Cinta Tak Pernah Menari: Kisah Perpisahan yang Mengajarkan tentang Kebebasan

Posted on

Kadang kita percaya banget kalau cinta itu bisa bikin semuanya jadi sempurna. Tapi, kenyataannya? Ya enggak selalu begitu. Cinta, perpisahan, dan kebebasan—semuanya kayak satu tarian yang enggak selalu padu.

Cerita ini bakal bikin kamu mikir, apakah cinta itu selalu harus menari dalam hidup kita, atau justru kita yang harus belajar menari sendiri setelah semuanya berakhir. Jadi, siap-siap, karena ini bukan sekadar cerita romansa biasa.

 

Cinta Tak Pernah Menari

Tarian Yang Tak Pernah Dimulai

Sore itu, langit di atas kota masih mengumpulkan awan-awan tebal, seolah menahan gerimis yang sudah lama ingin turun. Jalanan di sekitar panggung kecil itu basah, dan lampu-lampu temaram di tepi jalan seakan membungkus semuanya dalam kesendirian yang dalam. Panggung itu, yang setiap malamnya dipenuhi oleh penonton yang datang untuk menonton pertunjukan tari, kini tampak sunyi.

Di sudut dekat panggung, seorang gadis berdiri mematung, matanya menatap kosong ke arah para penari yang sedang berlatih. Lilya, dengan rambut hitam legam yang tergerai hingga ke punggungnya, terlihat jauh dari riuhnya dunia sekitar. Wajahnya yang cantik, dengan garis pipi yang halus dan mata yang kelihatan kosong, tak lagi memancarkan semangat yang dulu selalu ada. Setiap langkah yang dia ambil selalu terasa berat, meskipun dia memiliki segalanya—kecantikan, prestasi, dan banyak perhatian. Namun, ada satu hal yang tidak pernah bisa dia temukan: kebahagiaan.

“Lilya,” suara seorang pria memecah kesunyian, dan Lilya langsung menoleh.

Di sana, berdiri seorang pria muda dengan rambut cokelat yang sedikit berantakan dan mata yang terlihat penuh rahasia. Renan. Baru sebulan ini dia datang ke kota kecil ini, namun kehadirannya langsung menarik perhatian banyak orang. Tidak seperti kebanyakan pria yang mencoba mengagumi Lilya, Renan tidak pernah berusaha mendekatinya dengan cara yang biasa. Tidak ada kata-kata manis atau pujian berlebihan. Yang ada hanyalah tatapan tajam, yang entah bagaimana membuat Lilya merasa sedikit lebih hidup.

“Kamu sering menonton mereka, ya?” Renan bertanya sambil menatap ke arah para penari yang sedang berlatih.

Lilya hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa. Ada sesuatu dalam dirinya yang merasa canggung saat berbicara dengan Renan. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa tidak cukup, tidak bisa menjelaskan perasaannya yang sesungguhnya.

Renan mendekat sedikit, lalu duduk di dekatnya, tidak berkata apa-apa, hanya mengamati. Hening sejenak, sebelum akhirnya dia berkata, “Kenapa kamu tidak pernah menari di atas panggung ini? Setiap kali aku melihat kamu, aku merasa kamu seharusnya ada di sana.”

Lilya terkejut, matanya sejenak terbuka lebar. “Aku… menari?” suaranya agak ragu, seolah-olah kata itu asing di telinganya. “Aku tidak tahu cara menari.”

Renan tersenyum tipis, senyum yang tidak menunjukkan kebanggaan atau ejekan, hanya ketulusan. “Itu bukan masalah. Aku bisa mengajarkanmu.”

Lilya menoleh padanya, merasa ada sesuatu yang berbeda dalam cara Renan berbicara. Seolah dia tahu persis apa yang dibutuhkan Lilya, meskipun Lilya sendiri tidak mengerti apa yang sedang dirasakannya. Selama ini, dia merasa selalu terjebak dalam rutinitas yang sama, dengan dunia yang terus berputar tanpa memberi kesempatan padanya untuk berhenti sejenak dan merasakannya.

“Aku… tidak yakin,” jawab Lilya, tidak tahu kenapa ada ketakutan aneh yang merayap di dalam dirinya. Terkadang, meskipun keinginannya untuk mencoba begitu besar, ada rasa takut yang menghalangi.

Renan memandangnya dengan lembut, seolah-olah memahami ketakutan yang terpendam itu. “Aku akan menunggu, jika kamu butuh waktu.”

Lilya terdiam. Kata-kata itu terdengar begitu sederhana, tetapi entah kenapa terasa berat. Seperti ada beban yang dilepaskan ketika Renan berbicara. Entah apa yang dia harapkan dari latihan itu, tetapi ada sesuatu dalam diri Lilya yang merasa tergerak. Mungkin ini adalah kesempatan yang selama ini dia cari. Mungkin ini adalah cara untuk melupakan rasa kosong yang terus menghantui.

Hari-hari setelah pertemuan itu, Lilya dan Renan mulai bertemu lebih sering. Mereka berlatih bersama, mencoba berbagai gerakan tari yang tidak pernah Lilya bayangkan bisa dia lakukan. Renan sabar mengajarinya, menunjukkan setiap langkah dengan gerakan lembut namun pasti. Meski kadang Lilya merasa canggung, Renan selalu ada untuk membimbingnya, seolah-olah tidak ada yang perlu ditakutkan.

Tarian itu, meskipun sederhana, membawa mereka semakin dekat. Setiap gerakan yang mereka lakukan di bawah sorotan lampu panggung kecil itu seakan membuat dunia di sekitar mereka menghilang. Hanya ada mereka berdua—Lilya yang akhirnya bisa merasakan sensasi terbang yang selama ini dia idamkan, dan Renan yang dengan tenang memandu langkahnya. Ada rasa lega, namun juga rasa takut yang selalu mengintai di dalam dada Lilya, seolah-olah langkah-langkah mereka hanya sementara.

Namun, semakin sering mereka berlatih, semakin Lilya merasakan ada sesuatu yang mengganjal dalam hubungan mereka. Sesuatu yang tidak bisa dia jelaskan. Ketika dia menari, dia merasa bebas. Namun, setiap kali matanya bertemu dengan mata Renan, dia merasakan perbedaan yang tak terungkapkan. Seolah-olah meskipun mereka berdua bergerak bersama, hati mereka tidak selalu selaras.

“Lilya,” kata Renan suatu malam, saat mereka beristirahat di sudut panggung, “kamu tahu, terkadang hidup itu seperti tarian. Kita bergerak bersama, tapi bukan berarti kita selalu bisa tetap bersama.”

Lilya menoleh, merasa ada makna tersembunyi dalam kata-kata Renan. “Apa maksudmu?” tanyanya pelan, meski dia sudah bisa menebak apa yang akan Renan katakan.

Renan menarik napas dalam, tatapannya melunak. “Cinta itu rumit, Lilya. Mungkin kita bisa menari bersama, tapi itu bukan jaminan kita akan selalu bersama.”

Lilya merasa jantungnya berhenti sejenak. “Kenapa kamu bilang begitu?”

Renan hanya tersenyum, senyum yang terasa jauh lebih berat dari sebelumnya. “Karena, meskipun kita menari bersama, kita tetap berada di dunia yang berbeda. Dan dunia ini kadang tidak memberi kita pilihan.”

Kata-kata itu terasa seperti angin yang berhembus pelan, namun menghantam dengan keras di hati Lilya. Tarian mereka, yang selama ini terasa begitu indah, mulai terasa seperti bayangan yang akan hilang begitu saja.

 

Langkah yang Terhenti

Keheningan mengisi ruang yang sempit di antara mereka. Lilya duduk di pinggir panggung, matanya menatap kosong ke lantai yang basah, berusaha mencerna kata-kata Renan yang baru saja terlontar. Suasana yang semula hangat kini terasa begitu dingin, seperti musim gugur yang datang begitu cepat, merampas segala keceriaan tanpa memberi kesempatan untuk bertahan.

Renan berdiri beberapa langkah darinya, tangan terjuntai di samping tubuh, seolah dia sedang menunggu reaksi Lilya. Namun, tidak ada kata-kata yang keluar dari bibirnya. Sejak saat itu, tidak ada lagi tawa yang terdengar antara mereka. Meskipun mereka masih berlatih bersama, latihan itu terasa kaku, penuh jarak yang tak terlihat namun begitu nyata.

Lilya meneguk ludahnya, mencoba menahan perasaan yang menghimpit dada. “Kamu tahu, Renan,” suara Lilya akhirnya pecah, begitu pelan, “Kenapa aku takut? Karena setiap kali aku mulai merasa dekat, aku tahu itu hanya sementara.”

Renan menoleh, lalu duduk di sampingnya, cukup dekat untuk merasakan getaran yang datang dari tubuh Lilya. Namun, dia tidak mengucapkan apa pun. Dia hanya diam, memberi ruang bagi Lilya untuk melanjutkan kata-katanya.

“Aku selalu merasa begitu,” lanjut Lilya, menghela napas berat. “Aku bisa menari, aku bisa merasa bebas, aku bisa tertawa, tapi pada akhirnya—selalu ada jarak antara kita. Dan aku takut itu… takut akan perpisahan yang akan datang.”

Renan mengangguk pelan, mata hitamnya memandang langit-langit panggung yang mulai gelap. “Kamu merasa itu, ya?” suara Renan rendah dan dalam, seolah dia mencoba memahami setiap kata yang diucapkan Lilya.

“Entahlah,” jawab Lilya, suaranya mulai bergetar. “Terkadang aku merasa tidak punya pilihan lain selain terus berjalan, tapi di sisi lain, aku juga takut jika aku berhenti, aku akan kehilangan diriku sendiri. Aku takut kalau aku terjebak dalam harapan palsu.”

Renan memandangnya, dan kali ini tidak ada senyuman di wajahnya. “Aku tidak pernah berjanji apapun, Lilya,” katanya dengan jujur. “Tapi aku juga tidak pernah bilang bahwa aku tidak peduli.”

Lilya menatapnya dengan tatapan yang sulit untuk dipahami, seperti ada ribuan pertanyaan yang mengendap di benaknya. “Kenapa kamu tidak memberitahuku dari awal, Renan? Kenapa kamu membuatku berharap?”

“Aku tidak ingin kamu merasa terbebani,” jawab Renan, matanya tertuju pada Lilya dengan penuh penyesalan. “Aku tahu, seiring waktu, kita akan merasa semakin sulit untuk menjaga jarak ini. Aku tahu apa yang akan terjadi, Lilya. Aku hanya tidak ingin kamu merasa kecewa lebih awal.”

Lilya memejamkan mata sejenak, merasakan beban yang semakin berat di dadanya. “Tapi sekarang, aku kecewa. Aku kecewa karena aku sudah terlalu jauh berharap.”

Keheningan yang mendalam kembali meliputi mereka. Malam semakin larut, dan langit semakin gelap, hanya diterangi oleh sinar temaram dari lampu panggung yang mulai meredup. Di luar, suara angin yang sepi menjadi satu-satunya teman dalam keheningan itu.

Renan akhirnya mengeluarkan suara pelan, hampir seperti bisikan. “Aku tidak bisa tetap tinggal, Lilya. Aku harus pergi.”

Lilya merasa tubuhnya kaku mendengar kalimat itu. Hatinya serasa diperas, namun tidak ada air mata yang keluar. Semua sudah terasa begitu jelas—terlalu jelas untuk diterima. “Kenapa kamu harus pergi?” tanyanya, meskipun dia tahu jawabannya.

“Karena… kita sudah terlalu jauh terpisah, bahkan sebelum aku datang,” jawab Renan, suaranya semakin berat. “Kita berada di dunia yang berbeda, Lilya. Meskipun aku ingin tetap di sini, aku tahu aku tidak bisa.”

Lilya menoleh padanya, matanya berusaha menahan segala perasaan yang ingin keluar. Namun, bibirnya tetap terkatup rapat. “Jadi ini akhirnya? Kita hanya akan berakhir seperti ini?” tanya Lilya dengan suara yang penuh ketidakpastian.

Renan hanya mengangguk pelan, menyadari bahwa perasaannya tak akan pernah bisa sejalan dengan harapan Lilya. “Aku berharap bisa membuatmu bahagia, Lilya. Tapi aku tahu, itu bukan caraku. Dan aku tidak bisa memaksakan sesuatu yang tidak bisa terjadi.”

Lilya menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan rasa sakit yang menghimpit hatinya. “Aku selalu berpikir, jika aku bisa menari bersama seseorang, aku bisa merasakan kebebasan yang aku cari,” katanya pelan, matanya menatap kosong. “Tapi ternyata… kebebasan itu datang dengan harga yang sangat mahal.”

“Maafkan aku,” bisik Renan, menggenggam tangan Lilya dengan lembut, seperti sebuah perpisahan yang sudah lama dinanti-nanti namun tetap terasa perih.

Lilya menarik tangannya perlahan. “Kita tidak bisa begitu saja memutar waktu, Renan. Kamu harus pergi. Tidak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubahnya.”

Di malam yang sunyi itu, mereka berdua berdiri tanpa kata, hanya ada langkah-langkah yang tak terucapkan. Tarian mereka yang indah sudah berakhir, dan Lilya merasa seolah dunia di sekitarnya semakin jauh, semakin kabur. Ada perasaan kehilangan yang begitu mendalam, seolah setiap detik yang mereka habiskan bersama hanyalah ilusi semata.

Renan menghela napas terakhir sebelum berbalik, melangkah pergi tanpa ada kata selamat tinggal. Lilya tetap berdiri di sana, dengan hati yang tertekan, tetapi tidak ada air mata yang keluar. Mungkin, seperti yang Renan katakan—cinta mereka memang tidak pernah menari.

 

Jejak yang Tertinggal

Pagi datang dengan kelembutan yang terasa asing. Lilya duduk di balkon kecil apartemennya, memandangi kota yang mulai terbangun. Suara kendaraan yang berlalu-lalang, suara anak-anak yang tertawa riang, semuanya terdengar begitu jauh—seperti kenangan yang hampir hilang. Sejak malam itu, dunia di sekitarnya terasa berbeda. Seperti ada jarak tak kasat mata yang menghalangi dirinya untuk sepenuhnya menikmati apapun lagi.

Lilya mengangkat cangkir teh yang sudah dingin, meneguknya perlahan. Rasanya hampa, seperti hari-harinya yang kini juga terasa kosong. Semua kenangan tentang Renan, tentang tarian mereka yang penuh semangat, tentang percakapan malam itu, tetap menempel di dinding hatinya, menuntut untuk dilepaskan namun sulit untuk dilakukan.

“Kenapa kamu pergi, Renan?” lirihnya, bertanya pada angin yang berhembus pelan, seolah itu adalah jawaban yang dia tunggu-tunggu. “Kenapa kamu memilih untuk meninggalkan semua yang kita punya hanya karena ketakutan?”

Namun, tak ada jawaban. Hanya keheningan.

Hari berlalu tanpa banyak perubahan. Lilya kembali ke studio tari, mencoba menari, mencoba merasa hidup lagi. Namun setiap gerakan terasa berat, seperti tubuhnya menanggung beban yang lebih dari sekadar fisik. Setiap langkah, setiap putaran, hanya mengingatkannya pada Renan, pada malam itu, pada kata-kata yang terlontar begitu saja, pada perpisahan yang entah kapan dimulai namun terasa begitu cepat.

Dia masih bisa melihat wajah Renan, ekspresi yang sulit dibaca, seolah ada sesuatu yang lebih besar dari apa yang mereka rasakan bersama. Lilya berusaha mengabaikannya, namun bayangannya selalu kembali, seperti hantu yang tak mau pergi.

Seiring dengan berjalannya waktu, kebisuan mereka bertambah dalam. Renan tidak menghubunginya lagi. Lilya juga tidak berani menghubungi dia. Apa yang bisa dia katakan? Apa yang bisa dia lakukan setelah semua yang sudah terjadi?

Pagi itu, Lilya memutuskan untuk pergi ke tempat mereka biasa berlatih dulu. Di sana, di sudut ruangan yang sepi, ia berdiri beberapa saat, mengingat semua kenangan yang masih terpendam di sana. Ini adalah tempat pertama kali mereka bertemu, pertama kali mereka menari bersama, pertama kali dia merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar teman.

Dia mengambil langkah menuju pusat ruangan, menari tanpa musik, gerakan yang dulu begitu alami kini terasa dipaksakan. Tarian itu tidak lagi mengalir bebas, namun lebih seperti upaya untuk menemukan dirinya kembali, untuk mengembalikan apa yang telah hilang.

“Lilya,” suara lembut itu datang begitu tiba-tiba. Lilya terhenti sejenak, terkejut. Perlahan, dia menoleh.

Renan berdiri di pintu masuk studio, matanya memandangnya dengan ekspresi yang sulit ditebak. Momen itu terasa seperti waktu yang berhenti sejenak. Seperti dunia yang kembali mengingatkan mereka pada apa yang pernah ada. Namun, Lilya tahu—semuanya sudah berubah.

“Kamu… kenapa kamu di sini?” suara Lilya terdengar terputus-putus, mencoba untuk tetap tenang, meski hatinya berdebar kencang.

Renan menghela napas, berjalan masuk perlahan. “Aku harus bicara denganmu, Lilya.”

Lilya merasa jantungnya berdebar cepat. “Aku tidak tahu apa lagi yang bisa kita bicarakan, Renan. Kamu sudah membuat pilihanmu, aku juga sudah membuat pilihanku.”

“Aku tahu,” jawab Renan dengan suara berat. “Tapi ada hal yang harus aku jelaskan. Mungkin ini terdengar egois, tapi… aku harus mengatakan ini.”

Lilya menunduk, tidak berani menatap mata Renan terlalu lama. “Apa yang bisa kamu jelaskan? Semua yang terjadi sudah jelas.”

Renan berjalan lebih dekat, menghentikan langkahnya hanya beberapa inci dari Lilya. “Aku takut kehilanganmu, Lilya. Sejak pertama kali aku mengenalmu, aku sudah tahu bahwa kita punya ikatan yang kuat. Tapi aku takut. Takut kalau kita terlalu dekat, aku akan semakin terjebak. Takut kalau aku tak bisa memberi apa-apa untukmu selain perpisahan.”

Lilya terdiam, perasaan campur aduk. Kata-kata itu mengguncang hatinya, namun pada saat yang sama, dia merasa lelah. Seperti ada banyak hal yang tidak pernah diungkapkan, banyak perasaan yang terpendam, namun tetap saja, perpisahan itu sudah terjadi. Kenapa harus ada lagi penjelasan yang membuat semuanya semakin rumit?

“Jadi, kamu datang ke sini hanya untuk mengatakan itu?” tanya Lilya dengan suara yang lebih keras, meski di baliknya ada rasa rapuh yang sulit disembunyikan.

Renan mengangguk perlahan, matanya penuh penyesalan. “Aku tidak tahu harus bagaimana. Aku tahu ini tidak adil untukmu, tapi aku merasa kalau kita terus bersama, kita akan terus berputar di tempat yang sama—keinginan yang tak tercapai, harapan yang tak pasti. Itu yang aku takutkan.”

Lilya merasa seolah dunia kembali terjatuh di atas bahunya. “Jadi ini alasanmu untuk pergi? Menghindar dari kenyataan?”

“Aku tidak menghindar, Lilya,” jawab Renan dengan tegas. “Aku hanya ingin kamu tahu bahwa meskipun aku pergi, itu bukan karena aku tidak peduli. Aku peduli lebih dari yang kamu tahu.”

Lilya menatapnya, mata mereka bertemu sejenak, ada kepedihan yang sama di sana, namun mereka tetap saling terpisah oleh kenyataan. “Tapi itu tidak cukup, Renan,” katanya, suara semakin rendah. “Cinta itu tidak bisa hanya berupa kata-kata. Cinta itu juga harus ada dalam tindakan, dalam komitmen. Kita tidak bisa hanya saling melepaskan dan berharap semuanya akan baik-baik saja.”

Renan menatapnya dengan penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya, Lilya bisa merasakan betapa dalamnya perasaan yang ada di dalam diri Renan. Namun, itu tidak cukup lagi untuk mengembalikan apa yang sudah hilang.

Mereka berdiri diam, tidak ada yang bergerak. Waktu kembali berjalan, namun perasaan mereka terjebak dalam masa lalu yang tak bisa mereka ubah.

Lilya akhirnya menunduk, menghela napas. “Aku sudah cukup, Renan. Aku tidak bisa terus berharap pada sesuatu yang tidak pasti.”

Renan terdiam, dan dalam keheningan itu, Lilya tahu—apa yang mereka miliki sudah berakhir. Meskipun cinta itu pernah ada, meskipun tarian mereka dulu begitu indah, semuanya kini tinggal kenangan.

Lilya berjalan menuju pintu, melangkah keluar dari studio yang begitu penuh dengan kenangan. Renan tetap berdiri di sana, menatapnya pergi, tapi tidak ada yang bisa dia lakukan lagi. Mereka berdua sudah berjalan terlalu jauh, dan tak ada lagi jalan yang bisa mereka tempuh bersama.

Perpisahan itu sudah pasti.

 

Keheningan Setelah Tarian

Langit sore itu berwarna keemasan, langit yang seolah-olah tahu betapa sunyinya hari-hari yang baru saja dimulai untuk Lilya. Ia berdiri di tepi pantai, angin berhembus lembut, membawa aroma laut yang familiar. Sejak perpisahan itu, ia merasa seperti berjalan di jalur yang sama sekali baru. Tapi tak ada lagi Renan di sisinya. Hanya dirinya dan angin yang menemaninya.

Hari-hari setelah pertemuan terakhir mereka berjalan perlahan, namun sepi. Lilya tidak tahu apakah hatinya sudah cukup sembuh atau justru semakin teriris setiap kali dia mencoba untuk melupakan semuanya. Namun, satu hal yang pasti—dia tahu bahwa hidup harus terus berjalan. Meskipun perpisahan itu menyakitkan, ia tak bisa tetap terjebak di masa lalu.

“Kenapa ya, rasanya selalu seperti ada yang hilang?” gumam Lilya, menatap horizon di depan sana. Laut yang luas, langit yang terbentang tanpa batas, semuanya terlihat seperti dunia yang kosong—seperti perasaannya yang belum sepenuhnya terisi kembali.

Lilya mengingat lagi momen-momen mereka, momen-momen saat mereka saling berbicara, saling berbagi impian, saling menari dengan langkah-langkah yang penuh makna. Namun, langkah itu berhenti begitu saja. Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk mengubah kenyataan. Terkadang, cinta memang tidak cukup. Terkadang, harapan yang terlalu tinggi justru membuat semuanya jatuh lebih keras.

Namun Lilya tahu, ia tidak bisa terus meratapi sesuatu yang sudah berakhir. Dia harus belajar untuk menerima, bahkan jika itu menyakitkan. Ia harus bergerak maju, meski tanpa Renan di sisinya.

“Aku berjanji,” bisiknya pelan pada dirinya sendiri, “aku akan menemukan kebahagiaan di luar dia. Aku akan menari lagi, tidak peduli siapa yang menemani aku.”

Saat itu, ia merasa seperti ada sedikit kedamaian dalam dirinya. Keputusan itu datang begitu sederhana—untuk berhenti mencari alasan atas semua yang sudah terjadi, dan mulai mencari cara untuk mencintai dirinya sendiri lagi.

Angin di pantai bertiup lebih kencang, seolah menyetujui keputusannya. Lilya merentangkan tangannya, merasa angin itu memeluknya, seolah dunia ini tidak pernah benar-benar meninggalkannya. Ada kebebasan dalam keheningan ini—kebebasan untuk kembali mencintai, untuk kembali menari dengan jiwanya sendiri.

Beberapa bulan berlalu, dan Lilya merasa dirinya berubah. Ia mulai kembali menari, bukan untuk siapa-siapa, bukan untuk membuktikan apapun kepada dunia. Tarian itu adalah miliknya. Tarian itu adalah cara dia berbicara dengan dirinya sendiri, untuk mendengarkan suara hatinya yang terkadang tertutup oleh kebisingan dunia.

Suatu malam, di atas panggung yang sederhana namun terasa begitu berarti, Lilya menari sendirian. Musik mengalun lembut, dan setiap gerakan yang ia lakukan mengingatkannya pada semua yang pernah terjadi, semua kenangan yang ada. Namun, tidak ada penyesalan lagi. Ia menari dengan penuh kebebasan, seakan mengucapkan selamat tinggal pada semua yang pernah terikat, mengucapkan selamat tinggal pada kenangan yang membuatnya terjebak.

Di tengah-tengah tariannya, saat ia menutup matanya dan merasa irama musik meresap dalam dirinya, ia tahu—ia tidak pernah benar-benar sendirian. Renan telah mengajarinya untuk menari, untuk mencintai, untuk memberi sepenuh hati. Namun yang terpenting, ia mengajarkan Lilya untuk menerima bahwa terkadang, cinta memang tidak bisa dipaksakan, dan itu bukanlah akhir dari segalanya.

Ketika tarian itu berakhir, Lilya berdiri dengan napas terengah-engah, matanya terbuka lebar, dan ia tersenyum pada dirinya sendiri. Tanpa sadar, air mata menetes di pipinya, bukan karena kesedihan, tetapi karena sebuah kelegaan yang mendalam.

“Terima kasih, Renan,” bisiknya pada angin yang kini terasa begitu dekat, “terima kasih karena pernah mengajarkanku untuk menari.”

Dengan langkah ringan, Lilya berjalan keluar dari panggung, menyadari bahwa hidup ini adalah tarian yang harus kita jalani sendiri. Meskipun tak ada lagi Renan yang menari bersamanya, ia tahu—di dalam hatinya, tarian itu tak pernah benar-benar berakhir.

 

Mungkin cinta itu enggak selalu menari sesuai keinginan kita. Kadang, kita harus belajar menari dengan irama kita sendiri, meski kadang langkahnya terasa berat.

Tapi, pada akhirnya, hidup tetap harus diteruskan—meski tanpa orang yang kita kira akan menari bersama kita selamanya. Dan siapa tahu, di setiap tarian yang kita jalani, kita bisa menemukan kebebasan yang lebih indah dari apapun yang pernah kita bayangkan.

Leave a Reply