Cinta Tak Harus Memiliki: Menemukan Kedamaian Dalam Melepaskan

Posted on

Kadang kita terlalu terjebak dalam perasaan yang nggak pernah bisa kita miliki. Kamu pernah nggak sih ngerasain itu? Punya perasaan yang dalam banget, tapi tahu kalau nggak ada harapan untuk dijawab? Inilah cerita tentang belajar mencintai tanpa harus memiliki, melepaskan dengan hati yang lebih ringan, dan akhirnya menemukan kedamaian meski cinta itu nggak pernah bisa kita pegang. Penasaran kan? Yuk, simak cerita ini!

 

Cinta Tak Harus Memiliki

Bayangan yang Tak Terlihat

Hari itu langit mendung, tak ada secercah sinar matahari yang menerobos di antara awan kelabu. Aku duduk di pojokan kafe yang sama, meja kayu bulat yang sudah aku pilih sejak pertama kali aku datang ke sini. Di depan aku, secangkir cappuccino yang hampir habis, dan jari-jari tanganku yang meringkuk erat di sekitar cangkir itu, mencoba mencari kenyamanan dalam kebisingan sekeliling. Namun, sejujurnya, aku tak benar-benar mendengarnya. Perhatianku hanya tertuju pada satu titik: Vega.

Aku mengamati dia seperti biasa, duduk di meja yang lebih dekat dengan jendela, dikelilingi oleh teman-temannya yang ramai. Wajahnya terlihat lebih cerah hari itu, meski hujan sudah mengguyur sepanjang pagi. Vega tersenyum saat mendengarkan teman-temannya bercerita, dan aku tahu, senyum itu hanya untuk mereka. Bukan untukku.

Aku tahu betul bahwa dia tak pernah benar-benar melihatku. Mungkin dia tahu aku ada, tapi tak pernah sampai sadar dengan perasaanku. Sering kali aku berusaha berbicara dengannya, namun kalimatku selalu terasa canggung, seperti ada dinding yang memisahkan aku dan dia. Aku hanya bisa berdiri di belakang bayangannya, mengamatinya dari kejauhan. Itu sudah cukup. Setidaknya, aku bisa mendengarnya tertawa, meskipun hanya dari jauh.

Ketika Vega menoleh ke arahku, aku cepat-cepat menunduk. Canggung. Aku tak ingin dia tahu aku sedang memerhatikannya. Itu akan aneh, kan? Jika aku tiba-tiba menatapnya dengan tatapan yang penuh harapan, penuh perasaan yang bahkan aku sendiri bingung menjelaskannya.

“Hey, kamu kenapa sih?” Sebuah suara menyadarkanku dari lamunanku. Aku mendongak dan melihat Aira, teman dekatku, yang duduk tepat di seberang meja.

Aku tersenyum tipis, mencoba menyembunyikan perasaan yang sedang mengganggu. “Gak apa-apa kok, cuma mikirin tugas,” jawabku sambil meminumnya. Tapi Aira menatapku dengan tatapan yang tahu. Dia tahu aku sedang berpura-pura.

“Kayaknya kamu mikirin lebih dari tugas deh,” kata Aira sambil menyeringai. Aku hanya mengangkat bahu, mencoba mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku bener-bener nggak ngerti deh, kenapa kamu nggak pernah bilang sama Vega kalau kamu suka sama dia.” Aira mengalihkan pandangannya ke arah Vega yang sedang tertawa bersama teman-temannya. “Dia tuh keren, ya, tapi kenapa kamu nggak coba lebih deket?”

Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. “Karena itu nggak akan pernah terjadi, Aira,” jawabku, suaraku terdengar lebih pelan dari yang kuinginkan. “Dia nggak pernah melihat aku, Aira. Dia nggak pernah sadar kalau aku ada.”

Aira mengangkat alisnya, sedikit bingung. “Tapi, kamu selalu ada di sana, kan? Kenapa nggak coba lebih terbuka?”

Aku menghela napas panjang. Aira memang selalu bersemangat untuk mendorongku keluar dari zona nyaman. Tapi untuk kali ini, aku tahu jawabannya. “Karena aku tahu tempatku. Aku nggak akan bisa jadi bagian dari dunia dia. Aku cuma… bayangan yang nggak terlihat.”

Aira terdiam beberapa detik, mencoba mencerna kata-kataku. Aku menatap Vega lagi, melihatnya menatap layar ponselnya, seolah tak ada yang lebih menarik dari dunia yang dia punya. Tapi bagiku, itu sudah cukup. Aku hanya ingin bisa berada di dekatnya, melihat senyumnya, meski dia tidak pernah tahu bahwa aku ada.

Vega berdiri untuk pergi ke meja kasir, dan hatiku terhenti sejenak. Seperti biasa, aku merasakan kerinduan yang menggebu dalam dada, meski aku tahu bahwa dia takkan pernah merasa hal yang sama. Aku ingin berlari ke arahnya, mengucapkan sesuatu—apapun—tapi aku hanya duduk di sini, terdiam, dengan cangkir yang mulai dingin.

“Aira,” kataku pelan. “Aku nggak bisa ngelakuin itu. Cinta nggak harus memiliki, kan?”

Aira menatapku dengan tatapan yang seolah berkata “Kenapa kamu nggak bisa?” Namun, dia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh. Aku tahu, dia tak akan mengerti. Karena hanya aku yang bisa merasakan ini, cinta yang takkan pernah terbalas, tapi tetap ada, tersembunyi dalam tiap helaan napas.

Aku tahu, aku tak akan pernah menjadi bagian dari dunia Vega. Aku hanya ada di sini, dalam diam, mengamati dia dari kejauhan, mencintainya dengan cara yang hanya bisa aku pahami. Aku hanya bayangannya, dan mungkin, itu sudah cukup.

Vega kembali ke mejanya, tanpa tahu bahwa hatiku sedang terjatuh ke dalam jurang yang dalam, tak ada jalan keluar. Tapi aku tak peduli. Mungkin ini adalah cara terbaik untuk mencintainya—tanpa berharap apa-apa. Cinta yang tak harus memiliki, yang hanya bisa mengagumi dari jauh.

“Gak apa-apa, Aira,” aku berkata lagi, kali ini dengan suara yang lebih tegas. “Aku baik-baik saja. Aku cuma… mencintainya dengan cara yang berbeda.”

Aira mengangguk, dan sejenak aku merasa lega, meski kenyataannya tetap sama. Aku tahu aku takkan pernah bisa memiliki Vega, tapi aku sudah belajar untuk mencintainya dengan cara yang aku yakini, meskipun itu hanya dalam diam. Dan itu, meskipun sulit, adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan.

 

Cinta dalam Diam

Keesokan harinya, aku kembali ke kafe itu. Bukan karena aku ingin melarikan diri atau mencari pelarian dari perasaan yang kian menyesakkan, tapi karena tempat ini sudah menjadi bagian dari rutinitasku. Setiap sudutnya, setiap sudut meja kayu yang aku duduki, sudah terlalu familiar. Dan entah kenapa, tempat ini—meski selalu dipenuhi oleh orang-orang yang sibuk dengan urusan mereka—memberiku kedamaian yang aneh. Di sini, aku bisa merasa dekat dengan Vega, meski dalam keheningan yang memisahkan kami.

Pagi itu lebih cerah. Matahari sudah menembus awan kelabu yang kemarin mendominasi langit. Aku memesan secangkir cappuccino, seperti biasa, dan duduk di tempat yang sama. Namun, entah kenapa, suasana kali ini terasa berbeda. Mungkin karena hati ini masih terbalut harapan yang tak pernah padam meski aku tahu itu sia-sia.

Dan seperti biasa, aku melihatnya lagi.

Vega duduk di meja dekat jendela, dikelilingi oleh beberapa teman yang tidak pernah aku kenal. Mereka tampak ceria, berbicara tentang hal-hal yang aku rasa lebih menarik dari hidupku yang biasa. Aku mengalihkan pandangan, mencoba untuk tidak terlalu terlihat mengamatinya. Namun mataku tak bisa lepas begitu saja. Hatiku menggelora setiap kali aku melihat senyumannya.

Sejak kejadian kemarin, aku merasa seperti ada tembok besar yang membatasi perasaanku. Aku tahu, perasaan ini hanya milikku, dan tak akan pernah bisa dia rasakan. Cinta yang tak harus memiliki. Tapi tetap saja, perasaan itu selalu kembali lagi, datang tanpa diundang.

“Aku baru selesai ujian,” suara Aira terdengar di sampingku, mengganggu lamunanku. Aku menoleh ke arah Aira, yang sedang menyedot es teh manis dengan santai. “Kamu tahu kan, kan? Aku yakin kamu nggak pernah ngelakuin apa-apa selain diem aja.”

Aku hanya tersenyum masam. “Ngapain juga aku harus ngelakuin sesuatu? Nggak ada yang perlu aku lakukan, kan?”

Aira mendengus. “Ya, tapi itu kan masalahnya. Kamu selalu diem aja. Kamu nggak berani ngungkapin apa yang kamu rasa.”

Aku mendengus. Aira memang selalu begitu, terlalu jujur, terlalu terbuka, sementara aku lebih memilih untuk menjaga jarak dengan perasaan sendiri. Aku memilih diam, memilih untuk menyimpan semuanya dalam hati. Tak ada gunanya berbicara jika itu hanya akan menambah beban di hatiku.

Aku menatap Vega lagi, kali ini dia sedang tertawa bersama teman-temannya. Tertawa dengan bebas, tanpa beban, tanpa tahu bahwa ada seseorang yang mengamatinya dengan penuh perasaan. Bagaimana rasanya menjadi orang yang bisa menikmati hidup tanpa harus menyembunyikan perasaan? Aku bertanya-tanya dalam hati.

“Lihat dia,” Aira melanjutkan, menyadari ke mana pandanganku tertuju. “Kenapa nggak coba bilang sama dia?”

Aku menggelengkan kepala, kali ini lebih mantap. “Karena dia nggak akan pernah melihatku seperti itu. Dan aku nggak mau mengharapkan sesuatu yang nggak bisa aku dapatkan.”

“Jadi kamu terus begini?” Aira tampak kesal, tetapi aku tahu dia tidak bisa mengerti. Tidak bisa merasakan apa yang aku rasakan.

Aku hanya mengangguk pelan. “Cinta nggak selalu harus memiliki, Aira. Itu sudah aku pahami. Dan kadang, kita hanya bisa menyukainya dengan cara yang… berbeda.”

Aira menghela napas, lalu akhirnya dia kembali diam. Mungkin dia sudah lelah menanggapi aku yang selalu terjebak dalam perasaan yang tak terbalaskan. Aku tidak bisa menyalahkannya. Tidak ada yang bisa mengerti, kecuali orang-orang yang merasakan hal yang sama.

Tiba-tiba, Vega berdiri, siap untuk pergi. Aku menundukkan kepala, berusaha untuk tidak terlalu terlihat. Tapi saat dia berjalan melewati meja kami, matanya bertemu denganku. Untuk sesaat, jantungku berhenti berdetak. Wajahku memanas, dan aku berusaha menahan napas. Vega tersenyum ringan, senyum yang hanya aku ketahui artinya: senyum tanpa arti.

Aku membalas senyumannya, meski itu lebih seperti senyuman yang penuh dengan kesedihan. Hanya sebuah senyuman kosong.

“Aku mau ke perpustakaan, mau ikut?” Vega bertanya, suara lembut dan santainya menyapa, seperti hanya bertanya pada teman biasa.

Aku terdiam sejenak, mencerna kata-katanya. Perasaanku seakan terpecah dua. Satu sisi ingin mengatakan “ya”, ingin ikut bersamanya, ingin merasakan setiap detik kebersamaan meski hanya dalam diam. Sisi lainnya, aku tahu itu tidak akan mengubah apapun. Kami tetap akan berada di dunia yang berbeda.

“Nggak, terima kasih,” jawabku akhirnya, suaraku lebih rendah dari yang aku inginkan.

Vega mengangguk pelan, tidak ada ekspresi yang berarti. Dia kemudian melangkah pergi, meninggalkan aku dan Aira yang hanya bisa saling berpandangan. Aku merasa perasaanku seperti terhapus begitu saja, hanya dalam sekejap. Seolah tidak ada yang terjadi.

Ketika akhirnya Vega menghilang di balik pintu kafe, aku menyandarkan tubuhku di kursi, merasa begitu kosong. Aira menatapku dengan tatapan yang penuh pemahaman, meskipun aku tahu dia tidak sepenuhnya mengerti.

“Kadang… aku bener-bener bingung, kenapa kamu nggak bisa ngelakuin lebih, ya?” Aira bertanya, suaranya lembut, lebih penuh pengertian kali ini. “Kenapa kamu nggak coba berjuang?”

Aku menatap cangkir cappuccino yang sudah hampir habis, memiringkannya sedikit, membiarkan kopi itu mengalir perlahan ke dasar cangkir.

“Karena kadang, berjuang itu bukan tentang menang, Aira,” jawabku pelan, suaraku hampir hilang oleh gemuruh hati yang tak bisa kuhentikan. “Kadang, berjuang itu adalah menerima kenyataan. Bahwa tidak semua orang akan pernah menjadi milikmu. Dan itu… nggak apa-apa.”

Aira terdiam, tak tahu harus berkata apa. Aku merasa lega, meski hatiku tetap terasa berat. Vega mungkin takkan pernah tahu perasaanku, tapi di saat-saat seperti ini, aku belajar bahwa mencintai dalam diam adalah cara terbaik untuk menjaga apa yang kita punya. Meski itu hanya sebuah bayangan, meski itu hanya sebuah perasaan yang tak akan pernah menjadi kenyataan.

Aku tahu, cinta tak selalu harus memiliki.

 

Menyusun Kepingan Harapan

Hari-hari berlalu seperti biasa. Keheningan yang memenuhi ruang hatiku tak juga hilang, meski aku mulai terbiasa dengan perasaan itu. Vega tetap ada, namun seperti biasa, dia hanya bagian dari kehidupan yang tak akan pernah bisa aku miliki. Aku bisa melihatnya dari kejauhan, bisa merasakan kehadirannya tanpa benar-benar dekat dengannya. Itu sudah cukup, setidaknya untuk sekarang.

Tapi meski begitu, ada sesuatu yang terasa sedikit berbeda. Aku mulai merasa aneh ketika Aira mulai menatapku dengan pandangan yang tak biasa. Kadang, aku merasa seperti dia tahu sesuatu yang tidak aku katakan, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kata-kata yang keluar dari mulutku.

Kafe itu masih menjadi tempat pelarianku. Masih menjadi tempat yang aku pilih untuk mencari ketenangan, meskipun kenyataannya, hanya di sinilah aku bisa mendekatkan diriku pada Vega. Sering kali aku datang sendiri, dan sering kali juga aku hanya duduk dalam keheningan, menikmati secangkir kopi sambil mengamati dunia tanpa benar-benar terlibat.

Namun kali ini, Aira datang lebih cepat dari biasanya. Dia langsung duduk di depanku, tidak seperti biasanya yang memilih untuk duduk di sebelahku.

“Kenapa kamu nggak bilang sih, kalau sebenarnya kamu lebih suka berjuang daripada cuma diam aja?” Aira memulai, suaranya cukup serius. Matanya menatapku tajam, seolah ingin mengetahui jawabanku. Aku terkejut dengan pertanyaannya, sedikit bingung.

“Apa maksud kamu?” Aku menatapnya, mencoba menyembunyikan kekhawatiranku. Aku tahu Aira bukan orang yang suka bermain-main dengan perasaan orang lain. Jika dia bertanya, pasti ada alasan kuat di baliknya.

“Kadang kamu kelihatan seperti orang yang udah menyerah,” Aira melanjutkan, matanya tetap tajam menatapku. “Kamu selalu bilang cinta itu nggak harus memiliki, tapi aku bisa lihat kalau kamu masih berharap. Kamu masih menginginkannya.”

Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan hati yang mulai bergejolak. Bagaimana aku bisa menjelaskan perasaan ini pada Aira, jika aku sendiri pun merasa bingung? Aku hanya bisa mengangguk pelan, merasa sedikit lebih terbuka meskipun aku belum siap sepenuhnya.

“Aku nggak tahu harus mulai dari mana,” jawabku akhirnya, suara ku terdengar rendah. “Terkadang, berjuang itu terasa sia-sia. Vega nggak pernah melihatku seperti itu. Dan aku… aku nggak mau mengganggu kehidupannya yang sudah sempurna tanpa aku.”

Aira menghela napas panjang. “Kamu cuma takut, kan? Takut kalau dia nggak pernah ngerasain yang kamu rasain. Tapi, kamu nggak akan tahu sampai kamu mencoba. Kamu nggak akan pernah tahu kalau nggak ngungkapin perasaan kamu.”

Aku diam. Benar, aku takut. Takut jika perasaan ini justru menghancurkan semua yang sudah ada antara aku dan Vega, bahkan meskipun itu hanya dalam jarak yang jauh. Aku takut jika aku mengungkapkan semuanya, dia hanya akan melihatku sebagai orang asing dalam hidupnya.

Tapi ada satu hal yang lebih menakutkan daripada itu. Ketakutanku akan perasaan yang tidak terbalas, ketakutanku akan kehilangan orang yang begitu berarti meski hanya dalam diam.

“Aira, aku nggak tahu apakah aku siap untuk itu,” jawabku pelan, hampir seperti bisikan. “Apa yang harus aku lakukan kalau dia tidak merasakan apa-apa? Apa yang harus aku lakukan jika perasaan ini hanya ada di pikiranku?”

Aira tersenyum, kali ini senyum yang lebih lembut, penuh pengertian. “Terkadang, kita harus menerima kenyataan, bukan berarti kita berhenti berharap. Cinta itu bukan tentang mendapatkan, tapi tentang memberi. Dan mungkin, dengan memberi perasaanmu kepada dia, kamu bisa merasa lebih ringan, meskipun itu nggak berarti dia akan membalasnya. Setidaknya kamu nggak hidup dalam kebohongan perasaanmu sendiri.”

Aku terdiam, meresapi setiap kata yang Aira ucapkan. Aku tahu, dia benar. Cinta bukan hanya tentang memiliki, bukan hanya tentang memperoleh apa yang kita inginkan. Cinta itu tentang memberi, tentang memberi ruang bagi diri kita untuk merasakan, meskipun kita tahu itu takkan pernah bisa berujung pada kebahagiaan yang kita impikan.

Hari itu berlalu begitu cepat, dan aku merasa seperti sedang berada di persimpangan jalan yang tak tahu harus kemana. Namun ada satu hal yang pasti, aku harus bisa menghadapinya. Aku harus bisa menemukan kekuatan untuk melepaskan, meskipun perasaan itu masih tetap ada di dalam hatiku.

Ketika aku melangkah keluar dari kafe itu, sinar matahari sore menyambutku dengan hangat. Aku merasa sedikit lebih lega. Aku tahu aku sudah melakukan apa yang bisa aku lakukan. Mungkin aku tidak bisa memiliki Vega, mungkin aku tidak akan pernah mendapatkan apa yang aku inginkan, tapi setidaknya aku tahu bahwa aku sudah mencoba memberi, memberi tanpa berharap lebih.

Langkahku terasa lebih ringan, meskipun hati ini masih tersimpan banyak harapan yang tak terungkapkan. Tapi entah kenapa, aku merasa lebih siap untuk menghadapi kenyataan. Karena mungkin, pada akhirnya, cinta memang tak harus memiliki.

Tapi untuk saat ini, aku sudah cukup merasa puas dengan cinta yang hanya aku simpan dalam diam.

 

Menemukan Kedamaian dalam Diam

Waktu berlalu, dan aku mulai menerima kenyataan bahwa hidupku tak selalu tentang mengharapkan sesuatu yang tak bisa aku miliki. Perasaan itu, meskipun masih ada, semakin lama semakin terasa ringan. Setiap hari, aku belajar untuk tidak menggantungkan harapan pada sesuatu yang tak pernah bisa kupegang, dan entah mengapa, hidup mulai terasa lebih tenang.

Aku masih datang ke kafe itu, duduk di meja yang sama, memesan kopi yang sama, dan menatap dunia tanpa benar-benar terlibat. Namun kali ini, aku tak merasa hampa. Ada ketenangan yang datang dari dalam diri, seolah-olah aku akhirnya bisa berdamai dengan hati yang pernah patah. Setiap detik yang aku habiskan dengan perasaan itu, aku belajar untuk menerima apa adanya.

Vega masih menjadi bagian dari dunia ini, namun dia bukan lagi pusat hidupku. Aku tak lagi berusaha untuk mendekatinya, atau berharap lebih dari sekadar sebuah tatapan. Aku melihatnya dari kejauhan, senyumannya yang cerah, tawa yang melengking saat bersama teman-temannya, namun aku tahu sekarang—aku tak perlu berada di dekatnya untuk merasa bahagia. Kebahagiaan itu datang dari penerimaan diri, dari memahami bahwa cinta bukan tentang memiliki, tetapi tentang memberi tanpa harapan kembali.

Suatu hari, Aira datang lagi, kali ini dengan senyum yang lebih lebar. “Kamu terlihat lebih bahagia,” katanya, menatapku dengan tatapan yang hampir penuh makna. “Apa yang berubah?”

Aku tersenyum, tidak ada kata-kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perasaanku selain: “Aku sudah belajar untuk melepaskan.”

Aira mengangguk, seolah memahami lebih dalam daripada yang aku ungkapkan. “Bagus,” katanya lembut. “Kamu akhirnya menemukan kedamaian.”

Aku hanya mengangguk, tak perlu menjelaskan lebih banyak. Tak perlu lagi berbicara tentang perasaan yang dulu menguasai hatiku. Aku merasa lebih kuat sekarang, lebih utuh. Aku tahu, meskipun aku tak bisa memiliki Vega, aku masih bisa memiliki diriku sendiri, dan itu lebih dari cukup.

Di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang terus berjalan, aku menyadari satu hal yang sangat penting: cinta memang tak harus memiliki, tetapi itu selalu memberi pelajaran berharga. Aku belajar untuk mencintai dengan cara yang berbeda, untuk memberi tanpa pamrih, dan yang terpenting, aku belajar untuk melepaskan. Semua itu mengajarkanku untuk lebih menghargai diriku, untuk menemukan kebahagiaan dalam hal-hal kecil yang seringkali terlupakan.

Hari-hari yang berlalu kini terasa lebih damai. Ketika aku kembali melangkah, aku tahu bahwa meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, aku sudah cukup kuat untuk menghadapinya. Dan jika ada satu hal yang aku yakini, itu adalah bahwa cinta dalam bentuknya yang paling murni bukanlah tentang memiliki, tetapi tentang memberi—dan aku sudah memberi dengan sepenuh hati.

Dan itu, bagi aku, sudah lebih dari cukup.

 

Pada akhirnya, cinta bukanlah tentang memiliki, melainkan tentang memberi tanpa harapan akan balasan. Terkadang, kedamaian ditemukan dalam kemampuan untuk melepaskan, menerima kenyataan, dan belajar dari setiap perasaan yang datang. Meskipun cinta tidak selalu berakhir seperti yang diinginkan, proses melepaskan dan menerima memberi ruang untuk kebahagiaan yang lebih besar—kebahagiaan yang datang dari dalam diri, tanpa bergantung pada apa yang tak bisa kita miliki.

Leave a Reply