Daftar Isi
Kadang, cinta itu nggak berjalan seperti yang kita harapkan. Punya perasaan yang dalam tapi akhirnya harus berhenti di tengah jalan. Kalian pernah nggak sih, ngerasain cinta yang sebenernya udah ada tapi nggak pernah sampai?
Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam cerita penuh penyesalan, tawa pahit, dan perpisahan yang nggak bisa dielakkan. Siapin tisu deh, karena ini cerita yang bakal bikin hati kamu serasa dihujam terus-menerus.
Cinta Tak Sampai
Di Bawah Langit yang Sama
Malam itu, langit masih dipenuhi bintang, tetapi aku sama sekali tidak bisa memandangnya. Aku berdiri di sisi jendela, memandangi Aira yang duduk di bangku panjang dekat pintu masuk kafe kecil yang selalu kami kunjungi. Hujan sudah mulai turun sejak tadi sore, dan Aira masih memandangnya dengan cara yang khas, seperti tak pernah bosan meskipun air hujan selalu datang silih berganti. Rambutnya yang terurai tampak basah, namun tetap indah dengan kilau alami yang hampir tak tergantikan.
Aku menghela napas pelan, menyandarkan tubuh pada sisi meja kaca. Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, tapi kami belum juga pergi. Aira selalu punya caranya sendiri untuk mengulur waktu, bahkan untuk hal-hal yang sederhana, seperti menunggu kopi yang akan datang. Mungkin karena dia tahu aku akan selalu menunggu.
“Kenapa kamu selalu memilih tempat ini?” tanya Aira tiba-tiba, menatapku sambil melipat tangan di depan dada.
Aku mengangkat bahu, mencoba mencari alasan yang lebih masuk akal daripada sekedar, karena aku suka tempat ini. “Karena aku tahu kamu suka di sini.” Jawabanku terdengar lebih simpel, tapi Aira sudah cukup tahu kalau itu lebih dari sekadar alasan biasa.
Dia tertawa pelan, lalu menunduk sejenak. “Kamu tahu, kalau aku bilang aku benci hujan, kamu pasti malah makin betah, kan?”
Aku tersenyum, senyuman yang sudah cukup sering aku berikan, namun kali ini ada sedikit kelegaan di dalamnya. “Kenapa benci hujan? Hujan itu malah menenangkan.”
Aira melirik ke luar jendela, seolah memikirkan sesuatu yang lebih jauh dari sekadar hujan yang turun. “Kadang, hujan itu terlalu mengingatkan aku pada hal-hal yang lebih baik kalau dilupakan,” katanya, suaranya merendah.
Aku diam, mencoba menangkap apa yang dia maksud. Tapi aku tahu, Aira tidak akan pernah mudah membuka diri sepenuhnya. Mungkin itu sebabnya aku selalu terjebak dalam kebingunganku sendiri—mengenal Aira bukanlah hal yang mudah. Tetapi tetap saja, aku memilih untuk bertahan.
“Tapi, hujan itu juga mengingatkan aku pada kamu,” aku melanjutkan, mencoba untuk ringan meski ada rasa gelisah di dalam dada. “Kamu yang selalu datang ke tempat ini, selalu punya cara buat bikin aku betah.”
Aira menoleh dengan tatapan yang agak menggelitik, menyadari betapa seriusnya aku berbicara. “Lalu, kalau aku hilang dari sini, apa yang akan kamu lakukan?” tanya Aira, dengan nada yang sepertinya penuh makna tersembunyi.
Aku sedikit terdiam, merasakan bagaimana kata-kata itu menggantung di udara. Kalau aku hilang? Aku tidak pernah benar-benar berpikir tentang itu. Aku selalu menganggap bahwa Aira adalah bagian dari hidupku yang tak terpisahkan, yang selalu ada, bahkan ketika aku tidak memintanya. Tapi, kata-kata itu membuatku merasa seolah-olah ada sebuah jurang yang perlahan menganga di antara kami.
“Aira, kamu nggak akan pergi kemana-mana, kan?” aku menatapnya, berusaha meyakinkan diriku sendiri lebih dari meyakinkan dia.
Namun, Aira hanya tersenyum kecil, senyum yang membuatku semakin bingung. “Aku nggak tahu, Deka. Kadang, aku merasa seperti aku ini hanya bayanganmu. Aku terlalu banyak memberikan harapan yang pada akhirnya nggak akan pernah terwujud.”
Aku merasa ada sesuatu yang berubah dalam cara Aira berbicara. Biasanya, dia penuh canda dan tawa, tetapi malam ini—hujan yang turun, kesunyian yang melingkupi kami—semua itu mengubah suasana hati Aira. Aku bisa merasakannya.
“Kamu nggak bisa bilang begitu,” jawabku, sedikit terbata. “Aku nggak pernah menganggapmu bayangan, Aira. Kamu lebih dari itu. Kamu… kamu adalah seseorang yang sangat penting dalam hidup aku.”
Aira menatapku lagi, matanya tampak serius meskipun ada sedikit keraguan di baliknya. “Tapi kamu tahu kan, Deka? Aku nggak bisa terus di sini. Aku nggak bisa jadi bagian dari hidup kamu kalau akhirnya aku cuma jadi masalah yang nggak bisa kamu selesaikan.”
Kata-kata itu seperti hantaman keras yang menghantam dadaku. Aira tidak pernah berbicara seperti ini sebelumnya, dan entah kenapa, aku merasa ini bukan hanya tentang hujan atau tempat ini saja. Ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang membuat hatiku semakin berat.
“Aira, kenapa kamu ngomong kayak gitu?” aku mencoba berbicara lebih lembut, meskipun hatiku sudah dipenuhi dengan kecemasan. “Jangan bilang kayak gitu. Aku nggak bisa hidup tanpa kamu di sisi aku.”
Dia menunduk, dan aku melihat sedikit kesedihan di matanya. “Deka, aku… aku nggak bisa jadi apa yang kamu harapkan. Aku cuma seorang gadis yang penuh dengan keraguan, yang lebih banyak membuat keputusan yang salah daripada yang benar. Kamu nggak akan bahagia kalau terus menunggu aku.”
Aku menatapnya, mencoba memahami maksud dari setiap kata yang keluar dari bibirnya. Perasaan aku campur aduk—ada harapan, ada kebingungannya, tapi aku tidak bisa membiarkannya pergi begitu saja.
“Aira, apa pun yang terjadi, aku akan terus menunggu,” jawabku dengan penuh keyakinan, meskipun aku tahu itu bukanlah janji yang mudah. “Aku nggak akan menyerah.”
Aira menatapku lama, seolah mencoba mencari tahu apakah aku serius dengan apa yang aku katakan. Namun, senyumnya kembali muncul, meskipun kali ini senyuman yang terasa lebih pahit daripada biasanya. “Tunggu, ya. Tapi… jangan pernah berharap terlalu banyak.”
Dan malam itu, hujan terus turun dengan suara yang seolah mengisi ruang kosong di antara kami. Aku masih duduk di sini, di sampingnya, meskipun aku tahu bahwa aku tidak pernah benar-benar tahu apa yang akan terjadi. Apa yang aku tahu, adalah satu hal—aku tak akan pernah bisa melepaskannya begitu saja.
Di Ambang Waktu
Hari-hari berlalu, dan hujan itu akhirnya berhenti. Tapi, entah kenapa, di setiap sudut kota yang aku lewati, aku masih bisa merasakan kehadiran Aira—meskipun dia kini lebih sering menghilang dari pandanganku. Kami berdua tampaknya semakin terperangkap dalam rutinitas yang tidak lagi sama. Dulu, kami sering menghabiskan waktu bersama, bercanda, berbicara tentang apa saja, atau hanya sekedar menikmati senja yang datang perlahan. Kini, kebersamaan itu terasa seperti angin yang lewat tanpa sempat singgah.
Aira berubah. Aku bisa merasakannya. Setiap kali aku menemuinya, ada jarak yang semakin lebar di antara kami. Tidak ada lagi tawa ringan seperti dulu, tidak ada lagi perbincangan hangat yang mengalir dengan mudah. Semuanya terasa berat. Aku sering mendapati Aira termenung di sudut-sudut kafe, menatap kosong ke luar jendela, atau sesekali menatapku dengan mata yang seolah menyembunyikan sesuatu.
Suatu sore, aku memutuskan untuk mengunjungi tempat yang biasa kami datangi. Sebuah kafe kecil di pinggir jalan yang tidak terlalu ramai, namun cukup nyaman untuk kami berdua. Aira sudah ada di sana, duduk di meja yang paling dekat dengan jendela, tangannya memegang secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Wajahnya tampak lebih pucat dari biasanya, dan ada sesuatu di mata itu yang membuat hatiku seakan terhimpit oleh beban yang tidak terlihat.
Aku duduk di hadapannya tanpa berkata apa-apa. Aku tahu, Aira bukan tipe orang yang langsung membuka diri tanpa sebab. Dia akan menunggu, menilai apakah aku siap mendengar atau tidak.
“Aira, kamu baik-baik aja?” akhirnya aku memecah keheningan, suaraku terdengar lebih khawatir dari yang aku inginkan.
Dia mengangkat wajahnya perlahan, lalu tersenyum tipis. “Kenapa kamu tanya kayak gitu? Aku nggak apa-apa kok.” Tapi aku tahu senyum itu bukan senyum yang tulus. Itu hanya sekedar pelindung, penutup dari perasaan yang dia sembunyikan.
Aku menatapnya lebih lama, berusaha membaca apa yang sebenarnya terjadi. “Aira, kamu nggak bisa terus kayak gini. Aku nggak bisa lihat kamu terus-terusan menyembunyikan perasaan seperti ini.”
Aira menarik napas panjang, lalu meletakkan cangkir kopinya di atas meja. “Kamu tahu, Deka, kadang aku merasa seperti nggak pernah bisa benar-benar jadi diri aku sendiri. Seperti ada sesuatu yang menahan aku, dan aku nggak bisa pergi lebih jauh dari itu.”
Aku merasakan ada kepedihan yang terpendam di balik kata-katanya. “Apa maksud kamu?”
Dia diam sejenak, matanya menatap kosong ke luar jendela, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Deka, aku sudah terlalu lama hidup dalam bayang-bayang masa lalu. Ada banyak hal yang belum aku selesaikan. Aku takut, kalau aku terus bersama kamu, aku malah bakal bawa kamu masuk ke dalam dunia yang penuh dengan masalah dan keraguan. Aku nggak ingin itu terjadi.”
Mendengar kata-kata itu, hatiku terasa perih. Aku tahu, Aira punya banyak hal yang dia simpan dalam hati, tapi aku tidak tahu kalau semuanya sebegitu berat. “Aira,” aku memanggilnya lembut, berusaha menjaga suaraku tetap stabil, “aku nggak peduli seberapa besar masalahmu. Aku nggak akan pergi. Aku nggak akan meninggalkan kamu. Kamu nggak perlu berjuang sendirian.”
Tapi Aira hanya diam, menunduk, dan bibirnya terkatup rapat. Aku bisa merasakan dia mencoba menahan air mata yang mungkin sudah terlalu lama terpendam. Aku ingin mengatakan lebih banyak, ingin meyakinkan dia bahwa kami bisa melewati semuanya bersama, tetapi aku tahu, dia bukan tipe orang yang bisa dihadapi dengan kata-kata saja.
“Kadang, aku merasa…” Aira memulai lagi, suaranya hampir tak terdengar. “Kadang aku merasa bahwa cinta itu justru yang membuat kita lebih jauh. Kita merasa kita sudah saling punya, tapi pada akhirnya, kita justru kehilangan diri kita sendiri.”
Aku terdiam. Kata-katanya memukulku lebih keras daripada yang aku bayangkan. Cinta, memang, bisa menjadi sebuah ikatan yang begitu kuat, tapi apakah itu berarti cinta itu selalu bisa membebaskan? Aku ingin sekali bisa membuktikan bahwa cinta kami bisa melewati semua rintangan, tapi ada saat-saat tertentu di mana aku merasa seperti kita hanya terjebak dalam lingkaran yang tak pernah berujung.
“Aira, aku nggak bisa janji apa-apa,” aku mulai berbicara pelan, “tapi aku janji, aku akan terus ada di sini, nggak peduli apa pun yang terjadi. Kamu nggak perlu melawan semuanya sendirian.”
Dia mengangkat wajahnya perlahan, matanya yang merah seperti habis menangis menatapku tajam. “Aku nggak tahu apakah aku bisa terus begini, Deka,” jawabnya pelan, seolah kata-katanya adalah sebuah pengakuan yang sudah lama terpendam. “Aku nggak tahu apakah aku bisa terus menjadi orang yang kamu inginkan.”
Sekarang aku merasa perbedaan di antara kami semakin nyata. Ada jarak yang sulit dijelaskan, sebuah kekosongan yang seakan menghubungkan dua hati, namun tidak bisa saling menyatu. Aku ingin meyakinkan Aira bahwa semuanya masih bisa berjalan seperti dulu, tapi aku juga tahu, kadang kita harus menerima kenyataan bahwa ada hal-hal yang tidak bisa dipaksakan.
“Aira,” aku berkata lagi, kali ini lebih yakin. “Apa pun yang kamu pilih, aku akan mendukungmu. Tapi aku nggak bisa berhenti berharap kamu akan kembali ke sisi aku. Aku nggak akan menyerah.”
Aira menunduk lagi, dan kali ini aku bisa melihat dia menahan tangis. Hujan di luar semakin deras, dan aku tahu, malam ini, aku tidak akan mendapatkan jawaban pasti. Tapi setidaknya, aku tahu satu hal—aku tidak akan pernah berhenti menunggu, bahkan jika Aira harus pergi, bahkan jika dia harus memilih jalan yang berbeda.
Malam itu, kami berdua duduk dalam diam, dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari. Namun satu yang pasti, entah bagaimana caranya, Aira tetap akan menjadi bagian dari hidupku. Meskipun waktu mungkin akan memisahkan kami, aku tahu, di dalam hatiku, cinta ini tidak akan pernah benar-benar hilang.
Melawan Bayang-Bayang
Pagi-pagi sekali, aku terbangun dengan kepala yang terasa berat. Hujan yang deras semalam sepertinya sudah meninggalkan jejaknya di hatiku. Rasanya seperti ada sesuatu yang masih tertinggal, mengambang di udara, sulit dijelaskan, namun terasa nyata. Aku mencoba menepis perasaan itu, tapi semakin aku mencoba, semakin besar bayang-bayang Aira yang menghantui setiap langkahku. Aku memutuskan untuk pergi ke kafe lagi pagi ini, berharap bisa melupakan sejenak perasaan yang menggebu itu, meskipun aku tahu itu bukan solusi.
Aku duduk di meja yang sama, di sudut kafe yang sepi, dengan secangkir kopi yang mulai mendingin. Hujan di luar masih mengguyur kota, tapi kali ini tidak ada Aira di sini. Pikiranku kembali terputus-putus, terbang ke sana ke mari, berpikir tentang percakapan kami kemarin. Aku tidak tahu harus bagaimana. Dia tampaknya semakin menarik diri, dan aku merasa terjebak dalam kebingungannya.
Ponselku bergetar di meja, memecah lamunan. Aku melirik layar dan melihat namanya tertera di sana. Jantungku berdetak lebih cepat. Aira. Aku langsung meraih ponsel itu dan menjawabnya dengan cepat, seperti ada harapan yang kembali tumbuh dalam diriku.
“Halo?” Suaraku terdengar lebih kasar dari yang aku harapkan, seperti ada sesuatu yang terkendala di dalam.
“Deka…” Suara Aira terdengar samar dan ragu. “Aku butuh bicara.”
Hatiku langsung berpacu lebih cepat. Ada sesuatu dalam suaranya yang membuatku tidak bisa tenang. “Aira, kamu di mana? Aku… aku bisa datang ke tempatmu.”
Tidak ada jawaban langsung. Hanya suara napas Aira yang terdengar di seberang sana. “Aku di rumah,” jawabnya akhirnya, dengan suara yang lebih tenang namun penuh beban. “Tapi aku nggak tahu apa yang harus aku katakan lagi. Aku… aku merasa bingung, Deka.”
Aku menatap ponselku, terdiam beberapa detik. Semuanya terasa seperti sebuah pertarungan dalam diriku sendiri. Aku ingin membantu Aira, ingin membuatnya merasa lebih baik, tapi ada saat di mana aku merasa sudah tidak cukup kuat untuk melawan kebingungannya. “Aku akan datang,” jawabku akhirnya, dengan suara yang lebih mantap dari yang aku rasakan di dalam.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti jam, aku sampai di depan rumah Aira. Aku bisa melihat siluetnya melalui tirai jendela yang terangkat sedikit. Begitu aku mengetuk pintu, Aira membukanya dengan langkah pelan, seperti menghindari kenyataan yang ada di depannya. Wajahnya masih tampak lelah, matanya sedikit sembab. Sepertinya semalam dia benar-benar tidak bisa tidur.
“Masuk, Deka,” ujarnya, meskipun suaranya tidak sepenuh hati.
Aku melangkah masuk dan duduk di sofa yang sudah lama tak disentuh. Rumah ini terasa asing, lebih sunyi dari biasanya. Semua benda tampak sama, tetapi ada yang hilang, seperti ruang kosong yang tidak bisa diisi kembali.
Aira duduk di sebelahku, menjaga jarak yang lebih jauh dari biasanya. Suasana yang memanas kemarin terasa seperti gunung es yang kini semakin besar, semakin sulit untuk dilewati.
“Deka,” Aira mulai, suaranya hampir tak terdengar. “Aku nggak tahu lagi. Aku merasa aku nggak bisa memberi apa-apa lagi ke kamu. Aku takut… aku takut kalau aku terus begini, kamu malah makin terluka. Aku nggak bisa terus menyimpan semuanya sendiri, tapi aku juga nggak bisa berbagi semuanya ke kamu.”
Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Aira,” aku mulai berbicara dengan pelan, “aku nggak peduli dengan masa lalu kamu. Aku tahu kamu punya banyak hal yang berat di dalam dirimu, dan aku nggak akan paksakan kamu untuk bercerita kalau kamu nggak siap. Tapi kamu harus tahu, aku di sini bukan hanya untuk jadi tempat kamu mengadu. Aku di sini karena aku peduli. Aku di sini karena aku ingin kita bisa lewatkan semuanya bersama, meskipun itu nggak mudah.”
Aira menunduk, terdiam beberapa saat. Aku bisa melihat dia menahan air mata, dan itu membuatku semakin merasa sesak. “Deka,” ujarnya akhirnya, “kadang aku merasa cinta itu malah membuat kita semakin jauh. Aku merasa nggak cukup baik untuk kamu. Aku selalu merasa ada sesuatu yang kurang, selalu merasa kita nggak akan pernah cocok.”
Aku terdiam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menjawabnya. Aku tahu perasaannya. Aku juga pernah merasa takut, merasa bahwa cinta itu bisa menghancurkan segalanya. Tapi kali ini, aku merasa berbeda. Aku merasa, mungkin kami sedang terperangkap dalam ketakutan yang sama.
“Aira,” aku berbicara pelan, “aku nggak pernah merasa kamu kurang. Aku nggak pernah merasa kita nggak cocok. Kalau ada yang kurang, itu bukan kamu, itu aku yang kadang nggak bisa memberikan semua yang kamu butuhkan. Tapi aku janji, aku akan berusaha. Aku nggak akan berhenti untuk kamu.”
Ada jeda panjang di antara kami. Aira menatapku dengan mata yang penuh keraguan. Aku tahu, dia masih ragu. Masih takut untuk membuka hati, untuk membiarkan dirinya jatuh lagi dalam cinta yang mungkin akan terluka. Tetapi aku tidak bisa menyerah. Aku tahu, meskipun cinta ini terasa berat, aku tidak bisa membiarkan kami berdua mundur begitu saja.
“Apakah kamu yakin?” Aira akhirnya bertanya, suaranya terdengar pelan, seperti ingin meyakinkan dirinya sendiri.
Aku menatapnya, berusaha menunjukkan bahwa aku tidak takut lagi. “Aku yakin, Aira. Aku yakin kita bisa bersama. Aku yakin kamu nggak perlu menghindar lagi.”
Aira menunduk lagi, dan aku tahu, meskipun dia tampak bingung, dia perlahan mulai membuka hatinya. Tetapi seberapa pun aku berusaha, aku juga tahu, ada satu hal yang sulit untuk dilupakan, dan itu adalah kenyataan bahwa meskipun cinta ini ada, terkadang jarak yang tercipta lebih besar dari apa yang bisa kita capai.
Malam itu, kami duduk bersama dalam keheningan, tidak ada kata-kata lebih yang perlu diucapkan. Aku tahu, takdir kami berdua sudah bergulir, dan meskipun akhir dari cerita ini masih penuh tanda tanya, aku tetap akan berada di sana—menunggu, berjuang, dan berharap bahwa cinta ini, suatu hari nanti, bisa menemukan jalannya.
Akhir yang Tak Terucap
Pagi itu, sinar matahari menembus celah-celah tirai yang belum sepenuhnya tertutup. Aira sudah bangun sebelum aku, duduk di dekat jendela, memandangi langit yang masih kelabu. Tidak ada suara di ruangan itu kecuali desah napas kami masing-masing. Aku tahu kami berdua terperangkap dalam kebisuan yang berat. Waktu terus berlalu, namun masih ada ketegangan di antara kami, seperti ada pertanyaan yang menggantung tanpa jawaban yang pasti.
Aku duduk di meja makan, secangkir kopi yang sudah mulai dingin di depanku. Aira menatap ke luar jendela, seolah dunia di luar sana lebih menarik daripada apa yang terjadi di sini. Aku tidak bisa memaksa dia untuk berbicara, meskipun hatiku terasa terkoyak setiap kali melihat dia terdiam begitu.
“Kenapa kamu diam, Aira?” akhirnya aku memecah keheningan, suara serak, tak bisa lagi menahan perasaan yang sudah lama tertahan. “Kita sudah lama tidak bicara.”
Aira menoleh ke arahku. Matanya masih tampak lelah, tetapi ada sesuatu yang berbeda di sana—sesuatu yang sudah lama hilang. “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan lagi, Deka,” ujarnya, pelan. “Aku merasa kita semakin jauh. Aku takut kalau kita terus begini, kita malah menyakiti diri kita sendiri.”
Aku menggigit bibir, menahan rasa sakit yang tiba-tiba muncul begitu mendalam. Aku tahu, perasaan itu. Perasaan takut yang sama yang menghantui kami berdua. Aku ingin mengatakan sesuatu yang bisa menghapuskan rasa sakit itu, tetapi aku tahu, kadang kata-kata tidak cukup.
“Aira,” aku mulai dengan suara yang lebih tenang, “Aku nggak bisa menjanjikan bahwa semuanya akan mudah. Aku nggak bisa menjanjikan kita nggak akan jatuh atau terluka. Tapi aku janji, aku akan ada di sini. Aku nggak akan pergi.”
Dia menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan mendekat, duduk di sebelahku. Kami tidak saling menatap, hanya duduk bersebelahan dalam keheningan. Aira memeluk lututnya, seolah mencoba mencari kenyamanan dalam diam.
“Kadang aku merasa, meskipun kita ada di sini, kita tetap nggak bisa punya apa yang kita inginkan,” Aira akhirnya berkata, suara terdengar berat, seakan berat untuk diungkapkan. “Mungkin… mungkin kita memang nggak ditakdirkan untuk bersama.”
Aku menatapnya, mencoba mencari cahaya di matanya yang redup. Hatiku bergejolak, tetapi aku tahu, terkadang meskipun kita mencintai seseorang, ada batasan yang tak bisa kita lewati. “Aira,” aku berkata pelan, “Kadang kita memang harus menerima kenyataan bahwa beberapa hal tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Tapi itu nggak mengurangi apa yang aku rasakan.”
Aira menunduk, air mata mulai jatuh dari matanya. “Aku takut, Deka,” bisiknya, “Aku takut aku akan kehilangan kamu, meskipun aku masih belum tahu apa yang sebenarnya aku butuhkan.”
Aku meraih tangannya, menggenggamnya dengan lembut, seolah ingin memberi rasa aman. “Aku nggak akan pergi, Aira. Aku di sini. Tapi kalau kamu merasa kita harus berakhir, aku akan menghormatinya. Aku hanya ingin kamu bahagia, meski itu berarti kita harus berpisah.”
Dia tidak langsung menjawab. Waktu berlalu begitu saja, seperti beban yang terlalu berat untuk diangkat. Aku tahu Aira membutuhkan waktu untuk memutuskan, untuk memahami hatinya. Tetapi entah kenapa, perasaan itu—perasaan yang ada di antara kami—terasa semakin kabur.
Aira berdiri dan berjalan ke jendela, memandangi hujan yang mulai turun lagi. “Mungkin ini sudah waktunya, Deka,” katanya tanpa menoleh. “Mungkin sudah saatnya kita berhenti berusaha.”
Aku menatapnya, hatiku hancur mendengarnya. Aku tahu, kadang cinta tidak bisa dipaksakan. Ada saat di mana kita harus merelakan seseorang yang kita cintai, meskipun itu terasa sangat berat. “Jika itu yang kamu inginkan, aku akan melepaskanmu, Aira. Tapi aku ingin kamu tahu, aku akan selalu ada di sini, meskipun kita tidak bersama.”
Aira tidak menjawab, hanya menatap langit yang semakin gelap di luar sana. Kami berdiri dalam keheningan yang tak terucap, saling merasakan beratnya keputusan yang harus diambil. Dan ketika hujan semakin deras, aku tahu, tak ada lagi yang bisa kami lakukan selain menerima kenyataan bahwa cinta yang ada di antara kami tak pernah sampai ke ujung yang kami harapkan.
Dengan langkah perlahan, aku meninggalkan rumah itu. Setiap langkah terasa semakin berat, seperti membawa beban yang tak terlihat namun sangat nyata. Aku tidak tahu apakah keputusan ini akan membuat kami lebih baik atau malah semakin jauh. Tetapi aku tahu, kadang cinta yang sejati adalah yang rela melepaskan, meskipun hati kita tidak siap untuk itu.
Aku menoleh sekali lagi ke arah rumah itu, dan di sanalah Aira berdiri, di balik jendela, dengan mata yang penuh air mata. Aku berharap, semoga suatu hari nanti, dia menemukan kebahagiaan yang sejatinya dia butuhkan.
Dan aku, aku akan belajar untuk merelakan. Karena kadang, cinta memang harus berakhir, meskipun kita tidak siap untuk mengucapkan selamat tinggal.
Jadi, kadang kita cuma bisa menerima kenyataan bahwa beberapa cerita cinta memang nggak punya akhir yang indah. Meskipun rasanya berat, kita harus siap untuk melepaskan apa yang kita cintai, karena terkadang kebahagiaan nggak datang dengan cara yang kita inginkan. Semoga, suatu saat nanti, kita semua bisa menemukan cinta yang benar-benar sampai ke ujung, tanpa ada penyesalan di akhir perjalanan.