalaku? Aku tak pernah bertemu seseorang seperti dia. Tidak ada yang sepertinya bisa berbicara begitu lugas tentang waktu dan segala batasnya, seakan-akan dia sudah tahu bahwa waktu bukanlah sesuatu yang bisa kita atur, tapi sesuatu yang selalu bergerak, melangkah tanpa mempedulikan kita.

Hari ini, aku kembali ke kafe itu, meskipun aku tahu dia mungkin tidak akan datang. Tapi, entah kenapa, aku merasakan dorongan aneh untuk kembali ke tempat itu—seperti sebuah harapan kecil yang masih bertahan meski sudah lama pudar. Aku duduk di kursi yang sama, kali ini tanpa secangkir kopi. Aku hanya duduk diam, membiarkan keheningan menyelimuti diriku, membiarkan pikiranku mengalir begitu saja.

Lalu, saat aku sedang tenggelam dalam pikiranku, aku mendengar suara seseorang. Suara itu membuatku sedikit terkejut, karena aku mengenalnya.

“Rasanya aneh, kan?” suara itu terdengar dari belakangku. Aku mengenali suara itu dengan cepat.

Aku menoleh, dan di sana, berdiri Yara dengan senyum yang seolah mengerti kegelisahanku. “Kamu masih duduk di sini?” tanyanya, hampir dengan nada tertawa ringan.

Aku merasa sedikit canggung, namun aku mencoba untuk tetap tenang. “Iya, aku hanya… menikmati keheningan,” jawabku, berusaha menjaga sikap agar tidak terlihat terlalu terkejut atau bahkan terlalu senang.

Dia duduk di meja yang sama, di sebelahku. Kali ini, aku bisa merasakan kedekatan yang berbeda. Tak ada banyak kata yang terucap antara kami, tapi aku merasakannya—sesuatu yang tak terungkapkan, namun begitu jelas. Dia hanya duduk, menatap keluar jendela, seolah sedang mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Aku membuka mulut, berusaha untuk memulai percakapan. “Kenapa kamu bilang waktu itu seperti menguji kita?” tanyaku, merasa penasaran sekali. Kalimat itu terus berputar di kepalaku sejak pertemuan kami yang pertama.

Yara menoleh ke arahku, matanya yang gelap itu seolah menilai sejenak, lalu dia menjawab dengan suara rendah yang hampir seperti bisikan, “Karena kita sering melawan waktu, kita pikir bisa mengendalikannya, tapi pada akhirnya kita cuma mengikuti arusnya. Kita tidak punya pilihan selain terus berjalan, bahkan ketika kita merasa terjebak.” Dia terdiam sejenak, seolah berpikir lebih dalam. “Aku hanya ingin tahu, apakah kamu juga merasa seperti itu? Terkadang waktu itu seperti musuh yang tak terlihat, kan?”

Aku mengangguk pelan, merasakan bahwa kata-katanya menyentuh sesuatu yang dalam di dalam diriku. Aku selalu merasa terjebak dalam rutinitas, dalam keputusan-keputusan yang sepertinya sudah diatur oleh waktu. Aku seperti sedang berlari mengejar sesuatu yang tidak pernah aku mengerti, dan semakin aku berusaha, semakin aku merasa lelah.

“Kadang, aku merasa seperti waktu itu cuma ilusi,” lanjutku, suara ku serak tanpa aku sengaja. “Kita mengejarnya, tapi sepertinya dia hanya semakin menjauh.”

Yara tersenyum sedikit, tapi ada sesuatu yang berbeda di balik senyumannya. “Mungkin,” jawabnya pelan, “tapi apakah itu berarti kita harus berhenti mengejarnya? Atau justru kita harus berhenti memikirkan waktu dan lebih memikirkan apa yang kita jalani saat ini?”

Aku terdiam. Kata-katanya membuatku terhenti sejenak, merenungkan setiap kalimat yang baru saja dia ucapkan. Apa artinya untuk berhenti mengejar waktu? Apakah itu berarti kita menerima kenyataan bahwa kita tidak bisa mengubah apapun? Atau, apakah itu berarti kita mulai melihat nilai dalam setiap detik yang kita punya, tanpa terbebani oleh apa yang akan datang?

Sementara aku terbenam dalam pikiran, dia seolah tahu apa yang terjadi dalam kepalaku. “Aku tahu ini terasa sulit. Rasanya seperti kita selalu berusaha memperbaiki sesuatu yang tidak bisa diperbaiki. Tapi, menurutku, mungkin kita perlu berhenti sejenak dan melihat apa yang sudah kita miliki. Kita sering lupa untuk menikmati saat-saat yang ada.”

Aku menatapnya, merasa ada ikatan yang tak terucapkan di antara kami. Tidak ada janji atau harapan besar yang bisa dijanjikan. Tapi kata-katanya membuka sesuatu dalam diriku, membuka cara pandang baru terhadap waktu—bukan lagi sebagai musuh yang harus dilawan, tetapi sebagai sesuatu yang harus dihargai, bahkan jika hanya untuk sesaat.

Aku menghela napas panjang, merasa sedikit lega. “Aku… merasa seperti kita sedang berbicara tentang sesuatu yang lebih besar daripada sekedar waktu,” kataku dengan perlahan. “Apa yang kita bicarakan ini, rasanya lebih dari sekedar percakapan.”

Yara menatapku dengan tatapan yang dalam, seperti dia tahu apa yang aku rasakan. “Mungkin itu karena kita berdua sedang mencoba memahami sesuatu yang sulit dipahami,” jawabnya dengan lembut. “Cinta, waktu, semuanya itu saling terkait. Kita hanya perlu belajar menerima ketidaksempurnaan itu.”

Aku tak bisa berkata-kata lagi. Kami duduk dalam keheningan, seolah masing-masing terjebak dalam dunia pemikiran kami sendiri, namun tetap terhubung dengan cara yang tak terucapkan. Waktu terus berjalan di luar sana, tapi di dalam kafe ini, di antara kami, rasanya waktu seolah berhenti sejenak.

Aku tahu, mungkin ini hanya sebuah pertemuan singkat, sebuah percakapan yang mungkin akan dilupakan. Tapi entah kenapa, aku merasa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah perjalanan yang tak tahu kemana arahnya, tapi aku merasa bahwa, bersama Yara, waktu ini menjadi lebih berarti.

 

Di Antara Harapan dan Waktu

Keesokan harinya, aku kembali ke kafe itu. Kali ini, tanpa tujuan khusus. Tanpa harapan bahwa Yara akan muncul lagi. Hanya ada perasaan yang tertinggal dari pertemuan kemarin—perasaan yang aneh, seperti ketika kita baru pertama kali menemukan jawaban yang sudah lama dicari, namun jawabannya masih membingungkan, belum sepenuhnya jelas.

Aku duduk di meja yang biasa, memandang jendela yang menghadap ke jalan yang sepi. Tidak ada yang terlalu menarik di luar sana—hanya kendaraan yang melintas dengan cepat, orang-orang yang sibuk dengan dunia mereka sendiri. Namun, ada ketenangan yang aku rasakan dalam kesunyian ini. Seperti ada ruang untuk berpikir, untuk meresapi setiap detik yang lewat.

Tak lama kemudian, aku mendengar suara langkah kaki di belakangku. Suara itu terasa familiar. Aku menoleh, dan tanpa aku duga, Yara sudah berdiri di hadapanku, dengan senyum yang tampaknya lebih misterius daripada biasanya.

“Kamu sudah datang lagi,” katanya, suaranya masih seperti biasa—tenang, namun ada sedikit nada penasaran yang membuatku merasa seperti dia sedang mengamati lebih dari sekadar penampilanku.

Aku tersenyum pelan. “Iya, rasanya… sepertinya kafe ini sudah menjadi tempat yang agak nyaman,” jawabku, meskipun dalam hati aku tahu itu bukan sekadar tentang kafe ini. Ada sesuatu yang lebih dalam yang membuatku kembali, sesuatu yang berhubungan dengan perasaan yang mulai tumbuh dalam diriku sejak pertemuan pertama kami.

Yara duduk di seberang meja, kali ini dengan ekspresi yang tidak biasa. Sepertinya, dia juga sedang merasakan hal yang sama, sesuatu yang tidak terucapkan, namun ada di antara kami. Dia menatapku, namun matanya tidak hanya melihat aku, melainkan sesuatu yang lebih jauh di belakangku, seolah dia sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam.

“Kamu tahu,” katanya pelan, “kadang aku merasa seperti kita ini berusaha mengejar sesuatu yang bahkan kita sendiri tidak tahu apa itu. Seperti kita sedang mencari sesuatu yang… entah, yang entah ada di depan kita, tapi kita belum tahu cara menemukannya.”

Aku terdiam mendengar kata-katanya. Bagaimana bisa dia tahu apa yang aku rasakan? Rasanya, setiap kata yang dia ucapkan seperti menemukan tempatnya yang tepat dalam diriku, seperti sebuah kunci untuk memahami kebingunganku.

“Apakah kamu merasa… terjebak dengan waktu?” tanyaku, lebih kepada diriku sendiri daripada kepada Yara. Namun, dia menjawab dengan cara yang sangat dalam.

“Terkadang,” jawabnya. “Aku rasa kita semua terjebak. Tapi, bukan berarti kita harus berhenti mencari. Mungkin, yang perlu kita lakukan adalah menerima bahwa waktu itu tidak selalu bisa dipahami. Cinta, kehidupan, semuanya bergerak dengan cara yang tak selalu kita kontrol.”

Aku mengangguk pelan, seolah kalimat-kalimat Yara menyentuh bagian dari diriku yang sebelumnya tidak aku sadari. Terkadang, kita berpikir kita mengontrol waktu, berpikir kita bisa membuat semuanya berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan. Tapi pada akhirnya, waktu tetap saja berjalan, tak peduli apa yang kita lakukan.

“Apakah kita harus berhenti berharap?” tanyaku tanpa sadar, pertanyaan itu keluar begitu saja. Sebuah pertanyaan yang tidak aku harapkan untuk keluar.

Yara tersenyum lembut, ada sedikit kehangatan dalam senyumnya yang membuatku merasa lebih tenang. “Tidak,” jawabnya. “Harapan itu bukan hal yang salah. Bahkan, mungkin itu yang membuat kita terus maju. Tapi kita harus tahu kapan harus memberi ruang untuk diri kita sendiri, kapan harus memberi waktu untuk berhenti sejenak.”

Aku tidak tahu harus berkata apa. Rasanya, dia sedang mengajarkan aku tentang arti sebuah harapan yang tidak terburu-buru. Harapan yang bukan hanya tentang menunggu, tapi tentang menghargai setiap langkah yang kita ambil—tanpa menuntut hasil yang instan.

Kami duduk dalam keheningan sejenak. Tidak ada percakapan yang terlalu berat, tapi ada rasa yang mengalir begitu saja di antara kami. Sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang hanya bisa dipahami dengan merasakannya.

Akhirnya, Yara yang打 pertama memecah kesunyian. “Kamu tahu,” katanya, mengubah topik dengan cara yang tidak terduga. “Aku sering merasa bahwa hidup ini seperti sebuah cerita yang tidak pernah benar-benar selesai. Seperti kita selalu menulis dan menulis, tanpa tahu bagaimana cerita itu akan berakhir.”

Aku tersenyum, meskipun ada sedikit rasa cemas yang muncul. “Jadi, kamu merasa seperti kita sedang menulis cerita kita sendiri?” tanyaku, mencoba menangkap arah percakapan ini.

“Ya, kita menulisnya,” jawabnya dengan keyakinan. “Tapi terkadang, kita tidak tahu kapan cerita itu akan selesai. Dan itu… itu yang membuat segalanya terasa lebih bermakna, karena kita tahu, setiap bab yang kita tulis, setiap momen yang kita jalani, itu semua adalah bagian dari cerita kita. Tidak peduli apakah itu berakhir dengan bahagia atau tidak.”

Aku merenung sejenak, menyadari bahwa dia benar. Hidup memang seperti sebuah cerita yang tidak pernah selesai. Kita hanya bisa menjalani setiap bab, setiap detik, dan berharap bahwa kita cukup bijaksana untuk menghargai cerita itu, meskipun kita tidak tahu bagaimana akhirnya.

“Jadi, apa yang kamu harapkan dari cerita ini?” tanyaku, merasa ingin tahu lebih dalam tentang apa yang ada dalam pikiran Yara.

Dia menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. “Aku hanya berharap kita bisa menjalani cerita ini dengan penuh kesadaran,” jawabnya dengan pelan, hampir seperti sebuah bisikan. “Tanpa terburu-buru, tanpa menyesali apapun. Karena pada akhirnya, setiap cerita itu memiliki maknanya sendiri.”

Aku tersenyum, merasakan kedamaian yang aneh dalam kata-katanya. Mungkin aku belum tahu bagaimana cerita ini akan berakhir. Tapi yang aku tahu adalah, setiap saat yang aku jalani bersamanya, meskipun penuh ketidakpastian, adalah bagian yang sangat berarti.

 

Akhir dari Sebuah Awal

Waktu terus bergerak, tanpa menunggu siapapun, dan tanpa belas kasihan. Begitu banyak hal yang berubah, tetapi aku dan Yara tetap berada di titik yang sama. Kami berjalan bersama, seiring dengan langkah yang semakin terikat oleh perasaan yang tak terucapkan. Seperti dua garis yang beriringan, namun tak pernah benar-benar bertemu—setidaknya, itu yang aku rasakan.

Namun, hari itu, suasana di kafe itu berbeda. Seakan semua menjadi lebih intens, lebih hidup. Setiap suara, setiap pergerakan, bahkan detak jantungku sendiri seolah beresonansi dengan detik yang berlalu. Yara duduk di depanku, wajahnya sedikit lebih serius daripada biasanya. Ada sesuatu yang berubah, dan aku tahu, perasaan itu datang dari arah yang sama—kita berdua tahu bahwa waktu kami sudah semakin sedikit.

“Kenapa kamu diam?” tanyaku, mencoba membuka percakapan. Yara menatapku, seolah mencari kata-kata yang tepat.

“Aku rasa… kita sudah sampai pada titik ini,” katanya pelan, matanya tak lepas dari tatapanku. “Maksudku, kita sudah menjalani semua ini bersama, tanpa tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tanpa tahu bagaimana semuanya akan berakhir. Tapi aku merasa, saat ini, aku tahu… aku tahu bahwa kita tak bisa terus seperti ini.”

Kata-katanya begitu sederhana, namun rasanya mereka menghantamku dengan keras. Tidak ada kebohongan dalam suara Yara. Tidak ada yang disembunyikan, tidak ada teka-teki yang harus kupecahkan. Ini adalah kenyataan yang kami hadapi. Satu kenyataan yang bahkan lebih berat dari waktu itu sendiri.

“Apa maksudmu?” Aku mencoba untuk tidak terdengar cemas, tetapi suaraku terdengar lebih rapuh daripada yang kuinginkan.

Yara tersenyum tipis, senyuman yang tidak penuh dengan kebahagiaan, namun penuh dengan kedamaian. “Kadang kita merasa takut untuk menerima kenyataan, takut untuk menerima bahwa kita sudah berada di ujung jalan. Tapi aku merasa, aku sudah sampai pada titik di mana aku harus melepaskan,” katanya, menatapku dalam-dalam.

Aku hanya bisa terdiam. Ada perasaan hampa yang mulai merayap masuk. Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Apa yang bisa aku katakan? Apa yang bisa aku lakukan? Semua kata-kata yang ingin aku ucapkan terasa begitu kosong, seperti mereka sudah dipenuhi dengan kebingunganku sendiri.

“Apakah ini berarti… kita berhenti?” tanyaku akhirnya, meskipun aku sudah tahu jawabannya. Aku ingin mendengarnya dari mulut Yara, agar aku bisa memahaminya dengan lebih jelas, dengan lebih jujur.

Yara mengangguk pelan, matanya berkilat dengan sesuatu yang lebih dalam—lebih daripada sekadar penyesalan. “Mungkin, ya. Tapi itu bukan berarti aku menyesal. Aku hanya… merasa bahwa kita sudah menjalani perjalanan ini cukup lama. Aku hanya ingin kamu tahu, aku tidak pernah berniat untuk meninggalkanmu dengan cara yang menyakitkan. Aku hanya… merasa sudah waktunya.”

Aku mengangguk, meskipun di dalam hatiku ada banyak hal yang ingin aku ungkapkan. Banyak sekali hal yang aku ingin katakan, hal-hal yang tidak sempat aku ucapkan selama ini. Tapi, dalam keheningan itu, aku menyadari bahwa kadang, kita tidak perlu mengungkapkan semuanya. Kadang, hanya dengan memahami, kita sudah cukup.

“Terima kasih,” kataku akhirnya, kata-kata yang tidak pernah aku duga akan keluar. “Terima kasih sudah menjadi bagian dari cerita aku.”

Yara tersenyum dengan penuh keikhlasan, senyuman yang penuh dengan kebijaksanaan. “Kita selalu menjadi bagian dari cerita orang lain, bahkan ketika kita tak lagi ada di sana. Itu yang membuat hidup kita berharga.”

Kami duduk dalam diam, tidak ada kata-kata yang mengisi ruang di antara kami. Tidak ada tangisan, tidak ada air mata. Hanya ada rasa yang mengalir begitu saja—rasa yang sulit dijelaskan, namun sangat nyata. Sebuah perasaan yang hadir bukan untuk dipahami, tetapi untuk diterima.

Lalu, seiring dengan detik yang terus berjalan, aku merasa ada yang berubah dalam diriku. Aku mulai menerima kenyataan, bahwa kadang, cinta memang tak terbatas waktu, tetapi terkadang, kita harus belajar untuk melepaskan, agar kita bisa memberi ruang bagi sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang lebih berarti, meskipun tak selalu terlihat.

“Aku akan baik-baik saja,” kataku, mengucapkan kalimat yang selama ini aku tak yakin bisa aku katakan.

Yara menatapku satu kali lagi, seperti ingin memastikan bahwa aku benar-benar memahami apa yang baru saja terjadi. “Aku tahu,” jawabnya dengan lembut. “Dan aku harap kamu menemukan kebahagiaanmu, meskipun itu tidak bersama aku.”

Kami berdua bangkit dari meja, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seperti aku bisa melangkah maju—meskipun langkah itu tidak lagi bersama Yara. Namun, ada kedamaian yang datang dengan perpisahan ini. Tidak ada yang salah, tidak ada yang perlu disesali. Kami hanya berjalan di jalur yang berbeda, dengan kenangan yang akan tetap ada di dalam hati masing-masing.

Yara melangkah pergi, dan aku tetap berdiri di sana, menatapnya hingga sosoknya menghilang di balik pintu kafe. Rasanya seperti sebuah bab yang baru saja selesai ditulis, tanpa ada yang perlu dipertanyakan lagi. Kami berdua sudah cukup tahu bahwa terkadang, kita hanya perlu belajar untuk menerima, dan terus berjalan meskipun cerita itu tidak akan pernah berakhir.

Di dalam hatiku, aku tahu. Ini bukanlah akhir. Ini adalah bagian dari sebuah awal baru—awal yang mungkin belum aku mengerti, namun pasti akan datang. Sebuah cerita yang akan terus berlanjut, meskipun tak terbatas oleh waktu.

 

Dan begitulah, cerita ini berakhir, meskipun waktu terus berjalan. Kadang, kita nggak bisa mengontrol kapan dan bagaimana sesuatu harus berakhir, tapi yang pasti, setiap perpisahan membawa kita ke awal yang baru, bahkan tanpa kita sadari. Mungkin, cinta nggak selalu berakhir bahagia, tapi siapa tahu, perjalanan ini cuma bagian dari cerita yang lebih besar.

Terima kasih udah ikut ngebaca, semoga ada sedikit bagian dari cerita ini yang bisa bikin kamu mikir, atau bahkan ngerasa sedikit lebih baik setelah baca. Karena cinta itu, seperti waktu, nggak terbatas, dan nggak akan pernah berhenti.

Leave a Reply