Cinta Tak Harus Memiliki: Cerita Tentang Perpisahan dan Kenangan

Posted on

Kadang, kita jatuh cinta sama seseorang yang nggak bisa kita miliki. Cinta yang datang begitu aja, tanpa kita minta, tapi tetap nggak bisa jadi milik kita. Gimana rasanya? Pasti nyesek banget, kan? Tapi, ya, inilah yang kadang kita harus terima, meskipun itu nggak adil, meskipun kita pengen banget bisa mengubahnya.

Cerita ini tentang gimana perasaan itu berjalan, penuh harapan yang nggak pernah kesampaian, dan perpisahan yang nggak terucap, tapi tetap berbekas. Kalau kamu pernah ngerasain hal yang sama, pasti kamu bakal ngerti banget deh, gimana rasanya mencintai tanpa bisa memiliki.

 

Cinta Tak Harus Memiliki

Senyuman yang Tak Tersampaikan

Aku duduk sendiri di bangku taman itu, menatap langit yang mulai memudar menjadi oranye di sore hari. Angin berhembus pelan, membawa wangi tanah basah yang baru saja disiram hujan ringan tadi. Semua orang sudah pulang, atau mungkin sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Tapi aku… aku hanya di sini, duduk sendiri, membiarkan waktu berlalu begitu saja.

Hari-hariku memang selalu seperti ini. Kesendirian sudah menjadi teman baikku, satu-satunya yang selalu ada setiap saat. Seperti sekarang ini, meski ada banyak orang di sekitar, aku tetap merasa jauh. Tidak ada yang benar-benar melihatku, tidak ada yang peduli. Hanya suara-suara yang menjadi latar, tanpa benar-benar ada yang menyentuh hatiku.

Tiba-tiba aku mendengar langkah kaki mendekat. Suara tawa yang riang menyusup ke telinga. Suara yang sangat aku kenal. Kyra. Dia sedang berjalan bersama teman-temannya, tertawa seperti biasanya, tanpa beban, tanpa peduli dunia sekitarnya. Aku menunduk, berusaha mengalihkan perhatian, seolah-olah tidak mendengar tawa itu, meski sebenarnya aku mendengarnya begitu jelas.

Sampai akhirnya, aku mendengar suara langkah yang berhenti tepat di depanku. Aku menoleh perlahan. Kyra berdiri di sana, dengan senyumnya yang selalu membuat dunia terasa sedikit lebih indah. Rambutnya yang hitam berkilau tertiup angin, dan matanya yang cerah seakan mengandung ribuan cerita yang ingin aku ketahui.

“Kamu kenapa duduk di sini sendirian?” tanyanya, suaranya lembut, namun ada kehangatan yang mengalir melalui setiap kata.

Aku terdiam sesaat, tak tahu harus menjawab apa. Rasanya, aku ingin mengatakan banyak hal, tapi semuanya terhenti di lidahku. “Ah, cuma butuh waktu sendiri,” jawabku akhirnya, meski aku tahu itu alasan yang tidak sepenuhnya jujur. “Lagi mikir,” tambahku dengan sedikit tersenyum, mencoba terdengar biasa saja.

Kyra mengangguk pelan, menatapku dengan mata yang penuh perhatian. “Jangan terlalu lama sendirian, Bram,” katanya dengan suara yang lebih serius, meskipun masih ada senyum di bibirnya. “Dunia ini terlalu ramai untuk dijalani sendirian.”

Ada sesuatu dalam kata-kata itu yang terasa berbeda. Seakan ada kedalaman yang hanya bisa aku rasakan. Dunia ini memang ramai, dan aku terlalu sering merasa sepi. Tapi mendengar Kyra berbicara seperti itu, seolah dia mengerti. Padahal, dia bahkan tidak tahu siapa aku sebenarnya. Aku hanya Bram, seorang pemuda yang selalu ada di balik bayang-bayang, tak pernah benar-benar tampak.

“Aku tahu,” jawabku singkat, meski hatiku merasa sedikit lebih ringan mendengar perkataannya. “Tapi kadang kita perlu sedikit waktu, kan?”

Kyra tersenyum lagi, senyuman yang membuat dunia terasa sedikit lebih baik. “Iya, kadang kita memang butuh waktu sendiri,” katanya dengan lembut. “Tapi jangan terlalu lama. Kalau terlalu lama, bisa jadi kamu lupa bagaimana rasanya tertawa.”

Aku menatapnya, bingung. Apakah dia tahu apa yang aku rasakan? Tertawa? Aku bahkan sudah lama lupa bagaimana rasanya tertawa tanpa beban, tanpa khawatir akan apa yang terjadi setelahnya. Tapi Kyra berbicara seperti seseorang yang tahu betul bagaimana caranya hidup dengan sepenuh hati, tanpa rasa takut.

Kami terdiam beberapa saat, hanya suara angin dan suara-suara dari kejauhan yang mengisi hening. Kyra kemudian melambaikan tangan, berpamitan kepada teman-temannya yang sudah menunggu. “Aku pergi dulu ya, Bram. Semoga kamu bisa merasa lebih baik,” katanya, masih dengan senyum yang sama, sebelum dia melangkah pergi, menghilang di antara keramaian.

Aku hanya menatapnya, menahan perasaan yang entah kenapa tiba-tiba memenuhi dadaku. Senyumnya, kata-katanya, semuanya terasa begitu dalam. Tapi aku hanya bisa melihatnya pergi, tahu bahwa aku tidak akan pernah bisa lebih dekat. Kyra dan aku, kami berasal dari dunia yang berbeda. Dia terlalu terang, sementara aku terlalu redup untuk bisa menemaninya.

Aku menghela napas pelan, lalu menatap langit yang semakin gelap. Ketika dia pergi, aku kembali sendirian. Seperti biasa.

Namun, kali ini ada sesuatu yang berbeda. Aku merasa ada sedikit ruang untuk merasakan hal-hal yang lebih baik. Terkadang, kata-kata yang tidak terucapkan bisa lebih kuat daripada segala yang pernah aku katakan. Aku tidak akan bisa memilikinya, itu aku tahu. Tapi mungkin, hanya dengan bisa melihatnya tersenyum, aku sudah cukup bahagia.

Dan itu adalah kenyataan yang tak akan pernah aku ucapkan, tapi selalu ada di dalam hati.

 

Dunia Terlalu Ramai untuk Dijalani Sendirian

Hari-hari setelah pertemuan singkat itu berjalan dengan cara yang biasa. Kyra kembali menjadi pusat perhatian banyak orang, dan aku kembali dengan rutinitasku yang monoton. Tidak ada yang berubah, meski ada sedikit perasaan yang menggantung dalam pikiranku—perasaan yang tidak bisa aku definisikan dengan kata-kata.

Aku seringkali duduk di bangku taman itu lagi, meski kali ini bukan untuk bersembunyi dari dunia. Rasanya, setiap sudut tempat itu seperti menjadi bagian dari pikiranku yang penuh keraguan. Aku duduk, hanya melihat dunia berlalu, tetapi setiap kali mataku melintas pada Kyra, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan. Terkadang dia melambaikan tangan atau memberi senyum singkat saat melihatku, dan aku membalasnya dengan secuil senyum kaku, mencoba untuk tidak terlihat begitu canggung.

Hari itu, setelah jam terakhir pelajaran selesai, aku memutuskan untuk berjalan pulang lebih cepat. Biasanya aku akan memilih jalan yang lebih sepi, yang jarang dilewati orang. Aku merasa lebih tenang di sana, lebih bisa bernafas. Namun, begitu kaki mulai melangkah, sebuah suara memanggil dari belakang.

“Bram, tunggu!”

Aku menoleh. Tentu saja, siapa lagi kalau bukan Kyra? Dia datang dari arah yang berlawanan, bersama teman-temannya yang tertawa riang. Tapi kali ini, dia tidak langsung bergabung dengan mereka. Sebaliknya, dia menghampiriku, berjalan cepat hingga sampai di sampingku.

“Hey, kamu pulang sekarang?” tanyanya, suara ceria namun ada sedikit kekhawatiran yang tidak biasa terdengar di sana.

Aku terkejut, mengerutkan dahi. “Iya,” jawabku singkat. “Kenapa?”

Kyra berhenti sejenak, menatapku dengan tatapan yang lebih serius dari biasanya. “Kamu kenapa sih? Beberapa hari ini aku lihat kamu kayak… nggak ada semangat. Kalau ada masalah, kamu bisa cerita ke aku, kok.”

Aku tidak tahu harus menjawab apa. Kata-kata itu, meskipun terdengar biasa saja, seperti menyentuh bagian dari diriku yang sudah lama terkubur. Tidak ada yang pernah peduli seperti dia. Tidak ada yang pernah menawarkan untuk mendengarkan. Semua orang menganggapku biasa saja, anggaplah aku seperti udara yang ada, tapi tidak pernah terlalu diperhatikan.

“Aku nggak apa-apa,” jawabku cepat, berusaha meyakinkan diri sendiri lebih dari apapun. “Cuma capek aja.”

Kyra menatapku dengan tatapan yang tajam, seolah bisa melihat lebih dalam daripada yang aku tunjukkan. “Kamu gak capek cuma karena pelajaran, Bram. Aku bisa lihat kamu kayak ada sesuatu yang dipendam. Jangan cuma disimpan terus. Nanti malah bikin kamu makin hancur, loh.”

Aku merasa sedikit canggung dengan kata-katanya, tetapi tidak bisa menyangkal bahwa dia benar. Terkadang aku merasa seperti kotak yang terkunci rapat, terlalu takut untuk membuka diri pada siapa pun. Aku tak ingin orang lain tahu tentang perasaan ini—perasaan yang muncul entah dari mana dan begitu dalam, yang membuat hatiku merasa berat hanya dengan memikirkannya.

“Kyra…” aku berhenti sejenak, berusaha mencari kata-kata yang tepat. “Aku cuma nggak tahu gimana harus ngomongin ini. Kadang, lebih baik diam, kan?”

Kyra tersenyum kecil, meskipun ada sedikit kesedihan di matanya. “Tapi bukan berarti kamu harus sendiri terus. Semua orang butuh seseorang untuk berbagi, Bram. Kadang, kamu nggak harus punya solusi untuk semuanya, tapi cukup ada yang mendengarkan aja.”

Aku tidak bisa menjawab, hanya berjalan bersama Kyra, mengikuti langkahnya yang ringan. Kami berjalan dengan hening, hanya suara langkah kaki yang terdengar. Terkadang aku berharap bisa mengatakan semuanya padanya, tapi aku takut jika dia tahu, itu akan merubah segalanya. Aku hanya ingin berada di dekatnya tanpa harus mengubah apapun. Mengaguminya dalam diam adalah segalanya bagiku, meskipun itu artinya aku tak akan pernah bisa lebih dari sekadar teman yang tidak terlihat.

“Kalau kamu butuh teman, aku selalu ada kok,” Kyra akhirnya berkata lagi, seolah membaca pikiran yang tak terucapkan.

Aku menoleh padanya, menatap matanya yang cerah, dan seketika itu juga ada rasa hangat yang mengalir dalam dadaku. “Terima kasih,” jawabku pelan, meskipun kata-kata itu tak cukup untuk mengungkapkan perasaan yang lebih dalam.

Kami sampai di persimpangan jalan, di mana kami berpisah arah. Kyra melambai ringan, dan aku hanya membalasnya dengan senyum kecil, entah itu senyum yang tulus atau sekadar kebiasaan.

“Jaga diri, Bram,” kata Kyra sebelum melangkah pergi. “Jangan terlalu sering bersembunyi dari dunia, ya.”

Aku hanya berdiri di sana, menatap punggungnya yang semakin menjauh. Setiap kali dia mengatakan sesuatu seperti itu, rasanya ada sebuah beban yang terangkat, meski aku tahu, aku tak bisa ikut dengannya. Kami berjalan di jalan yang berbeda, dan aku tetap di sini—di dunia yang ramai, namun selalu terasa sepi.

Aku menghela napas, dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa sedikit lebih ringan. Mungkin Kyra tidak akan pernah tahu betapa dia berarti bagiku, meskipun aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Tapi aku sudah cukup bahagia hanya dengan mendengarnya berbicara, hanya dengan berada di dekatnya, meski jarak kami tak pernah akan lebih dekat dari ini.

Kadang, memang benar, dunia ini terlalu ramai untuk dijalani sendirian. Tetapi jika hanya bisa melihat Kyra tersenyum, itu sudah cukup memberi arti pada segala hal yang tak terucapkan.

 

Bayangan yang Tersisa

Seminggu berlalu begitu saja, namun perasaan itu—perasaan yang mulai tumbuh dengan diam-diam—masih mengendap dalam dada. Kyra sepertinya tidak pernah tahu tentang pergulatan batinku yang berlarut-larut. Hari-hariku tetap sama. Aku pergi ke kampus, duduk di kelas, melakukan semua rutinitas seperti biasa. Namun, setiap kali aku melangkah, bayangan wajahnya ada di sana, seperti sebuah siluet yang selalu mengikuti. Senyum, tawanya, cara dia menyapa, semuanya terasa begitu nyata, meskipun aku tahu itu hanya sekadar kenangan yang singkat.

Pagi itu, saat aku baru saja keluar dari kelas, aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Kyra. Dia lagi. Seperti tak ada hentinya, dia datang tanpa diduga, selalu muncul di saat yang paling tidak aku harapkan, atau mungkin memang aku mengharapkannya tanpa aku sadari.

“Eh, Bram!” Kyra memanggil dengan senyum yang sama seperti biasa, senyum yang bisa menyentuh relung hati yang paling dalam. “Lagi-lagi ngilang, ya? Kenapa sih? Aku tahu kamu bukan tipe orang yang suka keramaian, tapi jangan sampai kamu malah hilang tanpa jejak.”

Aku tertawa kecil mendengar itu. “Aku nggak ngilang kok, Kyra. Cuma suka diam-diam aja,” jawabku sambil berusaha terlihat biasa, meskipun kenyataannya aku merasa jauh dari biasa.

Kyra tidak menanggapi dengan kata-kata, tapi hanya menatapku dengan tatapan yang tajam. “Diam itu bukan solusi, Bram,” katanya, dengan suara yang lebih serius dari sebelumnya. “Terkadang, kalau kita terlalu diam, kita malah kehilangan hal-hal penting di sekitar kita.”

Aku terdiam sejenak. Kata-katanya kali ini terasa lebih dalam, lebih menyentuh. Seolah dia tahu lebih banyak dari yang aku perlihatkan, lebih banyak dari yang aku izinkan dia tahu. Tapi aku tak bisa mengatakannya. Aku tak bisa memberitahunya bahwa perasaan yang aku pendam ini—perasaan yang sudah lama terpendam—akan selalu ada, meskipun aku tidak akan pernah bisa memilikinya.

“Apa kamu benar-benar nggak tahu kenapa aku suka diam?” Aku berkata dengan nada yang sedikit lebih rendah. “Mungkin karena kadang, kata-kata itu malah bikin semuanya lebih rumit.”

Kyra berhenti sejenak, lalu menatapku dengan lebih intens. “Dan kamu pikir diam bisa membuat semuanya jadi lebih mudah?” Dia menghela napas. “Bram, hidup itu bukan soal menghindar. Hidup itu soal menghadapi, meskipun itu sakit. Meskipun itu nggak selalu sesuai keinginan kita.”

Aku hanya bisa terdiam. Kata-kata Kyra selalu seperti itu—terus menusuk, seolah-olah dia tahu persis apa yang terjadi dalam pikiranku. Dia mungkin tak pernah tahu, tapi setiap kali dia berbicara, aku merasa seperti sedang disingkapkan, tanpa bisa bersembunyi lagi.

“Susah,” jawabku dengan nada yang rendah. “Kadang aku cuma pengen semuanya berjalan seperti seharusnya. Tanpa harus mikir-mikir terlalu banyak.”

Kyra mengangguk pelan, seolah paham. “Aku ngerti. Tapi kamu nggak bisa terus seperti itu, Bram. Kamu harus belajar menerima kenyataan. Kalau nggak, kamu malah makin terjebak sama perasaanmu sendiri.”

Aku menatapnya, rasa aneh yang muncul begitu tiba-tiba. Kyra ini… dia begitu tahu cara berbicara, cara membuatku merasa seperti sedang dituntun menuju jalan yang lebih terang. Tapi jalan itu bukan untukku. Jalan itu untuk orang lain. Untuk dia. Untuk mereka yang bisa meraihnya dengan mudah.

“Aku cuma nggak mau bikin semua jadi lebih rumit,” jawabku pelan, menunduk sedikit.

Kyra menghela napas, kemudian tersenyum tipis. “Tapi hidup ini udah rumit, Bram. Kita nggak bisa hidup tanpa berusaha untuk membuatnya sedikit lebih mudah, kan?”

Aku menatap senyumannya yang selalu bisa membuat hatiku berdebar, walaupun aku tahu betul, senyuman itu bukan untukku. Senyuman itu untuk orang lain, untuk dunia yang lebih cerah, bukan untuk seseorang yang terperangkap dalam bayang-bayangnya sendiri.

“Susah banget ya, Bram,” Kyra berkata lagi, kali ini dengan nada yang lebih lembut. “Tapi kamu nggak sendirian. Aku ada kok. Kalau kamu butuh teman buat ngobrol, kamu tahu harus kemana.”

Aku hanya mengangguk, berusaha menahan perasaan yang tiba-tiba ingin meluap keluar. Kyra tak tahu bahwa setiap kata yang dia ucapkan, meskipun terdengar ringan, membuat hati ini semakin berat. Karena aku tahu, aku hanya bisa menjadi pendengar, hanya bisa melihat dia dari jauh. Aku tak akan pernah bisa menjadi lebih dari itu. Aku tahu itu, dan aku menerima kenyataan itu, meski kadang rasanya begitu sulit untuk diterima.

“Aku akan ingat itu, Kyra,” jawabku dengan suara pelan, meski hatiku terasa penuh. “Terima kasih.”

Kyra hanya tersenyum, lalu melambaikan tangan dan melangkah pergi. Begitu mudah baginya untuk tersenyum, untuk berjalan tanpa beban, tanpa berpikir terlalu banyak. Sementara aku, aku masih terjebak di tempat yang sama, hanya bisa menatapnya pergi, menyadari bahwa dia tak akan pernah tahu seberapa besar perasaan ini tumbuh tanpa bisa disampaikan.

Aku berdiri di sana, menatap langkahnya yang semakin menjauh, dan saat itu aku menyadari satu hal—bahwa kadang, dalam hidup, kita harus menerima bahwa kita tak bisa memiliki apa yang kita inginkan. Kadang, yang kita bisa lakukan hanyalah menikmati momen yang ada, meskipun itu hanya sesaat. Itu mungkin bukan yang terbaik, tetapi itu adalah kenyataan yang harus dihadapi.

Dan aku akan menghadapinya, meskipun rasanya berat. Karena apa lagi yang bisa kulakukan selain itu?

 

Perpisahan yang Tak Terucap

Pagi itu terasa seperti biasa, namun aku tahu, sesuatu sudah berubah. Hari-hari yang lalu begitu penuh dengan perasaan yang menyesakkan—perasaan yang aku coba tutupi, tapi tetap tak bisa disembunyikan sepenuhnya. Namun, hari ini berbeda. Ada sesuatu yang aneh di udara, seperti ada yang tak terungkap, seperti ada sesuatu yang akan selesai, meskipun aku tidak siap untuk menghadapinya.

Aku duduk di kafe yang biasanya kami kunjungi bersama, meja kecil di sudut dekat jendela yang menghadap ke jalan. Meskipun Kyra tak pernah tahu, tempat ini sudah menjadi milikku juga, tempat yang penuh kenangan yang hanya bisa aku simpan dalam hati. Namun, hari ini, aku duduk sendirian di sana, menunggu tanpa tahu apa yang aku tunggu.

Tak lama, langkah kaki yang familiar terdengar. Kyra muncul, dengan senyum yang selalu membuat jantungku berdetak lebih cepat. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam sorot matanya. Ada kesan seperti perpisahan, seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi ragu untuk mengucapkannya. Aku bisa merasakannya.

Kyra duduk di depanku, dan selama beberapa detik, kami hanya terdiam. Seakan kata-kata yang biasanya mengalir dengan mudah, kini terasa begitu berat untuk diucapkan.

“Kyra,” aku memulai, suaraku terdengar lebih rendah dari yang biasanya. “Ada apa? Kamu terlihat seperti ada yang ingin kamu katakan.”

Kyra menghela napas pelan, matanya menatapku dengan tatapan yang tak bisa aku artikan. “Aku… Bram,” katanya perlahan. “Aku nggak tahu gimana harus bilangnya, tapi aku rasa kita… kita harus berhenti seperti ini.”

Aku menatapnya dengan terkejut. Kata-katanya seolah menghantam dadaku seperti ombak besar yang datang begitu cepat, membuat aku terhenyak. “Berhenti?” tanyaku, berusaha mencari makna di balik kalimat itu.

“Ya,” Kyra mengangguk, masih dengan tatapan yang sulit kupersepsikan. “Aku… aku tahu kamu punya perasaan lebih dari sekadar teman, Bram. Tapi aku nggak bisa balas perasaan itu. Aku nggak bisa memberikan apa yang kamu harapkan.”

Aku terdiam. Rasanya seperti ada beban yang jatuh menimpa dadaku, dan aku hanya bisa terdiam, mencoba menerima kenyataan yang begitu berat. Aku sudah tahu jawabannya, tapi mendengarnya langsung darinya tetap saja menghancurkan.

Kyra melanjutkan dengan suara yang semakin pelan. “Aku nggak mau kamu terjebak dalam perasaan yang nggak bisa kita miliki. Aku juga nggak mau kamu merasa terhukum hanya karena ingin berada di dekat aku.”

“Kyra, aku tahu,” jawabku pelan, berusaha menahan emosi yang mulai memenuhi dada. “Aku nggak berharap kamu merasa terpaksa. Aku nggak berharap kamu berubah karena aku.”

“Dan aku nggak mau kamu merasa aku menjauh,” Kyra menambahkan, matanya mulai memancarkan kehangatan yang selalu membuatku merasa nyaman. “Tapi aku merasa, ini yang terbaik. Kita harus terus berjalan, dengan cara kita masing-masing.”

Aku menundukkan kepala, berusaha menahan perasaan yang mulai memecah hati ini. Apa yang aku harapkan dari semua ini? Apakah aku menginginkan Kyra untuk merasa sama seperti aku? Atau aku hanya ingin menjaga hubungan ini agar tidak berakhir?

“Aku ngerti,” jawabku akhirnya, meskipun kata-kata itu terasa sangat sulit untuk keluar dari mulutku. “Aku nggak akan maksa kamu, Kyra. Kalau itu yang kamu rasa terbaik, aku nggak bisa apa-apa.”

Kyra tersenyum tipis, senyum yang terasa penuh kesedihan. “Kamu tahu kan, kamu berarti banyak bagi aku, Bram. Tapi perasaan ini… kita nggak bisa mengontrolnya. Kadang, yang terbaik memang bukan apa yang kita inginkan.”

Aku mengangguk pelan, mataku mulai terasa berat. Ini bukan akhir yang aku inginkan, tapi ini adalah akhir yang harus kuterima. Kyra memang tak bisa aku miliki, dan mungkin itu memang yang terbaik. Aku tidak ingin menjadi beban baginya, atau bahkan menjadi bayangan yang terus mengganggu hidupnya.

“Kita tetap teman, kan?” aku bertanya, meskipun aku tahu jawabannya. Aku hanya ingin memastikan bahwa, meskipun semuanya berubah, ada sedikit ruang untuk aku di dunia yang masih melibatkan Kyra.

“Selalu,” jawabnya dengan suara lembut, namun ada kesedihan yang begitu mendalam dalam kata-katanya. “Aku akan selalu ada untuk kamu, Bram. Tapi kali ini, kita harus berjalan di jalur yang berbeda.”

Aku tersenyum kecil, meski hati ini terasa hancur. Aku tahu ini adalah perpisahan, meskipun tidak ada kata-kata “selamat tinggal” yang diucapkan. Kadang, perpisahan tidak selalu perlu diucapkan dengan jelas. Cukup dengan pemahaman yang saling tercipta. Kami tahu, hubungan ini harus berakhir, meskipun tidak ada yang siap menghadapinya.

Kyra berdiri, lalu dengan satu langkah ringan, dia berjalan menjauh. Aku hanya bisa menatapnya, kali ini tanpa harapan apapun. Langit yang kini semakin gelap seakan menjadi saksi bisu dari perpisahan yang tak pernah terucap, perpisahan yang hanya bisa dirasakan dalam hati yang hancur.

Dan aku hanya bisa duduk di sana, merenung, berusaha menerima kenyataan bahwa cinta ini tidak bisa aku miliki. Cinta yang hanya bisa kuanggap sebagai sebuah kenangan, sebuah bayangan yang akan terus mengikuti, meskipun aku tahu, aku takkan pernah bisa meraihnya.

 

Jadi, ya, kadang cinta itu nggak harus berakhir bahagia atau berujung pada milik-memiliki. Kadang, yang penting adalah kita bisa merasakannya, meski cuma sebentar. Kenangan itu cukup, bahkan ketika akhirnya kita harus melepaskan. Mungkin, perpisahan yang tak terucap adalah cara dunia bilang, “Cinta ini cukup sampai di sini.”

Tapi siapa tahu? Mungkin, di suatu waktu, kita akan menemukan cinta yang memang bisa kita miliki. Sampai saat itu datang, kita cuma bisa terus berjalan, bawa perasaan itu sebagai pelajaran, dan berharap ada yang lebih baik di depan sana. Cinta memang aneh, tapi selalu menarik untuk dijalani, meskipun kadang kita tahu itu tak akan pernah jadi milik kita.

Leave a Reply