Daftar Isi
Kadang kita mikir, kenapa ya, cinta itu nggak datang-datang? Udah nunggu, udah harap, tapi kayaknya malah makin jauh aja.
Nah, cerita ini bakal ngajak kamu ngerasain gimana rasanya menunggu sesuatu yang nggak pernah kunjung tiba, dan akhirnya belajar melepaskan—karena kadang, kita cuma perlu melepaskan yang nggak pernah jadi milik kita. So, siap-siap deh bawa tisu, siapa tahu ada yang nyentuh hati.
Cinta Tak Kunjung Tiba
Di Bawah Pohon Akasia
Sore itu langit sedang berwarna keemasan, memancarkan cahaya hangat yang lembut di atas taman kota. Angin sepoi-sepoi membawa aroma rumput yang sedikit lembab setelah hujan pagi tadi. Dara duduk di bangku kayu yang sudah mulai lapuk, memandangi pohon akasia di depannya. Di sanalah, bertahun-tahun lalu, semuanya dimulai.
Pohon akasia itu bukan pohon yang paling besar atau paling mencolok di taman, tapi baginya, pohon itu punya cerita. Setiap kali ia duduk di bangku ini, memandang ranting-rantingnya yang bergoyang lembut ditiup angin, Dara merasa seakan waktu berputar kembali. Ia bisa mendengar suara tawa Harlan, melihat senyum khasnya yang membuat sore di taman itu terasa lebih cerah.
Dara masih ingat hari pertama mereka bertemu. Harlan datang dengan langkah santai, membawa secangkir kopi yang aroma pahitnya langsung tercium meski ia duduk sedikit menjauh.
“Hei, kamu sering ke sini?” tanya Harlan, matanya menatap Dara dengan penasaran.
Dara, yang sedang membaca buku, mengangkat wajahnya dan mengangguk pelan. “Iya, suka aja sama tempatnya. Tenang.”
Harlan tertawa kecil. “Sama, aku juga. Rasanya kayak dunia berhenti sebentar tiap aku di sini.”
Sejak saat itu, Harlan mulai sering menghampiri Dara di bangku taman yang sama. Mereka berbincang tentang banyak hal—tentang mimpi-mimpi yang terkadang hanya sekadar candaan, tentang tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi suatu hari nanti, atau sekadar tertawa membahas film-film yang mereka tonton.
Satu sore, Harlan menatap Dara agak lama, seperti sedang mencari kata yang tepat. Setelah terdiam beberapa saat, ia akhirnya berkata, “Kalau suatu hari aku harus pergi jauh, kamu bakal inget aku nggak?”
Dara mengernyitkan dahi, merasa aneh dengan pertanyaan itu. “Kenapa harus pergi jauh? Kamu bilang suka tempat ini, kan?”
Harlan tersenyum tipis. “Kadang, bukan kita yang milih pergi atau tinggal. Kadang, hidup yang mutusin buat kita.”
Dara hanya mendengus, menganggap Harlan bercanda. “Kalau kamu pergi, aku tetap bakal ke sini kok. Siapa tahu kamu balik dan kita bisa ketemu lagi.”
Harlan tersenyum mendengar jawaban itu, tapi Dara bisa melihat bayangan kecil keraguan di matanya, seolah ada sesuatu yang ia simpan rapat-rapat. Sore itu, mereka berbincang lebih lama dari biasanya. Harlan menceritakan rencana-rencana masa depannya, meski tak sepenuhnya menjelaskan alasan di balik semua itu. Dara mendengarkan dengan penuh perhatian, tetapi tak pernah menyangka obrolan itu menjadi perpisahan tanpa kata yang perlahan mengekalkan Harlan dalam memorinya.
Dua minggu setelah pertemuan itu, Harlan tiba-tiba tak muncul lagi di taman. Dara menunggu, berharap hari berikutnya akan melihat sosoknya dengan secangkir kopi pahit yang aroma khasnya selalu mendahului kehadirannya. Namun hari demi hari berlalu, bangku di sebelahnya tetap kosong. Dara mulai merasa ada yang hilang, meski ia tak pernah benar-benar mengakui perasaan itu pada dirinya sendiri.
Suatu sore, Dara menemukan secarik kertas terselip di bangku taman yang biasa mereka duduki. Tulisan tangan yang rapi dengan tinta biru tertulis jelas, “Maaf nggak bisa pamit. Ada banyak hal yang harus aku lakuin. Tapi ingat, perasaan ini nggak pernah hilang.”
Dara mendekap kertas itu, tak yakin harus merasa apa. Ada sedikit rasa kesal, marah, bahkan kecewa, tapi yang mendominasi adalah perasaan rindu yang aneh. Rindu yang seakan tertinggal bersama secarik kertas itu, seolah setiap hurufnya membekukan kenangan yang tidak akan pernah lengkap lagi.
Hari-hari berikutnya terasa kosong tanpa kehadiran Harlan. Dara tetap datang ke taman, duduk di bangku yang sama, berharap ada keajaiban yang membawanya kembali. Tapi seperti sore ini, bangku di sebelahnya tetap kosong. Rasa sepi menyelimuti setiap desah angin yang lewat.
Dara membenamkan wajah di telapak tangannya, mengingat percakapan-percakapan mereka yang kini terasa seperti potongan mimpi. “Kenapa kamu harus pergi?” bisiknya pada angin yang berhembus pelan. Ia tak pernah mendapatkan jawaban, tapi setiap kali ia melihat bunga-bunga akasia yang mekar, bayangan Harlan hadir begitu nyata di pikirannya.
Teman-temannya sering melihat Dara termenung, dan suatu hari salah satu temannya, Maya, memberanikan diri untuk bertanya, “Ra, kenapa sih masih datang ke taman itu? Harlan udah nggak ada di sana lagi.”
Dara menggeleng sambil tersenyum kecil, menutupi rasa pedih yang tersimpan dalam. “Nggak tahu. Rasanya… masih ada dia di sana. Aneh, ya?”
Maya hanya menepuk pundaknya, tidak lagi berkata apa-apa, seolah memahami apa yang Dara rasakan. Mungkin ia memang tidak mengerti sepenuhnya, tapi Maya tahu satu hal: Dara belum benar-benar bisa melepas Harlan. Hati Dara seakan masih terikat pada janji yang tak pernah tersampaikan dengan jelas.
Sore itu, Dara duduk di bangku taman lebih lama dari biasanya, membiarkan matahari perlahan tenggelam di balik pepohonan. Setiap hela nafasnya terasa berat, seolah beban kenangan yang ia genggam tak pernah bisa dilepaskan.
Angin sore kembali berhembus, menerbangkan satu kelopak bunga akasia yang jatuh tepat di pangkuannya. Dara memungut kelopak itu dengan hati-hati, membiarkan jemarinya merasakan kelembutan yang seakan mengingatkannya pada senyum Harlan. Sekilas, ia tersenyum sambil menatap kelopak itu, seolah sedang berbicara dengan sosok yang tak lagi bisa ia lihat.
“Kamu tau, Har, aku masih di sini. Masih nunggu kamu balik, meski mungkin cuma mimpi.” Dara berbisik pelan, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada siapa pun.
Sore itu, ia tahu bahwa perasaan ini mungkin tak akan pernah pergi. Harlan mungkin tak pernah kembali, tapi hatinya akan tetap berada di bawah pohon akasia ini, selamanya menunggu meski waktu terus berjalan.
Dan Dara tahu, besok ia akan kembali ke sini lagi, duduk di bangku yang sama, dengan harapan yang diam-diam ia sadari mungkin tak akan pernah terjawab.
Jarak yang Merentang
Hari-hari berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Kehadiran Harlan kini tinggal kenangan samar yang mengendap di hati Dara, namun tak pernah benar-benar hilang. Setiap kali ia melewati taman itu, hatinya selalu tertarik untuk berhenti, seolah-olah ada magnet yang tak terlihat di bangku kayu lapuk di bawah pohon akasia. Meski setiap sore yang ia habiskan di sana hanya mendatangkan rasa sepi yang sama, Dara tetap datang. Tetap berharap.
Di tengah rutinitasnya yang hampa, hidup Dara mulai kembali bergerak, sedikit demi sedikit. Pekerjaan barunya sebagai jurnalis membuatnya sibuk, memberi ruang untuk mengalihkan perhatian dari perasaan kosong yang selama ini berdiam di hatinya. Tapi bagaimanapun, setiap malam menjelang tidur, bayangan Harlan selalu saja muncul di benaknya. Dan di dalam hati kecilnya, ia masih mempertanyakan apakah Harlan pernah memikirkan hal yang sama.
Suatu malam, Maya, sahabat yang selalu ada untuknya, mengundangnya untuk sekadar makan malam bersama di sebuah kafe yang biasa mereka kunjungi sejak kuliah.
“Kamu keliatan capek banget akhir-akhir ini, Ra,” kata Maya, mengamati wajah sahabatnya yang tampak lebih lelah dari biasanya. “Apa karena kerjaan, atau karena kamu masih sering mikirin dia?”
Dara menghela napas panjang sambil menyesap kopinya. “Kadang aku nggak tahu, May. Rasanya, semuanya jadi nggak sama setelah dia pergi.”
Maya menatap Dara dengan tatapan penuh simpati, namun di balik simpati itu, tersirat sedikit keprihatinan yang tak bisa disembunyikan. “Ra, Harlan udah pergi tiga tahun. Aku tahu dia penting buat kamu, tapi kamu juga harus kasih ruang buat dirimu sendiri. Mungkin ada sesuatu yang lain, atau mungkin… seseorang yang lain, yang sebenarnya bisa buat kamu bahagia.”
Dara menunduk, membiarkan kata-kata Maya mengendap di hatinya. Ia tahu, mungkin Maya benar. Namun, membiarkan Harlan pergi bukanlah hal yang mudah. Ada luka yang masih menganga, yang bahkan waktu seakan enggan untuk menyembuhkannya. Entah kenapa, Dara selalu merasa bahwa hatinya masih tertinggal di tempat yang sama, di sore terakhir yang mereka habiskan di bawah pohon akasia itu.
“Percaya deh, Ra. Kamu nggak harus lupakan dia, tapi coba buka hati buat yang lain. Hidup ini nggak berhenti cuma karena dia pergi, kan?” lanjut Maya, berusaha memberikan dorongan.
Dara tersenyum, meski terasa hambar. “Iya, aku ngerti kok, May. Aku bakal coba pelan-pelan.” Namun, dalam hati, Dara tahu bahwa kata-kata itu hanya sebuah janji yang ia buat untuk menenangkan Maya. Perasaannya sendiri masih sulit dipahami, seolah ada benang tak terlihat yang masih menghubungkannya dengan Harlan, meski kenyataannya ia sudah tak tahu lagi di mana lelaki itu berada.
Malam semakin larut ketika Dara berjalan pulang, melewati jalan setapak yang berkelok di dekat taman kota. Lampu-lampu jalan menerangi langkahnya, dan di kejauhan, ia bisa melihat pohon akasia itu, berdiri tegak dalam diam. Pohon yang sama, bangku yang sama, dan rasa yang sama—perasaan yang terjebak di antara kenangan dan harapan kosong.
Suatu hari, Dara memutuskan untuk mencari tahu tentang Harlan. Ia merasa butuh jawaban, bukan hanya dari dirinya sendiri, tetapi dari orang yang pernah menjadi pusat dunianya. Menghubungi Harlan tidaklah mudah, sebab ponselnya sudah lama tak aktif, dan alamat email yang biasa mereka gunakan juga tak pernah lagi ia terima balasannya. Namun, dalam proses pencarian itu, ia menemukan seorang teman lama Harlan yang tinggal di luar negeri. Setelah ragu cukup lama, akhirnya ia menghubungi orang tersebut.
“Harlan? Ah, sudah lama ya nggak dengar nama itu,” kata teman Harlan dalam balasan emailnya. “Kalau nggak salah, dia sempat pindah-pindah kota untuk pekerjaannya. Terakhir aku dengar, dia ada di Boston. Tapi sekarang, aku nggak tahu lagi, Ra. Maaf nggak bisa bantu lebih dari ini.”
Boston. Kata itu menggema di pikiran Dara. Kota yang begitu jauh dari jangkauannya. Ia merasa seperti menembus lapisan emosi yang selama ini terpendam, namun di sisi lain, informasi itu justru meninggalkan lebih banyak pertanyaan. Apakah Harlan bahagia di sana? Apakah ia sudah bertemu seseorang yang bisa mengisi hatinya?
Dara kembali duduk di bangku taman sore itu, menatap kosong ke arah pohon akasia yang kian tua dan lebat. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Ia menggenggam secarik kertas yang selalu ia simpan di dompetnya—pesan terakhir yang ditinggalkan Harlan tiga tahun lalu.
Saat itu, Maya muncul tiba-tiba, melihat Dara yang terisak pelan. “Ra, kamu masih nyimpen pesan itu?”
Dara mengangguk, bibirnya bergetar. “May, aku nggak tahu kenapa susah banget buat aku ngelepas ini semua. Aku nggak tahu kenapa selalu ngerasa ada dia di sini, seakan dia nggak benar-benar pergi…”
Maya memeluk Dara erat, mencoba menenangkan sahabatnya yang tak pernah benar-benar bisa melepas cinta pertamanya. “Ra, kadang yang kita rasa nggak sama dengan kenyataannya. Mungkin, kamu nggak butuh dia untuk tetap bisa bahagia. Cinta itu datangnya nggak selalu dalam wujud seseorang yang ada di sebelah kita. Mungkin cinta itu ya seperti kenangan yang kamu simpan ini—indah untuk diingat, tapi bukan untuk digenggam selamanya.”
Dara mendengar ucapan Maya dengan hati yang bergetar. Kata-kata itu terasa benar, tapi seolah-olah ia belum siap untuk sepenuhnya menerima kebenaran tersebut. Sejak hari itu, Dara memutuskan untuk lebih jarang datang ke taman. Ia mulai belajar menerima bahwa mungkin cinta tak selalu berarti memiliki, dan terkadang perasaan terbaik adalah membiarkan kenangan itu tetap berada di tempatnya, tanpa harus terus ditunggu.
Namun meski ia sudah mencoba, bayangan Harlan tetap menghantuinya setiap kali senja datang. Hati Dara seperti terbelah di antara harapan dan kenyataan yang pahit. Di satu sisi, ia ingin melepaskan, tetapi di sisi lain, ia tak mampu menanggalkan cinta yang masih menahannya di sana.
Jarak telah mengubah segalanya, dan Dara tahu bahwa tak peduli seberapa keras ia berharap, Harlan tak akan kembali ke hidupnya. Tapi entah kenapa, setiap kali ia menutup matanya, yang ia lihat adalah sosoknya. Jarak itu semakin merentang, memisahkan mereka dalam sunyi yang tak lagi memiliki kata.
Dan di suatu sore yang kelabu, Dara akhirnya mengerti bahwa meskipun cinta tak pernah benar-benar tiba, kenangan itu akan tetap hidup dalam dirinya. Mungkin Harlan tak akan pernah kembali, dan mungkin ia tak akan pernah tahu seberapa besar rindu yang Dara simpan. Tapi meski demikian, Dara mulai memahami satu hal—cinta itu bisa tinggal dalam keheningan, bahkan jika tak pernah bisa bersama.
Di Antara Bayangan dan Kenangan
Semakin hari, Dara mulai menemukan ritmenya dalam kesibukan pekerjaan. Ia terbenam dalam aktivitas, rapat, laporan, dan tenggat waktu yang terus memburunya, seolah-olah sibuk adalah satu-satunya cara ia bisa melupakan perihnya kerinduan. Namun, meskipun tenggelam dalam rutinitas, di dalam hati kecilnya, Harlan tetap ada di sana—melingkupi setiap detak jantungnya, mengendap dalam kenangan yang enggan berlalu.
Sore itu, Dara sedang menyusun artikel untuk majalah tempatnya bekerja ketika Maya menelepon.
“Ra, kamu sibuk nggak? Temenin aku makan, yuk?” Suara Maya terdengar ceria seperti biasa, namun Dara tahu bahwa ajakan ini biasanya muncul hanya jika ada sesuatu yang perlu mereka bicarakan.
Dara berusaha tersenyum. “Sibuk sih, tapi buat kamu kan selalu ada waktu,” jawabnya, mencoba menyembunyikan rasa lelah yang kerap ia bawa.
Mereka bertemu di kafe kecil favorit mereka, tempat yang penuh kenangan dan obrolan panjang tanpa henti. Maya segera menyadari betapa lelahnya wajah Dara. Sahabatnya itu menatapnya dengan perhatian.
“Ra, kamu masih memikirkan Harlan?” tanyanya perlahan, meski sudah tahu jawabannya.
Dara menghela napas panjang. “Aku nggak tahu kenapa dia susah banget untuk dilupakan, May. Meskipun aku tahu dia mungkin sudah bahagia di sana, aku tetap merasa ada sesuatu yang menghubungkan kami, seolah-olah… seolah-olah cinta ini nggak mau benar-benar pergi.”
Maya menatapnya dalam-dalam, seolah-olah mencari sesuatu di balik mata Dara yang tampak letih. “Kadang-kadang, kita perlu membuat pilihan sendiri, Ra. Kalau cinta ini nggak bisa membuat kamu bahagia, mungkin sudah saatnya kamu berhenti mencari alasan untuk mempertahankannya.”
Dara terdiam, meresapi kata-kata Maya. Memang benar, tak ada alasan yang jelas untuk mempertahankan perasaan ini, tapi setiap kali ia mencoba melepaskan, hatinya tetap saja tertambat pada sosok Harlan. Seolah-olah ada bagian dari dirinya yang belum selesai, yang masih mencari jawaban dalam bayangan masa lalu yang belum tergenggam.
Beberapa hari kemudian, Dara mendapat undangan untuk menghadiri seminar di luar kota. Seminar ini menawarkan kesempatan yang bagus untuk kariernya—kesempatan untuk bertemu tokoh-tokoh penting di industri jurnalistik. Namun, lebih dari itu, ia merasa bahwa pergi ke luar kota mungkin akan menjadi kesempatan untuk sedikit menjauh dari segala kenangan yang selalu menuntunnya kembali ke bayangan Harlan.
Di tengah riuhnya acara seminar, Dara mencoba untuk fokus dan menanggalkan semua beban yang selama ini mengganggunya. Namun, di balik keramaian itu, ia tak pernah benar-benar bisa melupakan. Setiap percakapan yang ia lakukan, setiap orang baru yang ia temui, semua terasa hampa jika dibandingkan dengan sosok Harlan yang selalu memenuhi ruang di hatinya.
Di malam terakhir seminar, setelah sesi acara usai, Dara memutuskan untuk berjalan-jalan sendirian di sekitar gedung acara. Ia berhenti di sebuah sudut taman kecil yang sepi, tempat lampu-lampu taman menyinari bangku kayu yang tak berpenghuni. Melihat bangku itu, hatinya langsung teringat pada bangku di taman kotanya, bangku yang selalu menjadi saksi dari setiap rindu yang ia pendam dalam diam.
Tanpa sadar, air mata mulai mengalir di pipinya. Harlan terasa begitu jauh, tetapi di saat yang sama, terasa begitu dekat. Ia bisa merasakan kehadirannya, seolah-olah Harlan berdiri di sebelahnya, tersenyum dan menggenggam tangannya, seperti dulu.
Tapi kali ini, Dara tahu bahwa ia harus melangkah lebih jauh. Bahwa kerinduan ini, sekuat apapun, tak akan pernah bisa mendekatkannya pada kenyataan yang sesungguhnya.
Setelah kembali dari perjalanan, Dara merasa sedikit berbeda, meskipun ia sendiri tak tahu pasti apa yang berubah. Ia merasa sedikit lebih ringan, seolah-olah ada sesuatu yang perlahan terlepas. Dalam hatinya, ia menyadari bahwa meskipun bayangan Harlan tetap ada, ia tak perlu lagi terbelenggu oleh harapan yang tak pasti.
Di sore yang kelabu, Dara berjalan menuju taman kota, tempat yang sudah lama tak ia kunjungi. Pohon akasia itu masih berdiri kokoh, sementara bangku kayu tua di bawahnya tampak semakin usang, seperti kenangan yang menua bersama waktu.
Dara duduk di bangku itu, menatap langit yang tampak sendu. Angin sepoi-sepoi berhembus, menerbangkan daun-daun yang mulai menguning, mengingatkan Dara pada perubahan yang tak terhindarkan. Ia mengambil napas panjang, mengingat setiap detail tentang Harlan yang kini mulai memudar.
Dalam keheningan sore itu, Dara berbisik pelan, seakan berbicara kepada seseorang yang jauh di sana, di tempat yang tak bisa ia jangkau.
“Harlan, aku masih merindukanmu, tapi aku tahu bahwa cinta ini harus kulepaskan. Terima kasih sudah menjadi bagian dari hidupku, meskipun hanya untuk sementara.”
Ia menghela napas dalam-dalam, membiarkan air mata yang tertahan selama ini mengalir dengan bebas. Mungkin cinta tak kunjung tiba bukan berarti cinta itu tak nyata; mungkin cinta itu ada di setiap kenangan, di setiap detak jantung yang masih berdebar karena namanya. Tapi di balik cinta yang ia simpan ini, Dara menyadari bahwa ada kehidupan yang harus ia jalani, meskipun tanpa kehadiran Harlan di sisinya.
Sore itu, di bawah pohon akasia yang sepi, Dara mengizinkan dirinya untuk melepaskan Harlan sepenuhnya. Bukan karena ia berhenti mencintai, tetapi karena ia sadar bahwa cinta juga berarti membiarkan diri sendiri merdeka dari belenggu yang tak lagi nyata.
Dalam langkah-langkah kecilnya, Dara meninggalkan taman itu, meninggalkan kenangan yang selama ini menjadi bebannya. Langkah yang berat, namun perlahan terasa ringan, seperti angin yang membawa daun-daun jatuh, menari dalam kebebasan.
Mengakhiri dengan Senyuman
Dara tidak pernah benar-benar tahu kapan tepatnya ia mulai melepaskan Harlan. Mungkin saat itu, saat dia memutuskan untuk tidak lagi menunggu sesuatu yang tidak pasti. Mungkin saat dia duduk di bangku taman itu, membiarkan angin membawa jauh segala kerinduan yang pernah terperangkap dalam hati. Namun, yang lebih penting adalah bahwa ia telah sampai pada titik ini: titik di mana ia bisa tersenyum, meski tidak lagi bersama Harlan, meski perasaan itu tidak lagi tumbuh seperti dulu.
Hari demi hari berlalu dengan lebih mudah. Tidak ada lagi rasa rindu yang menggerogoti, tidak ada lagi penantian yang melukai. Dara mulai menemukan kedamaian dalam dirinya sendiri, dalam hidup yang terus berjalan, meskipun bayangan Harlan masih sesekali muncul. Ia belajar untuk tidak lagi menunggu, karena ia tahu bahwa hidup bukanlah tentang menunggu seseorang untuk kembali, melainkan tentang menjalani setiap momen dengan penuh makna, apapun bentuknya.
Pagi itu, saat ia berjalan menuju kantor dengan langkah yang lebih ringan dari biasanya, ponselnya berdering. Sebuah pesan masuk, dan matanya secara otomatis membaca nama pengirimnya.
“Harlan.”
Dara tersenyum kecil. Sudah bertahun-tahun sejak terakhir kali ia mendengar kabarnya, namun tak ada lagi rasa cemas atau kegelisahan. Hanya sebuah senyuman tipis yang muncul di bibirnya.
“Ra, aku hanya ingin tahu, apakah kamu baik-baik saja?” pesan itu singkat, namun terasa begitu berat. Seolah-olah Harlan masih ingin menggenggamnya, meskipun hanya dengan kata-kata.
Dara menatap layar ponselnya, membiarkan senyum itu tetap ada. Tangan kanannya terulur, menekan tombol keyboard, dan beberapa kata terketik dengan penuh kelegaan.
“Aku baik-baik saja, Harlan. Terima kasih sudah bertanya.”
Beberapa detik berlalu. Ia tahu Harlan pasti sedang membaca pesan itu, namun ia tak berharap apapun. Dara hanya ingin memastikan bahwa dirinya, yang dulu terjebak dalam harapan yang tak pasti, kini bisa menghadapinya dengan tenang.
Pesan itu tidak membawanya kembali ke masa lalu, tidak membawa kesedihan atau kegelisahan. Justru, ia merasa aneh—lega. Ia merasa seperti sebuah bab dalam hidupnya telah benar-benar berakhir, dengan segala perasaan yang terpendam, dengan segala harapan yang tidak pernah terwujud.
Dan saat itu, Dara tahu bahwa ia tidak lagi menunggu cinta yang tak kunjung tiba.
Langkahnya semakin mantap, semakin yakin. Ia tidak memerlukan alasan untuk melangkah maju, karena ia sudah cukup dengan dirinya sendiri. Dia, yang dulu terjebak dalam kerinduan yang tak terbalas, kini berdiri dengan tegap, memandang ke depan dengan mata yang tidak lagi terhalang bayangan masa lalu.
Ketika ia tiba di kantor, Maya sudah menunggunya seperti biasa. “Ra, kamu nggak kelihatan cemas lagi, ya? Ada apa?”
Dara hanya tersenyum, meletakkan tas di meja dan duduk di kursinya. “Aku baru saja melepaskan sebuah kenangan. Tapi, kali ini, dengan senyuman.”
Maya mengerutkan dahi, namun akhirnya tertawa. “Senyuman? Kamu nggak aneh, Ra. Kamu benar-benar berbeda sekarang.”
Dara mengangguk pelan. “Mungkin, inilah yang disebut dengan kebebasan. Bebas dari segala kerinduan yang membelenggu. Dan bebas untuk merangkul kehidupan dengan cara yang baru.”
Dan dengan itu, bab baru dalam hidupnya pun dimulai. Bukan dengan seseorang yang pernah ada di masa lalu, tapi dengan dirinya sendiri—sebagai wanita yang kuat, yang bisa berdiri dengan kepala tegak tanpa perlu menunggu sesuatu atau seseorang untuk membawanya ke arah yang lebih baik.
Langit kota itu terasa lebih cerah dari sebelumnya, dan Dara tahu bahwa perjalanan hidupnya—meskipun penuh dengan perasaan yang tak terungkap—akan terus berlanjut, membawa kebahagiaan yang baru, tanpa ada lagi bayangan masa lalu yang menahannya.
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Dara merasa bahwa hidup ini penuh dengan kemungkinan, dan ia siap untuk menjalani sisa perjalanan itu, meski mungkin tanpa cinta yang dulu pernah ada.
Jadi, kadang kita harus ingat, nggak semua cinta yang kita tunggu bakal datang. Beberapa harus kita lepaskan, biar bisa nemuin kebahagiaan yang lain—yang lebih nyata, yang lebih untuk kita.
Cinta itu nggak selalu tentang menunggu, tapi tentang menerima bahwa hidup punya cara sendiri buat bawa kita ke tempat yang lebih baik. Mungkin, hari ini kita belajar melepaskan, tapi besok, siapa tahu kita akan menemukan cinta dalam cara yang nggak kita sangka.